Nasab Habib di Indonesia: Kontroversi Keabsahan Ilmiah dan Tantangan Verifikasi

Habib adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang diyakini memiliki nasab atau keturunan yang langsung hingga Rasulullah SAW. Di Indonesia, penyematan gelar Habib sering kali dilakukan oleh organisasi Islam seperti Rabithah Alawiyah, lembaga yang bertanggung jawab mencatat dan melestarikan silsilah keturunan Nabi Muhammad SAW melalui Sayyidatuna Fathimah Azzahra.

Rabithah Alawiyah dan Peranannya

Rabithah Alawiyah memainkan peran krusial dalam memverifikasi keabsahan nasab para habib. Lembaga ini berfungsi sebagai otoritas yang melakukan koordinasi dan penegasan atas klaim silsilah keturunan yang belum terdaftar. Dengan demikian, mereka berusaha menjaga keaslian dan kontinuitas garis keturunan dari Rasulullah SAW.

Kontroversi: Kiyai Imaduddin Utsman Al-Bantani dan Kritik Terhadap Nasab Habib

Klaim bahwa habib di Indonesia adalah keturunan Nabi Muhammad SAW telah mendapat kritikan dari Kiyai Imaduddin Utsman Al-Bantani. Dalam penelitiannya yang berjudul Pengakuan Para Habib Sebagai Keturunan Nabi Belum Terbukti Secara Ilmiah, Kiyai Imaduddin, yang juga merupakan Ketua Komisi Fatwa MUI Banten dan Pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Cempaka, menyatakan bahwa nasab para habib tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.

Kiyai Imaduddin mengklaim bahwa silsilah nasab habib putus dari Rasulullah SAW, dengan menyebutkan bahwa Alawi bin Ubaidillah, dianggap sebagai leluhur para habib, tidak terbukti sebagai cucu Nabi Muhammad berdasarkan kitab-kitab nasab dari masa yang sama. Ia menegaskan bahwa kesimpulannya adalah hasil dari ijtihad, dan tidak memaksa orang lain untuk setuju dengannya.

Reaksi dari Komunitas Habib

Pernyataan Kiyai Imaduddin Utsman memicu reaksi dari komunitas habib di Indonesia. Salah satunya adalah Habib Idrus Alathas dari Bekasi, yang mengajak Kiyai Imaduddin untuk berdialog ilmiah mengenai nasab habib secara terbuka. Dialog ini direncanakan akan berlangsung di Pondok Pesantren Al Manar, Depok, pada Sabtu, 15 April 2023, dengan fasilitasi dari organisasi DKMN yang diketuai oleh Kiai Abdul Mujib dari Jakarta.

Kesimpulan

Kontroversi seputar keabsahan nasab habib di Indonesia menunjukkan pentingnya verifikasi dan kajian ilmiah dalam menjaga keaslian garis keturunan Rasulullah SAW. Meskipun klaim keturunan ini membawa kehormatan, namun keabsahan ilmiah tetap menjadi isu krusial yang perlu dikaji lebih dalam. Dialog ilmiah yang akan diadakan dapat menjadi wadah untuk mencari kebenaran dan memperkuat ukhuwah Islamiyah.

sumber: INEWS.id

7 Sebutan Keturunan Nabi Muhammad ﷺ di Indonesia

SAHABAT Islampos, ada yang tahu jumlah marga keturunan Nabi Muhammad ﷺ yang tersebar di Indonesia? Ternyata, jumlahnya banyak.  Apa saja sebutan keturunan nabi Muhammad ﷺ di berbagai daerah di Indonesia?

Diketahui, di Indonesia terdapat 68 marga yang disandang oleh para Habib/Sayyid, julukan untuk keturunan Nabi Muhammad ﷺ. Menurut Rabithah Alawiyah selaku organisasi pencatat nasab keturunan Nabi Muhammad di Indonesia, tercatat 1,2 juta orang yang berhak menyandang marga tersebut.

Dari 68 marga Habaib yang ada di Indonesia, paling banyak adalah Al-Attas. Rabithah Alawiyah mencatat ada sekitar 2.471 Habaib bermarga Al-Attas di wilayah Jabodetabek.

Beberapa marga yang cukup populer, Al-Attas sekitar 24%. Kemudian Al-Haddad dan Assegaf 15%. Alaydrus 13%, Al-Habsyi 11%. Selanjutnya Bin Shahab 7%, Al-Kaff 5%. Kemudian Al-Jufri sebanyak 4%, Bin Yahya dan Syaikh Abu Bakar bin Salim (BSA) sebanyak 3%.

Nama Umum Gelar Keturunan Nabi Muhammad Sayyid Idrus Alwi Al-Masyhur dalam bukunya “Sejarah, Silsilah dan Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia, Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India dan Afrika” menjelaskan bahwa keturunan Nabi Muhammad SAW mempunyai beberapa panggilan khusus. Di setiap negara dan daerah biasanya berbeda-beda dalam penyebutannya.

Berikut panggilan khusus atau sebutan keturunan nabi Muhammad ﷺ tersebut:

  1. Syarif (biasanya ditujukan untuk keturunan Sayyidina Hasan cucu Rasulullah SAW, contohnya Syarif-Syarif di Mekkah). Pemakaian gelar Syarif di Mekkah kemudian juga dipakai para keturunan Sayyidina Husein yang menjadi Sultan di Nusantara seperti Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri Pontianak)
  2. Sayyid (juga digunakan untuk keturunan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain)
  3. Habib, jamaknya Habaib (gelar yang banyak digunakan di Indonesia dan Asia Tenggara)
  4. Syed (digunakan di Malaysia) 5. Wan (dulu sering digunakan di Jakarta. Juga banyak ditemukan di wilayah Melayu Nusantara (seperti Kelantan, Patani)
  5. Tuanku (digunakan di Sabah dan Sarawak)
  6. Sidi (digunakan di Pariaman Sumatera Barat)
  7. Yek (digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur).

SUMBER: SINDONEWS

Arti 12 Nama Marga Habaib di Indonesia

SAHABAT, seperti diketahui, ada banyak habaib yang tinggal di Indonesia. Nama mereka bahkan sudah terkenal di kalangan muslim tanah air. Namun, tahukah arti nama marga habaib tersebut?

Habib (Habaib untuk jamak) adalah sebutan untuk keturunan Nabi Muhammad ﷺ di Indonesia. Ada juga yang disebut Syed atau Sayyid. Sedangkan bagi perempuan, biasanya dipanggil Syarifah atau Sayyidah.

Arti nama marga habaib di Indonesia

Berikut arti nama marga habaib yang tinggal di Indonesia.

1 Al-Attas

Dalam bahasa Arab ialah Athasa dan orang yang bersin disebut Al-Athtas.

2 Al-Haddad

Al-Haddad bermakna pandai besi atau sering berada di tempat penempaan besi.

3 Asegeaf/Al-Saqqaf

Nama ini mengandung arti pengayom para Wali, tinggi derajatnya dari para wali lainnya bagaikan kedudukan atap bagi rumah.

4 Alaydrus

Arti nama Alaydrus eperti macan dan singa, pemilik ilmu dan pemimpin para wali dan nama yang agung untuk seorang sufi.

5 Al-Habsyi

Disebut Al-Habsyi karena sering bepergian ke Habasyah (Afrika) dan pernah tinggal 20 tahun untuk berdakwah.

6 Al-Bahar

Al-Bahar identik dengan kata yang bermakna laut. Sebutan nama ini muncul bersama banyak keramat ketika sering berlayar di laut, juga karena ilmunya yang luas seperti luasnya laut.

Al-Jufri

Disebut demikian karena melekat dengan makna suci. Arti lain adalah anak kecil berbadan gemuk dan kekar dan setelah dewasa menjadi ahli dalam bidang ilmu fajar, rumus yang menggunakan huruf dan angka yang ditulis di klit Jafar (anak kambing).

8 Al-Kaf

Al-Kaf memiliki makna mempunyai kekuatan luar biasa, dalam bahasa Hadramaut kekuatan itu disebut Kaf, selain karena adanya seorang waliyullah yang menuliskan kode pada suatu pengadilan, kode tersebut adalah huruf Kaf.

9 Al-Musawa

Nama ini merupakan merujuk tabaruk kepada seorang guru besar yang tinggal di Yaman bernama Al-Musawa.

10 Al-Baharun

Maknanya berharap anaknya mempunyai sifat seperti Nabiyullah Harun.

11 Al Bin Jindan

Al bin Jindan merupakan anak cucu dari Waliyullah Syaikh Abu Bakar bin Salim.

12 Sumait/Smith

Nama ini merujuk kepada kalung dari benang yang biasa dipakai oleh anak kecil. Pada masa kecilnya kalung ini sering dipakai dan disebut Sumaith. []

SUMBER: OKEZONE

Ahmad Surkati Menentang Feodalisme di Kalangan Sayyid di Indonesia

Salah satu tokoh pembaharuan Islam di Indonesia yang berasal dari Sudan adalah Ahmad Surkati. Ia sampai ke Indonesia pada bulan Oktober tahun 1911. Pada waktu kedatangannya, ia bersama dua orang lainnya yakni Syaikh Muhammad Thaib dari Maroko, dan Syaikh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah.

Menurut Deliar Noor, dalam buku Gerakan Modern Islam  di Indonesia 1900-1945, mereka bertiga didatangkan dari negara Arab untuk menjadi guru di Jami’at Khair. Pasalnya, ketika itu Jamiat Khair kekurangan pengajar, seiring berkembangnya sekolah tersebut.

Ia adalah termasuk tokoh yang memainkan peranan penting dalam penyebaran pelbagai pemikiran dalam lingkungan masyarakat Islam di Indonesia.  Pada sisi lain, Ahmad Surkati seorang yang terpengaruh dengan semangat puritan Muhammad ibn Abdul Wahhab, Salafisme Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Wajar saja, Ia pernah menempuh pendidikan di Mesir, Medinah, dan Mekkah.

Kehadiran ahmad berdampak pada pemurnian dan pembaruan Islam di Indonesia. Pemikiran Ahmad Surkati, mencoba mengenengahkan pandangan keagamaan yang benar, terutama terkait kafaah (sekufu atau sederajat). Ia mengggugat praktik kafaah yang saat itu menjadi pembeda bagi imigran Hadramaut yang masuk ke Indonesia.

Peristiwa itu terjadi pada tahun 1913 dalam salah satu pertemuan kalangan imigran Arab di Indonesia, Ahmad Surkati mengeluarkan fatwa menentang dan tak begitu setuju dengan penamaan sayyid dan bukan sayyid. Sebutan Sayyid diyakini sampai keturunannya sampai ke Rasulullah, sedangkan non sayyid, adalah imigran Hadramaut biasa (baca; belakangan disebut Habib dan non habib).

Menurut Ahmad Surkati, seluruh manusia sama derajatnya tanpa memandang latar belakang sosialnya. Dengan tegas ia mengungkapkan bahwa Islam memperjuangkan persamaan sesama Muslim dan tidak mengakui kedudukan yang mendiskriminasikan berbagai kalangan, disebabkan oleh darah turunan, harta, ataupun pangkat.

Pada sisi lain, Ahmad Surkati juga berani mengkritik sejumlah tradisi yang umumnya dihormati di kalangan sayyid, seperti mencium tangan dan perkawinan antar sayyid berdasarkan ajaran kafaah (sederajat). Pasalnya, seorang wanita dari kalangan sayyidah, hanya boleh menikahi seorang sayyid. Tradisi inilah yang ia tentang secara tegas.

Fatwa Solo yang dikeluarkan oleh Ahmad Surkati, menurut Deliar Noor, telah menimbulkan dorongan dan keberanian bagi siapapun untuk menentang sikap feodalisme. Terutama bagi pemimpin agama Islam semisal Muhammadiyah, Persis, dan Jong Islamieten bond. Seakan surkati berdiri tegak di belakang mereka untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran kegamaan apabila diperlukan.

Lambat laun, Ahmad Surkati pun keluar dari Jami’at khoir. Ada pun penyebab keluarnya dari Jamiat Khoir disebabkan perbedaan pandangan. Untuk itu, pada tahun 1914, ia mendirikan al-Irsyad.  Pendirian al-Irsyad sebagai sarana yang diperlukan untuk pemurnian keyakinan dan peribadatan agama Islam. Dari sinilah kemudian, Surkati menyebarkan pembaharuan pemikiran Islam.

BINCANG SYARIAH

Menghormati Keturunan Nabi?

Di tengah-tengah arus media sosial yang kian hari kian gencar. Muncul isu-isu baru yang melanda dunia sosial. Yaitu isu tentang pro-kontra terhadap sikap seorang Habib di negara yang demokrasi ini. Gelagat demikian tentu sangat krusial yang oleh umat muslim harus disikapi sebaik mungkin. Sebab, membiarkannya malah justru akan menimbulkan kubu perpecahan.

Habib atau yang dalam bahasa Arabnya dikenal dengan Zurriyatun Nabi adalah mereka yang secara garis keturnanannya berasal dari Nabi. Tepatnya dari Fatimah (putri Nabi) dengan Sayyidina Ali. Jadi siapapun mereka yang lahir dari keturunan keduanya (Hasan dan Husein) disebutlah seorang Habib. Lalu pertanyaanya, bagaimana kewajiban kita sebagai umat Muslim terhadap Habib?

Dalam kitab Syarhu al-Aqidah at-Thaháwiyah lil a-Barak, bab Minhaj Ahlisunnah fi Azwaji an-Nabi, juz 1, halaman 377, diterangkan bahwa kewajiban kita sebagai umat Muslim adalah menjaganya, atau sekurang-kurangnya menghormati sebegitu hormatnya, tanpa menyakiti, apalagi melecehkan satu sama lainnya. Sebab mereka yang lahir dari keturunan Nabi, tentu dipastikan hasil dari benih yang suci dari segala ketidakbaikan (ar-rijsu). Tapi sekali lagi, kesucian para keturuan Nabi tersebut bukan secara mutlak. Sebab bisa jadi, meski keturunan Nabi, ada juga yang katakanlah tidak berpibadi baik ala Nabi (maaf tanpa mengurangi rasa hormat saya) seperti suka mencaci orang lain, mendoakan orang lain tidak baik, bersikap angkuh dan sombong merendahkan fisik orang lain, dan lain-lain. Jelasnya, begini menurut Imam at-Thaháwi dalam kitabnya tersebut:

قال الطحاوي: (وذرِّيَّاته المقدسين من كل رجس) ليس على إطلاقه؛ لأن فيهم المحسن والمسيء،

Dari ibarat di atas ini tentu menunjukkan kepada kita, bahwa di antara keturuan Nabi sekalipun, bukan lantas kemudian dinyatakan baik. Tetapi ada juga keturunan Nabi yang secara sikap bisa dikatakan tidak baik sepertihalnya Nabi. Tidak lembut tuturnya, tidak menyayangi umat manusia, atau apalah yang menjadi teladan dari semua sosok Nabi. Maka konsukuensinya, tidak boleh kemudian menisbahkan ketidakbaikan Habib tersebut (yang secara nasab bersambung kepada Nabi namun secara perilaku tidak sama sekali) kepada keturunan Nabi. Atau dengan bahasa lain, menisbatkan tipikal demikian, jelas bukan suatu yang dibenarkan. Lebih jelasnya, berikut ibarah tersebut:

وقال: [وذرياته المقدسين من كل رجس] ، وهذا ليس ثابتاً لكل ذرية النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم، إنما المقصود أن من عرف منهم بالتقوى والإيمان فإنه هو الذي يُحسن فيه القول، وأما من استوجب القول السيئ فإنه يثبت له، لكن من دون أن ينال من نسبه ولا من اتصاله بالنبي صلى الله عليه وسلم.

Maaf pendek kata, teks di atas ini sekurang-kurangnya mengajarkan kepada kita bahwa perilaku yang sama sekali melenceng dari kepribadian baik Nabi, bagi penulis, bukan hal sepenuhnya disandarkan kepada predikat penyematan keturunan Nabi. Sebab sudah menjadi aksioma, Nabi adalah sosok teladan manusia sedunia. Lelaki yang sangat penuh kasih sayang terhadap segala umat manusia. Bukan suka membenci, menghardik, apalagi mencaci maki sesama umatnya.

Hal ini selaras dengan pendapat Dr. Rasyid bin Hasan al-Alma’ei dalam kitabnya, Man Hum Ahlu al-Bait? Yang mengatakan begini:

وأهل السنة يحبونهم ويكرمونهم؛ لأن ذلك من محبة النبي -صلى الله عليه وسلم- وإكرامه، وذلك بشرط أن يكونوا مستقيمين على الملة، كما كان عليه سلفهم كالعباس وبنيه وعلي وبنيه، أما من خالف السنة ولم يستقم على الدين فإنه لا تجوز موالاته ولو كان من أهل البيت

Artinya: Ahlusunnah mencintai dan memuliakan para Ahlu al-Bait (keturunan Nabi), karena mencintai Ahlul al-Bait termasuk mencintai Rasul dan memuliakanya.  Dengan syarat, mereka (Ahlu al-Bait) tetap berada di agamanya, sebagaimana para pendahulunya seperi Abbas dan keturunan-keturunannya. Dan jika mereka tidak berada di sunnah-sunnah Nabinya, (meski keturunan Nabi) maka tidak boleh mengikutinya.

Ulama kontemporer Mesir memaknai kata “Muwálah” dengan bersahabat. Sebagian ada yang memberikan makna dengan “menolong, atau membantu”. Ringkasnya, jika ketidakbaikan itu muncul meski dari keturunan Nabi, maka kita sebagai umat Islam harus benar-benar pintar jeli dan teliti. Bukan malah membantu terhadap ketidakbaikan tersebut, kemudian menyulutkan api kebenciaan di tengah-tengah persaudaran seagama ini dengan bentuk caci-mencaci. Apakah kita masih mau menghormati keturunan nabi yang suka mencaci-maki?

ALIF.id

Habib dan Keturunan Nabi Muhammad, Tetap Wajib Bertaqwa dan Belajar Islam

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang habib dan keturunan Nabi Muhammad, tetap wajib bertaqwa dan belajar islam.
Silahkan membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Ustadz ana mau bertanya, banyak seseorang dan termasuk teman-teman saya bahwa mengatakan saya sayyid atau habib yang merupakan keturunan Rasulullah, tapi saya sendiri tidak tahu apa itu benar atau tidak, cara menyikapinnya bagaimana Ustadz?
Agar tidak terjadi kesalahpahaman?
Syukron Ustadz, Mohon Penjelasannya.

(Disampaikan oleh Fulan, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Status seseorang sebagai sayid atau keturunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah kemuliaan. Karena itu artinya ia menisbatkan dirinya kepada manusia paling mulia. Dan kaum muslimin diperintahkan untuk menghormati mereka, mencintai serta menolong mereka, disebutkan dalam salah satu fatwa :

ومن حقوق آل البيت محبتهم ونصرتهم وإكرامهم، والصلاة عليهم في التشهد الأخير، كما أمر به صلى الله عليه وسلم، فيقول المصلي: اللهم صلى على محمد وعلى آل محمد

“Dan diantara hak-hak ahlil bait nabi adalah mencintai mereka, menolong serta memuliakan mereka. Serta bershalawat kepada mereka saat tasyahud akhir sebagaimana diperintahkan oleh nabi. Maka seorang yang shalat membaca :
Ya Allah limpahkanlah shalawat bagi nabi Muhammad dan keluarganya.”

(Fatawa Islamweb no. 2685).

Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu anhua menyatakan :

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي

“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kerabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih aku sukai untuk aku sambung (silaturahmi) daripada kerabatku sendiri.”
(HR. Bukhari : 3712, Muslim : 1759).

Imam Syafi’i pula menyatakan :

يـــــا أهل بيت رســول الله حُبكم ….. فرضٌ من الله في القرآنِ أنزله
يكفيكم من عظيم الفخـــر أنكم ….. من لم يصل عليكم لا صلاة له

“Wahai ahli bait Rasulullah, mencintai kalian
adalah kewajiban yang ditetapkan Allah di dalam al-Quran yang diturunkan-Nya
Cukup bagi kalian dari kebanggaan terbesar yang ada
bahwa orang yang tidak bershalawat kepada kalian (di dalam shalat), maka tidaklah sah shalatnya.”
(I’anatut Thalibin : 1/200).

Akan tetapi penisbatan atau klaim sebagai keturunan nabi ini banyak disalahgunakan oleh manusia. Untuk mendapatkan simpati kaum muslimin dengan cara-cara mungkar. Diantaranya yang pernah dilakukan oleh sekte Ubaidiyin yang mengklaim secara dusta bahwa mereka adalah keturunan Fatimah radhiyallahu anha, padahal hakikatnya mereka adalah orang-orang zindiq yang kental bernuansa majusi.

Dan karena memang sangat sulit sekali pembuktian atas hal tersebut. Namun yang mesti kita fahami bersama, bahwa kemuliaan nasab itu tidak menjamin keselamatan seseorang di dunia dan akhirat. Bukankah Anak Nuh juga putra dari seorang nabi?
Dan masih banyak sekali contoh yang lain dalam masalah ini. Allah ta’ala berfirman :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa.”
(QS al-Hujurat : 13)

Allah ta’ala juga berfirman :

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ

“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.”
(QS. Al Mu’minun: 101).

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ اللَّهِ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ اللَّهِ يَا أُمَّ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ اشْتَرِيَا أَنْفُسَكُمَا مِنْ اللَّهِ لَا أَمْلِكُ لَكُمَا مِنْ اللَّهِ شَيْئًا سَلَانِي مِنْ مَالِي مَا شِئْتُمَا

“Wahai Bani Abdi Manaf, selamatkan diri kalian dari adzab Allah!. Wahai Bani ‘Abdi al-Muthallib, selamatkan diri kalian dari adzab Allah!. Wahai Ummu Zubair bin ‘Awwam, bibi Rasulullah, wahai Fathimah bintu Muhammad, selamatkan diri kalian dari adzab Allah. Aku tidak berkuasa melindungi diri kalian dari murka Allah. Mintalah kepadaku harta sesuka kalian”
(HR. Bukhari : 3527).

Maka yang terpenting bagi setiap orang Islam apakah dia orang biasa maupun sayyid adalah berlomba dalam kebaikan, mempelajari sunnah-sunnah nabi, mengamalkan serta mendakwahkannya kepada manusia dan bersabar di atas jalan dakwah ini.

Menjadi pengusung dakwah tauhid, menjaga kewibawaan dakwah tauhid serta berupaya untuk meredam berbagai praktek kesyirikan dan kebid’ahan yang menodai tauhid serta sunnah. Karena itulah bukti cinta kita kepada Allah dan Rasul Nya.

Semoga bermanfaat,
Wallahu ta’ala a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Abul Aswad Al Bayati حفظه الله
Senin, 02 Rabiul Awwal 1442 H/ 19 Oktober 2020 M

BIMBINGAN ISLAM