Relasi Islam dan non muslim telah ada sejak dahulu. Para sahabat Nabi berdampingan dengan penuh toleransi dengan kalangan non muslim. Bahkan sahabat Nabi, sekaligus anak Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar saban Idul Adha memberikan daging kurban untuk tetangganya beragama Yahudi.
Syahdan, manusia hakikatnya hidup dalam keberagaman. Kemajemukan merupakan realitas kehidupan. Tak dapat tidak, manusia terdiri dari suku, budaya, etnik, keyakinan, bahasa, maupun agama.
Pluralitas manusia itu buka barang baru. Ia sudah ada sejak dahulu. Keberagaman agama misalnya, merupakan suatu keniscayaan pada era awal Islam. Yahudi, Kristen, Bahai, pagan dan Zoroaster terlebih dahulu hidup dan berkembang dalam masyarakat Arab.
Ketika Islam datang dibawa Nabi Muhammad pluralitas agama itu tetap hidup. Ada di tengah masyarakat yang dipimpin Nabi. Mereka hidup harmonis. Saling menjaga satu sama lain. Ketika pun ada gesekan, itu bukan sebab perbedaan teologis agama. Lebih dari itu, konflik dan perang itu didasari oleh pengkhianatan terhadap perjanjian dan tanah air.
Pun setelah baginda Nabi telah wafat, Islam pun semakin berkembang, relasi antar Islam dan non muslim tetap terjalin harmonis. Hidup dan saling menjaga satu sama lain. Ada kewajiban yang harus ditunaikan, dan ada pula hak yang wajib diperoleh.
Kaum non muslim dilindungi harta, martabat, dan marwahnya dijaga oleh kaum muslimin. Hidup dalam kedamaian, tak boleh disakiti, apalagi dihalangi dalam beribadah. Mun’im Sirry dalam Disertasi berjudul Reformis Muslim Approaches to the Polemics of the Qur’an against Other Religions, menerangkan, dalam masyarakat Islam klasik hubungan erat antara muslim dan non muslim didasarkan pada konsep dzimmah.
Adapun konsep dzimmah berarti kontrak, keamanan, perlindungan, dan kewajiban. Dalam pengertiannya, adanya perjanjian permanen antara kaum non muslim dengan penguasa Islam untuk mendapatkan perlindungan, keamanan, dan hak sebagai warga negara yang sah. Tetapi kaum non muslim itu dikenakan bayar jizzah (pajak).
Kewajiban bayar pajak ini, kata Mun’im Sirry sebagai ganti bela negara. Kaum non muslim yang tinggal di negara muslim ini disebut sebagai ahl al dzimmah atau dzimmiyun. Praktik politik ini muncul dalam praktik politik kaum Muslim paling awal.
Terkait pembayaran pajak (jizyah) oleh non muslim, Fazlur Rahman dalam buku Non Muslim Minorities in Islamic State, mencatat kewajiban itu sebagai ganti wajib miletr bagi kalangan non muslim. Pasalnya, kaum non muslim tak bisa diharapkan ikut serta dalam jihad bersama orang muslim lainnya. Dengan begitu mereka membayar pajak, sebagai gantinya. Yang juga sebagai jaminan keamanan diri, harta, dan keluarga mereka.
Kaum non muslim itu sangat istimewa di hadapan baginda Nabi Muhammad. Sebagai pembawa risalah Islam, Nabi dalam pelbagai hadis menegaskan larangan tegas untuk menyakiti non Muslim. Pasalnya, itu perbuatan yang tercela.
Lebih dari itu, rasul mengatakan orang yang menyakiti non muslim, maka sama saja ia menyakiti Nabi. Hadis ini menegaskan tentang keistimewaan non muslim dihadapan Nabi. Dalam hadis riwayat Imam Abu Daud, Nabi Saw bersabda;
أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya: Ketahuilah, bahwa siapa yang menzalimi seorang mu’ahad (non-Muslim yang berkomitmen untuk hidup damai dengan umat Muslim), merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat.
Dalam hadis lain riwayat Imam Thabrani disebutkan bahwa Nabi Saw pernah bersabda;
مَنْ آذَى ذِمِّيًا فَقَدْ آذَانِيْ، وَمَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللهِ
Artinya: Barang siapa menyakiti seorang zimmi (non Muslim yang tidak memerangi umat Muslim), maka sesungguhnya dia telah menyakitiku. Dan barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.
Daging Kurban Disalurkan pada Non Muslim
Para sahabat Nabi di masa awal Islam memuliakan kaum non muslim. Meskipun bukan saudara dalam akidah, tetapi saudara dalam kemanusiaan. Praktik kemanusiaan ini dipraktikan oleh Abullah bin Umar. Seorang sahabat Nabi yang alim dan kaya ilmu pengetahuan. Anak dari khalifah Umar bin Khattab.
Dalam kitab Goiru al Muslim fi almujtama’ al Islami, karya Dr. Yusuf Qardhawi termaktub wasiat Ibn Umar pada anaknya. Wasiat itu selalu diulang-ulang oleh Abdullah bin Umar setiap saat. Sehingga anaknya, sudah hafal betul. Apa isi wasiat itu?
Isi wasiat itu adalah saban hari Raya Qurban (Idul Adha), agar anaknya jangan lupa memberikan sebagian hewan kurban itu pada tetangga mereka yang beragama Yahudi. Ternyata Abdullah bin Umar memiliki tetangga yang beragam Yahudi. Ia sangat menyayangi Yahudi tersebut.
Suatu waktu Abdullah bin Umar ditanya anaknya, terkait alasan ia begitu menyayangi Yahudi tersebut. Padahal tetangga itu seorang Yahudi. “Kenapa ayah begitu menyayangi Yahudi itu?” tanya anaknya. “Apakah rahasia dari pertolongannya terhadap Yahudi tersebut?,” lanjut anaknya tak sabar.
Ibn Umar menjawab, “Memuliakan tetangga merupakan perintah Rasul. Sekalipun terhadap Yahudi,” katanya. Ibn lants membacakan Hadis Nabi;
قال ابن عمرو: إن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “ما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت أنه سيورثه
Artinya: Ibn Umar berkata, sesungguhnya Nabi bersabda; Senantiasa Jibril memberikan wasiat kepada ku tentang tetangga ku, sehingga aku menyangka (tetangga ku) adalah keluarga ku.
Kata Yusuf Qardhawi, kisah itu termaktub dalam riwayat Imam Abu Daud, Imam turmidzi, dan juga terdapat dalam riwayat Imam Bukhari. Status hadis ini adalah hadis marfu. Dalam ilmu musthalah hadis, status marfu adalah muttafun alaihi. (Baca: Definisi dan Pembagian Hadis Marfu’). Qardhawi berkata;
القصة رواها أبو داود في كتاب الأدب من سننه، والترمذي في البر والصلة، والبخاري في الأدب المفرد. أما الحديث المرفوع فهو متفق عليه
Artinya: Kisah ini riwayatnya Abu Daud, terdapat dalam kitab Sunan Abu Daud pembahasan Kitabil adab, Riwayat Imam Turmidzi dalam pembahasan al bir dan silah, dan Imam Bukhari dalam pembahasan adab dan mufrad. Adapun hadis ini tergolong hadis marfu, maka status hadis marfu, adalah hadis muttafakun alaih.
Tak hanya memuliakan non muslim yang masih hidup, para sahabat Nabi juga konsisten memuliakan non muslim yang telah meninggal. Meski mereka berbeda keyakinan. Tetapi para sahabat tetap mengunjunginya ketika telah meninggal.
Dalam kitab Fiqh Zakat, Qardhawi memuatkan kisah seorang nasrani meninggal dunia dunia. Ia bernama Ummu Haris bin Abi Rabiah. Seorang Kristen tulen sejak lahir. Mendengar si Umum Harisah wafat, para sahabat kemudian berbondong-bondong untuk mentakziahi dan mengantarkannya pada peristirahatan terakhir.
وماتت أم الحارث بن أبي ربيعة وهي نصرانية، فشيَّعها أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya; Meninggal dunia Ummu Haris bin Rabiah—seorang Nasrani—, maka mengantarkannya sahabat-sahabat Rasulullah SAW.
Demikian kisah Abdullah bin Umar yang memberikan daging kurban pada tetangganya beragam Yahudi. Dan juga kisah, sahabat Nabi yang menjenguk seorang Kristen yang meninggal dunia. Semoga bermanfaat.