Saat azan berkumandang Claudia Azizah sedang duduk di dalam Masjid Universitas Is lam In ternasional di Malaysia. Air matanya mengalir membasahi pipi mengenang dirinya yang kini bisa bersujud kepada Allah lima waktu dalam sehari.
Rasa syukur tak pernah lepas dalam hatinya karena kebahagiaan menemukan keyakinan yang menenangkan hidup. Azizah pun mendoakan jamaah masjid agar selalu bisa melaksanakan shalat setiap azan berkumandang. “Kemudian, saya sujud kepada-Nya, pencipta saya, dia yang paling dekat dengan saya,” jelas dia.
Sepuluh tahun lalu, Allah telah menggerakkan hatinya untuk menerima Islam. Dia tidak tahu apa alasan Sang Pencipta me milihnya dan memberinya hidayah sehingga cahaya Islam masuk ke dalam hati. Padahal, dia berasal dari keluarga ateis di wi layah bekas Jerman Timur yang komunis. Sejak menjadi mualaf setiap hari dia berdoa agar tetap mengimani Islam.
Masa kecil
Sejak kecil Azizah memang tidak mengenal agama. Masyarakat di sekitar rumahnya tidak ada yang pernah menyebut kata Tuhan. Hidupnya terasa hampa, seperti anak yang kehilangan orang tua, berjalan seorang diri, gamang, dan penuh kegelisahan.
Ketika itu, Azizah dan keluarganya selalu merayakan natal, tetapi itu hanya tradisi. Rumahnya berhiaskan pohon natal, terang dengan nyala lilin dan lagu-lagu natal. Baginya, perayaan itu memang ber kesan karena penuh keramaian. Natal baginya adalah momentum untuk kumpul ke luar ga dan menghangatkan kebersamaan.
Kehidupan ateisnya berasal dari kedua orang tuanya yang didoktrin pada rezim komunis sosialis bekas Republik Demokratik Jerman. Bah kan, mereka dikirim ke Rusia untuk mempelajari bahasa dan komunisme selama lima tahun.
Kemudian, keduanya kembali ke Jerman dan bekerja di sebuah uni versitas. Mereka yakin tidak ada Tuhan di dunia ini karena agama adalah buat an manusia dan candu masyarakat, seperti yang ditulis Karl Marx.
Neneknya dari ibu adalah satu- satunya anggota keluarga yang masih memiliki keyakinan kepada Tuhan. Namun, dia tidak pernah mengungkapkannya secara terbuka. Azizah mengetahui itu karena neneknya sering mengatakan selalu berdoa untuk kebaikan anak cucunya.
Menurut Azizah, si nenek memiliki indra keenam yang sering dipercayai orang tua dahulu. Ketika tinggal bersa manya, Azizah selalu merasa nyaman dan bertemu dengannya meski dia bukan orang yang banyak bicara.
Mencari spiritualitas
Minimnya pendidikan agama di keluarga membuat hatinya merasa gelisah. Semakin bertambah usia, kegelisahan yang dimiliki makin berat dan berdampak pada kehidupan. “Saya men ca ri, terus mencari, menjerit, menangis ka rena kegelisahan yang terus dirasakan. Sa ya memberontak dan berperilaku buruk,” jelas dia.
Azizah kerap menghabiskan waktu dengan mengurung diri dalam kesendirian, berjalan tanpa alas kaki di bawah hujan es, berharap api dalam hatinya padam sambil menengadah ke langit. Selama masa terakhir mengenyam pendidikan di sekolah menengah, Azizah mulai bepergian dan menghabiskan satu tahun di AS kemudian melakukan perjalanan berkeliling negara tersebut. Dia menjadi pelancong backpackerke Asia Tenggara karena kegelisahan dan pencarian yang tak berujung.
Suatu malam dia berhenti sesaat dari perjalanannya di Laos. Kemudian, berbaring di atas tikar jerami dan mendongak ke langit yang gelap. Dia tidak pernah melihat begitu banyak bintang seperti saat itu. Ada banyak kelap-kelip di tengah kegelapan malam. Ada pula di antara banyak bintang yang bersinar terang, menunjukkan eksistensinya sebagai pembeda dari yang lain.
Ketika itu, Azizah merasakan bumi bergerak. “Aku sangat yakin, aku merasa jauh di dalam hatiku ada yang Mahatinggi, ada pencipta alam semesta. Saya merasa diawasi Sang Pencipta. Di tengah hutan Laos saya merasakan keberadaan Tuhan,”jelas dia.
Setelah menginap di hutan Laos, Azizah melanjutkan perjalanan ke Sungai Mekong, Laos Selatan. Dia kemudian duduk beristirahat di sebuah pondok bambu kecil dan melihat sungai yang begitu menakjubkan.
Baginya, ini sebuah garis kehidupan Asia Tenggara, induk sungai. Lebarnya lebih dari 20 kilometer dan memiliki kisah seluruh negeri. Azizah takjub dengan ciptaan Tuhan yang satu ini. Aliran deras sungai mengalir ke dalam hatinya kemudian mengguyur kegelisahan hatinya. Saat yang sama, dia merasakan ada pesan sang Pencipta yang disampaikan melalui hati. Dia makin yakin adanya keberadaan Tuhan.
Mencari Tuhan
Setelah kedua pengalamannya dalam perjalanan spiritual merasakan ciptaan Tuhan, Azizah mulai bersemangat untuk mencari Tuhan. Dia melanjutkan pengem- baraan spiritualnya ke Pagoda melalui ajaran Buddha di Thailand dan Kamboja.
Kemudian, dia menetap sementara untuk mempelajari ajaran Buddha di sebuah biara. Tak lama, Azizah kembali melakukan per- jalanan hingga ke Bali, dia mempelajari Hindu di pura Bali.
Azizah berusaha untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan meditasi di Yogyakarta. Lalu, dia bertemu dengan sekte Kristen yang berbeda-beda.
Namun, kegelisahan di hatinya makin panas dan tak menentu. Pada saat yang sama dia merasa lelah dan bosan bepergian. Dia merasa hidupnya tidak berarti dan tidak ada alasan untuk bekerja. “Entahlah, mengapa saya harus berjuang untuk apa pun. Saya merasa telah mencoba, menyelesaikan, dan melihat se- muanya, tetapi tidak ada yang memuaskan hati,” jelas dia.
Tahun 2008, dia mulai membaca terjemahan Alquran berbahasa Jerman. Ketika mem- baca Alquran, dia hanya memilih bagian ten tang isu-isu perempuan. Dari situ dia mulai mema hami pentingnya menutup aurat, menjadi ibu anak-anak yang sangat dimuliakan Allah.
Azizah makin mendalami ajaran Islam, yang dirasanya sangat memuliakan wanita. Ajaran seperti itu menurut dia, belum tentu ada dalam tradisi lain. Kemudian, suatu hari Allah sang Maha membolak-balikkan hati seketika memadamkan kegelisahan hatinya. Azizah duduk di atas sajadah dan menemukan keimanannya. Ketika itu, dia tidak tahu banyak tentang Islam, tidak tahu bagaimana cara shalat dan membaca Alquran.
Februari 2008, dia bersyahadat. Dua bulan setelah memeluk Islam dia kembali ke Indonesia. Ini karena masalah keuangan, mata uang Jerman di pasar valuta asing memburuk. Berbeda dengan Rupiah. “Saya mulai meminta bantuan dan pertolongan Allah SWT untuk me-nunjukkan cara untuk menyimpan tabungan dengan hemat,” jelas dia.
Allah telah menghilangkan kegelisahannya yang mengganggunya selama ini. Azizah akhir nya menemukan kehidupan baru. Kini Az- izah telah menikah dan memiliki dua anak. Dia bekerja sebagai penulis dan Asisten Profesor di Universitas Islam Internasional Malaysia.
Dia pindah ke Malaysia bersama keluarganya setelah menyelesaikan program dok- tornya di Jerman tentang Islam dan pendidikan Islam di Indonesia. Dia memper- oleh gelar sarjana dari Universitas Humboldt Berlin, Jerman dengan studi Asia dan Afrika dengan fokus Asia Tenggara.
Selain mengajar, dia secara teratur me nu lis untuk surat kabar Islam Jerman. Dia juga san- gat konsen terhadap spiritualitas dan seni Islam. Dia juga menerbitkan sebuah buku usaha mikro perempuan. Memang dia pernah tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Nama asli nya adalah Claudia Seise kemudian setelah mua laf namanya menjadi Claudia Azizah.
Oleh Ratna Ajeng Tejomukti
REPUBLIKA