Ibadah Haji, Gaya Hidup Instan Kita, dan Refleksi Syariati

Haji bukan sekadar ritual, melainkan juga memahami makna di balik prosesi haji.

“Tak akan raih kemuliaan siapapun yang tak menyentuh kesulitan

Barang siapa ingin kehormatan tanpa bersusah payah maka ia akan nihil”

(Shafiyuddin al-Hilli, 750 H)

Ali Syari’ati. Nama cendekiawan kelahiran 1933 di Mazinan, Iran, itu tak lagi asing. Pemikirannya dikenal progresif. Gagasannya merupakan refleksi dari ragam problematika yang dihadapi masyarakat Iran ketika itu. Syari’ati mencetuskan teori yang tak lazim di masanya: kodifikasi antara prinsip Islam yang tradisionalis dan filsafat Barat modern.

Sikapnya dikritik, juga dipuja. Dalam waktu singkat, ceramah dan kuliahnya menyedot perhatian publik. Tetapi, progresivitas pemikirannya dianggap ancaman. Kalangan tradisonalis yang mendominasi menganggap keberadaannya sebagai ancaman. Syariati dicekal. Pernah pula dijebloskan ke penjara. Hingga pada 19 Juni 1977 ia wafat terbunuh. Muncul spekulasi, agen-agen SAVAK pendukung Ayatullah Khumaini berada di balik tragedi tersebut.

Syari’ati meninggalkan warisan intelektual yang luar biasa. Sebagian besar karangannya tentang filsafat. Salah satu karyanya yang monumental ialah buku berjudul Hajj (pilgrimage).

Buku yang banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa itu berisi tentang refleksi, kritik, dan sebuah konklusi dari seorang Syari’ati, perihal subtansi ibadah haji. Baginya, haji adalah sebuah aksi yang berkesinambungan, tak terhenti pada tumpukan teori di atas kertas. Haji juga penuh dengan simbol, bukan sebatas ritual.

Jangan-jangan, seperti kekhawatiran seorang qadi asal Kufah yang hidup pada tahun 70-an Hijriyah, Syuraih al-Qadhi, sedikit sekali mereka yang benar-benar pergi dengan berniat haji, banyak yang hanya niat berwisata. Begitu banyak para pengamal kebajikan, tetapi sedikit sekali yang tulus mencari ridha-Nya.

Dalam refleksi Ali Syariati, seperti termaktub dalam al-Faridhal al-Khamisah (terjamah lain dalam bahasa Arab), ibadah haji bukan hanya sekadar ibadah ritual dengan memakai ihram, melakukan tawaf (mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran), sai (berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah), melempar jumrah (dengan batu kerikil ke tiang Jamarah), wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah, lalu bertahalul (memotong rambut). Menurutnya, seorang manusia penting untuk memahami fungsi dan perannya masing-masing. Manusia sebagai khalifah di muka bumi berkewajiban melaksanakan segala amanah yang diberikan oleh Allah, termasuk dalam melaksanakan ibadah haji. Bukan hanya sekadar ritual, melainkan juga memahami makna di balik setiap prosesi ibadah haji.

Syariati juga menekankan bahwa pelaksanaan ibadah haji seharusnya menjadi kesempatan bagi setiap jamaah untuk meningkatkan kualitas keimanannya. Sebab, itulah tujuan dari pelaksanaan ibadah haji, yakni menggapai haji mabrur.

Bila ibadah haji berhasil dilaksanakan dengan baik, sesuai dengan syarat dan rukunnya, niscaya dirinya akan menjadi seorang Muslim yang baik, patuh, dan taat dalam menjalankan ibadah. Di sinilah, tegas Syariati, pentingnya seorang Muslim memahami dan mengambil manfaat dari manasik haji.

Maka, tibalah tahapan puncak, sebuah tingkatan klimaks yang diteladankan Ibrahim AS yaitu berqurban. Prosesi berqurban tersebut terlampaui usai ritual-ritual transendental. Peneguhan tauhid kala bertawaf, menyelami perjuangan Hajar ketika sa’i, lalu ‘merasakan’ kehadiran Adam ketika menuju Arafah. Di Padang itu, tebersitlah akan arti dan kedudukan manusia di hadapan-Nya.

Qurban hanyalah simbol dari berserah diri yang sempurna. ‘Ismail’ manakah yang hendak Anda qurbankan? Apakah gelar, profesi, harta, status sosial? Atau apakah yang hendak Anda sucikan? Bagi Syari’ati, bukan perkara mudah membatasi dan memutuskan perkara apa yang hendak dipurifikasi. Syari’ati hanya memberikan batasan, apa pun yang membuat iman lemah, maka “sembelihlah”. Segala hal yang melenakan dari kewajiban, tanggung jawab, dan kebaikan, maka jauhkanlah. Begitulah hakikat kurban.

Syari’ati meletakkan pemahaman akan pentingnya prioritas. Mengedepankan hak-hak ilahi ketimbang maslahat duniawi. Ikhtiar yang demikian lebih sulit. Sebab, kondisi itu akan menimbulkan dialektika kepentingan. Tarik ulur hasrat. Hasilnya akan sangat menentukan. Siapa memilih dunia, maka ia telah kalah dalam pertempuran besar.

Melawan hawa nafsu. Bahkan, pertarungan ‘kepentingan’ itu dalam konteks Ibrahim AS, nabi yang dikenal sebagai Bapak Agama Samawi itu, sangat kompleks. Ia sangat mendambakan seorang putra selama berpuluh-puluh tahun.

Dan, anak yang dinanti itu justru diperintahkan Allah untuk dikurbankan. Bagi Syari’ati pula, pelaksanaan qurban, bentuk dari penyempurnaan hakikat berserah diri dan keikhlasan yang sebenarnya. Tetap jaga agar tak tergelincir. Sebab, terpeleset dari tangga kemuliaan itu berarti petaka yang sangat disesalkan.

Sebagai bagian tak terlepaskan dari ritual haji, qurban adalah simbol dari kontinuitas kesalehan. Kebaikan tak boleh terhenti lantaran risalah Islam berselaras dan dinamis dengan kehidupan. Qurban meneguhkan arti pentingnya pengorbanan dalam hidup. Mengikis ego pribadi, sektoral, dan komunal. Hidup adalah soal pengorbanan. Sejauh mana komitmen berusaha dan tidak berputus asa, tak pamrih memberi dan bukan hanya menerima.

Maka, dalam konteks keindonesiaan, sangat tepat bila spirit berqurban itu diterapkan. Hidup berbangsa dan bernegara bukan hanya didasari semangat transaksional an sich. Pola ini, tentu hanya akan membudayakan paradigma menerima dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Ini jauh dari filosofi berkurban.

Bagi seorang sastrawan abad ke-7 Hijriyah, Shafiyuddin al-Hilli, kejayaan yang hakiki diperoleh dari rangkaian proses, bukan budaya instan. Kegemaran akan perilaku instan hanya menyisakan manusia-manusia dengan watak instan. Kaya secara instan, kepintaran yang instan sekaligus prematur, dan paradigma yang serba instan. Atau, barangkali hidup yang instan pula.  

Oleh : Nashih Nasrullah, Jurnalis Republika.co.id

KHAZANAH REPUBLIKA