Pesan KH Cholil Nafis Terkait Muharram

Beberapa hari lagi umat Muslim di seluruh dunia akan memasuki tahun baru Islam 1 Muharram 1443 Hijriah. Ketua komisi dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Cholil Nafis mengajak umat Muslim di Indonesia untuk bermuhasabah diri dalam mengisi pergantian tahun Hijriah. 

Kiai Cholil mengatakan Muharram merupakan salah satu bulan yang sangat dimuliakan. Dalam sebuah keterangan ada empat bulan yang sangat dimuliakan dalam Islam yakni Dzulkadah, Dzulhijah, Rajab dan Muharram. Karena kemuliaan dan keistimewaan Muharram, umat Muslim pun diharapkan banyak mengisinya dengan memperbanyak ibadah. 

“Tentunya kita melakukan muhasabah karena setahun kita hidup, kemudian kita akan masuk pada tahun baru. Kita muhasabah terhadap dosa-dosa kita, kebaikan-kebaikan kita, ketulusan-ketulusan kita, dan amal-amal kita kepada orang lain,” kata kiai Cholil kepada Republika.co.id pada Jumat (6/8).

Lebih lanjut kiai Cholil menganjurkan agar umat bisa mengisi Muharram dengan berpuasa sunah terutama pada hari Asyura atau pada 10 Muharram. Sebab terdapat kebaikan yang ada di dalam ibadah puasa pada waktu tersebut. 

Kiai Cholil juga mengajak umat agar menjadikan momentum pergantian tahun baru Islam membawa semangat perubahan pada diri sehingga semakin baik. 

“Jadi mari kita semua ikuti semangat hijrah, namanya tahun baru, spirit berjihad , spirit perjuangan di jalan Allah, kita sabar terhadap apa yang menimpa kita, sabar terhadap tantangan dan rintangan dari sebuah perjuangan kita,” katanya.

Andrian Saputra

KHAZANAH REPUBLIKA

MUI Imbau Ustadz dan Ustadzah Patuh Protokol Kesehatan

Para ustadz berperan penting untuk tidak menciptakan kerumunan.

Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis mengimbau ustadz dan ustadzah mematuhi protokol kesehatan. Sebab, virus Covid-19 dapat menyerang siapa pun tanpa mengenal status.

“Karena kondisi pandemi masih rawan, acara-acara keagamaan, acara sosial, dan bisnis kalau bisa menghindari berkerumun. Hindari kontak fisik. Jangan lupa memakai masker dan cuci tangan,” kata Cholil saat dikonfirmasi, Kamis (19/11).

Walaupun pemerintah menerapkan jaga jarak, bukan berarti aktivitas menjadi terhambat. Masyarakat tetap beraktivitas diiringi dengan penerapan protokol kesehatan.

“Kita tetap beraktivitas dengan menjaga protokol kesehatan. Saya atas nama Sekretaris Satgas Covid-19 MUI mengimbau kepada para asatidz mawas diri,” ujar dia.

Dia mencontohkan ada beberapa temannya yang enggan datang dalam acara keagamaan jika melanggar prosedur kesehatan, termasuk menghindari kontak fisik. Baru-baru ini, Ustadzah Mama Dedeh dikabarkan positif Covid-19. Kabar itu juga sempat menjadi trending di Twitter. Menanggapinya, Cholil memberikan doa dan harapan kepada Mama Dedeh.

“Kepada Mamah Dedeh, saya nggak tahu bagaimana bisa terpapar. Tapi saya berharap sabar dan tawakal kepada Allah, berdoa mudah-mudahan Mama Dedeh diberi kesembuhan dan kesehatan karena ilmu dan perjuangan kepada umat dibutuhkan. Semoga kita semua diselamatkan oleh Allah,” kata dia.

Cholil juga menekankan para ustadz dan ustadzah harus bertindak tegas. Pengajian dan sejumlah acara keagamaan memang tidak dilarang, namun sebaiknya mematuhi protokol kesehatan.

“Peraturan pemerintah wajib ditaati. Para ustadz berperan penting untuk tidak menciptakan kerumunan. Menerima undangan pun harus tau acaranya seperti apa, nggak setiap undangan diterima,” kata dia.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bolehkah Tidak Shalat Jum’at karena Covid-19? Ini Penjelasan Kiai Cholil Nafis

Seusai fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Covid-19 dikeluarkan banyak diskusi dan masyarakat bertanya-tanya. Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis menjelaskan bahwa dalam fatwa tersebut menegaskan tentang dua hal:

Pertama, orang yang terpapar Covid-19 harus mengisolasi diri dan haram untuk melaksanakan shalat Jum’at karena dapat menularkan dan membahayakan orang lain. Tentu prinsipnya, memelihara kemaslahatan umum didahulukan daripada kemaslahatan individu dan juga prinsip menolak keburukan didahulukan daripada memperoleh kebaikan.

Kedua, orang yang sehat dan belum diketahui terkena Covid-19 maka ada dua hal dan kondisi. Jika ia berada di daerah yang rawan tinggi dan menurut otoritas medis dan pemerintah yang dipercaya rawan dan bahaya dengan penularan penyakit maka ia boleh tidak melaksanakan shalat Jum’at. Kata Boleh itu artinya juga boleh melaksanakan jum’atan. Meskipun itu juga bisa jadi udzur untuk tidak melaksanakan shalat jum’at.

Namun, jelas laki-laki yang saat ini juga menjabat sebagai Dewan Pengawas Koperasi Syariah itu, jika dalam kondisi sehat di tempat yang rendah bahkan tak ada tanda-tanda penularan Civid-19 maka tetap wajib shalat Jum’at dengan penuh kehati-hatian dan ikhtiyar dengan sebaik-baiknya, seperti jaga kebersihan dan selalu memelihara wudhu.

Yang perlu diperhatikan adala kata Tidak melaksanakan ibadah jum’at itu berbeda dengan meniadakan jum’atan. “Tidak melaksanakan shalat jum’at berarti bisa saja hanya dia sendiri yang tak melaksanakan shalat jum’at. Namun meniadakan shalat jum’at berarti melarang semuanya untuk menyelenggarakan ibadah shalat Jum’at,” jelasnya sebagaimana dalam penjelasan tertulis di laman facebook-nya.

Tentu meniadakan shalat jum’at pasti bertentangan dengan semangat beragama dan melanggar kewajiban agama, namun shalat Jum’at itu selalu dilakukan dengan ramai hingga melibatkan puluhan kadangkala ratusan orang sehingga dikhawatirkan wabahnya cepat menular kepada orang banyak.

Ketentuan Hukum Shalat Jum’at Menurut Empat Madzhab

Masih menurut Kiai Cholil Nafis, dalam kondisi mewabahnya Covid-19 ini umat Islam dapat memilih pendapat imam mazhab yang lebih memungkin tentang syarat sahnya shalat jum’at harus berjemaah. “Mari kita simak pendapat ulama tentang jumlah jemaah shalat Jum’at,” katanya lagi.

1. Madzhab Hanafi.

Syarat sahnya shalat jum’at harus berjemaah yang sedikitnya berjumlah tiga orang selain Imamnya (4 orang). Dan ketiganya tidak harus hadir saat khutbah, yang penting di antara jemaah meskipun hanya seseorang ada yang mendengarkan khutbah. Shalat jum’atnya pun tak harus dimasjid.

2. Madzhab Maliki

Shalat Jum’at harus dilaksanakan secara berjemaah yang sedikitnya dua belas orang selain imam (13 orang) dengan syarat semua jemaahnya adalah orang yang wajib shalat jum’at, penduduk setempat dan semuanya hadir dari awal khutbah sampai selesai pelaksanaan shalat jum’at.

3. Madzhab Syafi’i

Shalat Jum’at dilaksanakan oleh jemaah yang sedikitnya empat puluh orang meskipun sekalian dengan imamnya. Semua harus penduduk setempat, orang-orang yang wajib shalat jum’at yang hadir dari awal khutbah sampai selesai pelaksanaan shalat.

4. Madzhab Hanbali

Demikian madzhab Hambali hampir sama dalam hal ini dengan madzhab Syafi’i.

Semua pendapat imam mazhab ini, jelas Kiai Cholil Nafis, memungkinkan untuk diikuti asalkan tidak karena talfiq, yakni memcampur pendapat ulama mazhab dengan tujuan cari kemudahan dan  menggampangkan hukum Islam (tatabbu’urukhash)

Menurut Kiai yang menyelesaikan Post Doctoral-nya di Muhammad V University, Maroko itu, di antara sebab perbedaan pendapat ulama ini adalah interpretasi surat al-Jum’ah ayat 9 yang dapat ditafsirkan jumlah peserta yang diseru untuk shalat Jum’at 3 orang lebih. Maka lebih dari 3 orang dalam satu daerah hukumnya wajib melaksanakan shalat Jum’at. Tapi karena kehati-hatian Imam Syafi’i menyaratkan minimal shalat jum’at dilakukan oleh 40 orang.

Sementara, jelasnya, kondisi sekarang ini seperti di Jakarta dapat memilah tempat mana yang rawan covid-19 sehingga boleh meninggalkan shalat Jum’at demi keselamatan diri dan masyarakat. Lalu seperti daerah lain yang masih steril dari Covid-19 maka wajib melaksanakan shalat Jum’at seraya ikhtiyar dan berhati-hati. Wallahua’alam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Maulid Nabi Momentum Perkuat Persatuan Umat Islam

Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonedia (MUI), KH Cholil Nafis menjelaskan Maulid Nabi dalam konteks kenegaraan. Menurut dia, hadirnya Nabi Muhammad SAW ke muka bumi ini telah melahirkan persatuan yang sifatnya pluralis.

“Dalam konteks negara, hadirnya Nabi Muhammad telah mencipatakan persatuan yang sifatnya pluralitas. Walaupun berbeda suku dan agama tetapi dalam bingkai kenegaraan, dalam bingkai kebangsaan,” ujarnya kepada Republika.co.id, Rabu (29/11).
Ia menuturkan, dalam konteks keindonesiaan, umat Islam pun telah mampu meneladani Nabi Muhammad dengan menjaga kebhinnekaan itu dan bersikap toleran pada umat agama lainnya. “Nah konteks Indonesia kita menjalin kebhinnekaan untuk mencapai cita-cita bersama dalam konteks kebangsaan. Maka kita menghormati, kita bertoleransi, kita juga bisa bekerja bersama dalam mengisi kemerdekaan,” ucapnya.
Menurut dia, peringatan Maulid Nabi harus dijadikan momentum umat Islam untuk meneladani Nabi Muhammad, sehingga di era milenial ini tetap bisa menjaga rasa persatuan.
“Inilah momentum keteladanan yang bisa kita implementasikan dan sangat aktual di era sekarang ini untuk membangun persatuan dan kesatuan,” katanya.
Ia mengatakan, momentum Maulid Nabi juga merupakan kabar gembira karena Nabi Muhammad hadir dengan membawa risalah kenabian, sehingga umat Islam dapat meneladaninya. Menurut dia, segala kehidupan manusia yang baik telah dicontohkan oleh Rasulullah.
“Dalam konteks sekarang, Maulid Nabi diartikan untuk begaimana membangun solidaritas, soliditas umat. Kita membangun umat yang bersatu dan menjadi peduli antara satu dengan yang lain,” jelasnya.

Tanda-Tanda Puasa Kita Diterima Allah

Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis mengatakan, meskipun ibadah puasa umat Islam di Bulan Ramadhan telah memenuhi syarat dan rukunnya belum tentu diterima oleh Allah. Karena, menurut dia, untuk diterima Allah membutuhkan suatu keikhlasan.

“Tentunya untuk mengukur apakah puasa kita diterima atau tidak diterima oleh Allah, meskipun barangkali syarat dan rukunnya sudah terpenuhi sehingga disebut sah, tapi untuk diterimanya itu butuh keikhlasan,” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (22/6).

Kiai Cholis mengungkapkan, untuk mengetahui apakah ibadah puasa kita diterima atau tidak oleh Allah, maka harus tetap istiqamah menjalan kebiasaan baik selama Bulan Ramadhan. Jika bisa sanggup melaksanakn ibadah baik tersebut, berarti ibadahnya telah diterima oleh Allah.

“Tanda-tanda puasa kita diterima maka kita harus istiqamah, konsisten dengan kebiasaan pada Bulan Ramadhan. Artinya, seusai Bulan Ramadhan, sebelas bulan berikutnya kebiasaan itu kita teruskan,” ucapnya.

Dengan demikian, kata dia, kondisi umat Islam setelah Ramadhan akan menjadi lebih baik dibandingkan sebelum Ramadhan. Selain itu, Kiai Cholis juga mengingatkan, agar umat Islam tak lupa memberikan buah tangan kepada setiap saudara yang dicintai dalam momentum lebaran nanti.

Karena, menurut dia, pemberian itu merupakan bentuk cinta terhadap sesama umat Islam, sesama kerabat, dan orang-orang terdekat. “Itu adalah tanda-tandanya ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Ketika seusai ibadah, kehidupan, prinsip, lalu prilaku, keimanan kita bertambah baik dan tambah mendekatkan diri kepada Allah SWT,” kata Kiai Cholil.

 

REPUBLIKA

Harapan MUI dengan Kedatangan Zakir Naik Ke Indonesia

Ulama kondang asal India, Dr Zakir Abdul Karim Naik akan melakukan safari dakwah ke Indonesia akhir Maret hingga April 2017 mendatang.

Safari dakwah bertajuk ‘Zakir Naik Visit Indonesia 2017’.

Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis, Selasa (14/3/2017), berbincang dengan Tribunnews.com mengaku sering menonton zakir Naik di televisi dan Youtube.

Namun, secara pribadi KH Cholil Nafis tidak mengenal sosok Zakir Naik.

“Beberapa kali saya melihat di televisi saat berkunjung ke Bangladesh tahun 2011 dan belakangan ini saya acapkali membuka di youtube ceramah dan debatnya,” ucap KH Cholil Nafis.

Menurutnya, Zakir Naik sebagai ahli di bidang perbandingan agama.

Sehingga, orangnya dinilai senang mendiskusikan antar keyakinan.

Meskipun menurut KH Cholil tak semua keyakinan dapat didialogkan.

“Mungkin hal-hal logika dan spiritualitas dapat diperdebatkan tapi kesadaran atau hidayah dalam beragama sepenuhnya adalah kewenangan Allah SWT,” ucapnya.

Menurut dia, cara dakwah model Dr Zakir Naik baik bagi kalangan intelektual, akademisi, atau antar pimpinan umat beragama.

“Namun, bagi kalangan masyarakat awam dapat disalahpahami sebagai penghinaan bagi keyaninan umat lain,” katanya.

Menurutnya safari dakwah Zakir Naik di Indonesia baik sebagai sarana menjalin ukhuwah Islamaiyah dan ukhuwah insaniyah.

Hadirnya Dr Zakir Naik menjadi sarana transfer ilmu dan pengalam bagi aktivis dakwah di Indonesia.

“Indonesia punya konsep Islam Wasathi yang bisa dikenalkan kepada Dr Zakir Naik agar dibawa ke negerinya dan disiarkan ke seluruh dunia,” ujar dia.

Sementara, bagi yang hendak melakukan dialog antar iman bisa menjadi sarana untuk mengasah pengetahuan tentang rasionalisasi ajaran agama dan saling memahami tentang konsep keyakinan antar masing-masing umat beragama.

Ia berharap kunjungan Dr Zakir Naik ke Indonesia menjadi sarana tukar menukar ilmu dan pengalaman aktifitas dakwah yang menyejukkan dan mendamaikan umat muslim dan menjadi sarana untuk menepis tuduhan Islam teroris.

“Kami berharap jangan sampai kehadiran Dr Zakir Naik menjadi kontra produktif sehingga menyinggung perasaan apalagi menistakan keyakinan umat beragama lain,” katanya.

sumber:TribunNews

Melalui Medsos, Gibah Bisa Berjamaah

Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia  (MUI), KH Cholil Nafis mengatakan, ghibah saat ini tidak lagi harus bertatap muka. Namun, sarana gibah berubah dari manual kepada digital. “Kini dengan media sosial orang bisa bergibah secara berjamaah,” ujar Cholil, kepada Republika.co.id Selasa (7/6).

Perkembangan media sosial memang tidak bisa dibendung. Mayoritas masyarakat pun pengguna media sosial. Untuk itu dia mengatakan, diperlukan cara agar tidak bergibah melalui media sosial. Menurut Cholil, menyibukkan diri dengan ibadah dan ibadah sosial merupakan salah satu cara menghindari gibah.

Sehingga gibah tidak merusak ibadah puasa. Sebah, gibah dapat membatalkan pahala puasa. “Walaupun itu tidak membatalkan sahnya puasa,” kata Cholil.

Cholil menambahkan, Rasulullah SAW pernah bersabda tentang ghibah. Menurut Cholil sabda Rasulullah berbunyi “jika tak mampu menghindari kata kotor (seperti gibah) dan perbuatan buruk maka Allah tidak butuh untuk meninggalkan makan dan minum,” tutur Cholil.

 

sumber: Republika Online