ORANG yang paling besar ke-rahah (senang memperturutkan kesenangan dunia)-annya, terlampau gemar akan kesenangan dan kelezatannya, dan paling giat mengejar kemewahannya, adalah juga (orang) yang paling besar kepayahannya dan kesulitannya. Paling banyak menghadapi ancaman bahaya dan paling sering diliputi kerisauan, kegundahan, dan kesedihan. Sebagai contoh para raja dan hartawan.
Ada pun seseorang yang paling sedikit merasakan kerahahan serta kelezatan duniawi, dan paling sedikit kegemaran dalam mencari kemewahan, adalah juga yang paling ringan kepayahan dan kesulitan yang dihadapinya. Paling sedikit bahaya yang mengancamnya, dan paling sedikit kerisauan dan kegundahan yang dialaminya. Contohnya, kaum fakir miskin (yang sabar).
Hal itu disebabkan kelezatan dunia, kesenangan, serta gejolak syahwatnya, pada hakikatnya lebih banyak mengakibatkan kekeruhan hati, kesusahan, dan kegelisahan. Dan bahwa orang yang bersaing, berebut, dan cemburu untuk mendapatkan kelezatan dunia, sungguh amat banyak jumlahnya. Itu pulalah penyebab makin besarnya kesulitan, bahaya, serta kegundahan yang dialami dalam upaya memperolehnya, menikmatinya, menjaganya, serta mengembangkannya. Dan, makin berlipat gandalah –bersamaan dengan itu– segala kesulitan, bahaya, kegelisahan, dan kegundahan hati, dengan bertambah gencarnya pencarian dan memuncaknya kegemaran padanya.
Sebaliknya, makin lemah keinginan meraih kelezatan dunia dan makin redup kegemaran memperolehnya, makin sedikit pula kepayahan, bahaya, kegelisahan, dan kegundahan yang dialami. Itulah sebabnya Anda melihat para raja dan hartawan adalah orang-orang yang paling lelah hidupnya, paling banyak mengalami kegundahan dan keresahan, serta paling besar ancaman yang dihadapinya. Sehingga, mereka bersedia berjudi dengan nyawanya dan mengorbankan hidupnya demi meraih idaman hatinya dan memenuhi syahwat nafsunya atau demi menjaga miliknya dan mengembangkannya. Keadaan seperti itu dapat disaksikan dengan jelas oleh setiap orang yang menggunakan akalnya.
Ada pun kaum fakir miskin, mereka itu adalah manusia yang paling sedikit kegundahan dan kegelisahannya disebabkan oleh sedikitnya tuntutan akan kelezatan dunia dan kemewahan hidup. Hal itu juga disebabkan oleh lemahnya keinginan mereka untuk meraih hal-hal tersebut, baik dengan cara sukarela — seperti keadaan para ahli zuhud–, atau karena terpaksa seperti dalam keadaan kaum yang lemah. Yakni, orang-orang yang tidak membiarkan hati mereka membicarakan kehidupan duniawi yang berlebih-lebihan, dan karena itu tidak berkeinginan untuk meraihnya atau bersusah payah mempertahankannya. Sebagai akibatnya, sedikit pula kepayahan dan kegundahan yang mereka alami.
Ketahuilah bahwa orang yang hanya mencari kehidupan untuk hidupnya sehari, lebih sedikit kepayahan dan kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk hidupnya seminggu. Orang yang mencari kecukupan untuk seminggu lebih sedikit kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk sebulan. Dan, yang mencari kecukupan sebulan lebih sedikit kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk setahun.
Selanjutnya, orang yang mencari kecukupan untuk dirinya sendiri lebih sedikit kepayahan dan kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk dirinya sendiri ditambah untuk orang lain. Makin banyak tuntutan hidup, makin besar pula kepayahan dan kesulitan serta kegundahan dan kegelisahan. Dengan demikian, kesenangan dan kerahahan duniawi yang diperoleh seorang manusia, semuanya itu berada di atas sebuah lengan neraca, sedangkan kepayahan, bahaya, serta kegundahan yang dialami dan dideritanya berada di sebuah lengan neraca lainnya. Persis sama banyaknya, kendati ada kemungkinan salah satu dari keduanya sedikit lebih banyak atau lebih ringan. Manusia dalam hal ini memang agak berbeda antara yang satu dan lainnya.
Inilah yang diperoleh oleh kedua kelompok dalam kehidupan dunia. Ada pun di akhirat kelak, masing-masing masih akan mengalami balasannya sendiri-sendiri. Para pencari kelezatan duniawi dan pengumbar syahwat hawa nafsu akan mengalami balasan yang berupa perhitungan, hukuman, dan malapetaka. Demikian pula kaum tak berpunya yang ikhlas, yang –di dunia ini– terhalang atau menahan diri dari kelezatan duniawi dan syahwat hawa nafsu. Mereka itu akan menerima balasan berupa kehormatan, kenikmatan, kejayaan, dan kesenangan. Semua itu telah dikenal dan masyhur dalam berbagai berita, dalam Al-Quran dan hadis-hadis yang amat panjang sebutannya dan sangat sulit dicakup bilangannya.
Oleh sebab itu, jika Anda benar-benar menginginkan “kerahahan sejati” dalam kehidupan dunia, Anda dapat memperolehnya dengan meninggalkan kerahahan di dalamnya. Kepada seorang bijak bestari pernah diajukan pertanyaan, “Untuk siapakah akhirat itu?”
Jawabnya, “Untuk siapa yang mencarinya.”
Ketika ditanyakan pula, “Untuk siapakah dunia itu?” Jawabnya ialah, “Untuk siapa yang meninggalkannya.”
Ibrahim bin Adham rahimahuliah (seorang pangeran dari Balakh yang meninggalkan istana demi mencari kepuasan batin dengan mendekatkan diri pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala) pernah berkata kepada seorang miskin yang dilihatnya sedang murung, “Jangan risau dan jangan bersedih hati, kawan. Sekiranya para raja mengetahui ‘ke-rahah-an (sejati)’ yang sedang kita alami, niscaya mereka akan memerangi kita dengan pedang untuk merebutnya.”
Ada pun sebab Ibrahim bin Adham mengeluarkan diri dari kemewahan kehidupan dan melepaskan kerajaannya yang fana ialah ketika pada suatu siang ia melongok dari istananya, dilihatnya seorang pengemis sedang berteduh di bawah dinding istana itu. Sang pengemis mengeluarkan sekerat roti dari buntelannya, lalu minum air. Selesai itu tidur dengan sangat lelapnya dalam bayang-bayang istana.
Ibrahim bin Adham sangat terkesan dan kagum akan keadaan orang itu dan merasa iri atas ke-rahahan (sejati)nya. Ia memerintahkan seorang pengawal istana agar menghadapkan orang itu apabila ia telah terjaga. Ketika orang itu datang, Ibrahim berkata kepadanya, “Telah Anda makan roti itu dalam keadaan lapar, lalu merasa kenyang dengannya?”
“Ya,” jawab orang itu.
“Dan, Anda telah tidur dan puas beristirahat?” “Ya,” jawabnya lagi. •
Mendengar itu, Ibrahim berkata kepada dirinya sendiri, “Jika nafsu manusia dapat merasakan kepuasan dengan sesuatu seperti ini, apa artinya kemewahan dunia ini bagiku?”
Pada malam harinya, Ibrahim bin Adham keluar dari istananya, meninggalkan kebiasaan hidupnya sebelum itu, dan mencurahkan semua waktunya menuju Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka, jadilah ia seorang tokoh sufi yang besar.
Dengan uraian di atas, Anda mengetahui bahwa kesenangan-kesenangan duniawi, kelezatan-kelezatannya, serta pengumbaran syahwat nafsu di dalamnya, semua itu mengundang kepayahan, bahaya, kegundahan, kerisauan, dan kesedihan. Makin besar yang “itu” makin besar pula yang “ini”, dan makin patut seorang manusia menderita karenanya. Sebaliknya, makin sedikit kelezatan, kerahahan, dan pengumbaran syahwat nafsu di dalamnya, makin sedikit pula kepayahan, bahaya, kegundahan dan kerisauannya, serta makin damai pula hati manusia karenanya.
Di samping itu semua, masih ada lagi risiko dan konsekuensi di akhirat bagi mereka yang berfoya-foya di dunia. Dan, masih ada pula kemuliaan yang disediakan bagi siapa yang meninggalkan tuntutan hawa nafsu duniawi dan yang berpaling darinya, baik secara sukarela maupun karena terpaksa. Demikianlah, semuanya itu terang dan jelas bagi siapa saja yang memerhatikannya dan bersikap tulus terhadap dirinya sendiri.*Al-Allamah ‘Abdullah Al-Haddad, dari bukunya Meraih Kebahagiaan Sejati.
HIDAYATULLAH