Mengerikan, Inilah Hukuman Bagi Penerima Suap

DEWASA ini praktik suap menjadi problematika di berbagai sendi kehidupan masyarakat. Bahkan tidak berlebihan bila kita katakan, bahwa persoalan ini sudah menjadi masalah yang multi dimensional. Melihat telah merambah dalam ranah sosial, moral, hukum, ekonomi dan pendidikan.

Seorang yang melakukan suap, biasanya ia memberikan suap untuk suatu kepentingan; baik berupa keuntungan tertentu atau supaya terbebas dari jerat hukuman. al Fayyumi rahimahullah, dalam Mishbahul Munir menjelaskan makna daripada risywah,

“Risywah (gratifikasi) adalah sebuah pemberian seseorang kepada hakim atau selain hakim, supaya memberikan keputusan yang menguntungkannya atau membuat orang yang diberi menuruti keinginannya” (1)

al-Jurjani dalam at-tarifat menerangkan,

“Risywah adalah, harta yang diberikan untuk tujuan menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah” (2)

Maka tidaklah heran, bila pihak yang paling rawan berhubungan dengan suap adalah pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah, yang memiliki peranan penting dalam memutuskan perkara. Semisal dalam pemberian izin ataupun pemberian mandat proyek.

Dalam urusan administrasi, juga tidak lepas dari suap. Untuk saat ini, pejabat yang berwenang mengeluarkan surat administrasi ataupun identitas; semisal paspor, KTP, SIM dan lain-lain, rentan berhubungan dengan suap.

Bahkan saat ini, suap ditengarai sudah merambah ke dunia pendidikan. Baik dalam tahap peneriman mahasiswa/siswa baru, kenaikan kelas, kelulusan atau untuk mendapatkan nilai bagus dalam ujian mata pelajaran atau mata kuliah.

Amat menyedihkah bukan melihat kenyataan yang seperti ini (?!) Lembaga pendidikan yang dielu-elukan menjadi tonggak masa depan bangsa, pun ternyata tak lepas dari parktik sogok. Yang sudah barang tentu praktik haram seperti ini akan menghilangkan keberkahan daripada ilmu. Untuk itu perlu digalakan lagi gerakan penyadaran masyarakat akan bahaya risywah atau gratifikasi.

Pandangan Islam terhadap gratifikasi

Di antara prinsip dasar Islam adalah, mendatangkan segala hal yang bisa memberikan maslahat bagi kehidupan manusia, dan mencegah segala perkara yang bisa merugikan kehidupan manusia atau meminimalisir dampaknya. Di antara perkara yang merugikan kehidupan manusia adalah praktik risywah (gratifikasi). Oleh karenanya, Islam menetapkan keharaman praktek ini.

Bahkan sebagian ulama telah menukilkan ijma (kesepakatan di kalangan ulama) akan keharaman risywah. Di antaranya adalah Taqiyyuddin as Subki rahimahullah dalam kitab fatwanya (3). Mereka menyimpulkan dari banyak dalil yang secara tegas melarang perbuatan ini.

Di antaranya adalah berikut ini:

Pertama: firman Allah taala,

“Mereka (orang-orang Yahudi) itu suka mendengar kebohongan-kebohongan para pendeta mereka dan suka memakan as-suht” (QS Al Maidah 42).

“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) berlomba-lomba berbuat dosa dan permusuhan serta memakan harta as-suht. Sungguh amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu” (QS. Al-Maidah : 62)

Lalu apa gerangan makna as-suht pada ayat di atas?

Ternyata makna as-suht pada ayat di atas adalah risywah, sebagaimana dijelaskan Nabi shallallahualaihiwasallam dalam sabdanya,

“Setiap daging yang tumbuh karena as-suht, maka api neraka lebih pantas untuknya. Para sahabat bertanya, Wahai Rasul, apa as-suht itu? Beliau menjawab, Risywah dalam memutuskan perkara.” (HR. Baihaqi).

Ibnu Masud radhiyallahuanhu juga menerangkan makna as-suht,

“Suht adalah engkau memenuhi keperluan saudaramu, kemudian dia memberikan hadiah kepadamu, lalu engkau menerima hadiah tersebut.” (4)

Para pembaca yang dimuliakan Allah, konteks ayat di atas sedang membicarakan sifat orang-orang Yahudi, yang mana mereka biasa memakan harta suht. Dan telah kita simak bersama pemaparan mengenai makna suht, bahwa maknanya adalah risywah atau harta suap. Dari sini dapat kita ketahui, bahwa diantara sifat orang-orang Yahudi adalah biasa melakukan prkatek risywah.

Oleh karenanya, larangan terhadap perbuatan ini tidak hanya karena keharaman harta suap itu sendiri, namun juga karena terdapat unsur tasyabbuh dengan orang-orang Yahudi.

Kedua, Allah taala berfirman,

“Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil. Jangan pula kalian mengajukan perkara kepada hakim-hakim dengan cara yang batil, supaya kalian dapat mengambil sebagian daripada harta benda orang lain padahal kalian mengetahui, bahwa cara semacam itu adalah batil.” (QS Al Baqarah: 188).

Imam Qurtubi rahimahullah, dalam tafsirnya menukilkan salah satu penjelasan ahli tafsir mengenai makna ayat ini, “Maksud ayat ini adalah, janganlah kalian merayu para hakim dengan menyuap mereka, dengan harta kalian.Untuk memenangkan siapa yang iming-iming uangnya paling banyak.”

Kemudian beliau menukil perkataan Ibnu Athiyyah rahimahullah, yang menunjukkan tarjih (pilihan) beliau terhadap penafsiran ini, “Penafsiran inilah yang paling kuat. Karena hakim memang rawan menerima suap. Kecuali hakim yang mendapat taufik untuk menjauhi praktek haram tersebut dan mereka hanya segelintir.” (5)

Realita di lapangan memang demikian. Suap sering diberikan kepada aparat penegak hukum atau para pejabat di lingkungan birokrasi pemerintahan, yang memiliki peranan penting dalam memberikan suatu keputusan.

Imam al Baghowi dalan tafsirnya juga menjelaskan makna ayat ini, “Memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil, maksudnya adalah memakan harta milik saudaramu dengan cara yang tidak halal.”

Beliau melanjutkan, “Memakan dengan cara batil ada banyak macamnya. Bisa dengan cara menggosob atau merampok. Bisa pula berupa harta yang didapat dari hasil judi atau gaji penyanyi dan lain yang sejenis. Terkadang bisa melalui risywah (gratifikasi) atau khianat (korupsi).” (6)

Ketiga, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memakan harta yang baik dan halal. Di antaranya adalah firman Allah taala,

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari sebagian rezeki yang telah Allah berikan kepada kalian. Dan bertakwalah kepada Allah. Tuhan yang kalian imani” (QS. Al-Maidah: 88).

Dalam kaidah ushul fikih disebutkan,

Perintah terhadap sesuatu, bermakna larangan terhadap perkara sebaliknya.

Ayat di atas memerintahkan kaum mukminin untuk memakan rezeki yang baik dan halal. Dari kaidah ushul fikih di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa perintah ini mengandung makna larangan dari perkara sebaliknya, yaitu segala macam rezeki yang haram. Dan termasuk dalam kategori rezeki yang haram adalah harta risywah atau gratifikasi.

Keempat, laknat Rasulullah terhadap orang yang menyuap dan yang menerima suap.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahuanhu, beliau mengatakan,

“Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Tirmidzi dan Ahmad).

Juga riwayat dari sahabat Abdullah bin Amr radhiyallahuanhu,

“Rasulullah shallallahualaihi wasallam melaknat penyuap dan orang yang menerima suap” (HR Abu Daud, dinilai shahih oleh al-Albani).

Kelima, hadis dari sahabat Abu Humaid as Saidi radhiyallahuanhu, bahwa beliau menceritakan,

Nabi shallallahualaihiwasallam mempekerjakan seseorang dari suku Azdy, namanya Ibnu Al Utbiyyah untuk mengurusi zakat. Tatkala ia datang iapun berkata (kepada Rasulullah) ,”Ini untuk kalian dan ini hadiah yang diberikan kepadaku.”

Nabipun lantas bersabda, “Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu? Demi Allah, tidaklah salah seorang di antara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya melainkan dia akan menemui Allah dengan membawa beban pada hari Kiamat kelak. Kalau unta atau sapi atau kambing, semua bersuara dengan suaranya.”

Kemudian beliau mengangkat tangan sampai kelihatan putih ketiak beliau, seraya bersabda, “Ya Allah, tidakkah telah aku sampaikan” Beliau mengatakan demikian sebanyak tiga kali” (HR. Bukhari).

Keenam, hadis Abdullah bin Amr radhiyallahuanhu, Nabi shallallahualaihiwasallam bersabda,

“Penyuap dan orang yang menerima suap berada dalam neraka” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir).

Hati-hatilah, Risywah adalah Dosa Besar

Diantara dalil telah yang kami paparkan di atas, terdapat hadis yang menerangkan ancaman laknat bagi para penyuap dan yang menerima suap. Sedang Para ulama menjelaskan,

“Setiap dosa yang hukumnya berupa laknat, maka dosa tersebut termasuk dosa besar.”

Ini menunjukkan bahwa risywah masuk dalam kategori dosa besar, yang seharusnya diwaspadai.

Di samping itu, Allah taala juga menerangkan, bahwa kebiasaan memakan harta suap adalah sifat orang-orang Yahudi. Sehingga praktik suap termasuk bentuk tasyabbuh (menyerupai ciri khas) orang-orang kafir. Dan tasyabbuh kepada orang kafir termasuk dosa besar. Karena Nabi shallallahualaihiwasallam bersabda,

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya” (HR. Abu Daud no. 4031. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 1/676).

Imam Adz Dzahabi rahimahullah dalam Al Kabair menggolongkan memakan harta orang lain dengan cara yang batil, ke dalam dosa besar. Beliau menyatakan, “Dosa besar ke 20: Kedzoliman dalam bentuk memakan harta manusia dengan cara yang batil.” Kemudian beliau menyampaikan firman Allah taala,

“Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil. Jangan pula kalian mengajukan perkara kepada hakim-hakim dengan cara yang batil, supaya kalian dapat mengambil sebagian daripada harta benda orang lain padahal kalian mengetahui, bahwa cara semacam itu adalah batil ” (QS: Al Baqarah188). (7)

Tentu tak diragukan lagi, termasuk memakan harta dengan cara yang batil adalah, praktik sogok atau suap menyuap. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam al Baghowi dalam tafsirnya,

“Memakan harta manusia dengan cara yang batil ada banyak macamnya. Bisa dengan mengghosob atau merampok. Bisa hasil judi atau gaji penyanyi dan yang sejenis. Terkadang bisa melalui risywah (gratifikasi) atau khianat (korupsi).” (8)

Wabillahi at taufiq.

Catatan kaki:

[1] Mishbahul Munir hal. 228, dalam Nadhrotun Naim 10/4542

[2] at-Tarifat hal. 116, dalam Nadhrotun Naim 10/4542

[3] Fatawa as Subki, 1/204, maktbah Syamilah

[4] Al-Kabair hal. 143

[5] Tafsir Al-Qurtubi 2/226

[6] Tafsir Al Baghowi 1/165

[7] Al Kabair hal: 86

[8] Tafsir Al Baghowi 1/165. [Ahmad Anshori]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2365235/mengerikan-inilah-hukuman-bagi-penerima-suap#sthash.4Z0AE1EX.dpuf

Pencegahan Korupsi dan Teladan Abu Bakar

Umar bin Khattab dikenal sebagai sosok yang gagah, kuat, dan tangguh. Namun, hari itu tangisnya meledak saat utusan Aisyah mengantarkan seorang hamba sahaya dan seekor unta. Bukan hamba sahaya dan unta yang membuat Umar menangis. Tetapi wasiat di baliknya.


Aisyah menceritakan, sebelum Abu Bakar wafat, ia menyampaikan wasiat kepadanya. “Aisyah, tolong periksa seluruh hartaku. Jika ada yang bertambah setelah aku menjabat sebagai khalifah, kembalikan kepada negara melalui khalifah yang terpilih setelahku,” ujar Abu Bakar menjelang detik-detik wafatnya.

Tentu saja Aisyah sedih mendengat wasiat itu. Bukan karena apa-apa, tetapi karena ia merasa akan ditinggal oleh sang ayah. Belum tiga tahun Rasulullah meninggalkannya, kini ia akan ditinggalkan sang ayah. Dan, benar Abu Bakar wafat tak lama setelah itu.

Aisyah pun memeriksa seluruh harta ayahnya. “Kami memeriksa seluruh harta Abu Bakar”, kata Aisyah. “Tidak ada yang bertambah dari hartanya kecuali unta yang biasa dipergunakan untuk menyirami kebun dan seorang hamba sahaya pengasuh yang menggendong bayinya.”

“Allah merahmati Abu Bakar,” kata Umar sambil tersengguk-sengguk. “Ia telah menyusahkan orang-orang setelahnya.” Maksud menyusahkan orang-orang setelahnya adalah membuat khalifah sesudahnya tidak mampu mengungguli Abu Bakar, bahkan sulit mencontoh kualitasnya.

Seperti diketahui, Umar sangat terpacu dengan amal-amal Abu Bakar. Sahabat bergelar Ash-Shiddiq itu selalu mengunggulinya dalam berbagai amal. Ketika di suatu waktu  sehabis shalat Shubuh, misalnya. Rasulullah bertanya kepada jamaah, siapa yang tadi malam qiyamul lail, siapa yang tadi malam khatam Alquran, siapa yang pagi ini sudah berinfak, dan siapa yang sudah menjenguk orang sakit, ternyata hanya Abu Bakar yang mengacungkan tangan terus menerus. Sahabat lain ada yang mengacungkan tangan sesekali, lalu menurunkan tangannya sesekali. Sedangkan Abu Bakar, ia telah melakukan seluruh amal yang disebutkan Rasulullah itu.

Sosok Abu Bakar sungguh telah mencontohkan kebijakan yang luar biasa. Benar-benar pemimpin antikorupsi dan zuhud tingkat tinggi. Ia tidak mau mendapatkan kelebihan harta apa pun selama menjabat sebagai khalifah. Padahal, Abu Bakar adalah juga seorang saudagar yang sangat wajar jika hartanya bertambah. Abu Bakar juga berusaha untuk selalu mengisi waktu hidupnya berlomba dan berbuat kebaikan yang bermanfaat bagi siapa saja.

Kasus-kasus korupsi di Indonesia terus bermunculan dan menjadi sorotan publik. Ditambah lagi, sebagian besar pelaku korupsi adalah para pejabat penerima amanah kepemimpinan dan rakyat. Sungguh sangat jauh berbeda dengan kondisi kepemimpinan Abu Bakar saat menjadi khalifah. Ia merasa khawatir dan ketakutan yang sangat jika harta bendanya bertambah di saat mengemban amanah umat dan rakyat.

Namun, pejabat saat ini justru jangankan khawatir, bahkan (mungkin) rasa takutpun tidak ada sehingga mereka terus melakukan korupsi. Jika setiap pemimpin negeri ini bersedia menghitung ulang dan melaporkan harta benda miliknya yang diperoleh sebelum dan sesudah ia memangku suatu jabatan dengan jujur, bahkan ia bersedia untuk mengembalikan harta yang diperolehnya itu, apabila dianggap mencurigakan dan terindikasi akibat perilaku korupsi. Maka, penurunan kasus korupsi di negeri ini akan sedikit demi sedikit menghilang dan sedikit demi sedikit pula akan beranjak pada tangga keadilan dan kesejahteraan rakyat. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

sumber: Republika Online

Hukum Berhaji Menggunakan Uang Hasil Korupsi

MUSIM haji telah tiba. Calon jemaah haji Indonesia sudah ada yang diberangkatkan ke Tanah Suci Mekah.

Dalam pengajian, ada seorang birokrat yang bertanya hukum ibadah haji yang menggunakan uang hasil pungli dan korupsi. Ia beralasan, di tempatnya bekerja mustahil tidak terlibat korupsi bila tak ingin terkucil.

Untuk itu, ustaz menjawab sbb:

Korupsi didefinisikan sebagai penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Sudarsono, Kamus Hukum, hlm. 231). Definisi lain menyebutkan korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga, teman, atau kelompoknya. (Erika Revida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya, USU Digital Library, 2003, hlm. 1).

Tidak ada istilah khusus untuk korupsi dalam fiqih Islam. Modus korupsi berupa penggelapan atau penyelewengan uang negara dapat dikategorikan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31). Modus lainnya, yakni suap menyuap, dikategorikan sebagai risywah, yakni pemberian harta kepada penguasa untuk mencapai suatu kepentingan tertentu yang semestinya tidak perlu ada pembayaran. Modus lainnya yang disebut fee proyek, termasuk kategori hadiah atau hibah yang tidak sah. Semua modus korupsi tersebut adalah harta yang hukumnya haram dalam Islam, karena diperoleh melalui jalan yang tidak sesuai syariah (ghairu al masyru). (Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 117-119).

Adapun hukum haji yang menggunakan harta haram, seperti harta dari korupsi, suap dan sebagainya, sedang orang yang berhaji mengetahuinya, terdapat khilafiyah di kalangan ulama menjadi dua pendapat. (Abbas Ahmad Muhammad Al Baz,Ahkam Al Mal Al Haram, hlm. 291-294).

Pertama, hajinya sah dan menggugurkan kewajiban haji, namun orang yang berhaji berdosa dan tak mendapat pahala haji. Inilah pendapat jumhur ulama, yaitu pendapat ulama Hanafiyah dan Syafiiyah, juga satu versi pendapat dalam mazhab Maliki dan Hambali. (Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd Al Muhtar, 3/453; Al Qarafi, Al Furuq, 2/85; Al Wansyarisi, Al Miyar, 1/440; Al Hithab, Mawahib Al Jalil, 3/498; An Nawawi, Al Majmu, 7/51; Ibnu Rajab, Al Qawaid, hlm. 13).

Dalilnya, karena sahnya haji bergantung pada rukun dan syarat haji, bukan pada halal haramnya harta yang digunakan. Imam Ibnu Abidin mengatakan berhaji dengan harta haram sama halnya dengan orang yang sholat di tanah rampasan (maghshubah), yakni sholatnya sah selama memenuhi rukun dan syaratnya, tapi dia berdosa dan tak mendapat pahala (bi-laa tsawab).” (Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd Al Muhtar, 3/453).

Kedua, hajinya tak sah, berdosa, dan tak mengugurkan kewajiban haji. Inilah versi pendapat lainnya dalam mazhab Maliki dan Hambali. Dalilnya antara lain sabda Rasulullah SAW (artinya),”Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Mahabaik (thayyib) dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR Muslim, no 1015). (Al Wansyarisi, Al Miyar, 1/439; Al Hithab,Mawahib Al Jalil, 3/498; Ibnu Rajab, Al Qawaid, hlm. 13).

Menurut kami, yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur, yaitu hajinya sah dan menggugurkan kewajiban haji, namun tetap dosa dan tak mendapat pahala haji. Sebab meski memanfaatkan harta haram itu dosa, namun keharaman harta tidak mempengaruhi keabsahan haji karena kehalalan harta tidak termasuk syarat sah haji. Jadi hajinya sah selama memenuhi rukun dan syarat haji, walaupun harta yang digunakan haram. Imam Nawawi berkata, “Jika seseorang berhaji dengan harta yang haram, atau naik kendaraan rampasan, maka dia berdosa namun hajinya sah dalil kami karena haji adalah perbuatan-perbuatan yang khusus, sedang keharaman harta yang digunakan adalah hal lain di luar perbuatan-perbuatan haji itu.” (An Nawawi, Al Majmu, 7/51). Adapun hadits riwayat Muslim di atas, yang dimaksud Allah “tidak menerima” bukanlah “tidak sah”, melainkan “tidak memberi pahala.”

Kesimpulannya, berhaji dengan uang hasil korupsi hukumnya sah dan menggugurkan kewajiban haji, selama memenuhi segala rukun dan syarat haji. Namun tetap menyebabkan dosa dan tidak ada pahalanya, termasuk pahala haji mabrur. Wallahu alam. []

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2316726/hukum-berhaji-menggunakan-uang-hasil-korupsi#sthash.oemw4TQN.dpuf

Budaya Sogok Menyogok

Budaya sogok menyogok alias suap menyuap di negeri ini telah mendarah daging dan terjadi di berbagai sendi kehidupan. Kalau suap menyuap nasi itu mesra, asalkan dilakukan dengan istri atau suami maka halal

Budaya sogok menyogok alias suap menyuap di negeri ini telah mendarah daging dan terjadi di berbagai sendi kehidupan. Kalau suap menyuap nasi itu mesra, asalkan dilakukan dengan istri atau suami maka halal. Namun kalau suap menyuap sama lawan jenis yg bukan mahrom tentunya haram.

Demikian juga kalau suap menyuap dalam urusan pemerintahan atau birokrasi agar dimuluskan jalan yg berlubang alias salah jalan, maka itu haram tentunya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

Semoga laknat Allah ditimpakan kepada penyuap dan yang disuap” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dll)

Upaya memerangi praktek suap menyuap di negri kita seakan berhenti di tempat, atau paling kurang gali lubang membuka lubang yang lebih lebar, dan demikian seterusnya. Yang demikian itu karena upaya perang terhadap suap menyuap tidak diiringan dengan pembangunan iman dan ketakwaan kepada Allah, yang merupakan pondasi moral dan perilaku umat islam.

Begitu melekatnya budaya suap menyuap sampai-sampai ada seorang jamaah haji yang ingin menyuap nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Ceritanya, teman saya yang bertugas menjaga kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh salah seorang saudara kita seorang jamaah haji indonesia. Jamaah haji tersebut mengamati kuburan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan penuh santun. Pandangannya terus tertuju ke arah kuburan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Setelah mengamati beberapa saat lamanya, tiba-tiba jamaah haji indonesia tersebut melemparkan uang kertas pecahan Rp 100.000,- ke arah kuburan beliau shallallahu alaihi wa sallam. Tak ayal lagi, sikap saudara kita ini mengejutkan penjaga kuburan, yang kebetulan seorang mahasiswa Islamic University dari kota Jogjakarta. Setelah melemparkan uang pecahan Rp 100.000,- jamaah haji itu bergegas pergi.

Aneh memang, sikap seperti ini, kalau mau bersedekah kepada Nabi, maka beliau telah meninggal dunia, sehingga tidak membutuhkan uang. Bila ingin bersedekah kepada penjaga kuburan, kok dilemparkan ke arah kuburan bukan langsung diserahkan kepada yang jaga. Walaupun secara peraturan yang berjaga di kuburan beliau tidak dibenarkan menerima hadiah apapun dan dari siapapun.

Mungkinkah, jamaah haji tersebut ingin memberi hadiah kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar beliau kelak memberinya syafaat di hadapan Allah? Namun, Tahukah saudara bahwa menerima hadiah karena suatu rekomendasi alias syafaat adalah salah satu bentuk korupsi? Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ شَفَعَ لِأَحَدٍ شَفَاعَةً، فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً فَقَبِلَهَا، فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنَ الرِّبَا»

Barang siapa memberikan suatu rekomendasi kepada seseorang, lalu yang ia beri rekomendasi memberinya hadiah dan iapun menerimanya, maka berarti ia telah memasuki satu pintu besar dari pintu riba“. (HR. Ahmad dan lainnya).

Dengan demikian tidak mungkin Nabi menerima hadiah semacam ini andaipun beliau masih hidup di dunia.

Penulis: Ustadz DR. Muhammad Arifin Baderi, Lc., MA.

Artikel Muslim.Or.Id

Akhir Zaman Hindarilah 10 Pekerjaan Ini ! Nomor 4 Dan 8 Sering Di Lakukan

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bersabda: “Benar – benar hendak datang pada manusia satu saat, kala itu orang tidak hendak mempedulikan dari tempat mana dia mendapatkan harta kekayaan, apakah dari jalur yang halal ataupun bisa jadi jalur yang haram. 1)

Musibah, musibah alam, keserakahan manusia, pola hidup hedonis yang tamak dan rakus, seluruh merupakan pemicu munculnya tidak seimbangan, baik pada alam maupun dengan trik sosial. Dari pojok pandang sunnatullah, seluruhnya merupakan wujud tes yang Allah berikanlah pada masing – masing manusia. Tetapi, dari pojok pandang human’s behaviour (tingkah laku manusia), jadi seluruhnya bencana itu ialah akibat sikap mereka.

Semuanya musibah itu hendak berefek pada permasalahan kemanusiaan. Ekonomi turun, persediaan pangan terancam, tempat pekerjaan jadi sempit, sesaat keperluan manusia senantiasa jalur dan cenderung melonjak, baik lantaran aspek bertambahnya warga maupun bergeser pola hidup manusia yang cenderung materialistik.

Dalam kondisi serupa itu, kerapkali manusia jadi hitam mata pada dikala keperluan mereka tidak tercukupi. Perut yang lapar dan tuntuan hidup sebagian orang yang dijaminnya (anak dan istri), wajib hendak memforsir mereka buat meniti jalur yang bisa jadi aja aja berbuntut pada perilaku menghalalkan seluruh langkah; yang paling utama perut mampu diganjal, anak dan istri tidak hendak menangis kelaparan dan kebutuhannya tercukupi.

Berikut kondisi dimana hari ini kita hidup. Aspek kesenjangan sosial pada sang kaya dan sang miskin tidak disangkal jadi pemicu lahirnya hasrat manusia buat mencari keadilan dengan sebagian trik haram.

Beberapa orang kaya yang hoby pamer kekayaan dan sering jual gaya hidupnya pada sebagian orang miskin, ‘telah berikan dorongan mereka buat jalani apa juga asal mereka mampu nikmati serupa yang hingga saat ini mereka lihat. Jadi, begitu tepatnya kondisi saat ini ini dengan apa yang dinubuwatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam cerita diatas.

Rezki Allah itu begitu luas
Pameo classic yang mengantarkan bahwa ‘mencari yang haram aja susah, terlebih yang halal’ cerah merupakan satu alasan yang klise dan absurd, walaupun realitasnya sekian. sesungguhnya mata pencaharian itu begitu banyak ragamnya. sejauh dia merupakan sesuatu perihal yang halal, baik, dan tidak tidak mematuhi ketetapan syariat, jadi dia ialah pekerjaan yang diberkahi.

Seseorang muslim dapat mengerjakannya. bila pekerjaan itu berupa satu kemaksiatan, kemungkaran, kezaliman, kecurangan, penipuan, ataupun pelanggaran pada bebrapa ketetapan universal syariat, jadi dia ialah pekerjaan yang haram, walaupun membuahkan harta kekayaan dalam jumlah yang banyak. seorang muslim wajib menghindari dan meninggalkannya.

Jauhi pekerjaan – pekerjaan ini :

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah memperingatkan umatnya buat mewaspadai pekerjaan – pekerjaan yang haram ini. dia Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata satu diantara sinyal rusaknya akhlak umat manusia dengan ketidakpedulian mereka pada langkah mencari harta kekayaan. Diantara mata pencaharian yang dilarang ialah :

1. Pekerjaan yang berupa kesyirikan dan sihir, serupa perdukunan, paranormal, ‘orang pintar’, peramal nasib, dan sebagian perihal yang semacam dan semakna dengannya.

2. Pekerjaan yang berupa bebrapa sarana mengarah kesyirikan, serupa jadi juru kunci makam, buat patung, melukis gambar makhluk yang bernyawa, dan sebagian perihal yang semacam dan semakna dengannya.

3. Memperjual belikan sebagian perihal yang diharamkan oleh syariat, serupa bangkai, babi, darah, anjing, patung, lukisan makhluk yang bernyawa, minuman keras, narkotika, dan lain sebagainya.

Dari Abu Mas’ud al – Anshari ra sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang harta dari harga penjualan anjing, honor perempuan pe*zin*aan, dan honor seorang dukun. 2)

Dari Abu Juhaifah ra dia mengatakan: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah melarang harta hasil penjualan darah, penjualan anjing, honor budak perempuan yang dipekerjakan buat berz*ina (gaji mucikari). dia melaknat perempuan yang buat tato, perempuan yang meminta ditato, orang yang komsumsi harta riba, orang yang berikan riba, dan orang yang buat patung. ” 3)

Dari Jabir bin Abdillah ra sesungguhnya dia sudah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda di Mekah pada th. penaklukkan Mekah: “Sesungguhnya Allah dan Rasul – Nya sudah mengharamkan penjualan khamer, bangkai, babi, dan patung. ” Jadi terdapat seseorang ajukan persoalan: “Wahai Rasulullah, gimana komentar kamu menimpa jual lemak bangkai, lantaran dia mampu digunakan buat mewarnai perahu, meminyaki kulit, dan sebagian orang universal mempergunakannya buat minyak lampu penerangan? ” Jadi dia menanggapi: “Tidak dapat menjualnya, dia tetaplah haram. ”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian bersabda: “Semoga Allah memerangi kalangan Yahudi. dikala Allah mengharamkan atas mereka lemak bangkai, mereka mencairkannya lalu menjualnya dan komsumsi harga nya. ”4)

Dari ‘Aisyah radiyalaahu ‘anhuma dia mengatakan: “Ketika di turunkan ayat – ayat di terakhir tulisan Al – Baqarah menimpa riba (ayat 275 dst), Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar ke masjid dan membacakannya pada orang – orang. dia Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian mengharamkan perdagangan khamer, minuman keras. 5)

4. memakai harta riba.

Hai sebagian orang yang beriman, bertakwalah kamu pada Allah dan tinggalkanlah riba yang masihlah terdapat pada diri kalian, apabila kamu betul – betul beriman. apabila kamu tidak mau mengerjakannya, jadi terimalah pengumuman perang dari Allah dan Rasul – Nya. ” (QS Al – Baqarah 2: 278 – 279).

5. Menumpuk sebagian olahan perdagangan di waktu harga nya murah dan dibutuhkan oleh orang – orang dengan iktikad menggapai keuntungan yang berlipat – lipat kala harga nya melambung tinggi. Dari Ma’ mar bin Abdullah al – Anshari ra dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bersabda :

“Barang siapa menumpuk, dia sudah berbuat salah. ” Dalam lafal yang lain: tidak terdapat orang yang jalani penimbunan terkecuali orang yang berbuat salah. “ 6)

Dari Umar bin Khathab ra, dia mengatakan: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa menumpuk olahan santapan yang dibutuhkan oleh kalangan muslimin, Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak menimpakan penyakit lepra dan kebangkrutan padanya. ” 7)

6. Perjudian.

Hai sebagian orang yang beriman, sesungguhnya khamer (minuman keras), perjudian, berkurban buat berhala – berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah ialah perbuatan keji dan tercantum pula perbuatan setan, jadi jauhilah oleh kamu perbuatan – perbuatan itu biar kamu mendapatkan keberuntungan.

Sebenarnya setan memiliki iktikad menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu karna meminum khamr dan jalani perjudian dan menghalang – halangi melalaikan kamu dari dzikir pada Allah dan dari shalat. Jadi mengapa kamu tidak mau berhenti? (QS Al – Maidah 5: 90 – 91).

7. memakai harta anak yatim dengan trik dzalim.

Sebenarnya sebagian orang yang komsumsi harta anak yatim dengan trik dzalim, sebetulnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka hendak masuk kedalam api yang menyala – nyala (neraka). (QS An – Nisa’ 4): 10).

Hai sebagian orang yang beriman, jangan hingga kamu bersama komsumsi harta sesama kamu dengan jalur yang batil, terkecuali dengan jalur perniagaan yang berlaku dengan gemari sama gemari diantara kalian. (QS An – Nisa’ 4: 29).

8. Mengambil, mencopet, menjambret, dan merampok.

Pencuri lelaki dan pencuri wanita, jadi potonglah (pergelangan) tangan – tangan mereka bagaikan hukuman dari Allah atas kejahatan mereka. (QS Al – Maidah 5: 38).

9. mengurangi timbangan dan ukuran.

Kecelakaan buat sebagian orang yang jalani kecurangan dalam timbangan, ialah apabila menakar memiliki teman buat dianya, dia meminta disempurnakan. Tetapi, bila mereka menakar benda dagangan mereka buat orang lain, dia merugikan teman (dengan mengurangi ukuran). (QS Al – Muthaffifin: 1 – 3).

10. Korupsi dan penipuan pada rakyat.

Dari Ma’qil bin Yasar ra dia mengatakan: aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah bersabda: “Tidak terdapat seorang hamba pula yang di beri amanat oleh Allah buat jadi pemimpin satu orang – orang lalu dia tidak mengetuai mereka dengan ketulusan (kejujuran), terkecuali dia hendak tidak mendapatkan bau surga. ” Dalam lafal Muslim: “… terkecuali Allah mengharamkan surga atasnya. “ 8)

11. Menahan – nahan pembayaran upah buruh dan karyawan ataupun mengurangi hak – hak mereka.

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bersabda: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ‘Ada 3 kelompok yang aku jadi musuh mereka; orang yang berikan sumpah setia dengan mengatakan nama – Ku lalu dia mengkhianati, orang yang jual orang merdeka lalu dia komsumsi hasil penjualannya, dan orang yang mempekerjakan seorang buruh lalu sang buruh menuntaskan pekerjaannya sesaat dia tidak mau membayarkan gajinya. ” 9)

_________

1. HR. Bukhari: Kitab al – buyu’ bab man lam yubali min haitsu kasaba al – mal no. 2059 bab qauluhu ta’ala Ali Imran: 130 no. 2083, An – Nasa’i dan Ahmad. ‘

2. HR. Bukhari: Kitab al – buyu’ bab tsaman al – kalb no. 2237,.

3. HR. Bukhari: Kitab al – buyu’ bab mukil al – riba no. 2086, bab tsaman al – kalb no. 2238.

4. HR. Bukhari: Kitab al – buyu’ bab bai’i al – maitah wa al – ashnam no. 2236″ 90 HR. Bukhari: Kitab al – shalat bab tahrim tijarat al – khamr fi al – masjid no. 459.

5. HR. Muslim: Kitab al – musaqat bab tahrim alihtikar fi al – aqwat no. 1605,.

6. HR. Ibnu Majah: Kitab al – tijarah bab al – hukrah wa al – jalb no. 2155. AI – Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: sanadnya hasan.

7. HR. Bukhari: Kitab al – ahkam bab man ustur’iya ra’iyah falam yanshah lahum no. 7150 Muslim: Kitab al – imarah bab fadhilat al – imam al – ‘adil wa ‘uqubat al – jaair no. 1831. ‘.

8. HR. Bukhari: Kitab al – buyu’ bab itsm man ba’a hurran no. 2227.

(Sumber: Akhir Jaman: Abdur Rahman Al – Wasithi, Dari: 100 Hadits menimpa Nubuat Akhir Jaman, Az – Zahra Mediatama, Hal. 102 – 108)

 

dikutip dari  Vivalog.XYZ

Pembuktian Terbalik, Apa Pandangan Islam?

Ketika Abu Hurairah pulang dari Bahrain membawa uang sebanyak 4.000 dinar. Ia menghadap Khalifah Umar bin Kha tab. Umar menanyakan kepada salah satu sahabat perawi hadis itu apakah dia telah berlaku zalim terhadap seseorang. Abu Hurairah menjawab tidak. Ketika mendapat perta nya an lagi dari sang Khalifah, apakah Abu Hurairah telah mengambil hak orang lain? Kembali disangkal.

Umar pun bertanya lagi, lantas berapa banyak yang dibawa oleh Abu Hurairah. Sahabat yang dikenal dekat dengan Rasulullah itu pun menjawab bahwa ia membawa 20 ribu dinar. Umar bertanya dari mana ia peroleh uang sebanyak itu? Abu Hurairah menjawab ia dapatkan fulus tersebut dari keuntungan berdagang.

Apa yang dilakukan Umar adalah salah satu bentuk membuktikan sumber dana seseorang. Dalam kisah di atas, Abu Hurairah membuktikan se mua yang dipertanyakan kepadanya oleh Umar, sama sekali tidak benar. Pembuktian itu dilakukan secara lang sung olehnya dengan menyebutkan sumber perolehan dana.

Dalam konteks lokal, kasus korupsi masih marak terjadi di Tanah Air. Acapkali, para pelaku korupsi melenggang begitu saja lepas dari dakwaan, atau divonis dengan hu kum an yang ringan. Di sisi lain, pihak pengadilan beralasan tak cukup bukti untuk menjerat dan menetapkan tersangka sebagai terdakwa.

Di tengah kegelisahan terhadap dunia peradilan yang terkesan lemah dan ‘saktinya’ para pelaku korupsi itu, muncul wacana penerapan asas pembuktian terbalik. Bahkan, tak ha nya terbatas pada para koruptor, te tapi juga para pelaku kejahatan peng gelapan atau pencucian uang.

Asas tersebut menuntut seseorang yang diindikasikan telah melakukan kejahatan tersebut untuk membuktikan ketidakterlibatannya dalam tindak pidana yang dituduhkan. Namun, hingga kini gagasan itu belum mendapat sambutan yang serius.

Apalagi, ada asas lain yang dianggap menjadi batu sandungan bagi pelaksanaan pem buktian terbalik, yaitu asas praduga tak bersalah. Mungkinkah pembuktian terbalik diterapkan? Tak ada yang tak mungkin, selama ada komitmen dari para pemegang kebijakan.

Lantas, bagaimana dengan pandangan Islam? Menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikutip dari Fatwa Himpunan Keputusan Mu syawarah Nasional VIII MUI, pada kasus hukum tertentu, seperti kasus penggelapan, korupsi, dan pencucian uang, penerapan asas pembuktian terbalik hukumnya boleh jika ditemukan indikasi tindak pidana. Sehingga, pembuktian atas ketidakbenaran tuduhan dibebankan kepada terdakwa.

Meskipun demikian, ditegaskan juga dalam fatwa ini pada dasarnya seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah sampai adanya pengakuan (iqrar) atau bukti-bukti lain yang menunjukkan seseorang tersebut ber salah, sejalan dengan asas praduga tak bersalah. Sedangkan, kewajiban pembuktian sebenarnya dibebankan pada penyidik dan penuntut.

Fatwa ini merujuk ke sejumlah dalil, baik yang bersumber dari Al quran maupun hadis. Dasar fatwa ini yang berasal dari Alquran, di antaranya kembali pada kisah pembuktian Nabi Yusuf AS atas tuduhan Zulaikha. Kisah itu terangkum dalam surah Yusuf ayat 24-29.

Dalil Alquran lainnya ialah surah An Nisa’ ayat 135. “Wahai orangorang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak ke adilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalik kan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

Sedangkan landasan dari hadis ialah salah satunya riwayat dari Ibnu Abbas. Rasulullah bersabda, “Se andai nya dakwaan (tuntutan) manusia dimenangkan, niscaya banyak orang menuntut darah dan harta orang lain. Akan tetapi, sumpah di bebankan kepada terdakwa.”

 

sumber: Republika Online

Inilah Ancaman Islam bagi Koruptor (1)

Korupsi berasal dari Bahasa Latin, corruptio yang berarti penyuapan. Atau dari kata orrumpere yang bermakna merusak.

Korupsi secara epistemologi adalah suatu perbuatan buruk atau tindakan menyelewengkan dana, wewenang, waktu, dan sebagainya untuk kepentingan pribadi sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain.

Pada mulanya istilah korupsi di Indonesia bersifat umum, dan kemudian menjadi istilah hukum sejak dirumuskannya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/ PM’061957 tentang korupsi.

Konsideransi peraturan tersebut menyebutkan “Menimbang, bahwa berhubung dengan tidak adanya kelancaran dalam usaha- usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi.”

Apabila diperhatikan dengan seksama, konsideransi peraturan tersebut memberi batasan rumusan tentang apa yang dimaksud dengan korupsi dan apa maknanya. Dari konsiderans itu pula tersimpul beberapa unsur yang harus dipenuhi oleh suatu perbuatan untuk dapat disebut sebagai perbuatan korupsi.

Unsur-unsur tersebut sebagai berikut:

1. Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang untuk kepentingan diri sendiri atau keluarga atau golongan atau suatu badan, yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara.

2. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji dari keuangan negara atau daerah atau suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya oleh karena jabatannya, langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau materiil baginya.

sumber: Republika Online