Merindukan Rasulullah

Alkisah, beberapa tahun setelah Nabi SAW wafat, Abdullah bin az-Zubair (Ibnu az-Zubair), ke ponakan Aisyah RA, pernah bertanya kepada bibinya itu. “Wahai Bibi, beri tahu aku tentang hal paling istimewa yang engkau dapati dalam diri Nabi Muhammad?”

Saat ditanya itu, Aisyah diam, tidak langsung menjawab. Air matanya mulai mengalir. Dia pun menangis seseng gu kan, begitu menyayat hati, hingga Ab dullah bin az-Zubair berpikir mung kin dia bertanya pada momen yang tidak tepat. Ia pun berkata, “Bibi, kalau eng kau tidak bisa menjawab sekarang tidak apa-apa.”

Di sela-sela tangisnya, Aisyah kemudian berkata, “Aduhai betapa rindunya hati ini dengan beliau. Aku be gitu rindu dengan beliau.” Selan jutnya ia berkata, “Wahai keponakanku, engkau bertanya kepadaku tentang hal paling istimewa yang aku dapati dalam diri beliau, aku tak tahu bagaimana menjawabnya karena seluruhnya yang ada dalam diri beliau adalah istimewa.” Dalam kisah lain, Aisyah juga pernah ditanya seseorang mengenai akhlak suaminya, lalu ia menjawab, “Akhlak beliau adalah Alquran.” Orang itu bertanya lagi, “Apa maksudnya?”

Aisyah menjawab, “Alquran ber cerita tentang orang-orang yang sabar. Ketahuilah, beliau adalah orang paling sabar di dunia. Ketika Alquran bercerita tentang orang-orang yang shalat khu syuk, maka beliau adalah orang yang paling khusyuk shalatnya. Ketika Al qur an memerintahkan ten tang sede kah, ikhlas, memaafkan siapa saja yang ber salah, maka beliau adalah orang yang paling dermawan, ikhlas, dan pe maaf. Andai kata ada orang yang tidak membaca Alquran sekalipun, me lihat beliau saja dia bisa memba yang kan isi Alquran itu seperti apa.”

Nabi SAW memang telah wafat, te tapi kerinduan akan beliau tidak pernah le nyap dalam diri orang-orang terde kat nya, terutama istrinya, Aisyah. Ke rinduan yang membangkitkan lagi gairah untuk mengikuti dan mene ladani akhlak beliau dalam kehidupan.

Semua yang dilakukan Nabi adalah istimewa karena beliau adalah ejawan tah Alquran dan selalu berada dalam bim bingan Allah. Karena itu, Allah me ngatakan bahwa orang yang menga ku mencintai Nabi perlu mem buktikannya dengan mengikuti beliau, “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah men cintaimu dan mengampuni dosa-dosa mu.’ Allah Maha Pengam pun, Maha Penyayang.” (QS Ali Imran [3]: 31).

Orang yang benar-benar merin dukan Nabi adalah orang yang tidak hanya mengingat atau menyebutnyebut nama beliau, tetapi yang lebih penting juga adalah meneladani akhlak luhur dan mengikuti ajaran Rasulullah secara kafah. Seseorang belum dikatakan merindukan Nabi SAW jika perilakunya justru berlawanan dengan akhlak luhur beliau. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Fajar Kurnianto

REPUBLIKA

Menikahi Khadijah, Muhammad: Aku tidak Memiliki Apa-Apa…

Usia Muhammad sudah melewati 20 tahun. Ia mulai membawa dagangan orang lain ke luar kota. Dengan kesuksesan berniaga, menikah jadi hal yang memungkinkan.

Sebelum bertemu Khadijah, Muhammad menyukai Fakhitah binti Abi Thalib yang kemudian lebih dikenal dengan panggilan Ummu Hani. Muhammad meminta izin pamannya untuk menikahi Fakhitah. Namun Abi Thalib punya rencana lain. Fakhitah sudah lebih dulu dilamar Hubayrah, putra dari saudara ibu Abi Thalib. Muhammad mencoba meminta izin untuk kedua kali, namun hasilnya tetap nihil. Muhammad menerima keputusan Abi Thalib dengan lapang hati.

Di sisi lain, seorang pebisnis kaya di Mekkah mendengar kredibilitas Muhammad sebagai Al-Amin, ialah Khadijah putri Khuwailid. Satu ketika, Khadijah meminta Muhammad mendagangkan barang milik Khadijah ke Suriah. Muhammad menerima tawaran Khadijah itu disertai tawaran ditemani seorang budak bernama Maysarah.

Di Suriah, Muhammad berhasil menjual barang titipan Khadijah dengan hasil dua kali lipat. Sampai di Mekkah, Muhammad melaporkan perniagaan itu. Khadijah sendiri lebih tertarik dengan penyampai laporan ketimbang isi laporannya.

Meski berusia 15 tahun di atas Muhammad, Khadijah sadar ia masih cantik. Khadijah lalu meminta bantuan temannya, Nufaysah (Nufaisah) binti Muniyah.

Nufaysah lalu datang kepada Muhammad dan menanyakan mengapa pemuda itu belum menikah. ”Aku tidak memiliki apa-apa untuk berumah tangga,” jawab Muhammad.

Nufaysah lalu mengatakan ada seorang wanita yang tertarik kepada Muhammad, Khadijah. Setelah ditanya apakah Muhammad bersedia menikahi Khadijah, Muhammad mengiyakan.

Setelah itu, Khadijah meminta Nufaysah untuk bertemu. Kepada Muhammad, Khadijah menyampaikan perasaannya. ”Putra pamanku, aku mencitaimu karena kebaikanmu padaku. Engkau selalu terlibat dalam urusan masyarakat tanpa menjadi partisan. Aku menyukaimu karena engkau bisa diandalkan, luhur budi, dan jujur bertutur kata.”

Kemudian kedua keluarga bertemu. Ayah Khadijah, Khuwailid, telah meninggal sehingga keluarga Khadijah diwakili pamannya, Amr putra Asad. Keluarga Muhammad diwakili Hamzah. Kesepakatan dicapai, Muhammad memberi mahar 20 ekor unta betina.

Dari pernikahan selama sekitar 25 tahun bersama Khadijah, Muhammad dikaruniai enam anak. Anak pertama, seorang laki-laki bernama Qasim. Lalu lahir empat putri yakni Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Anak ke enam mereka adalah anak laki-laki, Abdallah. Kedua anak laki-laki Muhammad wafat saat masih anak-anak.

Di hari pernikahannya, Muhammad membebaskan budak yang ia miliki sebagai warisan dari ayahnya, Barakah atau yang dikenal dengan sebutan Ummu Aiman. Khadijah sendiri menghadiahi Muhammad seorang budak berumur 15 tahun, Zaid putra Haritsah. Muhammad sangat menyayangi Zaid, begitu pula Zaid.

Haritsah berasal dari suku Kalb yang daearah kekuasaanya terbentang dari Suriah dan Irak. Ia telah lama mencari Zaid. Mengetahui itu, Zaid menitipkan pesan berupa sebuah syair untuk ayahnya melalui jamaah haji asal Kalb. Syair yang menyatakan Zaid berada di tangan terbaik dari kalangan terhormat.

Haritsah bersama seorang saudaranya, Ka’b, menyusul Zaid ke Mekkah dan menemui Muhammad. Dalam pertemuan itu, Muhammad mempersilakan Zaid memilih dan Zaid memilih Muhammad. ”Keterlaluan kau, Zaid! Engkau lebih memilih perbudakan dibanding kebebasan, memilih Muhammad dibanding ayah dan pamanmu?,” kedua orang Kalb itu menghardik.

Muhammad memotong pembicaraan. Ia lalu mengajak Zaid, Haritsah, dan Ka’b ke Kabah. Berdiri di Hijr, Muhammad berseru. ”Wahai semua yang hadir! Saksikan bahwa Zaid adalah anakku dan ahli warisku.”

Sejak hari itu, Zaid dikenal dengan Zaib bin Muhammad sampai Allah SWT menurunkan wahyu yang menegaskan hubungan anak angkat dan tidak berhaknya mereka atas waris orang tua angkat.

Shafiyyah, bibi termuda Muhammad, sering datang ke rumah Muhammad dan Khadijah. Shafiyyah sering mengajak pelayannya yang setia, Salma, yang membantu semua persalinan Khadijah.

Ibu angkat Muhammad, Halimah, juga beberapa kali berkunjung dan Khadijah selalu bersikap baik kepadanya. Satu ketika saat musim paceklik, Khadijah memberi Halimah 40 ekor domba dan seekor unta.

Abi Thalib yang miskin sering kesulitan memberi makan keluarganya. Muhammad dan pamannya, Abbas, sepakat merawat ke dua anak Abu Thalib. Abbas merawat Ja’far dan Muhammad merawat si bungsu Ali. Ali tumbuh seperti saudara bagi keempat sepupu perempuannya. Ali kira-kira sebaya dengan Ruqayyah dan Ummu Kultsum.

Seorang kerabat yang dekat dengan Khadijah, Halah, sempat berkonsultasi dan meminta Khadijah mencarikan calon istri untuk putranya, Abu Al-Ash. Setelah bicara dengan suaminya, Khadijah mengajukan Zaynab untuk dinikahi Abu Al-Ash. Terlebih Zaynab sudah mendekati usia nikah. Mereka lalu dinikahkan.

Ke dua putri Muhammad lainnya, Ruqayyah dan Ummu Kultsum juga dilamar dua putera Abu Lahab yakni Uthbah dan Utaybah. Muhammad setuju menjodohkan mereka karena menganggap kedua sepupunya ia laki-laki baik.

Wanita istimewa

Meski telah wafat, Khadijah selalu istimewa buat Rasulullah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan, Khadijah adalah wanita terbaik di zamannya. Bahkan Aisyah mengaku cemburu bila Muhammad menyebut nama Khadijah.

Muhammad mencintai Khadijah lebih dari sekadar alasan fisik. Setelah Khadijah wafat pun, Muhammad menyatakan tak ada yang bisa menggantikannya. ”Khadijah beriman ketika orang lain inkar, ia membenarkanku ketika orang lain mendustakanku, ia membelaku dengan hartanya saat orang lain menghalangi, dan aku dikarunia anak yang tidak aku peroleh dari istri yang lain.”

Khadijah adalah satu-satunya orang yang diberi salam oleh Allah SWT melalui Jibril ketika Jibril menemui Muhammad. Muhammad mendapat peneguhan hati, pelipur lara, dan peringan beban dari Khadijah.

Pada 619 M, tak lama setelah pencabutan pemboikotan atas kaum Muslim di Mekkah, Khadijah wafat pada usia sekitar 65 tahun. Khadijah bukan hanya ibu bagi empat putrinya, tapi juga ibu bagi Zaid dan Ali. Untuk meringankan duka keluarga itu, Jibril datang kepada Muhammad dan menyampaikan Allah SWT telah menyiapkan tempat tinggal bagi Khadijah di surga.

 

REPUBLIKA

Peringati Maulid Nabi, MUI Ajak Berbuat Kebaikan

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi bisa menjadi momentum untuk berbuat kebaikan.

“Memperingati Maulid Nabi bisa dijadikan momentum untuk berbuat kebaikan meneladani Nabi sebagai model kehidupan,” kata Sekretaris MUI Banyumas, Ridwan, di Purwokerto, Kamis (30/11).

Memperingati Maulid Nabi, kata dia, juga menjadi momentum untuk mengobarkan semangat kenabian. “Momentum untuk mewarisi semangat dan visi kenabian yaitu semangat pembebasan dari ketertindasan ekonomi, sosial, dan budaya,” katanya.

Selain itu, kata dia, Maulid Nabi bisa menjadi momentum bagi seseorang dalam membela mereka yang tertindas. “Pembelaan terhadap kaum tertindas merupakan pesan moral yang harus selalu digelorakan,” katanya.

Memperingati Maulid Nabi, tambah dia, merupakan momentum untuk menjalankan Sunnah Nabi. “Selain itu ini juga bisa menjadi momentum untuk mengedukasi anak-anak kita agar menjadikan Nabi sebagai tauladan,” katanya.

Orang tua, kata dia, bisa mendorong anak-anak mereka untuk mencintai Nabi. “Selain itu orang tua barus memupuk kebaikan pada diri anak mereka dan menjadikan Nabi Muhammad sebagai model hidupnya,” katanya.

—————————————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Maulid Nabi Momentum Perkuat Persatuan Umat Islam

Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonedia (MUI), KH Cholil Nafis menjelaskan Maulid Nabi dalam konteks kenegaraan. Menurut dia, hadirnya Nabi Muhammad SAW ke muka bumi ini telah melahirkan persatuan yang sifatnya pluralis.

“Dalam konteks negara, hadirnya Nabi Muhammad telah mencipatakan persatuan yang sifatnya pluralitas. Walaupun berbeda suku dan agama tetapi dalam bingkai kenegaraan, dalam bingkai kebangsaan,” ujarnya kepada Republika.co.id, Rabu (29/11).
Ia menuturkan, dalam konteks keindonesiaan, umat Islam pun telah mampu meneladani Nabi Muhammad dengan menjaga kebhinnekaan itu dan bersikap toleran pada umat agama lainnya. “Nah konteks Indonesia kita menjalin kebhinnekaan untuk mencapai cita-cita bersama dalam konteks kebangsaan. Maka kita menghormati, kita bertoleransi, kita juga bisa bekerja bersama dalam mengisi kemerdekaan,” ucapnya.
Menurut dia, peringatan Maulid Nabi harus dijadikan momentum umat Islam untuk meneladani Nabi Muhammad, sehingga di era milenial ini tetap bisa menjaga rasa persatuan.
“Inilah momentum keteladanan yang bisa kita implementasikan dan sangat aktual di era sekarang ini untuk membangun persatuan dan kesatuan,” katanya.
Ia mengatakan, momentum Maulid Nabi juga merupakan kabar gembira karena Nabi Muhammad hadir dengan membawa risalah kenabian, sehingga umat Islam dapat meneladaninya. Menurut dia, segala kehidupan manusia yang baik telah dicontohkan oleh Rasulullah.
“Dalam konteks sekarang, Maulid Nabi diartikan untuk begaimana membangun solidaritas, soliditas umat. Kita membangun umat yang bersatu dan menjadi peduli antara satu dengan yang lain,” jelasnya.

Maulid Nabi Bukan Sekadar Seremoni

Bulan Rabiul Awal kini telah mendatangi umat Islam yang senantiasa mengisinya dengan memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW. Muhammad merupakan nama Nabi Agung yang telah menyelamatkan dan menyempurnakan agama-agama yang pernah disampaikan para nabi sebelumnya dalam satu agama yang dikemas dengan nama Islam untuk dijadikan satu-satunya agama yang diterima dan diridhai Allah swt.

Muhammad artinya orang yang dipuji. Nama ini benar-benar telah menjadi nyata dan terukir dalam sejarah. Dan Allah swt mengakui dan mengumumkan kepada dunia dengan firman-Nya, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar memiliki Akhlak yang agung.” (QS al-Qalam [68]: 5)

Tujuan Allah SWT mengutus Rasulullah kepada umat manusia semuanya agar mereka menjadikan teladan dan mengikuti Nabi SAW sehingga para manusia mendapatkan berkahnya dan menjadi Muhammad-Muhammad kecil yang bertebaran di muka bumi ini. Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu dapati dalam diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan Hari Akhir serta yang banyak mengingat Allah (QS al-Ahzab [33]: 22).

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman, “Katakanlah, jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, kemudian Allah pun akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun, MahaPenyayang (QS Ali Imran [3]: 32)

Dikemukakannya beberapa contoh akhlak yang mulia Sayyidina Almusthofa, Muhammad SAW, agar kita mengetahui dan mencontohnya dalam setiap aspek kehidupan kita sehari-hari. Sejarah menjadi saksi bahwa semua kaum di Arab sepakat memberikan gelar kepada Muhammad SAW “Al-Amin”. Artinya orang yang terpercaya, padahal waktu itu beliau belum dinyatakan sebagai Nabi.

Peristiwa ini belum pernah terjadi dalam sejarah Makkah dan budaya Arab. Hal itu menjadi bukti bahwa Rasulullah memiliki sifat itu dalam kadar begitu tinggi sehingga dalam pengetahuan dan ingatan kaumnya tidak ada orang lain yang dapat dipandang menyamai dalam hal itu. Kaum Arab terkenal dengan ketajaman otak mereka dan apa-apa yang mereka pandang langka, pastilah sungguh-sungguh langka lagi istimewa.

Diriwayatkan bahwa Muhammad SAW memerintahkan supaya lalu lintas umum tidak boleh dipergunakan sehingga menimbulkan halangan atau menjadi kotor atau melemparkan benda-benda yang najis atau tidak sedap dipandang ke jalan umum atau mengotori jalan dengan cara apa pun karena semua itu perbuatan yang tidak diridhai Tuhan.

Beliau sangat memandang penting upaya agar persediaan air untuk keperluan manusia dijaga kebersihan dan kemurniannya. Umumnya, beliau melarang sesuatu benda dilemparkan ke dalam air tergenang yang mungkin akan mencemarinya dan memakai persediaan air dengan cara yang dapat menjadikannya kotor (Al-Bukhari dan Muslim, Kitabal-Barr wal-Sila)

Rasulullah mandiri dalam menerapkan keadilan dan perlakuan. Sekali peristiwa suatu perkara dihadapkan kepada beliau tatkala seorang bangsawan wanita terbukti telah melakukan pencurian. Hal itu menggemparkan karena jika hukuman yang berlaku dikenakan terhadap wanita muda usia itu, martabat suatu keluarga sangat terhormat akan jatuh dan terhina.

Banyak yang ingin mendesak Rasulullah SAW menghukumnya demi kepentingan orang yang berdosa itu, tetapi tidak mempunyai keberanian. Maka, Usama diserahi tugas melaksanakan itu. Usama menghadap Rasulullah SAW, tetapi serentak beliau mengerti maksud tugasnya tersebut. beliau pun sangat marah dan bersabda, “Kamu sebaiknya menolak. Bangsa-bangsa telah celaka karena mengistimewakan orang-orang kelas tinggi, tetapi berlaku kejam terhadap rakyat jelata. Islam tidak mengizinkan dan aku pun sekali-kali tidak akan mengizinkan. Sungguh, jika Fathimah, anak perempuanku sendiri melakukan kejahatan, aku tidak akan segan-segan menjatuhkan hukuman yang adil “ (Al-Bukhari, Kitabul-Hudud)

 

Oleh: Rohani

sumber: Republika ONline

Rasulullah Lahir Pada 9 Atau 12 Rabi`ul Awwal?

Ternyata banyak beda pendapat para ulama tentang tanggal pasti kelahiran Nabi kita Muhammad SAW. Sejak dulu, ada beberapa poin yang disepakati oleh sejarawan muslim tentang  fakta kelahiran Nabi Muhammad SAW. Fakta itu adalah :

  1. Beliau lahir pada tahun gajah
  2. Beliau dilahirkan pada bulan Rabiul Awwal.
  3. Beliau lahir pada hari Senin, karena ada riwayat dari Imam Muslim ketika ditanya mengapa Nabi puasa hari Senin, Beliau menjawab :”itulah hari aku dilahirkan”.

Tiga poin ini yang disepakati oleh seluruh sejarawan Islam. Namun tanggal berapa pastinya beliau lahir, sejarawan berbeda pendapat. Hal ini dikarenakan tidak adanya nash yang jelas dari Nabi tentang tanggal beliau lahir, maka pintu perbedaan pendapat terbuka didepan ulama yang mau meneliti. Para Sejarawan merangkum banyak pendapat yang mengatakan tanggal beliau lahir. Namun yang diperbincangkan adalah tiga pendapat : pada tanggal 9, tanggal 10 atau tanggal 12 Rabiul Awwal.

Pendapat  yang menyatakan tanggal 12 Rabiul Awwal dikemukakan oleh Ibnu Ishaq, tetapi beliau tidak menyebutkan sanad sebagaimana dikemukakan oleh Imam Hakim dalam Mustadrak. Maka termasuk pendapat tidak bersanad dan tidak ada sandarannya. Sementara pendapat tanggal 10 dikemukakan oleh Ibnu Sa’ad dalam kitab Thabaqatnya dari Imam Al-Baqir. Tapi dalam sanad Ibnu Sa’ad terdapat tiga orang rijal sanad yang diragukan dan diperbincangkan ulama.

Imam Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya al-Isti’ab, mengemukakan bahwa Nabi di lahirkan 8 hari lewat dari bulan Rabiul Awwal (masuk malam ke 9 ). Pendapat ini pula telah dipastikan oleh  Abu Bakar bin Musa Al-Khawarizmi (Penjaga Dar Al-Hikmah Khalifah Ma’mun) sebelumnya. Bahkan Al-Hafizh Umar bin Dihyah dalam kitab ” Tanwir fi Maulid Sirajil Munir” berani memutuskan dengan berkata : “Pendapat itulah yang benar tidak ada yang lain, itu telah menjadi kesepakatan ahli sejarah”.

Jadi para sejarawan sebelum abad modern sebenarnya telah sepakat bahwa Nabi dilahirkan tanggal 9 Rabiul Awwal, walau belum dibuktikan dan ditinjau secara matematis. Sampai datang abad ke-18 M, ahli ilmu falak Mesir benama Mahmud Basya (1302 H), meninjau dan ingin membuktikan keabsahan ketiga pendapat tersebut secara ilmu falak modern dan perhitungan detil angka matematis.

Mahmud Basya mulai meninjau dengan peristiwa langit yang terjadi pada masa Nabi yang bisa ditelusuri tanggal dan jamnya saat ini. Yaitu terjadinya gerhana matahari sebagaimana diriwayatkan oleh ulama hadis dalam hadis shahih pada saat meninggalnya anak Nabi bernama Ibrahim. Beliau mendapati gerhana itu benar terjadi setelah bulan Syawal tahun ke-10 Hijriyah saat umur Nabi 63 tahun. Lalu atas patokan ini, terus dihitung mundur ke tahun pertama Nabi dan bulan pertama dan hari pertama. Karena riwayat shahih Nabi lahir hari senin, di dapati hari senin itu jatuh tanggal 9 Rabiul Awwal bukan 12 Rabiul Awwal, bertepatan dengan tanggal 20 April 571 M.

Riset Mahmud Basya tersebut pertama kali ditulis dalam Bahasa Prancis dan sudah diterjemahkan oleh Ahmad Zaki Basya kedalam Bahasa Arab tahun 1305 H, dengan judul “Nataijul Afham Fi Taqwimil Arab Qablal Islam fi Tahqiq Maulid Annabi wa Umrihi.”

Ahli falak lain bernama Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad dalam kitabnya ” Taqwim Al-Azman menyebutkan : ” Tidak ada ragu sesuai dengan periwayatan yang shahih bahwa Nabi lahir tanggal 20 Nissan/April 571 M, sebagaimana benar adanya Nabi wafat tanggal 13 Rabiul Awwal tahun ke 11 Hijriyah dan itu bertepatan dengan tanggal 11 Huzairan 632 M. Selama tanggal ini diketahui dengan tepat,maka hari lahir dan wafat sangat mudah diketahui begitu juga umur Nabi Saw.

umur Nabi adalah 63 tahun dan sekitar 3 hari.  Dan ini sesuai dengan kesepakatan mayoritas ulama bahwa awal penanggalan Hijriyah adalah tanggal 16 Tamuz (sesuai rukyah) atau 15 Tamuz menurut Hisab. Dengan demikian Nabi lahir hari Senin tanggal 9 Rabiul Awwal tahun 53 Sebelum Hijrah bertepatan denga tanggal 20 April 571H.

Syeikh Zahid Al-Kautsari menyatakan :” Tidak ada bantahan lagi bahwa riwayat yang menyatakan Nabi Lahir  tanggal 9 (Rabi’ul Awwal) yang benar, karena perhitungan matematis tidak akan meleset.” ( Ma Syaa wa Lam Yastbut Fi Siratin Nabi, hal. 8)

Terjadinya perbedaan pendapat dalam penentuan hari dalam sejarah sangatlah lumrah karena Nabi dilahirkan ditengah kaum ummi yang tidak membaca dan menulis sebagaimana diakui oleh Nabi sendiri.

Pertanyaanya, kenapa juga kebanyakan Negara islam merayakannya pada tanggal 12 Rabiul Awwal?

Penanggalan tanggal 12 Rabiul Awwal adalah lebih waspada dan supaya keluar dari perbedaan.  Syeikh Zahid al-Kautsari menjelaskan ” Karena tanggal itu, kelahiran Nabi sudah dipastikan menurut semua pendapat”. Perayaannya dipatok pada tanggal 12 supaya keluar dari khilaf sejarawan, karena tanggal 12, betapa pun tidak tepat, tapi Nabi sudah pasti telah lahir (lihat, Maqalat Al akutsari, hal. 363)

Maka zaman ini sudah tidak layak lagi umat Islam tidak mengetahui pasti kelahiran Nabi mereka Tercinta, karena dengan terbukti tanggal dan hari secara matematis menunjukkan bahwa Nabi kita adalah sosok yang betul-betulnyata dalam sejarah bagi mereka yang mearagukan adanya Nabi pembawa petunjuk dan rahmat bagi umat manusia.

 

Amri Fatmi Lc. MA*

*Penulis adalah mahasiwa program doktoral Universitas Al Azhar Kairo.

sumber: Hidayatulah.com

Maulid Nabi Momentum Bangkitnya Cinta Kasih

Ketua Lembaga Dakwah PBNU KH. Maman Imanulhaq menyatakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW bermakna besar bagi pembentukan pribadi serta keimanan seorang Muslim. Maulid Nabi juga menjadi momentum bangkitnya rasa saling mencintai dan mengasihi.

“Nabi Muhammad SAW diutus sebagai kasih sayang untuk semua umat manusia, rahmatan lil ‘alamin dalam menyebarkan nilai cinta kasih pada sesama,” kata Maman, Senin (12/12).

Ia menuturkan peringatan kelahiran Nabi atau maulid harus jadi momentum untuk saling mengasihi dan mencintai. Maman melanjutkan, bahwa saat merebaknya aksi kebencian dan kekerasan atas nama agama, Maulid Nabi harus jadi bahan refleksi diri bagi umat. “Untuk kembali menghadirkan nur Muhammad yang mencerdaskan dan menguatkan umat,” tuturnya.

Maman memaparkan sedikit sejarah Peringatan Maulid Nabi, dimana peringatan kelahiran Rasulullah SAW sejatinya bertepatan dengan 12 Rabiul Awal. Sementara dalam hitungan Masehi, Rasulullah terlahir tanggal 21 April 571 Masehi atau lebih dikenal dengan Tahun Gajah.

“Menurut Ibn Hajar Al-Asqalan, asal dari Maulid tidak ditemukan dari para salaf sejak kurun abad ketiga, tetapi ada kemungkinan merupakan aktivitas yang baik dan bermanfaat,” ujarnya.

Ia menambahkan Maulid Nabi seyogyanya mengukuhkan kesadaran umat untuk meneruskan perjuangan Nabi, yakni menyebarkan dakwah Islam yang mengajarkan prinsip keimanan serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Maman melanjutkan, hal itu mengilhami Raja Arballes Mosul Irak, Abu Sad Muzhaffar dan panglima perang Islam dalam Perang Salib, Salahuddin Al-Ayyub, untuk mengadakan seremonial Maulid.

Cara ini tutur Maman sebagai upaya membangkitkan ketahanan mental yang tinggi serta membangkitkan semangat perjuangan dakwah Islam yang bertujuan membebaskan manusia dari kezaliman menuju cahaya. “Dengan Maulid Nabi, marilah kita segarkan kembali spirit keagamaan kita sehingga keagungan dan keindahan Islam akan terus memancar bagi kehidupan dalam spektrum yang luas”, kata Maman.

Sumber : Antara/Republika Online

Maulid Nabi dan Pesan Ukhuwwah Islamiyyah

Saat ini kita sudah berada dalam bulan Rabiul Awal 1438 H. Besok tanggal 12 Rabiul Awal 1438 H diperingati sebagai Maulid Nabi Muhammad Saw. Salah satu pesan peringatan Maulid Nabi yang perlu dihayati oleh seluruh umat Islam ialah pesan untuk membangun persatuan umat. Persatuan umat yang sesungguhnya tidak tercipta karena uang atau koalisi kekuasaan, tetapi persatuan umat lahir dari kekuatan ukhuwah yang dilandasi keimanan. Sedangkan kekuatan ukhuwah itu sendiri tergantung pada gerakan hati dan semangat yang sama dari umat Islam.

Nabi Muhammad adalah pembangun ukhuwah umat Islam yang pertama kali dan paling berhasil. Nabi Muhammad bukan hanya tokoh sejarah, akan tetapi juga adalah utusan Allah atau pembawa risalah yang ajaran-ajarannya, perkataan dan perbuatannya wajib diikuti oleh setiap muslim.

Menurut para ahli sejarah yang meneliti sirah nabawiyah, sekurang-kurangnya terdapat empat pilar kekuatan masyarakat dan negara yang dibangun dan diwariskan oleh Nabi lima belas abad yang lampau, yaitu:

Pertama, kekuatan akidah dan ibadah. Dalam kaitan ini Nabi Muhammad menjadikan masjid sebagai pusat pembinaan akidah, ibadah, dan muamalah dalam masyarakat Islam dengan berbagai ragam latar belakang sosial budayanya.

Kedua, kekuatan ekonomi, yaitu dengan membangun etos kerja umat, menegakkan moral para pelaku ekonomi serta menggerakkan potensi zakat, infak, sedekah dan wakaf sebagai sistem jaminan sosial melalui peran negara dengan membentuk Baitul-maal.

Ketiga, kekuatan sosial. Dalam hal ini Nabi Muhammad membangun hubungan persaudaraan, ukhuwah Islamiyah, membudayakan tolong-menolong di antara sesama muslim.

Keempat, kekuatan politik. Nabi Muhammad membentuk kontrak politik dengan semua unsur dan komponen masyarakat melalui Piagam Madinah. Piagam Madinah merupakan piagam negara tertulis pertama di dunia, jauh sebelum munculnya Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia yang dilahirkan PBB pada tahun 1948.

Dalam Piagam Madinah, antara lain diatur politik pertahanan negara dan hubungan Muslim dengan nonmuslim. Dengan Piagam Madinah itu jelas sekali ajaran Islam dan umat-Nya menghargai pluralitas suku, golongan, dan agama. Ketika umat Islam berkuasa, tidak pernah terjadi gangguan terhadap umat lain ataupun pemaksaan untuk memeluk agama Islam. Dalam Alquran dan Sunnah diingatkan kepada setiap muslim, apabila memegang kekuasaan harus melindungi dan mengayomi pemeluk agama lainnya dengan sewajarnya, sebagaimana umat beragama seyogianya pula menghormati identitas kaum Muslimin. Toleransi tidak bisa dibangun secara sepihak, tetapi toleransi beragama harus melibatkan semua pihak secara adil dan jujur.

Para sahabat nabi dan kaum Muslimin generasi awal menerima ajaran Islam itu tidak hanya dari ucapan dan pelajaran yang disampaikan Nabi, akan tetapi juga melihat langsung perbuatan Nabi sehari-hari dalam berbagai situasi. Oleh karena itu kita wajib menjadikan ajaran dan keteladanan yang memancar dari kehidupan, perjuangan dan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai uswah hasanah untuk memperkokoh pembangunan umat dan bangsa.

Dalam perspektif Islam, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai umat dan rakyatnya secara ikhlas, yang mendahulukan kepentingan rakyatnya di atas kepentingan pribadi atau kelompok.

Nabi Muhammad mengajarkan bahwa setiap muslim adalah ikhwan(saudara) bagi muslim yang lain. Nabi lebih lanjut menggariskan kewajiban dan hak sesama muslim dalam kehidupan sosial, mulai dari kewajiban dan hak bertetangga, sampai kewajiban dan hak sesama manusia. Dalam salah satu ayat Alquran dinyatakan,“Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang besertanya bersikap tegas terhadap orang-orang yang engkar dan berkasih sayang terhadap sesama orang beriman…” (QS Al Fath [48]: 29).

Sementara itu menyangkut ibadah dalam arti luas Nabi Muhammad menegaskan sesuai dengan firman Allah, “Bukanlah kebajikan jika kamu menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat, tapi (kebajikan itu) adalah siapa yang beriman kepada Allah, hari akhirat, malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi-Nya, yang memberikan harta yang dicintainya kepada kaum kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang dalam perjalanan, orang yang meminta karena membutuhkan, dan memerdekakan budak, mendirikan shalat, menunaikan zakat, yang menepati janji apabila berjanji, sabar di saat kesulitan dan di dalam peperangan. Itulah orang-orang yang benar dan itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2] : 177).

Nabi memberi permisalan kualitas hubungan seorang mukmin dengan mukmin lainnya adalah bagai satu bangunan, di mana antara satu bagian dengan bagian lainnya saling menopang dan memperkuat. Bukanlah termasuk umatku, siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, tegas Rasulullah.

Jika saat kita mengadakan peringatan hari lahir manusia yang paling mulia dan khataman nabiyyin walmursalin yaitu MuhammadRasulullah SAW, diharapkan peringatan ini menginspirasi umat Islam dan bangsa Indonesia untuk lebih menghayati dan mengamalkan syariah dan nilai-nilai Islam guna menjawab dan memecahkan persoalan-persoalan kekinian. Umat Islam yang tercerai-berai karena kepentingan golongan, organisasi atau mazhab, apalagi dengan bangga menganggap golongan sendiri lebih hebat dan terbesar daripada golongan lain, niscaya akan sulit dipersatukan untuk mengusung visi keumatan dan kebangsaan.

Kita patut bersyukur melihat langkah kekompakan umat Islam di tanah air, seperti ditunjukkan dalam Aksi Bela Islam III di Jakarta tanggal 2 Desember 2016 lalu yang berlangsung tertib dan damai. Momentum langkah tersebut tidak seyogyanya dibiarkan berlalu dan redup begitu saja. Sementara tantangan yang dihadapi umat ke depan semakin berat, baik di bidang ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Kekompakan umat yang pada waktu ini berhasil dibangun, meski tidak melibatkan semuanya, selayaknya menjadi modal untuk memperkokoh persatuan umat dan membangun kemaslahatan yang lebih besar untuk kejayaan agama dan Tanah Air. Aksi unjuk rasa bukanlah tujuan kita, melainkan adalah jalan, bahkan satu dari banyak jalan untuk menuju tujuan tegaknya hukum, keadilan dan kebaikan negeri ini.

Akhirnya, ada baiknya kita renungkan bersama pesan perjuangan seorang tokoh bangsa dan pemimpin umat allahu yarham Dr. Mohammad Natsir yang menyatakan, “Dalam sejarah kita menyaksikan sendiri, bahwa umat Islam sekalipun menghadapi bermacam cobaan dan terkadang sampai bercerai-berai, tetap ada seruan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, yang mengajak mereka kembali ke jalan yang benar.”  Wallahu a’lam bish shawwab.

 

Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin

 

sumber:Republika Online

Tentang Maulid Nabi Muhammad SAW

Assalaamu alaikum wr. wb.

Pak ustadz, saya mau bertanya seputar tentang Maulid Nabi Muhammad SAW yang setiap tanggal 12 Rabiul Awwal yang setiap tahunnya diperingati oleh banyak ummat Islam di Indonesia. Dan juga bagaimana hukumnya? Terima kasih atas jawabanya.

Wassalaamu ‘alaikum wr. wb.

Assalamu ‘alaikum wrahmatullahi wabarakatuh,

Fakta yang sesungguhnya dari kehidupan Rasulullah SAW menegaskan bahwa tidak ada riwayat yang menyebutkan beliau pada tiap ulang tahun kelahirannya melakukan ritual tertentu. Bahkan para shahabat beliau pun tidak pernah kita baca dalam sejarah pernah mengadakan ihtifal (seremoni) secara khusus setiap tahun untuk mewujudkan kegembiraan karena memperingati kelahiran Nabi SAW.

Bahkan upacara secara khusus untuk merayakan ritual maulid nabi SAW juga tidak pernah kita dari generasi tabi’in hingga generasi salaf selanjutnya. Perayaan seperti ini secara fakta memang tidak pernah diajarkan, tidak pernah dicontohkan dan juga tidak pernah dianjurkan oleh Rasulullah SAW, para shahabat bahkan para ulama salaf di masa selanjutnya.

Perayaan maulid nabi SAW secara khusus baru dilakukan di kemudian hari. Dan ada banyak versi tentang siapa yang memulai tradisi ini. Sebagian mengatakan bahwa konon Shalahuddin Al-Ayyubi yang mula-mula melakukannya, sebagai reaksi atas perayaan natal umat Nasrani. Karena saat itu di Palestina, umat Islam dan Nasrani hidup berdampingan. Sehingga terjadi interaksi yang majemuk dan melahirkan berbagai pengaruh satu sama lain.

Versi lain menyatakan bahwa perayaan maulid ini dimulai pada masa dinasti Daulah Fatimiyyah di Mesir pada akhir abad keempat hijriyah. Hal itu seperti yang ditulis pada kitab Al-A’yad wa atsaruha alal Muslimin oleh Dr. Sulaiman bin Salim As-Suhaimi hal. 285-287. Disebutkan bahwa para khalifah Bani Fatimiyyah mengadakan perayaan-perayaan setiap tahunnya, di antaranya adalah perayaan tahun baru, asyura, maulid Nabi sAW bahwa termasuk maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husein serta maulid Fatimah dll. (Al-Khuthoth 1/490).

Versi lainnya lagi menyebutkan bahwa perayaan maulid dimulai tahun 604 H oleh Malik Mudaffar Abu Sa’id Kukburi.

Hukum Merayakan Maulid Nabi SAW

Mereka yang sekarang ini banyak merayakan maulid nabi SAW seringkali mengemukakan dalil. Di antaranya:

1. Mereka berargumentasi dengan apa yang ditulis oleh Imam As-Suyuti di dalam kitab beliau, Hawi li al-Fatawa Syaikhul Islam tentang maulid serta Ibn Hajar Al-Asqalani ketika ditanya mengenai perbuatan menyambut kelahiran nabi SAW. Beliau telah memberi jawaban secara bertulis:

Adapun perbuatan menyambut maulid merupakan bid’ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para salafush-shaleh pada 300 tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan itu penuh dengan kebaikan dan perkara-perkara yang terpuji, meski tidak jarang dicacat oleh perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya.

Jika sambutan maulid itu terpelihara dari perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka tergolong dalam perbuatan bid’ah hasanah. Akan tetapi jika sambutan tersebut terselip perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka tidak tergolong di dalam bida’ah hasanah.

2. Selain pendapat di atas, mereka juga berargumentasi dengan dalil hadits yang menceritakan bahwa siksaan Abu Lahab di neraka setiap hari Senin diringankan. Hal itu karena Abu Lahab ikut bergembira ketika mendengar kelahiran keponakannya, Nabi Muhammad SAW. Meski dia sediri tidak pernah mau mengakuinya sebagai Nabi. Bahkan ekspresi kegembiraannya diimplementasikan dengan cara membebaskan budaknya, Tsuwaibah, yang saat itu memberi kabar kelahiran Nabi SAW.

Perkara ini dinyatakan dalam sahih Bukhari dalam kitab Nikah. Bahkan Ibnu Katsir juga membicarakannya dalam kitabnya Siratunnabi jilid 1halaman 124.

Syamsuddin Muhammad bin Nasiruddin Ad-Dimasyqi menulis dalam kitabnya Mawrid as-sadi fi Mawlid al-Hadi : “Jika seorang kafir yang memang dijanjikan tempatnya di neraka dan kekal di dalamnya” (surat Al-Lahab ayat 111) diringankan siksa kuburnya tiap Senin, apalagi dengan hamba Allah yang seluruh hidupnya bergembira dan bersyukur dengan kehadiran Ahmad dan meninggal dengan menyebut “Ahad”?

3. Hujjah lainnya yang juga diajukan oleh para pendukung maulid Nabi SAW adalah apa yang mereka katakan sebagai pujian dari Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani.

Menurut mereka, Ibnu Hajar telah menulis di dalam kitabnya, ‘Al-Durar al-Kamina fi ‘ayn al-Mi’at al-thamina‘ bahwa Ibnu Kathir telah menulis sebuah kitab yang bertajuk maulid Nabi di penghujung hidupnya, “Malam kelahiran NabiSAW merupakan malam yang mulia, utama, dan malam yang diberkahi, malam yang suci, malam yang menggembirakan bagi kaum mukmin, malam yang bercahaya-cahaya, terang benderang dan bersinar-sinar dan malam yang tidak ternilai.”

4. Para pendukung maulid nabi SAW juga melandaskan pendapat mereka di atas hadits bahwa motivasi Rasulullah SAW berpuasa hari Senin karena itu adalah hari kelahirannya. Selain karena hari itu merupakan hari dinaikkannya laporan amal manusia.

Abu Qatadah Al-Ansari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika ditanya mengapa beliau berpuasa pada hari Senin, menjawab, “Itulah hari aku dilahirkan dan itulah juga hari aku diangkat menjadi Rasul.”

Hadits ini bisa kita dapat di dalam Sahih Muslim, kitab as-siyam (puasa)

Pendapat yang Menentang

Namun argumentasi ini dianggap belum bisa dijadikan landasan dasar pensyariatan seremoni maulid nabi SAW.

Misalnya cerita tentang diringankannya siksa Abu Lahab itu, mereka mengatakan bahwa Abu Lahab yang diringankan siksanya itu pun hanya sekali saja bergembiranya, yaitu saat kelahiran. Dia tidak setiap tahun merayakan kelahiran nabi dengan berbagai ragam seremoni. Kalau pun kegembiraan Abu Lahab itu melahirkan keringanan siksanya di neraka tiap hari Senin, bukan berarti orang yang tiap tahun merayakan lahirnya nabi SAW akan mendapatkan keringanan siksa.

Demikian juga dengan pujian dari Ibnu Katsir, sama sekali tidak bisa dijadiakan landasan perintah untuk melakukan sermonial khusus di hari itu. Sebab Ibnu Katsir hanya memuji malam hari di mana Nabi SAW lahir, namun tidak sampai memerintahkan penyelenggaraan seremonial.

Demikian juga dengan alasan bahwa Rasulullah SAW berpuasa di hari Senin, karena hari itu merupakan hari kelahirannya. Hujjah ini tidak bisa dipakai, karena yang saat dilakukan bukan berpuasa, tapi melakukan berbagai macam aktifitas setahun sekali. Kalau pun mau berittiba’ pada hadits itu, seharusnya umat Islam memperbanyak puasa sunnah hari Senin, bukan menyelenggarakan seremoni maulid setahun sekali.

Bahkan mereka yang menentang perayaan maulid nabi ini mengaitkannya dengan kebiasaan dari agama sebelum Islam. Di mana umat Yahudi, Nasrani dan agama syirik lainnya punya kebiasaan ini. Buat kalangan mereka, kebiasaan agama lain itu haram hukumnya untuk diikuti. Sebaliknya harus dijauhi. Apalagi Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkannya atau mencontohkannya.

Dahulu para penguasa Mesir dan orang-orang Yunani mengadakan perayaan untuk tuhan-tuhan mereka. Lalu perayaan-perayaan ini di warisi oleh orang-orang Kristen, di antara perayaan-perayaan yang penting bagi mereka adalah perayaan hari kelahiran Isa al-Masih, mereka menjadikannya hari raya dan hari libur serta bersenang-senang. Mereka menyalakan lilin-lilin, membuat makanan-makanan khusus serta mengadakan hal-hal yang diharamkan.

Dan akhirnya, para penentang maulid mengatakan bahwa semua bentuk perayaan maulid nabi yang ada sekarang ini adalah bid’ah yang sesat. Sehingga haram hukumnya bagi umat Islam untuk menyelenggarakannya atau ikut mensukseskannya.

Jawaban dari Pendukung Maulid

Tentu saja para pendukung maulid nabi SAW tidak rela begitu saja dituduh sebagai pelaku bid’ah. Sebab dalam pandanga mereka, yang namanya bid’ah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah (formal) saja, bukan dalam masalah sosial kemasyarakatan atau masalah muamalah.

Adapun seremonial maulid itu oleh para pendukungnya diletakkan di luar ritual ibadah formal. Sehingga tdak bisa diukur dengan ukuran bid’ah. Kedudukannya sama dengan seorang yang menulis buku tentang kisah nabi SAW. Padahal di masa Rasulullah SAW, tidak ada perintah atau anjuran untuk membukukan sejarah kehidupan beliau. Bahkan hingga masa salah berikutnya, belum pernah ada buku yang khusus ditulis tentang kehidupan beliau.

Lalu kalau sekarang ini umat Islam memiliki koleksi buku sirah nabawiyah, apakah hal itu mau dikatakan sebaga bid’ah? Tentu tidak, karena buku itu hanyalah sarana, bukan bagian dari ritual ibadah. Dankeberadaan buku-buku itu justru akan membuat umat Islam semakin mengenal sosok beliau. Bahkan seharusnya umat Islam lebih banyak lagi menulis dan mengkaji buku-buku itu.

Dalam logika berpikir pendukung maulid, kira-kira seremonial maulid itu didudukkan pada posisi seperti buku. Bedanya, sejarah nabi SAW tidak ditulis, melainkan dibacakan, dipelajari, bahkan disampaikan dalam bentuk seni syair tingkat tinggi. Sehingga bukan melulu untuk konsumsi otak, tetapi juga menjadi konsumsi hati dan batin. Karena kisah nabi disampaikan dalam bentuk syair yang indah.

Dan semua itu bukan termasuk wilayah ibadah formal (mahdhah) melainkan bidang muamalah. Di mana hukum yang berlaku bahwa segala sesuatu asalnya boleh, kecuali bila ada dalil yang secara langsung melarangnya secara eksplisit.

Kesimpulan

Sebagai bagian dari umat Islam, barangkali kita ada di salah satu pihak dari dua pendapat yang berbeda. Kalau pun kita mendukung salah satunya, tentu saja bukan pada tempatnya untuk menjadikan perbedaan pandangan ini sebagai bahan baku saling menjelekkan, saling tuding, saling caci dan saling menghujat.

Perbedaan pandangan tentang hukum merayakan maulid nabi SAW, suka atau tidak suka, memang telah kita warisi dari zaman dulu. Para pendahulu kita sudah berbeda pendapat sejak masa yang panjang. Sehingga bukan masanya lagi buat kita untuk meninggalkan banyak kewajiban hanya lantaran masih saja meributkan peninggalan perbedaan pendapat di masa lalu.

Sementara di masa sekarang ini, sebagai umat Islam, kita justru sedang berada di depat mulut harimau sekaligus buaya. Kita sedang menjadi sasaran kebuasan binatang pemakan bangkai. Bukanlah waktu yang tepat bila kita saling bertarung dengan sesamasaudara kitasendiri, hanya lantaran masalah ini.

Sebaliknya, kita justru harus saling membela, menguatkan, membantu dan mengisi kekurangan masing-masing. Perbedaan pandangan sudah pasti ada dan tidak akan pernah ada habisnya. Kalau kita terjebak untuk terus bertikai, maka para pemangsa itu akan semakin gembira.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

 

sumber: Rumah Fiqih Indonesia

Yang Mengatakan Maulid Bid’ah Perlu Belajar Agama Lagi

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengatakan, kelahiran Nabi Muhammad SAW atau dikenal dengan istilah Maulid Nabi merupakan peristiwa besar yang perlu dikenang dan diperingati oleh umat Islam di seluruh dunia.

Ia menyampaikan taushiyahnya di hadapan habib, tokoh masyarakat Betawi dan ratusan jamaah yang menghadiri peringatan Maulid Nabi di Masjid Jami’ Al-Ilyas, Kampung Pulo Nangka Barat, Jakarta Timur, Ahad (20/1) malam. Masjid ini merupakan bagian dari Pondok Pesantren Al-Kenaniyah yang saat ini dipimpin oleh KH Hambali Ilyas.

Menurut Kang Said, panggilan akrab KH Said Aqil Siroj, Nabi Muhammad dilahirkan di tengah dunia yang jahiliyah. Di sebelah barat ada kerajaan Romawi, dan di sebelah timur ada kerajaan Persia. Mereka bisa dikatakan maju dalam hal pengetahuan tapi jahiliyah atau bodoh dalam hal akhlak.

“Romawi memperlakukan budak lebih hina dari binatang. Para budak diadu sebagai gladiator. Ketika ada yang mati mereka bersorak gembira. Sementara orang Persia memperlakukan perempuan sangat rendah. Kalau ada anak perempuan lahir langsung dibunuh. Anak bisa mengambil ibunya sendiri untuk dinikahi jika ayahnya mati,” kata Kang Said.

Peringatan atas anugerah kelahiran Nabi Muhammad SAW bisa dilakukan dengan membaca shalawat sebanyak-banyaknya sembari mengingat kembali dan mencontoh berbagai teladan beliau, terutama akhlak yang mulia.

Menurut Kang Said, peringatan Maulid Nabi merupakan sunnah taqririyah. Disampaikannya, ada tiga macam sunnah atau hadits nabi. Pertama berupa perkataan nabi (qouliyah). Kedua berupa perbuatan nabi (fi’liyah). Sementara sunnah taqririyah adalah perbuatan sahabat yang diketahui oleh nabi dan dibenarkan oleh beliau.

“Ada orang memuji-muji nabi dengan syair, mengagungkan nabi, dan beliau tidak melarang. Beliau malah menghadiahkan selimut tidurnya kepada orang tersebut; yakni selimut bergaris yang disebut sebagai burdah,” kata Kang Said sembari bercerita panjang lebar tentang Abu Said Al-Busiri dan shalawat Burdahnya.

Kang Said yang dikenal sangat kuat hapalannya itu sempat memukau hadirin saat melantunkan berbagai macam shalawat berikut nama pengarang dan tahun kelahiran dan wafatnya, serta merunut silsilah Nabi Muhammad SAW sampai kepada Nabi Adam AS tanpa membaca teks.

Menyikapi beberapa kalangan yang sinis dan mengatakan maulid nabi sebagai amalan bid’ah, Kang Said meminta jamaah untuk tidak usah menghiraukannya. Menurutnya, mereka yang suka mengatakan bid’ah itu biasanya belum belajar ilmu agama secara mendalam.

“Yang mengatakan Maulid Nabi itu bid’ah berarti dia masih perlu belajar agama lagi. Silakan datang ke NU atau belajar lagi di pesantren,” kata kang Said.

Penulis: A. Khoirul Anam

sumber:  NU.or.id