Hukum Bekerja di Perusahaan yang Berurusan dengan Bank Ribawi

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Saya ingin bertanya mengenai hukum bekerja di perusahaan-perusahaan yang melakukan transaksi dengan bank. Yaitu, perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam bidang perdagangan dan industri. Akan tetapi, mereka bergantung pada bank untuk meminta pinjaman yang mereka butuhkan dalam kegiatan sehari-hari. Wajazakumullah khairan.

Jawaban:

Puji syukur kepada Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada hamba yang Allah utus sebagai rahmat bagi semesta alam, serta kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.

Jika perusahaan-perusahaan ini adalah cabang dari bank-bank ribawi atau lembaga yang didirikan berdasarkan pinjaman ribawi, dan terus-menerus melakukan transaksi ribawi dengan bank, maka tidak boleh bekerja di dalamnya atau pun bekerja sama dengannya. Hal ini karena akan membantu mereka dalam melanjutkan transaksi ribawi yang dilarang dengan bank. Terutama jika karyawan di dalamnya meminta pinjaman ribawi untuk perusahaannya.

Namun, jika perusahaan-perusahaan ini tidak mengambil bank ribawi sebagai tempat mendapatkan modal atau tidak terus menerus, maka jika ada pilihan lain yang dapat menjaga agamanya (itu yang dipilih). Namun, jika tidak ada pilihan lain selain perusahaan ini, maka hal itu diizinkan karena terpaksa. Karena adanya bencana umum dan kebutuhan yang pasti, selama hukum dasar pekerjaan perusahaan tersebut diperbolehkan.

Jika dia menerima pekerjaan (bekerja di tempat tersebut), dia tidak boleh meridai apa yang dilakukan perusahaannya dalam bertransaksi dengan bank-bank dalam bentuk pinjaman ribawi. Sebaliknya, dia harus mengingkari dan membencinya, tidak boleh bughah (melakukan kejahatan) atau menjadi biasa, sehingga dosa tidak dibebankan padanya karena terikat berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

إِذَا عُمِلَتِ الخَطِيئَةُ فِي الأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَهَا فَكَرِهَهَا ـ وَقَالَ مَرَّةً: «أَنْكَرَهَا» ـ كَانَ كَمَنْ غَابَ عَنْهَا، وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا

“Jika dosa dilakukan di bumi, orang yang menyaksikannya dan membencinya, (dan Rasulullah berkata sekali) mengingkarinya, maka dia seperti tidak ada di sana. Dan orang yang tidak menyaksikannya dan meridainya, maka dia seperti orang yang menyaksikannya.” [1]

Dan pengetahuan (yang benar) adalah hanya milik Allah Ta’ala. Wa’akhiru da’wana, Walhamdulillahi rabbil ‘alamin. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat, dan semua pengikutnya hingga hari pembalasan, serta memberikan selawat dan salam dengan sempurna.

Baca juga: Benarkah Tidak Boleh Berinteraksi dengan Bank Ribawi Sama Sekali?

***

Penerjemah: Fauzan Hidayat

Artikel: Muslim.or.id

Sumber:

https://ferkous.com/home/?q=fatwa-255

Catatan kaki:

[1] HR. Abu Dawud dalam kitab “Al-Malahim“, dalam bab Al-Amru wa An-Nahyu (4345), dari hadis Ar-Rus bin ‘Amirah Al-Kindi, semoga Allah meridainya. Dihasankan oleh Al-Albani dalam “Shahih Al-Jami“.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85543-hukum-bekerja-di-perusahaan-yang-berurusan-dengan-bank.html

Benarkah Tidak Boleh Berinteraksi dengan Bank Ribawi Sama Sekali?

Kita dapati sebagian orang memiliki keyakinan bahwa tidak boleh berinteraksi dengan bank ribawi sama sekali. Keyakinan seperti ini kurang tepat.

Benar bahwa bank ribawi itu bertransaksi riba dan penghasilannya dari riba. Ini realita dan tidak diragukan lagi kebenarannya. Dan benar bahwa bahwa riba itu dosa besar. Allah ta’ala berfirman:

أحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya:

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu, ia berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Artinya:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya. Beliau berkata, “Mereka semua sama”” (HR. Muslim no. 2995).

Riba juga penghancur keberkahan. Allah ta’ala berfirman:

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

Artinya:

“Allah akan menghancurkan riba dan menumbuhkan keberkahan pada sedekah” (QS. Al Baqarah: 276).

Transaksi yang tidak bermasalah di bank

Namun perlu diketahui bahwa transaksi dan akad-akad yang terjadi di bank itu banyak dan bermacam-macam. Sehingga menggeneralisir semuanya haram dan semuanya riba, ini tidak benar. Melainkan perlu merinci setiap akadnya untuk menyimpulkan hukumnya masing-masing.

Di antara akad dan transaksi yang tidak bermasalah di bank adalah:

  • Transaksi sharf (tukar uang). Baik tukar uang besar menjadi receh, atau tukar mata uang asing. Karena sharf di bank umumnya tidak ada biaya tambahan. Sehingga hukumnya boleh.
  • Layanan safe deposit box. Yaitu layanan kotak penyimpanan untuk menyimpan harta berharga nasabah. Harta yang disimpan murni disimpan tidak ditransaksikan oleh bank. Ini termasuk akad wadi’ah yang boleh.
  • Layanan transfer dan penarikan uang. Ini juga termasuk akad ijarah (sewa jasa) yang tidak bermasalah.
  • Tabungan murni. Yang tidak ada bunga dan tidak ada keuntungan harta sama sekali, hanya sekedar menyimpan dana. Ini juga akad wadi’ah yang dibolehkan.
  • Pembelian pulsa, pembayaran telepon langganan, pembayaran listrik, pembelian token listrik, pembayaran marketplace, dan semisalnya. Ini juga sewa jasa yang dibolehkan.

Demikian juga menabung di bank ribawi dibolehkan oleh sebagian ulama jika khawatir hilangnya harta ketika disimpan di rumah, dengan syarat tidak mengambil bunganya. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan:

لا حرج عليك أن تودع أموالك في البنوك خوفًا عليها من الضياع، وهذه مسألة ضرورة، فإذا احتجت إلى ذلك فلا حرج بدون فائدة.

أما إذا تيسر إيداعها في بنوك إسلامية؛ فتشجع البنوك الإسلامية وتعينها على مهمتها، فإنها عند ذلك أولى وأحق

Artinya:

“Tidak mengapa menyimpan harta di bank jika khawatir akan hilangnya harta. Ini adalah masalah yang darurat. Jika memang dibutuhkan untuk menyimpan uang maka yang demikian tidak mengapa, namun TANPA MENGAMBIL BUNGA.

Adapun jika mudah untuk menyimpannya di bank Islami, maka hendaknya mendukung bank-bank Islami dan membantu urusan-urusan mereka. Itu lebih utama dan lebih layak” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah, 19/153).

Transaksi yang bermasalah di bank

Para ulama besar Ahlussunnah di dunia yang kompeten dalam masalah fikih dan ekonomi Islam telah bersepakat bahwa bunga bank itu merupakan riba dan haram hukumnya.

Ibnu Munzir rahimahullah mengatakan:

أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى إبْطَالِ الْقِرَاضِ إذَا شَرَطَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا لِنَفْسِهِ دَرَاهِمَ مَعْلُومَةً

“Para ulama yang pendapatnya dianggap telah bersepakat tentang batilnya akad hutang jika dipersyaratkan salah satu atau kedua pelakunya untuk menambahkan sejumlah dirham tertentu” (Al Mughni, 5/28).

Al-Lajnah Ad-Daimah lil-Buhuts wal-Ifta’ Saudi Arabia menegaskan:

الفائدة التي تأخذها البنوك من المقترضين، والفوائد التي تدفعها للمودعين عندها، هذه الفوائد من الربا الذي ثبت تحريمه بالكتاب والسنة والإجماع

Artinya:

“Bunga yang diambil bank dari para penghutang, dan bunga yang diberikan kepada para nasabah wadi’ah (tabungan) di bank, maka semua bunga ini termasuk riba yang telah valid keharamannya berdasarkan Al-Qur’an As-Sunnah dan ijma‘” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil-Buhuts wal-Ifta juz 13, no. 3197, hal. 349).

Para ulama dalam Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami dalam muktamar ke-3 di Amman tanggal 8-13 Safar 1407H diantaranya menetapkan:

بخصوص أجور خدمات القروض في البنك الإسلامي للتنمية:

أولاً: يجوز أخذ أجور عن خدمات القروض على أن يكون ذلك في حدود النفقات الفعلية. ثانياً: كل زيادة على الخدمات الفعلية محرمة لأنها من الربا المحرم شرعاً

Artinya:

“Mengenai biaya jasa hutang-piutang di bank-bank Islam yang digunakan untuk pengembangan, maka rinciannya:

Pertama: dibolehkan mengambil biaya administrasi hutang-piutang sesuai dengan nafaqat fi’liyyah (effort dalam mengurus administrasi)

Kedua: setiap tambahan untuk jasa hutang-piutang hukumnya haram karena termasuk riba yang diharamkan syariat”.

Demikian juga Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami dalam muktamar ke-2 di Jeddah tanggal 10-16 Rabiuts Tsani 1406H diantaranya menetapkan:

إن كل زيادة (أو فائدة) على الدَّين الذي حل أجله، وعجز المدين عن الوفاء به مقابل تأجيله، وكذلك الزيادة (أو الفائدة) على القرض منذ بداية العقد: هاتان الصورتان رباً محرم شرعاً.

Artinya:

“Setiap tambahan (atau bunga) kepada hutang yang telah jatuh temponya, namun penghutang belum bisa melunasinya sehingga didenda sebagai imbalan dari penundaannya, atau juga tambahan (atau bunga) terhadap hutang yang dikenakan sejak awal akad, kedua bentuk ini termasuk riba yang diharamkan syariat”.

Maka, muamalah yang terlarang di bank adalah semua yang mengandung riba. Dan juga transaksi yang mengandung gharar dan transaksi haram lainnya, demikian juga tolong-menolong dengan bank dalam melakukannya. Seperti:

* Sengaja menabung agar mendapat bunga

* Deposito

* Mengambil pinjaman berbunga

* Kredit kendaraan dan rumah lewat bank. Karena ini hakekatnya adalah pinjaman berbunga.

* Kartu kredit. Karena ini hakekatnya adalah pinjaman berbunga juga.

dan semisalnya.

Demikian juga, di antara muamalah yang terlarang adalah menjadi pegawai bank. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan:

لا ريب أن العمل في البنوك التي تتعامل بالربا غير جائز؛ لأن ذلك إعانة لهم على الإثم والعدوان

Artinya:

“Tidak diragukan lagi bahwa bekerja di bank yang bermuamalah dengan riba, hukumnya tidak boleh. Karena ini termasuk bantu-membantu dalam dosa dan permusuhan” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah, 19/415).

Kesimpulannya, tidak semua transaksi di bank itu terlarang. Dan tidak benar bahwa tidak boleh berinteraksi dengan bank sama sekali. Karena ada beberapa muamalah yang diperbolehkan. Namun, jika ada orang yang ingin menjauhkan diri dari interaksi dengan bank secara total, tentu saja tidak mengapa. Karena ini masalah muamalah yang boleh-boleh saja ditinggalkan. Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Akhirnya Kapok Pinjam Uang di Bank

Jangan baca tulisan ini, kalau tidak Anda akan kapok dan tidak mau lagi meminjam uang di bank.

Berutang riba zaman ini di bank kerugiannya tiga:

  1. Sejak meminjam, sudah kena riba
  2. Jika telat, kena denda
  3. Jika mau lunasi lebih cepat, kena penalti

Sejatinya utang riba saat ini lebih jahiliyyah dari utang riba di jahiliyyah.

Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan ayat riba berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dalam ayat tersebut Allah melarang orang beriman untuk bermuamalah dengan riba dan memakan riba dengan kelipatan yang banyak. Sebagaimana orang jahiliyah di masa silam, jika telah jatuh tempo, maka nanti akan disebut, “Mau dibayar ataukah mendapatkan riba (dibungakan).” Jika utang dibayar tepat waktu, berarti tidak dibungakan. Namun jika tidak dibayar pas jatuh tempo, maka utang tersebut akan dikembangkan (dibungakan) karena adanya pengunduran waktu pembayaran. Ada pula yang berkata bahwa utang tersebut akan ditambah dari sisi jumlah. Itulah yang terjadi setiap tahun. Maka dikatakan riba itu berlipat karena awalnya dari sesuatu yang sedikit terus bertambah dan bertambah.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2:419)

Hendaklah kreditur (pihak yang memiliki tagihan pada pihak lain) memberikan kemudahan pada orang yang sulit melunasi utang. Kemudahan yang diberikan bisa jadi diberi penundaan sampai memiliki harta. Kemudahan lain bisa jadi pula bersedekah dengan cara memutihkan utang atau menggugurkan sebagiannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

Dari salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam–Abul Yasar-, beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى ظِلِّهِ فَلْيُنْظِرِ الْمُعْسِرَ أَوْ لِيَضَعْ عَنْهُ

Barangsiapa ingin mendapatkan naungan Allah ‘azza wa jalla, hendaklah dia memberi tenggang waktu bagi orang yang mendapat kesulitan untuk melunasi utang atau bahkan dia membebaskan utangnya tadi.” (HR. Ahmad, 3: 427. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Katsir mengatakan, bersabarlah pada orang yang susah yang sulit melunasi utang. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2: 287).

Di halaman yang sama, Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa jangan seperti orang Jahiliyah, di mana ketika sudah jatuh tempok disebutkan pada pihak yang berutang (debitur), “Lunasilah. Kalau tidak, utangmu akan dikembangkan.”

Kalau disuruh bersabar, maka tidak boleh kenakan riba. Riba di masa dulu seperti dicontohkan oleh Ibnu Katsir, ketika tidak mampu melunasi saat jatuh tempo barulah ada riba.

Kalau riba masa kini, sejak awal meminjamkan sudah dikenakan bunga (riba) dan kalau telat ada denda.

Setelah membaca ini, masih mau juga meminjam uang di rentenir dan bank ribawi?

Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/20701-akhirnya-kapok-pinjam-uang-di-bank.html

Modal Usaha dari Bank, Hasilnya Haram?

Pertanyaan:

Ustadz, ana ada pertanyaan; apakah boleh membangun usaha yang modalnya dari pinjaman bank dan apabila sudah maju apakah hasilnya haram?

Syukran.

Jawaban:

Bismillaah, alhamdulillaah wassholaatu wassalaamu ‘alaa rasuulillaah. Ammaa ba’du:

Saudara penanya –semoga Allah selalu melimpahkan rahmatNya kepada kita semua- meminjam uang ke bank apabila dengan cara syar’i maka diperbolehkan. Adapun meminjam ke bank dengan bunga -sedikit ataupun banyak- maka ini adalah hakikat riba dan hukumnya adalah haram berdasarkan Alqur’an, Sunnah dan ijma’ (kesepakatan ulama).

Didalam bab ini terdapat kaidah yang sangat populer, yaitu:

كل قرض جر نفعا فهو ربا

“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat/keuntungan adalah riba.”

Ibnu Qudamah (682 H) berkata:

كل قرض شرط فيه الزيادة فهو حرام بغير خلاف.

“Setiap piutang yang disyaratkan didalamnya sebuah tambahan maka itu adalah haram tanpa ada perselisihan.” (Asy-syarhul kabir: 4/360)

Hal itu berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)

Al-Jashshash (370 H) berkata dalam menafsirkan ayat diatas:

والربا الذي كانت العرب تعرفه وتفعله إنما كان قرض الدراهم والدنانير إلى أجل بزيادة على مقدار ما استقرض على ما يتراضون به

“Dan riba yang orang arab dahulu ketahui serta kerjakan yaitu hutang beberapa dirham dan (atau) beberapa dinar sampai batas waktu yang ditentukan dengan tambahan berdasarkan besar pinjaman sesuai keridhoan(kesepakatan). (Ahkamul qur’an: 2/184(

Nabi Muhammad ﷺ melaknat seluruh orang yang terkait didalam praktik riba dan beliau mengatakan bahwa mereka adalah sama. Tentunya hal ini menunjukkan betapa bahayanya riba.

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوْكلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ. وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah melaknat orang yang makan(mengambil) riba, pemberi makan riba, yang mencatat transaksi riba dan dua orang saksinya.” Dan beliau bersabda: “Mereka semua adalah sama.” (HR. Muslim: 1598)

Didalam hadits yang lain disebutkan bahwa pemberi riba dan yang mengambilnya terancam neraka:

الزَّائِدُ وَالْمُسْتَزِيدُ فِي النَّارِ

“Yang memberi tambahan dan yang meminta tambahan tempatnya di neraka.” (Mushannaf Abdur Razzaq: 14569)

Praktik riba merupakan dosa besar yang amat besar. Riba adalah sebab hilangnya keberkahan karena riba adalah penghancur.

Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan haram dan bahayanya riba, diantaranya dapat dibaca dalam kitab Al Kabair (dosa-dosa besar) karya Imam Adz-Dzahabi (748 H), dosa besar ke-10.

Dengan demikian haram bagi kita semua untuk masuk dalam transaksi riba, baik sebagai pemberi ataupun sebagai penerima. Keduanya didalam dosa adalah sama, karena keduanya telah melangsungkan transaksi yang diharamkan. Maka hendaknya segera bertaubat kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Menerima taubat Lagi Maha Penyayang.

Berdasarkan hal diatas, meminjam uang dari bank dengan cara riba apapun tujuannya maka hukumnya adalah haram dan pelakunya berhak menerima ancaman yang telah disebutkan didalam Alqur’an maupun hadits.

Dan adapun keuntungan hasil usaha yang modalnya dari uang pinjaman tersebut maka hukumnya berkaitan dengan halal atau haramnya usaha yang ia bangun. Selama usaha yang dia jalankan halal maka hasilnya adalah halal dan sebaliknya. Karena uang pinjaman tersebut bukanlah uang riba. Uang riba adalah uang tambahan dari pokok hutang yang diberikan kepada pemberi pinjaman. Oleh karena itu taubatnya peminjam yang memberikan tambahan riba tidaklah harus menginfakkan sesuatu apapun karena dia tidaklah mengambil riba, melainkan ia adalah pemberi riba.

Akan tetapi seandainya uang pinjaman dengan akad riba tersebut belum ia gunakan maka hendaknya ia segera mengembalikannya untuk membatalkan transaksi tersebut. Dan sekiranya uang itu telah ia gunakan maka menjadi tanggungannya sebagai pinjaman dan jika memungkinkan, hendaknya ia tidak membayar kecuali sebatas pokok hutangnya saja, yaitu tanpa membayar bunganya karena itulah ribanya. Dan lebih baik segera melunasinya agar lekas terbebas dari transaksi yang haram.

Mari kita bertakwa kepada Allah dengan menjalankan perintahNya dan menjahui laranganNya, niscaya Allah akan menjadikan kemudahan dalam segala urusan kita, memberikan jalan keluar dari segala permasalahan yang kita hadapi dan melimpahkan rizki dari arah yang tak kita perkirakan. Barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah akan menggantinya dengan yang jauh lebih baik.

Wallahu Ta’ala a’lam.

Dijawab Oleh: Ustadz Idwan Cahyana, Lc.

Read more https://pengusahamuslim.com/6865-modal-usaha-dari-bank-hasilnya-haram.html

Jasa Peminjaman Uang Berbunga Tinggi Bermunculan

Berbagai jasa peminjaman uang marak tersedia di tengah masyarakat. Jasa peminjaman uang tersebut biasanya dikelola oleh perorangan atau sebuah lembaga tertentu.

Jasa ini pun tidak terikat dan tidak terafiliasi dengan bank-bank konvensional. Fenomena semacam ini kerap disebut dengan shadow banking. Namun, jasa peminjaman uang tersebut masing menggunakan sistem yang sama dengan bank konvesional, yaitu dengan adanya bunga.

Kendati begitu, tidak jarang besaran bunga yang ditetapkan oleh jasa peminjaman uang tersebut lebih besar dari bank-bank konvesional pada umumnya. Bahkan, ada jasa peminjaman dan pembiayaan yang mematok bunga hingga mencapai 25 persen.

Jika melihat bunga yang begitu besar, tidak sedikit nasabah yang akhirnya tidak mampu mengembalikan pinjaman mereka. Para nasabah tersebut pun seolah berada di lingkaran yang tidak pernah putus.

Jumhur ulama berpendapat, bunga bank dalam bentuk apa pun termasuk riba. Terkait riba ini, Rasulullah SAW bahkan menegaskan, Allah SWT mengutuk para pelaku dan semua pihak yang terkait dengan riba.

Tidak hanya itu, Rasulullah SAW juga menyebutkan, bahaya riba sama seperti bahaya syirik. Selain itu, para pelaku riba yang ringan diibaratkan seperti anak laki-laki yang menikahi ibunya sendiri.

Independen Financial Planner, Mohammad Bagus Teguh, berpendapat, kemunculan jasa-jasa peminjaman uang tersebut terjadi lantaran adanya permintaan yang besar dari masyarakat. Hal ini pun dipengaruhi oleh tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Ditambah, mental masyarakat yang maunya serbainstan.

“Dengan pangsa pasar seperti itu, maka jasa-jasa seperti rentenir, KTA, dan shadow banking seperti itu pasti banyak pasarnya. Jadi, memang market-nya tersedia, ada demand juga,” ujarnya kepada republika.co.id beberapa waktu lalu.

Selain itu, fenomena masyarakat yang ingin memiliki uang banyak, kemudian ingin mendapatkan keuntungan secara cepat. Mereka pun lari ke jasa keuangan nonbank itu. Meski, kata Teguh, jasa tersebut memiliki risiko yang sangat tinggi bagi para penyedianya.

“Bagi penyedia jasa itu, pasti risikonya sangat tinggi. Dengan risiko yg sangat tinggi, maka dikompensasi dengan bunga yang cukup tinggi juga. Nah itu sudah pasti riba,” kata Teguh yang juga menjadi anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.

Kendati begitu, Teguh mengakui, orang-orang yang menggunakan jasa-jasa peminjaman dan pembiayaan tersebut tidak hanya menggunakan uangnya untuk konsumsi, tapi juga untuk biaya-biaya lain, seperti biaya pendidikan anaknya. Namun, hal ini justru menandakan, orang tersebut tidak memiliki pengelolaan keuangan yang cukup baik.

Mereka dinilai tidak bisa menahan diri untuk berbelanja dan konsumsi dalam hal lain, selain dari dana pendidikan. Mereka pun akhirnya tidak memiliki dana untuk sekolah anak ataupun biaya rumah sakit.

“Nah, tersedialah fasilitas atau jasa peminjaman uang seperti itu. Dapat dana dengan cepat, walaupun bunganya tinggi, tapi hal itu dipikirinnya belakangan,” ujarnya.

Teguh pun menyarankan agar masyarakat memiliki perencanaan keuangan. Dimulai menginventarisasi kebutuhan selama satu bulan, hingga perencanaan keuangan pada masa mendatang. Misalnya, kapan anak-anak mulai sekolah, atau adanya dana-dana darurat yang digunakan jika ada kerabat atau orang tua yang sakit.

Dengan memiliki perencaan keuangan, kata dia, maka gaya hidup akan lebih mudah terkontrol. Budaya tanggal tua dan tanggal muda di setiap bulan bisa saja terkikis, jika masyarakat memiliki perencanaan keuangan yang baik selama satu bulan. Namun, kata Teguh, boleh saja jika orang menginginkan gaya hidup yang tinggi, asal dia memiliki perencanaan keuangan yang baik.

“Kan yang jadi sedihnya begini, saat punya uang malah dibeliin HP baru, tapi begitu anak mau sekolah atau bayaran, eh malah pinjam ke sana ke mari,” katanya.

 

sumber:Republika Online