Kemerdekaan yang merupakan rahmat dan anugerah daripada Allah dan perjuangan para ulama, maka sepatutnya menjauhkan dari kemaksiatan dan kesyirikan
SETIAP bulan Agustus, bangsa Indonesia punya gawe besar. Ya, sebuah waktu dimana seluruh anak bangsa ini serentak merayakan milad negerinya.
Masyarakay larut dalam hiruk-pikuk tujuh belasan yang sedikit banyak bisa mengalihkan sejenak perhatian rakyat Indonesia dari pelbagai keruwetan hidup dan isu nasional yang sedang terjadi, mulai dari rencana kenaikan harga mi goreng, intrik dukun lawan pesulap berambut tidak hitam, hingga drama pembunuhan aparat oleh atasannya.
Momentum bulan proklamasi punya ciri khas yang sama setiap tahunnya. Seperti penyelenggaraan aneka jenis perlombaan, kegiatan baris-berbaris, karnaval, pawai hingga upacara, yang mana semua itu sah-sah saja sebagai bentuk rasa syukur dan kebahagiaan kita karena telah diberi nikmat berupa kemerdekaan.
Namun semua itu bukan tanpa catatan, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa di balik momentum heroik tujuh belasan ada sisi negatif yang mirisnya selalu dilakukan setiap tahunnya. Yakni merayakan kemerdekaan dengan cara melanggar rambu-rambu syariah.
Seperti contoh pawai kemerdekaan dengan memakai kostum bencong-bencongan, melakukan lomba dengan tidak menghiraukan ikhtilat antar non-mahram, panggung hiburan yang tidak jarang menyuguhkan wanita yang memamerkan aurat dan sejenisnya yang mana semua itu jelas dilarang di dalam Islam.
Perlu diingat bahwa di dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan konstitusi bangsa Indonesia disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur. Artinya para pendiri bangsa ini adalah orang-orang yang memahami bahwasanya proklamasi negara yang akan mereka dirikan merupakan rahmat daripada Allah Swt lewat wasilah berupa tawakal (perjuangan) yang berdarah-darah selama puluhan bahkan ratusan tahun.
Dan rahmat Allah tentu hanya diberikan bagi mereka yang berbuat baik bukan bagi yang bermaksiat kepada-Nya seperti yang tertera di dalam Al-Qur’an;
{ وَلاَ تُفْسِدُواْ فِى الأرض } بالشرك والمعاصي { بَعْدَ إصلاحها } ببعث الرسل { وادعوه خَوْفًا } من عقابه { وَطَمَعًا } في رحمته { إِنَّ رَحْمَتَ الله قَرِيبٌ مِّنَ المحسنين } المطيعين
“(Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi) dengan melakukan kemusyrikan dan perbuatan-perbuatan maksiat (sesudah Allah memperbaikinya) dengan cara mengutus rasul-rasul (dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut) terhadap siksaan-Nya (dan dengan penuh harap) terhadap rahmat-Nya. (Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik) yakni orang-orang yang taat.” (Lihat Tafsir Jalalain Surah Al A’raf : 56).
Kemerdekaan yang merupakan rahmat daripada Allah itu tentu tidak akan dianugerahkan jika para pendiri bangsa ini melakukan kemaksiatan dan kesyirikan. Maka sebagai generasi pewaris kemerdekaan tentunya kita wajib menjaga anugerah berupa rahmat itu dengan tidak berbuat maksiat di dalam mengisi kemerdekaan. Dan ini bisa dimulai dari tingkat paling sederhana seperti tidak melakukan kegiatan tujuh belasan dengan melaksanakan acara-acara yang melanggar syariat Allah.
Ketaatan kepada Syariat Allah itu wajib dilaksanakan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Karena sebagai hukum dasar tertulis atau konstitusi tertulis, UUD 1945 mengandung pengertian, bersifat mengikat, baik bagi penyelenggara negara, lembaga negara, lembaga kemasyarakatan, maupun seluruh warga negara. Maka konstitusi negara ini mengamanahkan kepada seluruh masyarakat Indonesia agar taat kepada hukum Allah sebagai wujud rasa syukur akan kemerdekaan bangsanya yang merupakan berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
Bagi kalangan liberal yang alergi terhadap simbol-simbol yang berbau Islam, kita wajib mengingatkan agar mereka dan umumnya rakyat Indonesia paham bahwasanya bangsa ini memang tidak bisa lepas daripada simbol-simbol agama dan dalam hal ini tentunya didominasi oleh Islam. Sebab membicarakan Indonesia tanpa membicarakan Islam adalah bagaikan membahas ikan tanpa membahas air.
Ikan tanpa air maka akan mati karena ekosistem ikan adalah air. Sama dengan Indonesia, jangan pernah membahasnya tanpa membahas peran Islam di dalamnya.
Indonesia lahir dalam ekosistem umat Islam. Santri dan ulama adalah tokoh kunci di dalamnya. “Agama Muhammad,” tulis George Mc Turnan Kahin dalam karyanya, Nationalism and Revolution in Indonesia, sebagaimana dikutip Bachtiar Effendi, bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat tali persatuan, tapi juga merupakan simbol kesamaan nasib (in group) untuk menentang penjajah asing dan penindas yang berasal dari agama lain.
Bahkan mulai dari pemilihan waktu pembacaan teks proklamasi pun Bung Karno memutuskannya berdasarkan nilai-nila Islam. Kiai Haji Abdoel Moekti, pimpinan Persyarikatan Moehamadijah Madiun mengatakan kepada Bung Karno bahwa 17 Agustus 1945, Jumat Legi tanggal 9 Ramadhan 1364 H adalah waktu yang baik untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Karena jika tidak dibacakan pada waktu yang dimaksud maka bangsa ini baru akan menemui waktu bagus itu 300 tahun yang akan datang.
Dan untuk lebih memantapkan hati maka Bung Karno juga menemui Hadratus Syekh Hasyim Asyari pengasuh Pesantren Tebuireng guna mencari dukungan bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dan Kiai Hasyim Asy’ari meyakinkan Bung Karno agar tidak perlu takut memproklamasikan kemerdekaan. (Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah jilid 2 Halaman 144).
Kepada Cindy Adams (1965), Bung Karno pernah menuturkan; “Tujuh belas angka suci. Pertama, kita di bulan suci Ramadan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran. Mengapa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam memerintahkan 17 rakaat, bukan 10, atau 20 ? Karena kesucian angka 17 bukan buatan manusia,” kata Bung Karno. (Soekarno : Sang Penyambung Lidah Rakyat halaman 207).
Bahkan pasca kemerdekaan, Menteri Agama KH Wahid Hasyim bersama tokoh Islam Anwar Tjokro Aminoto memiliki gagasan untuk mendirikan Masjid nasional sebagai perwujudan rasa syukur atas kemerdekaan bangsa Indonesia. Dan pada tahun 1954, ide untuk membangun masjid nasional semakin matang dan akhirnya disampaikan kepada Presiden Soekarno.
Maka berdirilah masjid nasional kebanggaan bangsa Indonesia yang dinamakan Masjid Istiqlal alias kemerdekaan yang diambil dari bahasa Arab. Dari sini bisa disimpulkan bahwa para pendahulu kita adalah orang-orang yang sangat tahu bagaimana cara dan ekspresi mensyukuri kemerdekaan yang benar.
Yakni dengan cara mengagungkan syiar-syiar agama Allah agar rahmat Allah yang melandasi kemerdekaan bangsa ini tetap terpelihara karena barangsiapa yang bersyukur atas nikmat Allah maka Allah akan tambah nikmat tersebut. Habib Zein bin Ibrahim bin Smith di dalam kitabnya beliau mengatakan;
“Barangsiapa yang ridho dengan Islam sebagai agama (nya) maka hendaknya dia mengagungkan syi’ar-syiar Islam dan kesuciannya. Dan berusaha untuk menguatkannya, meneguhkannya, dan membuatnya kokoh, dengan melakukan apa yang diperintahkan Allah (dengan) melakukan ketaatan kepadaNya dan meninggalkan apa yang dilarangNya (yakni tidak bermaksiat kepadaNya). Sesungguhnya orang-orang yang menyia-nyiakan perintah-perintah Allah yang melanggar batas-batas (larangan) Allah itu berpotensi besar mati dalam keadaan selain Islam (kafir). Telah berkata para orang arif, “Barangsiapa meremehkan adab akan dihukum dengan pengingkaran kepada sunah-sunah Nabi, barangsiapa meremehkan sunah-sunah Nabi akan dihukum dengan pengingkaran kepada hal-hal yang fardhu, barangsiapa meremehkan hal-hal fardhu akan dihukum dengan pengingkaran kepada iman, dan barangsiapa meremehkan kemaksiatan dan merasa ketagihan terhadapnya, dikhawatirkan kepadanya mati dalam keadaan jelek (su’ul khotimah). Dan itu semua adalah kesengsaraan dan pengkhianatan”. Ketahuilah wahai umat Islam sesungguhnya engkau jika keluar daripada dunia (mati) dan berada di atas Tauhid dan Islam maka engkau akan selamat daripada semua kejelekan dan memperoleh semua kebaikan untuk selamanya. Dan jika engkau keluar dari dunia (mati) dalam keadaan menyelisihi tauhid serta Islam maka engkau akan menyesal dengan penyesalan yang nyata dan binasa dengan sekuat -kuatnya. Allah berfirman wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar takwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.”
“Tidaklah mampu seorang manusia mematikan dirinya sendiri dalam keadaan Islam akan tetapi Allah telah menjadikan jalan bagi manusia untuk bisa mencapai keadaan itu yang mana jika mengambil jalan itu maka manusia itu sungguh telah mendatangi sesuatu yang ia berada di atasnya (Islam), yaitu dengan memilih kematian atas Islam, mencintainya dan mengharapkannya, senantiasa berdoa, dan memohon kepada Allah untuk dimatikan dalam keadaan Islam dan memperoleh ridho Nya. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa ridho Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam sebagai nabinya sungguh Allah benar-benar meridhoinya. Maka barangsiapa mati di atas keadaan itu sungguh dia telah mati di atas fitrah dan agama yang lurus yakni agama Nabi kita Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam dan di atas Milah Nabi Ibrahim Alaihis Salam yang mana Nabi Ibrahim berwasiat dengannya kepada anak cucunya dan Nabi Ya’qub Alaihis Salam bahwa sesungguhnya Allah telah memilih bagi kalian agama (Islam) maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan menjadi orang-orang Islam.” (Kitab Al Futuhatul Aliyah Fie Khutobil Minbariyah Lil Habib Zein bin Ibrahim bin Smith jilid 1 hal 12-13).
Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwasanya setiap orang yang mengaku beragama Islam wajib mengagungkan syiar-syiar serta kehormatan Islam serta berusaha menguatkan dan mengokohkannya. Jangan pernah sekali-kali meremehkannya karena bisa berakibat mati dalam keadaan su’ul khotimah dan kafir.
Padahal mati dalam keadaan Islam adalah hal yang sudah diwasiatkan secara turun-temurun oleh para Nabi termasuk oleh Nabi Ibrahim Alaihis Salam kepada anak cucunya (Ya’qub dan Bani Israel). Jika para pendahulu kita dahulu sudah sedemikian besarnya mengagungkan syiar-syiar Islam baik mulai dari pemilihan tanggal proklamasi dan sebagainya, maka kita di zaman ini juga wajib melakukan hal serupa dalam konteks yang sesuai.
Termasuk dalam hal paling sederhana yakni di acara tujuh belasan di tempat kita. Jangan sekali-kali merayakannya dengan bermaksiat yang artinya di satu sisi merendahkan syiar-syiar agama Allah.
Tugas kita sebagai generasi penerus tentunya adalah merawat ingatan akan hal ini agar bangsa ini tidak semakin jauh melenceng dari garis yang sudah digoreskan oleh para pendahulu kita. Jangan nodai jejak perjuangan leluhur kita dengan kemaksiatan di bulan kemerdekaan Indonesia ini dengan hal-hal yang tidak pantas.
Karena selain kurang ajar dan tidak beradab hal itu juga bisa membuat sedih para pejuang kemerdekaan di dalam kuburnya yang notabene sering kisah perjuangannya diteatrikalkan di atas panggung-panggung tujuh belasan konon demi mengenang jasa-jasa mereka. Wallahu A’lam Bis Showab.*
Oleh: Muhammad Syafii Kudo
Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan
HIDAYATULLAH