Atasi Corona dengan Bertauhid yang Sempurna (Bag. 1)

Wabah pandemi virus corona telah meluas ke berbagai penjuru dunia, berbagai upaya diusahakan untuk mengatasi musibah ini, lalu bagaimana seorang muslim menghadapinya? tentu selain menempuh upaya-upaya pencegahan sesuai intruksi dari tenaga medis kita hendaknya juga melakukan pencegahan dengan melakukan perbaikan hubungan kita dengan Allah Ta’ala

Kedudukan tauhid dalam bangunan agama Islam

Tauhid adalah inti dan dasar agama Islam. Tauhid adalah tujuan pengutusan para rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا ٱلطَّٰغُوتَ 

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah sesembahan selain-Nya.” (QS. An-Nahl: 36)

Tauhid adalah tujuan hidup kita dan tujuan penciptaan jin dan manusia. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku semata (mentauhidkan-Ku dalam ibadah).” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56)

Sungguh tinggi kedudukan tauhid di tengah-tengah bangunan agama kita. Memperbaiki tauhid seseorang di tengah-tengah keimanannya, hakikatnya adalah memperbaiki hati di tengah-tengah anggota jasad. Jika hati itu baik, maka baik pula amalan anggota tubuh lahiriah. Demikian pula, apabila tauhid seorang muslim itu baik dan sempurna, maka baik dan sempurna pula agamanya.

Tauhid adalah asas seluruh bentuk perbaikan, dan syirik adalah sebab terbesar keburukan dan musibah

Tauhid adalah asas perbaikan sebuah negeri. Apabila sebuah negeri menghadapi berbagai macam musibah, apalagi bertubi-tubi dan silih berganti, maka sudah semestinya masyarakatnya segera bertaubat dari segala dosa. Terutama bertaubat dari dosa syirik, karena syirik adalah dosa terbesar, keharaman yang paling haram, dan kezholiman (terhadap hak Allah) yang paling zholim. Sehingga syirik itu adalah penyebab terbesar kemurkaan dan adzab Allah.

Apabila masyarakat di negeri tersebut telah mengesakan dan mentauhidkan Allah dengan baik, maka akan tumbuh dari “akar pohon tauhid” dan keimanannya kepada Allah itu berbagai kebaikan dan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Rusulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan lagi, akan membuahkan kebahagiaan dunia akhirat serta rasa aman dan mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala telah membuat perumpamaan tentang pohon tauhid di dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى ٱلسَّمَآءِ(24) تُؤْتِىٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ(25) 

“(24) Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, (25) pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25)

Dalam kitab I’lamul Muwaqi’in, Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan bahwa jumhur ahli tafsir menafsirkan kalimat thayyibah di ayat ini dengan syahadat laa ilaha illallah.

Dengan demikian, perumpaan pohon yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perumpamaan pohon tauhid. Allah Ta’ala membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat thayyibah) pada ayat ini, yaitu syahadat laa ilaha illallah sebagai sebuah pohon yang merupakan sebaik-baik pohon. Yaitu, akarnya kokoh menghujam ke dalam bumi dan dahan rantingnya menjulang tinggi ke langit, buahnya tak terputus, selalu ada di setiap waktu. Akar pohon tauhid ini menghujam ke dalam bumi. Maksudnya adalah dasar keimanan (tauhid) tersebut kokoh dalam hati seorang mukmin, berupa ilmu tentang iman dan keyakinan yang benar. 

Sedangkan dahan dan ranting pohon tauhid adalah seluruh amalan ketaatan kepada Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang diridhai oleh Allah, baik lahir maupun batin. Jadi, dasar keimanan yang kokoh dalam hati tersebut menumbuhkan ucapan dan amal shalih yang diridhai oleh Allah. Dahan ranting tersebut juga menjulang tinggi ke langit. Maksudnya, ucapan dan perbuatan yang diridhai Allah tersebut terangkat ke atas, diterima oleh Allah pada setiap waktu, pagi, dan sore. Adapun buah dari pohon tauhid ini adalah kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Seorang mukmin yang memiliki dasar iman yang kokoh dalam hati, ucapan serta amalnya pun shalih serta diridhoi oleh Allah, hal itu akan membuahkan kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

Pohon tauhid itu menghasilkan buah untuk setiap musim. Maksudnya, buah tauhid yang berupa kebaikan dan kebahagiaan itu dirasakan terus-menerus oleh seorang mukmin di setiap waktu selama iman dan tauhid seseorang masih ada dalam hatinya. Hal ini sebagaimana buah di surga yang terus-menerus ada tidak pernah habis dan selalu siap dipetik.

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab tersebut,

وإذا تأملت هذا التشبيه رأيته مطابقا لشجرة التوحيد الثابتة الراسخة في القلب التي فروعها من الأعمال الصالحة الصاعدة إلى السماء ولا تزال هذه الشجرة تثمر الأعمال الصالحة كل وقت بحسب ثباتها في القلب ومحبة القلب لها وإخلاصه فيها ومعرفته بحقيقتها وقيامه بحقوقها ومراعاتها حق رعايتها

“Jika Anda perhatikan perumpamaan ini, maka Anda akan melihat kesesuaiannya dengan pohon tauhid yang menghujam kokoh dalam hati, cabangnya berupa amal shalih yang naik ke langit. Sedangkan pohon ini senantiasa membuahkan amal shalih setiap waktu sesuai dengan kadar kokohnya (akar pohon) tauhid ini dalam hati dan kecintaan hati terhadapnya, keikhlasan dalam bertauhid, kadar pengetahuannya tentang hakikat (pohon) tauhid, kadar upaya memenuhi hak tauhid, serta upaya menjaganya dengan sebenar-benar penjagaan.” 

Ibnul Qayyim rahimahullah juga menegaskan dalam kitab tersebut,

والمقصود أن كلمة التوحيد إذا شهد بها المؤمن عارفا بمعناها وحقيقتها نفيا وإثباتا متصفا بموجبها قائما قلبه ولسانه وجوارحه بشهادته فهذه الكلمة الطيبة هي التي رفعت هذا العمل من هذا الشاهد أصلها ثابت راسخ في قلبه وفروعها متصلة بالسماء وهي مخرجة لثمرتها كل وقت

“Maksudnya, apabila seorang mukmin bersaksi dengan kalimat tauhid ini diiringi dengan mengetahui makna dan hakikatnya, baik mengetahui kandungan peniadaan maupun kandungan penetapannya, bersifat dengan sifat yang menjadi konsekuensi kalimat ini, dan menunaikan tuntutan syahadat tauhid ini dengan hati, lisan, maupun anggota tubuh, maka dari sisi inilah, kalimat thoyyibah (kalimat tauhid) itu akan mengangkat amalannya. Dasar kalimat thoyyibah (kalimat tauhid) ini kokoh menghujam dalam hati, cabangnya menjulang ke langit, serta menghasilkan buah di setiap waktu (terus menerus).”

(Bersambung)

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55793-atasi-corona-dengan-bertauhid-yang-sempurna-bag-1.html

Pelajaran Aqidah Dan Manhaj Dari Surat Al-Fatihah (2)

Bantahan Bagi Kaum Musyrikin

Diantara faidah yang sangat penting di dalam surat al-Fatihah adalah bantahan bagi berbagai macam bentuk kemusyrikan. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah. Beliau berkata, “Di dalamnya terkandung bantahan bagi kaum musyrikin yang beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala‘Iyyaka na’budu’ -hanya kepada-Mu kami beribadah- dimana di dalamnya terdapat pemurnian ibadah untuk Allah. Oleh sebab itu di dalamnya terkandung bantahan bagi kaum musyrikin yang beribadah kepada selain Allah bersama-Nya.” (lihat al-Jami’ al-Mufid fi Fawa’id Surah al-Fatihah disusun oleh Abu Abdillah al-Mashna’i, hal. 14).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Di dalam firman-Nya ta’ala (yang artinya), “Hanya kepada-Mu kami beribadah.” terkandung dalil bahwa apabila dalam melakukan ibadah dipersekutukan sesuatu/pujaan lain bersama Allah maka hal itu tidaklah menjadi ibadah -yang benar- untuk dipersembahkan kepada Allah, dan ibadah yang dilakukan oleh si pelaku ibadah itu tidak akan diterima.” (lihat Ahkam min al-Qur’an al-Karim, hal. 23).

Keterangan di atas memberikan faidah kepada kita bahwa ibadah adalah hak Allah semata. Tidak boleh menujukan ibadah kepada siapa pun kecuali kepada Allah. Dan hal ini berlaku umum mencakup semua bentuk ibadah. Apa pun ibadahnya maka harus ikhlas dilakukan untuk Allah, tidak boleh dicampuri dengan syirik. Demikian pula larangan beribadah kepada selain Allah itu bermakna umum mencakup segala hal yang disembah selain Allah, apakah itu malaikat, nabi, wali, dsb.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas segenap hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu memerintahkan bahwa janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah kalian berbuat baik…” (al-Israa’ : 23). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36).

Allah juga berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan janganlah dia mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110).

Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65).

Kaidah Ibadah dari Surat al-Fatihah

Surat al-Fatihah mengandung pelajaran penting seputar makna dan hakikat ibadah. Di dalamnya terkandung pokok-pokok ibadah; yaitu cinta, takut, dan harap. Di dalamnya juga terkandung syarat diterimanya ibadah; yaitu harus ikhlas dan sesuai tuntunan. Di dalamnya juga terkandung ketetapan bahwa ibadah adalah hak Allah semata, tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya.

Ibadah adalah sebuah nama yang meliputi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah; baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak dan yang tersembunyi. Ini adalah pengertian paling bagus dalam pendefinisian ibadah (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 6/189).

Ibadah memiliki urgensi yang sangat agung. Disebabkan Allah menciptakan makhluk, mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab demi memerintahkan mereka beribadah kepada-Nya dan melarang beribadah kepada selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Maknanya Allah menciptakan mereka untuk diperintah agar beribadah kepada-Nya dan dilarang dari bermaksiat kepada-Nya (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 6/189).

Hakikat dari ibadah itu sendiri adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi kecintaan dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah itu adalah sumber kebahagiaan insan. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas untuk Allah semata. Karena ibadah itu adalah hak khusus milik Allah. Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’ telah terkandung penetapan bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Oleh sebab itu di dalam kalimat ini terkandung makna dari kalimat tauhid laa ilaha illallah (lihat keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 22-23).

Di dalam kalimat ‘alhamdulillah’ terkandung kecintaan. Karena Allah adalah Dzat yang mencurahkan nikmat dan Dzat yang mencurahkan nikmat itu dicintai sekadar dengan kenikmatan yang diberikan olehnya. Jiwa manusia tercipta dalam keadaan mencintai siapa saja yang berbuat baik kepadanya. Sementara Allah adalah sumber segala nikmat dan karunia yang ada pada diri hamba. Oleh sebab itu wajib mencintai Allah dengan kecintaan yang tidak tertandingi oleh kecintaan kepada segala sesuatu. Karena itulah kecintaan menjadi salah satu bentuk ibadah yang paling agung (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 185).

Di dalam kalimat ‘ar-Rahmanir Rahiim’ terkandung harapan. Karena Allah adalah pemilik sifat rahmat/kasih sayang. Oleh sebab itu kaum muslimin senantiasa mengharapkan rahmat Allah (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 190).

Konsekuensi dari sifat rahmat ini adalah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab untuk membimbing manusia demi kebahagiaan hidup mereka. Perhatian Allah untuk itu jelas lebih besar daripada sekedar perhatian Allah untuk menurunkan hujan, menumbuhkan tanam-tanaman dan biji-bijian di atas muka bumi ini. Siraman air hujan membuahkan kehidupan tubuh jasmani bagi manusia. Adapun wahyu yang dibawa oleh para rasul dan terkandung di dalam kitab-kitab merupakan sebab hidupnya hati mereka (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 8).

Di dalam kalimat ‘maaliki yaumid diin’ terkandung rasa takut. Karena di dalamnya terkandung rasa takut terhadap hari kiamat. Oleh sebab itu setiap muslim merasa takut akan hukuman Allah pada hari kiamat (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 190-191).

Apabila terkumpul ketiga hal ini -cinta, harap, dan takut- di dalam ibadah maka itulah asas tegaknya ibadah. Adapun orang yang beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada salah satunya saja maka dia menjadi orang yang sesat. Orang yang beribadah kepada Allah dengan cinta belaka tanpa rasa takut dan harap maka ini adalah jalannya kaum Sufiyah yang mengatakan bahwa ‘kami beribadah kepada Allah bukan karena takut neraka atau mengharapkan surga, tetapi kami beribadah kepada-Nya hanya karena kami mencintai-Nya’. Cara beribadah semacam ini adalah kesesatan. Karena sesungguhnya para nabi dan malaikat sebagai makhluk yang paling utama merasa takut kepada Allah dan mengharap kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu adalah bersegera dalam kebaikan dan berdoa kepada Kami dengan penuh rasa harap dan takut…” (al-Anbiyaa’ : 90) (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 191).

Orang yang beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada harapan (roja’) maka dia termasuk penganut pemikiran Murji’ah yang hanya bersandar kepada harapan dan tidak takut akan dosa dan maksiat. Mereka mengatakan bahwa iman cukup dengan pembenaran dalam hati atau pembenaran hati dan diucapkan dengan lisan. Mereka juga mengatakan bahwa amal itu sekedar penyempurna dan pelengkap. Hal ini adalah kesesatan, karena sesungguhnya iman itu mencakup ucapan, amalan, dan keyakinan. Ketiga hal ini harus ada, tidak cukup dengan salah satunya saja (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 191-192).

Barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada rasa takut (khauf) maka dia berada di atas jalan kaum Khawarij yang beribadah kepada Allah hanya dengan bertumpu pada rasa takut. Sehingga mereka hanya mengambil dalil-dalil yang berisi ancaman (wa’iid) dan pada saat yang sama mereka justru meninggalkan dalil-dalil yang berisi janji (wa’d), ampunan, dan rahmat. Ketiga kelompok ini yaitu Sufiyah, Murji’ah dan Khawarij adalah kelompok yang ekstrim/ghuluw dalam beragama (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 192).

Adapun jalan yang benar adalah beribadah kepada Allah dengan memadukan ketiga hal ini; cinta, harap, dan takut. Inilah iman. Inilah jalan kaum beriman. Inilah hakikat tauhid. Dan inilah yang terkandung dalam surat al-Fatihah. ‘alhamdulillah’ mengandung pilar kecintaan. ‘ar-rahmanir rahiim’ mengandung pilar harapan. Dan ‘maaliki yaumid diiin’ mengandung pilar rasa takut (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 192).

Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’ (yang artinya), “Hanya kepada-Mu kami beribadah” terkandung syarat ikhlas dalam beribadah. Karena di dalam kalimat ini objeknya dikedepankan -yaitu iyyaka– dan didahulukannya objek -dalam kaidah bahasa arab- menunjukkan makna pembatasan. Sehingga makna ‘iyyaka na’budu’ adalah ‘kami mengkhususkan kepada-Mu dalam melakukan ketaatan, kami tidak akan memalingkan ibadah kepada siapa pun selain Engkau’ (lihat Min Hidayati Suratil Fatihah karya Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, hal. 18).

Adapun syarat ibadah harus sesuai tuntunan terkandung dalam kalimat ‘ihdinash shirathal mustaqim dst’. Hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak akan menerima amal kecuali apabila sesuai dengan jalan yang lurus yaitu jalan yang diserukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka ia pasti tertolak.” (HR. Muslim) (lihat Min Hidayati Suratil Fatihah karya Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, hal. 19).

Konsekuensi dari syahadat ‘asyhadu anlaa ilaha illallah’ adalah mengikhlaskan amal untuk Allah semata sehingga tidaklah dipalingkan suatu bentuk ibadah apapun kepada selain-Nya, bahkan seluruh ibadah itu dimurnikan hanya untuk mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Dan konsekuensi dari syahadat ‘wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’ adalah ibadah itu harus sesuai dengan tuntunan yang dibawa oleh Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu Allah tidak boleh diibadahi dengan bid’ah, perkara-perkara yang baru dalam agama ataupun segala bentuk kemungkaran (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 6/190).

Di dalam ‘iyyaka na’budu’ pada hakikatnya juga terkandung dalil bahwasanya apabila ibadah tercampuri syirik maka ia tidak lagi menjadi ibadah yang benar untuk Allah. Dan ibadah semacam itu pun tidak akan diterima di sisi-Nya. Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan amal seraya mempersekutukan bersama-Ku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu) (lihat Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 23).

Isti’anah (meminta pertolongan kepada Allah) adalah bagian dari ibadah. Meskipun demikian di dalam al-Fatihah ia disebutkan secara khusus setelah ibadah. Allah berfirman (yang artinya), “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan/beristi’anah.” Hal ini menunjukkan betapa besarnya kebutuhan hamba untuk memohon pertolongan Allah dalam menjalankan semua ibadah. Karena sesungguhnya apabila Allah tidak menolongnya niscaya dia tidak akan bisa meraih apa yang dia kehendaki; apakah dalam hal melaksanakan perintah atau pun menjauhi larangan (lihat keterangan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39).

Dengan menunaikan ibadah kepada Allah dan senantiasa memohon pertolongan-Nya hamba akan bisa meraih kebahagiaan yang abadi dan terselamatkan dari segala keburukan. Tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan menegakkan kedua hal ini; yaitu menegakkan ibadah kepada Allah dan selalu memohon bantuan kepada-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39).

Seorang yang bisa merealisasikan kandungan dari ‘iyyaka na’budu’ maka dia akan terbebas dari riya’. Dan orang yang bisa merealisasikan kandungan dari ‘iyyaka nasta’in’ maka dia akan terbebas dari ujub (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 83).

Sebuah realita yang sangat menyedihkan adalah banyak diantara kaum muslimin di masa kita sekarang ini yang telah mengucapkan Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in, akan tetapi di sisi lain mereka tidak memperhatikan kandungan maknanya sama sekali. Mereka tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah semata. Mereka juga beribadah kepada selain-Nya. Seperti halnya orang-orang yang berdoa -padahal doa adalah intisari ibadah, pen- kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdoa kepada Husain, kepada Abdul Qadir Jailani, Badawi, dan lain sebagainya. Ini semua termasuk perbuatan syirik akbar dan dosa yang tidak akan diampuni pelakunya apabila dia mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19-20).

[bersambung]

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27467-pelajaran-aqidah-dan-manhaj-dari-surat-al-fatihah-2.html

Pelajaran Aqidah dan Manhaj Dari Surat Al-Fatihah (1)

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Surat al-Fatihah adalah surat yang paling agung di dalam al-Qur’an. Hal itu sebagaimana telah ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id bin al-Mu’alla radhiyallahu’anhu sebagaimana disebutkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam Sahihnya di Kitab Tafsir al-Qur’an (hadits no. 4474).

Membaca surat al-Fatihah merupakan rukun di dalam sholat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“Tidak sah sholat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab/Surat al-Fatihah.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Adzan no. 756).

Di dalam surat al-Fatihah terkandung banyak pelajaran seputar masalah aqidah dan pokok-pokok agama. Oleh sebab itu kita dapati para ulama memiliki perhatian besar terhadapnya. Hal itu bisa kita lihat dari karya-karya yang mereka susun untuk menguraikan kandungan faidah surat yang agung ini. Berikut ini kami sebutkan beberapa karya ulama seputar al-Fatihah :

Pertama; Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memiliki sebuah risalah dengan judul ‘Ba’dhu Fawa’id min Suratil Fatihah’. Di dalamnya beliau menjelaskan secara ringkas kandungan masalah aqidah dan tauhid dari surat al-Fatihah. Risalah ini telah dijelaskan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Ba’dhu Fawa’id min Suratil Fatihah.

Kedua; Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah telah membahas kandungan-kandungan faidah dari surat al-Fatihah dalam pelajaran Ahkam min al-Qur’an al-Karim yang disiarkan dalam program siaran radio di Saudi Arabia dan pelajaran ini pun sudah dibukukan dan diterbitkan (surat al-Fatihah – surat al-Baqarah).

Ketiga; Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi hafizhahullah memiliki sebuah risalah khusus yang membahas kandungan pelajaran aqidah dari surat al-Fatihah. Risalah itu berjudul ‘Tafsir Suratil Fatihah wa yalihi al-Masa’il al-Mustanbathah minhaa’.

Keempat; Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah memiliki sebuah kitab ringkas yang membahas berbagai kandungan pelajaran dan faidah dari surat al-Fatihah. Kitab itu berjudul ‘Min Hidayati Suratil Fatihah’.

Pelajaran Tentang Tauhid

Di dalam surat al-Fatihah terkandung pelajaran tauhid. Sebagaimana telah dijelaskan para ulama bahwa tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya. Kekhususan Allah itu terbagi tiga; rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Surat al-Fatihah telah menyimpan faidah dan pelajaran mengenai ketiga macam tauhid ini.

Di dalam ayat yang berbunyi ‘alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ terkandung tauhid rububiyah. Di dalam ayat yang berbunyi ‘ar-rahmanir rahiim’ dan ‘maaliki yaumid diin’ terkandung tauhid asma’ wa shifat. Di dalam ayat yang berbunyi ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ terkandung tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Ba’dhu Fawa’id min Suratil Fatihah di dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 181).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Di dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Rabb seru sekalian alam’ terkandung penetapan rububiyah Allah ‘azza wa jalla. Rabb itu adalah Dzat yang menciptakan, menguasai dan mengatur. Maka tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada penguasa kecuali Allah, dan tidak ada pengatur selain Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ahkam minal Qur’anil Karim, hal. 12).

Bahkan, di dalam ayat (yang artinya), “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam” telah terkandung ketiga macam tauhid itu. Di dalam kalimat ‘alhamdulillah’ terkandung tauhid uluhiyah. Hal itu disebabkan karena penyandaran pujian oleh hamba kepada Allah adalah termasuk ibadah dan sanjungan kepada-Nya. Adapun tauhid rububiyah maka itu dapat dipetik dari kandungan ungkapan ‘rabbil ‘alamin’ bahwa Allah adalah pencipta dan penguasa alam semesta. Adapun tauhid asma’ wa shifat telah terkandung di dalam ayat ini karena di dalamnya disebutkan dua buah nama Allah yaitu ‘Allah’ dan ‘ar-Rabb’ (lihat penjelasan Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah dalam Min Kunuzil Qur’anil Karim dalam Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/150).

Di dalam kalimat ‘alhamdulillah’ juga terkandung tauhid uluhiyah dari sisi makna kata ‘lillah’. Karena kata ‘Allah’ dalam bahasa arab memiliki makna al-ma’luh al-ma’bud; yaitu Dzat yang disembah dan diibadahi (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam al-Mukhtashar al-Mufid fi Bayani Dala’ili Aqsamit Tauhid, hal. 15).

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “Dan firman-Nya (yang artinya), ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’ di dalamnya terkandung tauhid asma’ wa shifat. ar-Rahman dan ar-Rahim adalah dua buah nama diantara nama-nama Allah. Kedua nama ini menunjukkan salah satu sifat yang dimiliki Allah yaitu rahmat/kasih sayang.” (lihat keterangan Syaikh ini dalam Syarh Hadits Jibril fi Ta’limid Diin dalam Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/29).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’ terkandung tauhid uluhiyah yaitu mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba yang disyari’atkan oleh Allah untuk mereka, karena uluhiyah bermakna ibadah. Dan ibadah itu adalah bagian dari perbuatan hamba. Adapun ‘wa iyyaka nasta’in’ mengandung tauhid rububiyah. Karena pertolongan adalah salah satu perbuatan Rabb Yang Maha Suci. Dan tauhid rububiyah itu adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 195).

Ketika mengomentari kalimat Iyyaka na’bdu wa iyyaka nasta’in, Qatadah rahimahullah berkata, “Allah memerintahkan kalian untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya dan supaya kalian meminta pertolongan kepada-Nya dalam segala urusan kalian.” Ayat ini bermakna “Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal kecuali kepada-Mu.”(lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/34]). Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang bertawakal kepada makhluk telah berbuat syirik (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 31).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Bertawakal kepada sesuatu artinya bersandar kepadanya. Adapun bertawakal kepada Allah maksudnya adalah menyandarkan diri kepada Allah ta’ala dalam rangka mencukupi dan memenuhi keinginannya, baik ketika mencari kemanfaatan ataupun ketika menolak kemadharatan. Ia merupakan bagian kesempurnaan iman dan tanda keberadaannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 38).

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Tawakal adalah separuh agama. Oleh sebab itu kita biasa mengucapkan dalam sholat kita Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan). Kita memohon kepada Allah pertolongan dengan menyandarkan hati kepada-Nya bahwasanya Dia akan membantu kita dalam beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (Hud : 123). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Kepada-Nya lah aku bertawakal dan kepada-Nya aku akan kembali.” (Hud : 88). Tidak mungkin merealisasikan ibadah tanpa tawakal. Apabila seorang insan diserahkan kepada dirinya sendiri itu artinya dia disandarkan kepada kelemahan dan ketidakmampuan, sehingga dia tidak akan sanggup untuk beribadah dengan baik.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/28]).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Tawakal kepada Allah adalah sebuah kewajiban yang harus diikhlaskan (dimurnikan) untuk Allah semata. Ia merupakan jenis ibadah yang paling komprehensif, maqam/kedudukan tauhid yang tertinggi, teragung, dan termulia. Karena dari tawakal itulah tumbuh berbagai amal salih. Apabila seorang hamba bersandar kepada Allah semata dalam semua urusan agama maupun dunianya, tidak kepada selain-Nya, niscaya keikhlasan dan interaksinya dengan Allah menjadi benar.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 91).

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tawakal kepada Allah adalah salah satu kewajiban tauhid dan iman yang terbesar. Sesuai dengan kekuatan tawakal maka sekuat itulah keimanan seorang hamba dan bertambah sempurna tauhidnya. Setiap hamba sangat membutuhkan tawakal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam segala hal yang ingin dia lakukan atau dia tinggalkan, baik dalam urusan agama maupun dalam urusan dunia.” (lihat al-Qaul as-Sadid ‘ala Maqashid at-Tauhid, hal. 101).

Kesimpulan dari keterangan para ulama di atas adalah bahwa surat al-Fatihah mengajarkan kepada kita untuk mengesakan Allah dalam hal rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat-Nya. Artinya kita wajib meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, penguasa, dan pengatur alam semesta ini. Kita juga wajib meyakini bahwa hanya Allah sesembahan yang benar, sedangkan semua sesembahan selain-Nya adalah batil. Kita pun harus meyakini nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana telah disebutkan dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Dan diantara ketiga macam tauhid ini maka yang paling pokok dan paling penting adalah tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah inilah yang menjadi misi utama dakwah para rasul ‘alaihimus salam.

Macam-Macam Tauhid

Iman kepada Allah mencakup iman terhadap wujud Allah, iman terhadap rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma’ wa shifat-Nya. Oleh sebab itu wajib mentauhidkan Allah dalam hal rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat (lihat keterangan Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28).

Mentauhidkan Allah dalam hal rububiyah maksudnya adalah meyakini bahwa Allah itu esa dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya seperti mencipta, memberikan rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur segala urusan di alam semesta ini. Tidak ada sekutu bagi Allah dalam perkara-perkara ini (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28).

Mentauhidkan Allah dalam hal uluhiyah maksudnya adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba seperti dalam berdoa, merasa takut, berharap, tawakal, isti’anah, isti’adzah, istighotsah, menyembelih, bernazar, dsb. Oleh sebab itu ibadah-ibadah itu tidak boleh dipalingkan kepada selain-Nya siapa pun ia; apakah dia malaikat ataupun nabi terlebih-lebih lagi selain mereka (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28)

Mentauhidkan Allah dalam hal asma’ wa shifat maksudnya adalah menetapkan segala nama dan sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri atau oleh rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan kesempurnaan dan kemuliaan-Nya tanpa melakukan takyif/membagaimanakan dan tanpa tamtsil/menyerupakan, tanpa tahrif/menyelewengkan, tanpa ta’wil/menyimpangkan, dan tanpa ta’thil/menolak serta menyucikan Allah dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28).

Pembagian tauhid ini bisa diketahui dari hasil penelitian dan pengkajian secara komprehensif terhadap dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28). Pembagian tauhid menjadi tiga semacam ini adalah perkara yang menjadi ketetapan dalam madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Maka barangsiapa menambahkan menjadi empat atau lima macam itu merupakan tambahan dari dirinya sendiri. Karena para ulama membagi tauhid menjadi tiga berdasarkan kesimpulan dari al-Kitab dan as-Sunnah (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 28).

Semua ayat yang membicarakan tentang perbuatan-perbuatan Allah maka itu adalah tercakup dalam tauhid rububiyah. Dan semua ayat yang membicarakan tentang ibadah, perintah untuk beribadah dan ajakan kepadanya maka itu mengandung tauhid uluhiyah. Dan semua ayat yang membicarakan tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya maka itu mengandung tauhid asma’ wa shifat (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 29).

Kaitan antara ketiga macam tauhid ini adalah; bahwa tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Adapun tauhid uluhiyah mengandung keduanya. Artinya barangsiapa yang mengakui keesaan Allah dalam hal uluhiyah maka secara otomatis dia pun mengakui keesaan Allah dalam hal rububiyah dan asma’ wa shifat. Orang yang meyakini bahwa Allah lah sesembahan yang benar -sehingga dia pun menujukan ibadah hanya kepada-Nya- maka dia tentu tidak akan mengingkari bahwa Allah lah Dzat yang menciptakan dan memberikan rizki, yang menghidupkan dan mematikan, dan bahwasanya Allah memiliki nama-nama yang terindah dan sifat-sifat yang mulia (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/30).

Adapun orang yang mengakui tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat maka wajib baginya untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah (tauhid uluhiyah). Orang-orang kafir yang didakwahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui tauhid rububiyah akan tetapi pengakuan ini belum bisa memasukkan ke dalam Islam. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka supaya mereka beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Oleh sebab itu di dalam al-Qur’an seringkali disebutkan penetapan tauhid rububiyah sebagaimana yang telah diakui oleh orang-orang kafir dalam rangka mewajibkan mereka untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/30-31).

Diantara ketiga macam tauhid di atas, maka yang paling dituntut adalah tauhid uluhiyah. Sebab itulah perkara yang menjadi muatan pokok dakwah para rasul dan sebab utama diturunkannya kitab-kitab dan karena itu pula ditegakkan jihad fi sabilillah supaya hanya Allah yang disembah dan segala sesembahan selain-Nya ditinggalkan (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 29).

Seandainya tauhid rububiyah itu sudah cukup niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu memerangi orang-orang kafir di masa itu. Bahkan itu juga berarti tidak ada kebutuhan untuk diutusnya para rasul. Maka ini menunjukkan bahwa sesungguhnya yang paling dituntut dan paling pokok adalah tauhid uluhiyah. Adapun tauhid rububiyah maka itu adalah dalil atau landasan untuknya (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 30).

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak kaum musyrikin arab kala itu untuk mengucapkan kalimat laa ilaha illallah maka mereka pun tidak mau. Karena mereka mengetahui bahwa maknanya adalah harus meninggalkan segala sesembahan selain Allah.

Allah berfirman (yang artinya), “Mereka berkata ‘Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan yang banyak ini menjadi satu sesembahan saja, sesungguhnya ini adalah suatu hal yang sangat mengherankan’.” (Shaad : 5)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu ketika dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah maka mereka menyombongkan diri. Dan mereka mengatakan, ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair gila’.” (ash-Shaffat : 35-36)

Hal ini menunjukkan bahwa mereka -kaum musyrikin di masa itu- tidak menghendaki tauhid uluhiyah. Akan tetapi mereka menginginkan bahwa sesembahan itu banyak/berbilang sehingga setiap orang bisa menyembah apa pun yang dia kehendaki. Oleh sebab itu perkara semacam ini harus diketahui, karena sesungguhnya semua penyeru aliran sesat yang lama maupun yang baru senantiasa memfokuskan dalam hal tauhid rububiyah. Sehingga apabila seorang hamba sudah meyakini bahwa Allah sebagai pencipta dan pemberi rizki menurut mereka inilah seorang muslim. Dengan pemahaman itulah mereka menulis aqidah mereka. Semua aqidah yang ditulis oleh kaum Mutakallimin tidak keluar dari perealisasian tauhid rububiyah dan dalil atasnya. Padahal keyakinan semacam ini tidaklah cukup, sebab harus disertai dengan tauhid uluhiyah (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 31).

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36).

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiyaa’ : 25).

Allah berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36).

Ilmu Tauhid dalam Surat al-Fatihah

Surat al-Fatihah mengandung pelajaran yang sangat berharga dalam ilmu tauhid. Di dalamnya Allah berfirman (yang artinya), “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (al-Fatihah).

Makna ayat itu adalah ‘kami mengkhususkan kepada-Mu semata ya Allah dalam beribadah dan kami mengesakan-Mu semata dalam hal meminta pertolongan’. Oleh sebab itu kita tidak beribadah kecuali kepada Allah dan kita tidak meminta pertolongan kecuali kepada-Nya. Ini merupakan tauhid kepada Allah dalam hal ibadah (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Min Hidayati Suratil Fatihah, hal. 14).

Kalimat ‘iyyaka na’budu’ merupakan perealisasian dari kalimat tauhid laa ilaha illallah, sedangkan kalimat ‘iyyaka nasta’in’ mengandung perealisasian dari kalimat laa haula wa laa quwwata illa billah. Karena laa ilaha illallah mengandung pengesaan Allah dalam hal ibadah, dan laa haula wa laa quwwata illa billah mengandung pengesaan Allah dalam hal isti’anah/meminta pertolongan (lihat Min Hidayati Suratil Fatihah, hal. 15).

Di dalam ‘iyyaka na’budu’ terkandung pemurnian ibadah untuk Allah semata. Sehingga di dalamnya pun terkandung bantahan bagi orang-orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah di samping ibadah mereka kepada Allah (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 183).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “.. Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka bukanlah yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu maka dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan ia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan sholat, puasa, dan haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah maka dia bukanlah muslim…” (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 38-39).

Ibadah hanya diterima oleh Allah apabila dilandasi dengan tauhid. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (al-Kahfi : 110). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Simpul pokok ajaran agama ada dua: kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita beribadah kepada-Nya hanya dengan syari’at-Nya, kita tidak beribadah kepada-Nya dengan bid’ah-bid’ah. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (al-Kahfi: 110).” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 87).

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dengan hanif…” (al-Bayyinah : 5).

Ibadah yang murni untuk Allah inilah yang dimaksud dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Para ulama menafsirkan bahwa makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ adalah ‘supaya mereka mentauhidkan-Ku dalam beribadah’ (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 329).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ adalah agar mereka mengesakan Aku (Allah, pent) dalam beribadah. Atau dengan ungkapan lain ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ maksudnya adalah agar mereka mentauhidkan Aku; karena tauhid dan ibadah itu adalah satu (tidak bisa dipisahkan, pent).” (lihat I’anat al-Mustafid [1/33]).

Imam al-Baghawi rahimahullah menukil ucapan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Setiap istilah ibadah yang disebutkan di dalam al-Qur’an maka maknanya adalah tauhid.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 20).

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Apabila anda telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwasanya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila bersama dengan tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak disebut sholat kecuali apabila bersama dengan thaharah/bersuci. Apabila syirik memasuki ibadah maka ia menjadi batal seperti halnya hadats yang menimpa pada thaharah.” (lihat matan al-Qawa’id al-Arba’ dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 331).

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “… Sesungguhnya ibadah tidaklah diterima tanpa tauhid. Hal itu diserupakan dengan thaharah/bersuci untuk mengerjakan sholat. Karena tauhid merupakan syarat diterimanya ibadah; yaitu ibadah harus ikhlas. Adapun thaharah adalah syarat sah sholat. Maka sebagaimana halnya tidak sah sholat tanpa thaharah/bersuci, maka demikian pula tidaklah sah ibadah siapa pun kecuali apabila dia termasuk orang yang bertauhid…” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih alu Syaikh, hal. 8).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah berkata, “Apabila telah dimaklumi bahwasanya sholat yang tercampuri dengan hadats maka hal itu membatalkannya, demikian pula halnya ibadah yang tercampuri syirik maka itu juga akan merusaknya. Seperti halnya hadats yang mencampuri thaharah maka hal itu membatalkannya. Akan tetapi apabila syirik yang dilakukan itu termasuk syirik akbar maka ia membatalkan semua ibadah. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sungguh jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu.” (az-Zumar : 65). Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Seandainya mereka berbuat syirik niscaya lenyap seluruh amal yang pernah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88). Adapun apabila ia tergolong syirik ashghar maka akibatnya adalah menghapuskan amal yang tercampuri dengan riya’ saja dan tidaklah menghapuskan amal-amal yang lain yang dikerjakan dengan ikhlas karena Allah.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh al-Barrak, hal. 11).

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka apabila seorang mukmin mengetahui bahwasanya tauhid apabila tercampuri dengan syirik maka hal itu akan merusaknya. Sebagaimana hadats merusak thaharah. Maka dia pun mengerti bahwa dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat syirik supaya dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena tauhid inilah agama Allah dan hakikat ajaran Islam. Tauhid inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu bentuk kesyirikan itu maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap…” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 11).

Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi rahimahullah berkata, “Syirik adalah menyamakan atau mensejajarkan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang termasuk dalam kekhususan Allah, atau beribadah/berdoa kepada selain Allah disamping beribadah kepada Allah.” (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh Abdullah al-Qar’awi, hal. 20).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Lawan dari tauhid adalah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. Maka tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Adapun syirik adalah memalingkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah ‘azza wa jalla, seperti menyembelih, bernadzar, berdoa, istighatsah, dan jenis-jenis ibadah yang lainnya. Inilah yang disebut dengan syirik. Syirik yang dimaksud di sini adalah syirik dalam hal uluhiyah, adapun syirik dalam hal rububiyah maka secara umum hal ini tidak ada/tidak terjadi.” (lihat Syarh Ushul Sittah, hal. 11).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bukanlah makna tauhid sebagaimana apa yang dikatakan oleh orang-orang jahil/bodoh dan orang-orang sesat yang mengatakan bahwa tauhid adalah dengan anda mengakui bahwa Allah lah sang pencipta dan pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, dan yang mengatur segala urusan. Ini tidak cukup. Orang-orang musyrik dahulu telah mengakui perkara-perkara ini namun hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam…” (lihat at-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hal. 22).

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147).

Syaikh Abdullah bin Shalih al-‘Ubailan hafizhahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa tauhid dan mengikuti hawa nafsu adalah dua hal yang bertentangan. Hawa nafsu itu adalah ‘berhala’, dan setiap hamba memiliki ‘berhala’ di dalam hatinya sesuai dengan kadar hawa nafsunya. Sesungguhnya Allah mengutus para rasul-Nya dalam rangka menghancurkan berhala dan supaya -manusia- beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Bukanlah maksud Allah subhanahu adalah hancurnya berhala secara fisik sementara ‘berhala’ di dalam hati dibiarkan. Akan tetapi yang dimaksud ialah menghancurkannya mulai dari dalam hati, bahkan inilah yang paling pertama tercakup.” (lihat al-Ishbah fi Bayani Manhajis Salaf fit Tarbiyah wal Ishlah, hal. 41).

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85). Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 30).

[bersambung]

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27464-pelajaran-aqidah-dan-manhaj-dari-surat-al-fatihah-1.html

Perbedaan antara Aqidah, Tauhid dan Manhaj

Istilah aqidah, tauhid dan manhaj sangat sering kita dengar terutama di kalangan penuntut ilmu. Istilah-istilah ini memiliki pengertian yang berbeda apabila dirinci. Hendaknya penuntut ilmu berusaha memahami hal ini, yang menujukkan ia berusaha paham dasar agama. Belajar agama dari dasar merupakan cara beragama yang baik dan mengantarkan kepada kebahagiaan. Kita tidak berharap tidak ada penuntut ilmu yang gemar berdebat kusir padahal membedakan definisi dasar ini saja tidak paham.

Manhaj Lebih Luas daripada Aqidah

Secara umum, manhaj lebih luas dari pada aqidah karena manhaj adalah metodologi beragama yang meliputi aqidah, akhlak, muamalah dan lain-lainnya. Aqidah lebih luas daripada tauhid, karena aqidah mencakup aqidah terkait apa yang Allah dan Rasul-Nya sampaikan kepada kita meliputi aqidah terkait dengan mengesakan Allah (tauhid), aqidah terhadap rasul-Nya, kitab-Nya, malaikat, hari akhir, takdir dan lain-lain.

Syaikh Shalih Fauzan menjelasakn bahwa manhaj lebih luas daripada aqidah, beliau berkata:

ج / المنهج أعم من العقيدة ، المنهج يكون في العقيدة وفي السلوك والأخلاق والمعاملات وفي كل حياة المسلم ، كل الخطة التي يسير عليها المسلم تسمى المنهج .
أما العقيدة فيراد بها أصل الأيمان ، ومعنى الشهادتين ومقتضاهما هذا هي العقيدة

“Manhaj lebih umum daripada aqidah. Manhaj meliputi aqidah, perilaku, akhlak, muamalah dan setiap hidup seorang muslim. Setiap langkah (metodologi) yang di mana seorang muslim berjalan disebut dengan manhaj. Adapun aqidah maksudnya adalah dasar iman, makna syahadat dan konsekuensinya.” [Al-Ajwibatul Mufidah hal. 75]

Aqidah Lebih Luas daripada Tauhid

Aqidah lebih luas daripada tauhid, syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan bahwa aqidah itu mencakup tauhid, jadi aqidah lebih luas, beliau berkata:

والعقيدة: هي ما يعتقده الإنسان بقلبه ويراه عقيدة يدين الله بها ويتعبده بها، فيدخل فيها كل ما يعتقده من توحيد الله والإيمان بأنه الخلاق الرزاق وبأنه له الأسماء الحسنى والصفات العلى

“Aqidah adalah apa yang menjadi keyakinan kuat seseorang di hatinya dan ia beranggapan dengan aqidah itu ia beragama dan menyembah Allah. Termasuk di dalam cakupan aqidah adalah tauhid kepada Allah dan beriman bahwa Allah Paha Pencipta, Maha Pemberi Rezeki dan Allah memiliki asmaul husna dan sifat yang tinggi.” [Majmu’ Fatawa syaikh Bin Baz 6/277]

Catatan Penting

  1. Sebagian ulama tidak membedakan antara aqidah dan manhaj

Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali berkata,

أنا سمعت الشيخ ابن باز لا يفرّق بين العقيدة والمنهج ويقول: كلّها شيء واحد، والشيخ الألباني يفرّق، وأنا أفرّق، أرى أنّ المنهج أشمل من العقيدة، فالمنهج يشمل العقيدة ويشمل العبادات ويشمل كيف تتفقّه ويشمل كيف تنتقد، ويشمل كيف تواجه أهل البدع 

“Aku mendengar syaikh bin Baz tidak membedakan antara aqidah dan manhaj, kedua hal ini sama. Syaikh Al-Albani membedakan dan aku juga membedaan. Aku berpendapat bahwa manhaj lebih luas daripada aqidah. Manhaj mencakup aqidah, mencakup ibadah dan mencakup cara berfikih, mencakup metode mengkritik/menyangah dan menghadapi (menyanggah) ahli bid’ah.” [sumber: http://www.rabee.net/ar/questions.php?cat=31&id=318]

  1. Sebagian ulama menyamakan antara aqidah dan iman

Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata,

العقيدة هى الإيمان وهو ما يعتقده القلب ويؤمن به، فالعقيدة والإيمان شئٌ واحد، وهما من أعمال القلوب

“Aqidah adalah iman yaitu apa yang menjadi keyakinan hati seseorang dan beriman dengannya. Aqidah dan iman adalah sama. Keduanya merupakan amalan hati.” [sumber : https://www.alfawzan.af.org.sa/en/node/15448]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52250-perbedaan-antara-aqidah-tauhid-dan-manhaj.html