SECARA bertahap, sekitar 25 ribu warga sudah dievakuasi meninggalkan Aleppo. Mereka menuju beberapa titik kamp pengungsian di Provinsi Idlib.
Selain bingung menjalani hidup baru, mereka masih khawatir menjadi sasaran serangan rezim Bashar al Assad plus Rusia.
————————–
’’SAYA meninggalkan jiwa saya di wilayah timur Aleppo,’’ kata Fatemah, ibunda Bana Alabed, kepada Qasioun News Senin (19/12).
Seperti ribuan penduduk Aleppo yang lain, ibu tiga anak itu enggan meninggalkan kampung halaman.
Namun, serangan udara tanpa henti dari pasukan Syria dan militer Rusia memaksa mereka hengkang. Sebab, aksi militer dua sekutu tersebut mengakibatkan rumah mereka rata dengan tanah.
Tetapi, mengemasi barang berharga untuk kemudian meninggalkan Aleppo juga tidak serta-merta membuat derita mereka lenyap.
’’Ketika memutuskan untuk mengungsi, kami harus bertahan hampir 24 jam tanpa makanan dan minuman. Kami merasa menjadi sandera,’’ ungkap Fatemah.
Kini, bersama suami dan tiga anaknya, perempuan yang berprofesi guru itu sudah tiba di tujuan. Tepatnya di Kota Idlib. Meski menjejakkan kaki di Idlib atau wilayah lain yang menjadi kantong oposisi di Provinsi Idlib, Fatemah atau penduduk Aleppo yang lain tidak lantas merasa aman.
Sebab, Idlib termasuk salah satu wilayah konflik. Sebagai salah satu benteng pertahanan oposisi bersenjata yang masih tersisa, Idlib jelas masuk radar Syria dan Rusia untuk target serangan berikutnya.
Apalagi, Idlib merupakan basis Al Qaeda dan militan-militan yang loyal terhadap almarhum Osama bin Laden.
Kedatangan oposisi bersenjata dari Aleppo dan keluarganya menjadikan Idlib sasaran yang paling sempurna bagi pasukan Syria dan Rusia.
Sekali serang, rezim Presiden Bashar al Assad akan bisa melibas militan radikal dan oposisi bersenjata yang disebutnya pemberontak.
’’Kota mana yang menjadi sasaran berikutnya bergantung pada kota mana yang terorisnya paling banyak,’’ jelas Assad dalam wawancara dengan media Rusia awal pekan ini. Bila dibandingkan dengan Aleppo, Idlib lebih dekat dengan Turki. Bahkan, provinsi itu berbatasan langsung dengan Turki. Menilik banyaknya musuh Assad di sana, Idlib bakal menjadi saksi pertempuran yang lebih dahsyat.
Beruntung, Bana tidak lama-lama tinggal di Idlib. Bocah tujuh tahun yang menyedot perhatian dunia lewat @AlabedBana itu akan menjadi warga Turki.
Kemarin (20/12) Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu menyatakan bakal memboyong Bana dan seluruh keluarganya ke Turki.
Kabarnya, pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan telah menyiapkan rumah bagi gadis kecil pemberani tersebut dan keluarganya.
Sayangnya, tidak semua bocah atau keluarga Aleppo seberuntung Bana dan Fatemah. Sebagian besar hanya ingin segera meninggalkan kota seluas kira-kira 190 kilometer persegi tersebut.
Mereka juga menurut saja hendak dibawa ke Idlib atau perbatasan Turki–Syria. Sebab, mereka terlalu sibuk bertahan hidup pada masa sekarang dan tidak yakin berjumpa dengan masa depan.
Karena itu, ketika kini mereka berkesempatan menyambut masa depan, sebagian besar justru bingung. Sebab, hidup pada masa depan bukanlah bagian dari rencana mereka. Aksi udara Syria dan Rusia telah sukses merenggut harapan mereka atas masa depan.
Saat aksi udara berakhir dan mereka masih hidup, warga tinggal menanti datangnya esok dan serangan berikutnya. Cepat atau lambat, kematian pasti datang.
Selain Bana, ratusan bocah Aleppo tiba di Idlib kemarin. Berjejal di dalam bus membuat anak-anak itu kelelahan. Mereka juga lapar dan kehausan karena tidak mendapatkan makanan dan minuman di perjalanan.
Namun, yang lebih menyedihkan ketimbang kondisi fisik yang payah adalah rasa trauma mereka.
’’Mereka memandang kami dengan tatapan seolah-olah kami berasal dari planet lain,’’ kata Ghanem Tayara.
Tayara yang juga aktivis kemanusiaan mengungkapkan, sebagian besar anak yang trauma itu suka mengompol. Termasuk anak-anak yang baru saja tiba di Idlib.
Sebanyak 90 anak yang tiba di Idlib kemarin berada dalam kondisi basah. Entah karena keringat atau ompol. ’’Mereka terus-terusan histeris dan merasa seolah-olah aksi udara akan menarget mereka lagi,’’ terang Tayara.
Trauma anak-anak Aleppo tersebut cukup beralasan. Sebab, menurut Tayara, masa depan bocah-bocah itu memang tidak pasti.
’’Apakah masih ada harapan? Itulah pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Entah mati di sana (Aleppo, Red), mati di perjalanan menuju tempat baru, atau menjadi pengungsi abadi di sepanjang sisa hidup mereka,’’ katanya.
Menurut pria berprofesi dokter tersebut, anak-anak Aleppo memang tidak punya banyak pilihan. (AFP/Reuters/CNN/aljazeera/hep/c14/any)
sumber: JPNN.com