Bolehkah Berhubungan Badan di Kamar Mandi?

Salah satu romantisme yang bisa jadi ditinggalkan banyak suami-istri adalah mandi bersama. Hal ini dilakukan  oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan istri-istri beliau.

قَالَتْ عَائِشَةُ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَنَحْنُ جُنُبَانِ.

Aisyah berkata, “Aku dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi bersama dalam suatu wadah yang sama sedangkan kami berdua dalam keadaan junub.” (HR. Bukhari dan Muslim)

An-Nawawi menjelaskan bahwa mandi bareng suami-istri itu hukumnya boleh saja. Beliau berkata,

أما تطهير الرجل والمرأة من إناء واحد، فهو جائز بإجماع المسلمين

Adapun bersuci (mandi bersama) suami dan istri dalam satu wadah, hukumnya boleh berdasarkan ijma’ kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim 2/4)

Bisa jadi saat mandi bareng bersama istri muncul keinginan untuk berhubungan badan dan bisa jadi nafsu saat itu tidak terkontrol sehingga terjadi hubungan badan di kamar mandi. Bagaimana hukum terkait hal ini?

Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa berhubungan intim di kamar mandi hendaknya dijauhi. Syekh Khalid Al-Muslih menukil pendapat Ibnu Muflih,

“ويجتنب الجماع في الحمام”،

Hendaknya menghindari berhubungan badan dengan  istri di kamar mandi.” (sumber: https://almosleh.com/ar/16624)

Dihindari karena kamar mandi adalah tempat berkumpulnya setan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ هَذِهِ الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ، فَإِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ، فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

Sesungguhnya kamar mandi/toilet itu didatangi setan. Jika kalian masuk kamar mandi/toilet, maka bacalah,

Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khaba’its.

‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan.’” (HR. Abu Daud)

Ada juga ulama yang berpendapat bolehnya dengan ketentuan tertentu. Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid menjelaskan,

نعم يجوز أن يجامع الرجل زوجته بدون غطاء ، كما أنه يجوز أن يجامعها في دورة المياه ، ولكن سيترتب عليه مخالفة السنة في عدم ذكر الله قبل ذلك

Boleh berhubungan badan tanpa penutup sebagaimana boleh juga berhubungan badan di kamar mandi. Akan tetapi, berkonsekuensi akan menyelisihi sunah, yaitu tidak menyebut nama Allah sebelumnya (baca doa jimak, pent).” (Fatawa  Sual wa Jawab no. 21195)

Demikian juga fatwa dari Syabakah Islamiyah asuhan Syekh Abdullah Al-Faqih

فيجوز للزوج جماع زوجته في الحمام، وإن كان الأولى تجنب ذلك لمنافاته للآداب، ولكونه ليس محلا للإتيان بالدعاء المأثور قبل الجماع

Boleh berhubungan badan suami-istri di kamar mandi, meskipun yang lebih utama menghindarinya karena akan bertentangan dengan beberapa adabnya. Kamar mandi bukan tempat yang layak untuk membaca doa sebelum jimak.” (Fatwa no. 134807)

Dalam hal ini kami memilih pendapat ulama yang membolehkan apabila benar-benar terpaksa (tidak bisa mengontrol diri) semisal ketika mandi bersama lalu suami-istri saling bernafsu. Apabila mampu, hendaknya pindah dari kamar mandi semisal menuju kamar dan semisalnya.

Hendaknya membaca doa sebelum masuk kamar mandi dan doa jimak di luar kamar mandi sebentar.

Doa masuk kamar mandi,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الخُبُثِ وَالخَبَائِثِ

Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khaba’its.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Membaca basmalah sangat penting karena akan melindungi aurat manusia dari setan.

Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ: إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمُ الخَلاَءَ، أَنْ يَقُولَ: بِسْمِ اللَّهِ

“Penghalang antara pandangan mata jin dan aurat bani Adam ketika ia masuk toilet adalah dengan membaca ‘bismillah’.” (HR. At-Tirmidzi)

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76473-bolehkah-berhubungan-badan-di-kamar-mandi.html

Sisa Mani Keluar lagi, Haruskah Mengulang Mandi?

TERKADANG pasangan suami istri setelah melakukan jimak atau hubungan badan menyegerakan mandi junub agar kembali suci dan dapat melaksanakan ibadah seperti salat. Namun, tak sedikit dari mereka yang mengeluhkan masih adanya sisa mani yang keluar beberapa saat setelah mandi.

Lantas apakah hal ini membuat suami istri tersebut harus mengulangi mandinya? Menurut penjelasan dari Ustaz Farid Numan Hasan, hal yang pertama harus dilakukan adalah memperjelas status mani tersebut. Jika mani yang dimaksud adalah mani yang di kemaluan istri, lalu keluar lagi beberapa saat kemudian, maka itu tidak usah diulang lagi mandinya, sebab itu sisa saja, tidak membuat keadaan junub. Cukup cebok aja, lalu wudu jika mau salat.

Namun jika yang dimaksudkan adalah suami yang keluar mani lagi, maka mesti mandi lagi, sebab itu membuat keadaan junub lagi. Wallahu a’lam.

 

INILAH MOZAIK

Menusuk Kemaluan Istri dengan Jari, Haramkah?

PERTANYAAN seputar hubungan suami istri memang sangat banyak yang menggelitik. Namun bukanlah Islam bila tak membahas hal semacam itu. Salah satu pertanyaan yang pernah diajukan ialah mengenai kebiasaan suami memasukkan jarinya ke dalam kemaluan istri.

Bagaimanakah syariat memandang hal ini? Menurut Ustaz Ammi Nur Baits, suami-istri diperbolehkan untuk menikmati anggota badan masing-masing, agar bisa membangkitkan syahwat, selama menjauhi dubur dan kemaluan ketika haid atau nifas. Oleh karena itu, tidak ada larangan bagi seorang suami untuk memasukkan jarinya ke kemaluan istri. Terlebih jika ini dalam rangka memuaskan pasangan

Hanya saja, perlu dipahami bahwa para ulama mengingatkan, perbuatan semacam ini tidak sejalan dengan akhlak yang mulia dan tabiat yang baik. Allah telah memberikan syariat terbaik dalam masalah ini, dengan dihalalkannya jimak (hubungan intim). Sebagai hamba-Nya yang baik, selayaknya kita mencukupkan diri dengan hal-hal yang Allah halalkan.

Catatan: Jika yang disentuh adalah bagian luar kemaluan istri dan tidak sampai memasukkan jari, seperti memegang klitoris, atau kegiatan semacamnya, maka para ulama menegaskan bahwa hal itu diperbolehkan.

Allahu alam. [Disarikan dari Fatawa Syabakah Islamiyah]

 

INILAH MOZAIK

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bersemangat Menafkahi Keluarga, Merupakan Lahan Amal Bagi Suami

Nafkah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang suami. Sesuatu yang dihukumi wajib, apabila dikerjakan pelakunya akan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan, ia berdosa.

Di balik kewajiban seorang suami memberikan nafkah kepada istrinya, ternyata terdapat keutamaan yang luar biasa. Bahkan keutamaan ini lebih besar nilainya bila dibandingkan dengan besarnya nominal yang dikeluarkan dari seorang suami sebagai perwujudan nafkahnya kepada keluarga.

Nafkah yang diberikan suami kepada sang istri akan dibalas oleh Allah dengan pahala yang besar. Allah tidak akan menyia-nyiakan setiap tetesan keringat yang keluar dari tubuh suami dalam rangka mencari sesuap nasi untuk keluarganya. Hal ini senada dengan apa yang diinformasikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

“Tidaklah kamu menafkahkan harta yang semata-mata demi mengharap ridha Allah, melainkan kamu akan diberi pahala hingga setiap suap makanan yang masuk ke mulut istrimu.”

Ada pahala hingga pada setiap suap makanan yang masuk ke mulut istrinya. Hal yang demikian ini merupakan lahan amal bagi seorang suami. Karena itu, seharusnya para suami bersemangat dalam mencari nafkah untuk keluarganya. Bukan berusaha sekedarnya, apalagi hanya bermalas-malasan di rumah. Sungguh, mereka yang menyepelekan nafkah keluarganya akan menyesal pada hari pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Lebih luar biasa lagi, ternyata pahala menafkahi keluarga lebih besar dibandingkan dengan menafkahkan sejumlah yang sama di jalan Allah, atau untuk memerdekakakan budak, atau disedekahkan kepada fakir miskin. Ini bukan suatu pernyataan yang mengada-ada, namun disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

“Sedinar kamu diinfakkan di jalan Allah, sedinar kamu infakkan untuk memerdekakan budak, sedinar kamu sedekahkan kepada fakir miskin dan sedinar kamu nafkahkan kepada keluargamu, maka pahala yang paling besar ialah yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.”

Mengingat besarnya pahala yang akan diraih lantaran mencukupi nafkah keuangan, maka setiap suami muslim hendaknya bersemangat untuk meraihnya. Seorang suami akan terdorong untuk berusaha memenuhi nafkah keluarganya dengan cara bekerja sebaik mungkin. Tak ada lagi kata bermalas-malasan, apalagi menggantungkan pemenuhan kebutuhan harian keluarga kepada orang tua atau saudaranya. Bukan sekedar uang yang ia cari untuk keluarga, tetapi keridhaan Allah. Karena beserta dengan keridhaan-Nya, ada pahala yang besar sebagai balasan atas kesungguhan seorang suami dalam berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya. (syahida)

 

sumber: AkhwatIndonesia.net

Anjuran Hubungan Intim pada Malam Jum’at

Di kalangan awam, terjadi pemahamann bahwa pada malam Jum’at itu disunnahkan. Bahkan inilah yang dipraktekkan. Memang ada hadits yang barangkali jadi dalil, namun ada pemahaman yang kurang tepat yang dipahami oleh mereka.

Dari Aus bin Aus, ia berkata bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ ، وَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا

Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dengan mencuci kepala dan anggota badan lainnya, lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi dan mendapati khutbah pertama, lalu ia mendekat pada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.” (HR. Tirmidzi no. 496. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ada ulama yang menafsirkan maksud  hadits penyebutan mandi dengan ghosala bermakna mencuci kepala, sedangkan ightasala berarti mencuci anggota badan lainnya. Demikian disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3. Bahkan inilah makna yang lebih tepat.

Ada tafsiran lain mengenai makna mandi dalam hadits di atas. Sebagaimana kata Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad,

قال الإمام أحمد : (غَسَّل) أي : جامع أهله ، وكذا فسَّره وكيع

Imam Ahmad berkata, makna ghossala adalah menyetubuhi istri. Demikian ditafsirkan pula oleh Waki’.

Tafsiran di atas disebutkan pula dalam Fathul Bari 2: 366 dan Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3. Tentu hubungan intim tersebut mengharuskan untuk mandi junub.

Namun kalau kita lihat tekstual hadits di atas, yang dimaksud hubungan intim adalah pada pagi hari pada hari Jum’at, bukan pada malam harinya. Sebagaimana hal ini dipahami oleh para ulama dan mereka tidak memahaminya pada malam Jum’at.

وقال السيوطي في تنوير الحوالك: ويؤيده حديث: أيعجز أحدكم أن يجامع أهله في كل يوم جمعة، فإن له أجرين اثنين: أجر غسله، وأجر غسل امرأته. أخرجه البيهقي في شعب الإيمان من حديث أبي هريرة.

As Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik dan beliau menguatkan hadits tersebut berkata: Apakah kalian lemas menyetubuhi istri kalian pada setiap hari Jum’at (artinya bukan di malam hari, -pen)? Karena menyetubuhi saat itu mendapat dua pahala: (1) pahala mandi Jum’at, (2) pahala menyebabkan istri mandi (karena disetubuhi). Yaitu hadits yang dimaksud dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari hadits Abu Hurairah.

Dan sah-sah saja jika mandi Jum’at digabungkan dengan mandi junub. Imam Nawawi rahimahullahmenjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi junub dan mandi Jum’at sekaligus, maka maksud tersebut dibolehkan.” (Al Majmu’, 1: 326)

Intinya, sebenarnya pemahaman kurang tepat yang tersebar di masyarakat awam. Yang tepat, yang dianjurkan adalah hubungan intim pada pagi hari ketika mau berangkat Jumatan, bukan di malam hari. Tentang anjurannya pun masih diperselisihkan oleh para ulama karena tafsiran yang berbeda dari mereka mengenai hadits yang kami bawakan di awal.

Wallahu a’lam.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

sumber: Rumaysho.com