Serba-serbi Haji (14): Oleh-oleh Haji Mat Kelor

ADA yang mengagetkan saya saat saya sidak ke kamar para jamaah. Koper-koper sudah mulai banyak tidak muat, penuh dengan oleh-oleh. Tak terkecuali koper Mat Kelor. Yang paling mengagetkan saya adalah bahwa oleh-oleh terbanyak yang dibeli Mat Kelor adalah kaca cermin.

Bukankah cermin di Indonesia banyak dijual? Mungkin saja jawabannya adalah mengharap barakah tanah suci atau karena ada gambar Mekah Madinahnya. Ternyata jawaban Mat Kelor sangat filosofis, setara dengan pola pikir para bijak masa lalu. Dari mana Mat Kelor belajar?

Kata Mat Kelor: “Cermin itu adalah guru kejujuran, mengajarkan obyektifitas. Wajah jelek ya ditampilkan jelek, wajah ganteng ya ditampilkan ganteng. Tak peduli apakah orang jelek yang bercermin menganggap dirinya ganteng atau tidak. Ingat cermin, ingat kejujuran apa adanya.” Saya menikmati uraian Mat Kelor sambil tersenyum saat ada upil di ujung hidungnya. Rupanya dia lupa bercermin

Mat Kelor melanjutkan kata: “Cermin itu adalah guru kehidupan yang baik. Walau ia tahu kejelekan wajah orang yang bercermin padanya, ia tidak pernah pengumuman kepada orang lain. Ingat cermin, ingat untuk tidak menyebarkan aib orang lain.”

Waduh, saya semakin kagum akan kedalaman makna cermin. Tidak seperti biasanya, Mat Kelor sering menatap ke lantai, tak menatap wajah saya. Saya berpikir jangan-jangan dia menunduk itu sedang kesurupan para ahli filsafat masa lalu. Tiba-tiba dia bilang: “Punggung saya sakit, kayaknya kolestrol saya naik.”

Mat Kelor masih terus berfilsafat: “Cermin itu adalah guru persahabatan yang baik, mengajarkan bagaimana harus berempati. Saat aku menangis, cermin tak mentertawaiku. Cermin ikut menangis. Itulah sahabat sejati.” Saya ngakak sengakak ngakaknya. Sambil menepuk punggung Mat Kelor saya berkata: “Kalau kamu menangis tapi cerminmu tertawa, yakinlah bahwa cerminmu itu hantu.” Mat Kelor ikut ketawa ngakak menyadari bahwa kesimpulan terakhir itu ada yang kurang pas.

Kami terdiam. Lalu Mat Kelor tolah toleh dan kepalanya dangak ke atas. Dia berkata: “Lho, punggungku sembuh. Alhamdulillaah.” Saya bilang: “Pola pikir yang salah memang bisa menjadi sebab sakit punggung. Tertawa itu adalah sebagian obatnya. Jangan lupa, punggungmu sembuh setelah aku tepuk. Apanya yang masih sakit, kan kutepuk.” Tiba-tiba adzan berkumandang.

INILAH MOZAIK