Sayyidah Asiyah

Sayyidah Asiyah; Teladan dalam Keimanan

Termasuk salah satu perempuan yang dimuliakan oleh Allah dan diabadikan namanya dalam Al-Qur’an ialah Sayyidah Asiyah binti Muzahim. Beliau merupakan istri dari Fir’aun, dan ibu asuh Nabi Musa. Beliau juga merupakan satu dari sekian nama yang dicatat oleh Allah untuk dijadikan teladan akan keimanan yang dimiliki dan pengorbanannya yang begitu besar.

Maka tidak heran sesungguhnya tema International Women Day 2021 tempo lalu adalah “Choose To Challenge” (dari tantangan menuju perubahan). Dalam konteks ini, Sayyidah Asiyah menemukan relevansinya di sini. Asiyah merupakan perempuan yang tidak hanya sekadar dipenuhi tantangan dan pilihan yang sulit, namun tetap struggle, tetap berpendirian teguh memegang keyakinannya. Inilah makna sesungguhnya dari peringatan International Women Day itu.

Memuliakan perempuan berarti memuliakan peradaban, yang sejatinya telah diabadikan dalam Al-Qur’an yang berbunyi,

وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوا امْرَاَتَ فِرْعَوْنَۘ اِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِيْ عِنْدَكَ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ وَنَجِّنِيْ مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهٖ وَنَجِّنِيْ مِنَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَۙ

Artinya: Dan Allah telah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir‘aun (Asiyah), ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisiMu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (QS. Al-Tahrim: 11)

Imam At-Thabari dalam kitabnya Jami’ Al-Bayan, menafsirkan ayat ini bahwa Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang Shiddiq (jujur) dan mengesakan-Nya, istri Fir’aun yaitu Aisyah ialah wanita yang benar-benar beriman kepada Allah dan mengesakan-Nya. Ia telah bersaksi atas kebenaran yang dibawa oleh Nabi Musa.

Keadaan Sayyidah Asiyah pada saat itu benar-benar di bawah musuh-musuh Allah, yaitu lingkungan orang kafir. Kendati demikian, hal itu tidak membahayakannya apalagi meruntuhkan keimanannya akan Allah. Imam At-Thabari juga mengatakan redaksi doa yang terkandung dalam ayat tersebut bermakna bahwa Allah mengabulkan doa Asiyah, istri Fir’aun dengan membangunkan sebuah rumah yang indah di surga Firdaus.

Di dalam tafsir yang lain, makna doa tersebut adalah senantiasa dekat kepada rahmat dan karunia Allah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Al-Syaukani, Imam Az-Zamakhsari dan Imam Baghawi.

Tak jauh berbeda, Ibnu Katsir menafsirkan bahwa Allah mengumpamakan, sesungguhnya pergaulan orang mukmin terhadap orang kafir tidaklah membahayakan dirinya, jikalau memang mempunyai keperluan kepada mereka. Serta senantiasa memegang teguh keyakinan mereka, urusan mereka hanya sebatas persoalan duniawi, kemanusiaan, tidak lebih dari itu. “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”, demikian yang allah firmankan dalam Al-Qur’an Surat Al-Kafirun.

Lebih lanjut lagi, Ibnu Katsir mengutip ayat Al-Qur’an Surat Ali Imran: 28 dengan tafsiran, “Janganlah kalian orang-orang mukmin mengambil orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. Artinya, perihal keyakinan dan akidah, kita harus tetap mengutamakan orang-orang mukmin daripada non-muslim.

Sayyidah Asiyah sebagaimana digambarkan oleh ayat di atas merupakan perempuan suci, bahkan kekafiran suaminya (Fir’aun) tak lantas membahayakan terhadap dirinya, karena Asiyah senantiasa taat kepada Allah tanpa sedikitpun ia merasa takut untuk menolak segala keburukan yang dilakukan oleh suaminya termasuk berhubungan badan (jima’) dengannya.

Makna dari doa Asiyah di atas sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Az-Zamakhsyari tidak hanya ingin dibangunkan rumah di surga-Nya, melainkan agar ia senantiasa dekat dengan rahmat Allah. Dalam kitab Tafsir Al-Kasyaf,  Az-Zamakhsyari mengatakan,

فإن قلت ما معنى الجمع بين عندك وفي الجنة؟ قلت طلبت القرب من رحمة الله والبعد من عذاب أعدائه، ثم بينت مكان القرب بقولها { فِى ٱلْجَنَّةِ } أو أرادت ارتفاع الدرجة في الجنة

Jika engkau ditanya, apa makna doa ayat di atas “baina indaka” (di sisi-Nya) dan “fil jannah” (dalam surga)? Maka kamu menjawab, “sesungguhnya ia bermakna bahwa Asiyah meminta agar senantiasa dekat dengan rahmat-Nya dan dijauhkan dari siksa-Nya. Kemudian makna dekat itu ia lukiskan dalam redaksi fil jannah. Artinya, di surga-Nya adalah representasi ketinggian derajat (jannat al-ma’wa) seorang hamba dan kedekatannnya dengan Allah. (Tafsir AlKasyaf, juz 6, hal. 134)

Penafsiran ini kemudian dikonfirmasi Al-Syaukani dalam kitabnya Fathul Qadir bahwa yang dimaksud doa itu adalah rumah yang dekat dengan rahmat Allah Swt (bait qariban min rahmatika). Dan ketinggian keluhuran derajat serta diriingi ridha-Nya di setiap aktifitasnya.

Imam Al-Baghawi dalam kitab Ma’alim Al-Tanzil justru menggambarkan doa Asiyah dengan nuansa sufistik. Bahwa Allah akan membuka atau menyingkap (kasyaf) surga sehingga Asiyah melihatnya.

Pada satu kisah, ketika Asiyah akan dieksekusi mati, Fir’aun hendak melemparkan batu sangat besar (shakhrah ‘adzimah) kepada istrinya, kemudian Asiyah berdoa, “idz qalat rabbibni lii ‘indakan baitan fil jannah”, maka saat itu juga Allah swt memperlihatkan mutiara surga beserta kenikmatannya kepadanya.

Selepas itu Allah mencabut ruhnya sebelum ia dilempar batu oleh Fir’aun sehingga Asiyah tanpa sedikitpun merasa kesakitan. Imam Al-Hasan dan Ibnu Kisan menuturkan: Allah swt mengangkat Asiyah ke atas surga-Nya, dan ia sedang bersuka ria meminum dan memakan di dalam surga. Sementara redaksi berikutnya, “wa najjini minal qaumidz dzalimin”, Muqatil menafsirkannya dengan Allah menjauhkan Asiyah dari amalan Fir’aun berupa syirik. Abu Shalih dari Ibn Abbas berkata: yang dimaksud amalan itu ialah jima’ (bersetubuh).

Memuliakan Perempuan Berarti Memuliakan Peradaban

Secara eksplisit Ayat di atas mengindikasikan kepada kita kaum lelaki, bahwa suatu kewajiban bagi kaum laki-laki untuk memberikan surga kepada istri bagi yang sudah berkeluarga. Maksud surga di sini yaitu pakaian, makanan, rumah atau dalam filosofi Jawa dikenal Sandang, Pangan, Papan. Apabila belum bisa memberikannya secara optimal, paling tidak adalah memberikan rasa kasih sayang, bermuka riang terhadap istri, menyenangkan hatinya, menentramkan jiwanya. Singkat katanya, saling melengkapi dan saling memahami.

Bagi laki-laki yang belum menikah adalah memberikan rasa aman kepada perempuan, melindungi harkat dan martabatnya, tidak melecehkan dan tidak berbuat senonoh kepadanya, apalagi sampai menciderai kemurniannya, dan segala perbuatan yang mampu memuliakannya.

Walhasil, dari doa Sayyidah Asiyah kita belajar untuk memuliakan perempuan, sebab dengan memuliakan perempuan berarti kita memuliakan peradaban. Parameter kemajuan peradaban ini diukur dari bagaimana kiprah seorang perempuan itu dapat terlaksana dengan baik. Bila kiprah perempuan terpasung, kemurniannya dirampas lalu bagaimana kemajuan peradaban manusia akan dicapai. Kemudian bagaimana dengan nasib generasi penerus kelak? Alih-alih memajukan peradaban, justru malah meluluhlantahkannya.

Semoga bermanfaat. Wallahua’lam.

BINCANG MUSLIMAH