Satu Keluarga Peluk Islam di Gampong Jawa

Satu keluarga Tionghoa asal Medan, Chik Chong (40), Jumat (13/1) memeluk Islam di Masjid Al Muchsinin Gampong Jawa Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh.

Prosesi pensyahadatan dipimpin oleh Wakil Ketua MPU Kota Banda Aceh H Burhanuddin A Gani MA, tausiah disampaikan Kepala Baitul Mal Kota Banda Aceh, Safwan Zainun SPdI dan bertindak sebagai saksi Keuchik Gampong Jawa H Ridwan AR dan Ketua Tuha Peut, Ir H Maulisman Hanafiah, serta dihadiri oleh Muspika Kutaraja dan warga yang antusias menyaksikan kegiatan ini.

Keuchik Gampong Jawa, H Ridwan AR mengungkapkan, bahwa sebelumnya Chik Chong yang menganut agama Budha, namun setelah memeluk Islam berganti nama menjadi Muhammad Hidayah, istrinya yang dulu bernama Ester berganti menjadi Siti Aisyah dan empat orang anaknya juga diberi nama masing-masing Ibnu Arif, Maulidia, Affrah dan Nabila.

Dikatakan Chik Chong yang berprofesi sebagai pedagang selama beberapa bulan ini dia mulai tertarik mendalami Islam dan mengutarakan keyakinan pada warga dusun tempat tinggalnya, wargapun melaporkan keinginan tersebut pada Keuchik, dimana salah seorang warganya ingin memeluk agama Islam.

Selanjutnya, setelah berkoordinasi dengan MPU, Baitul Mal Kota Banda Aceh dan KUA Kecamatan Kutaraja maka dilaksanakan prosesi pensyahadatan di Masjid Al Muchsinin Gampong Jawa. “Setelah menjadi mualaf Muhammad Hidayah dan keluarga bertekad akan memperdalam ilmu agama Islam untuk pegangan dan bekal hidupnya, semoga Allah SWT meridhainya,” pungkas Keuchik Ridwan.(mis)

 

sumber:AcehTribunNews

Belajar Islam dari Sosok Ayahnya, Vita pun Bersyahadat

Vita (28 tahun), perempuan asal DKI Jakarta mengambil keputusan besar yang bakal mengubah seluruh hidupnya ke depan. Ia memutuskan memeluk agama Islam sekitar 2006 silam. Langkah itu, dia tempuh setelah sebelumnya mempelajari Islam kepada sosok yang sangat dihormati yaitu ayahnya. Lelaki yang juga merupakan seorang mualaf sejak tahun 1990-an. Meski hingga saat ini, sang ibu dan adiknya bukan beragama Islam.

Sekitar 2003, ia mengaku berada pada kondisi terendah menyangkut keyakinan. Bahkan, ritual-ritual keagamaan yang dianutnya kala itu, tidak pernah dilaksanakan. Ketika itu pula, dirinya sudah mengetahui tentang ritual-ritual agama Islam, namun masih sebatas untuk bersenang-senang.

Hingga suatu waktu, sang ayah mengingatkannya agar beragama secara benar. Sejak itu, ia merasa terganggu dan gelisah dengan perkataan ayahnya.

“D isitu titik balik saya mencari tahu tentang Islam. Tahun 2003, saya mencari, belajar, memahami (Islam) dan syahadat pada tahun 2006 saat lulus SMA di Masjid Lautze, Jakarta,” ujarnya kepada Republika saat ditemui di acara Mualaf Center Baznas di Pesantren Daarut Tauhid, Ahad (29/1).

Ia menuturkan, perjalanan sebelum mengucapkan syahadat secara resmi, dirinya sudah melaksanakan shalat dan kepada ayahnya mengucapkan syahadat. Bimbingan ayahnya yang begitu detail tentang agama Islam membuat dirinya begitu spesial. Dari mulai belajar tata cara berwudhu, shalat dan lainnya.

Selama proses mengenal Islam dan mempelajarinya hingga akhirnya memutuskan berpindah keyakinan, perempuan yang sehari-hari bekerja di Wedding Organizer (WO) ini mengaku, mendapatkan tantangan yang berat. Selain itu, rintangan datang dari keluarga meski tidak dimusuhi atau diusir. Sang ibu pun mempertanyakan pilihannya.

Meski begitu, Vita mengaku, heran dengan sikap ibunya sebab tidak ada yang salah dengan Islam. Bahkan, dia berpikir, banyak yang tidak suka dengan Islam ketika memutuskan menjadi seorang mualaf. Apalagi, baginya sebagai seorang mualaf keturunan tantangan selalu ada baik dari keluarga maupun lingkungan kerja atau pertemanan.

Vita mengatakan, ujian yang paling berat dirasakan selama menjadi mualaf adalah ketika sosok yang menjadi panutan dalam belajar Islam, ayahnya, meninggal dunia. Baginya, momen saat itu menjadi ujuan yang sangat berat.

“Beberapa tahun terakhir sangat berat. Saat saya memutuskan menjadi mualaf, saya memang harus punya agama. Apalagi, bapak bilang agama yang diridhai itu Islam. Bapak memberi wejangan kalau kamu masuk Islam jadi mualaf jangan pernah keluar dari Islam. Hanya bapak yang mendukung saya,” ungkapnya.

Saat tengah berada dalam kondisi yang berat, ia mengaku, mendapat dukungan dari teman-teman di Masjid Lautze termasuk di Mualaf Center Baznas dan guru mengaji. Hal itu membuat semangat yang kadang naik turun bisa kembali normal.

Ia pun mengaku dengan keputusannya menjadi mualaf pun banyak nikmat dari Allah SWT yang diperolehnya semisal dari pekerjaan.  “Selama 14 tahun jalan (proses) naik turun. Kalau gak kuat-kuat ingin melambaikan tangan (menyerah). Namun selalu dikembalikan dengan dulu saat berproses sejak awal,” ungkapnya.

Baginya dengan memeluk agama Islam, ia mengaku senang karena kini memiliki agama. Kemudian lebih dari itu, ia merasa lebih tenang dan damai. Meski masih ada yang kadang suka mencibir dengan keputusannya.

Satu hal yang saat ini selalu menjadi keresahan bagi dirinya adalah menyangkut pasangan hidup. Diusia yang kini matang, ia ingin memiliki pasangan hidup seiman. Namun, saat ini belum ada. Satu sisi, ia bergembira, karena neneknya sebelum meninggal sudah memeluk agama Islam termasuk abang dan pamannya.

Kepala Mualaf Center Baznas, Hadi Handoko mengungkapkan, masih banyak terdapat mualaf yang mendapatkan diskriminasi dan kekerasan fisik dari lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, pihaknya terus mengupayakan perlindungan dan pendampingan kepada para mualaf.

Selain itu, diperlukan koordinasi dan konsolidasi yang kuat antara lembaga yang berisikan para mualaf.  “Menjadi mualaf itu ada yang dikucilkan, bahkan diusir. Selain itu akses terhadap ekonomi, lingkungan sosial tidak diterima. Oleh karena itu diperlukan advokasi dan pendampingan,” ujarnya.

Dia  berharap, agar ekonomi bisa memainkan peran bagi para mualaf. Sebab mereka banyak dipersulit atau bahkan diberhentikan kerja karena status agamanya.

Dikatakan Hadi, saat ini, banyak orang yang memutuskan menjadi mualaf atau masuk Islam dikarenakan faktor pernikahan. Karena itu, tantangan ke depan bagi Mualaf Center Baznas adalah menyatukan lembaga mualaf untuk bekerja sama dan bersinergi.

Farid Septian. Senior Officer Advokasi dan Dakwah Baznas mengungkapkan, selama ini anggaran untuk program-program yang menyangkut mualaf masih sedikit. Padahal, keberadaan para mualaf sangat penting oleh karena itu harus lebih diperhatikan.

 

sumber:RepublikaOnline

Mualaf di Daerah Minoritas Butuh Perhatian

Mualaf di daerah minoritas butuh perhatian umat Islam. Pasalnya, sebagian dari mereka belum memperoleh pembinaan yang cukup dalam memperkuat akidah.

Ketua LPPD Khairu Ummah Ustaz Ahmad Yani, mengatakan, selama ini, para mualaf dinilai cenderung jarang mendapatkan perhatian, baik dari lembaga dakwah setempat ataupun dari tokoh-tokoh Islam setempat. Melalui pesantren kilat mualaf, LPPD coba memberikan perhatian itu.

“Program ini dilakukan agar pada dai dan tokoh Islam setempat memberi perhatian kepada pembinaan mantan non-Muslim, karena banyak di antara mereka yang belum sepenuhnya terbina,” tutur Ustaz Ahmad Yani dalam pesan pendek kepada Republika.co.id beberapa waktu lalu.

Dalam kesempatan tersebut, Ustaz Ahmad Yani memberikan pesan tausiyah kepada para mualaf seputar keislaman. Pesan tersebut antara lain adalah dengan menanamkan kebanggaan sebagai Muslim, yaitu dengan selalu menunjukkan identitas keislaman.

Tidak hanya itu, para peserta juga diajarkan untuk bergaul dan berlaku sebaik mungkin kepada keluarga ataupun teman yang masih non-Muslim. Bukan tidak mungkin, dia menjelaskan, secara bertahap mereka juga dapat mengajak keluarga atau teman mereka untuk memeluk agama Islam.

“Tidak hanya itu, saya juga berharap para mualaf tersebut bisa terus meningkatkan pemahaman kepada Islam dan memperkuat komitmen untuk terus memeluk agama Islam,” ujar Ustaz Ahmad Yani yang juga menjadi pengurus harian Dewan Masjid Indonesia (DMI) tersebut.

Untuk memberikan bekal dan memperkaya pengetahuan keislamannya, para peserta juga mendapatkan berbagai buku panduan. Mulai buku tentang keimanan, buku panduan untuk masuk surga, buku berisi soal sedekah, dan buku yang membahas secara lengkap soal tata cara shalat.

Selain digelar di Baranusa, program tersebut juga digelar diselenggarakan di sejumlah tempat di NTT, seperti di Maumere, Niki-Niki, Lembata, Alor, dan Kupang. Kegiatan ini pun tidak berhenti di situ. Rencananya, pada Desember mendatang, program Pesantren Bina Mualaf ini juga akan digelar di Pulau Rote, NTT. Kegiatan ini setidaknya berlangsung selama dua hari.

Di Baranusa, pesantren ini digelar selama dua hari beturut-turut. “Seluruh biaya dari kegiatan ini berasal dan didukung dari dana infak kaum Muslimin dan sejumlah lembaga zakat,” tutur Ustaz Ahmad Yani.

Selain membina para mualaf, LPPD Khairu Ummah juga menggelar berbagai pelatihan manajemen terhadap para pengurus dan khatib masjid di sekitar NTT. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan kemampuan para dai dalam menjawab permasalahan yang dihadapi umat. Kegiatan ini pun bekerja sama dengan Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) setempat.

Lebih lanjut, Ustaz Ahmad Yani menegaskan, cukup penting untuk memberikan perhatian yang besar terhadap dakwah di daerah-daerah terpencil. Karena itu, perhatian itu tidak hanya dilakukan oleh para pendakwah, tetapi juga berbagai elemen umat, terutama yang berada di daerah-daerah tersebut, termasuk juga dengan adanya bantuan-bantuan atau donasi dari kaum Muslimin dan lembaga-lembaga penyalur zakat.

”Untuk program ke daerah-daerah minoritas Muslim, bentuknya berupa kerja sama dengan organisasi setempat. Karena itu, dana harus kami usahakan sendiri. Bahkan, ada yang sepenuhnya berasal dari kami. Karena itu, terhadap para donatur dan pihak-pihak yang telah membantu, kami ucapkan banyak terima kasih,” tuturnya.

 

sumber:  Republika Online

Hebohkan Medsos, Ini Cerita Mualaf Cantik Korea Memeluk Islam

Ayana Johye Moon sempat menghebohkan media sosial pada 2015, usai keputusannya memeluk Islam dan mengunduh fotonya yang berjilbab. Uniknya, saat ini Ayana tengah mewujudkan minatnya belajar Alquran, terutama usai menyadari invasi AS di Irak pada 2003 lalu.

Dilansir dari Malaysian Digest, Rabu (25/1), Ayana memposting videonya di YouTube pada Senin (23/1), dan mengaku tengah menelusuri internet demi mengumpulkan informasi tentang Irak, yang Islam merupakan agama resmi. Namun, ia mengungkapkan, ketertarikannya kepada agama sudah mulai sejak usia 8-9 tahun, dan menemukan kata Islam begitu menarik dan merasa itu tidak seperti nama agama.

“Jadi, saya mulai melakukan penelitian tentang Islam dan melihat mereka mengenakan pakaian longgar, menutupi wajah mereka dengan niqab dan mengenakan jilbab seperti saya hari ini,” tutur dara berusia 22 tahun tersebut.

Ia menerangkan, rasa ingin tahunya tentang Islam tumbuh saat berada di sekolah tinggi dan diketahui guru serta orang tuanya, yang seperti Ayana karena sering mengasosiasikan Islam secara negatif. Tapi, usai melakukan banyak penelitian dan memperbanyak bacaan tentang kehidupan Muslim di Timur Tengah, mulailah persepsinya tentang Islam dan Muslim berubah secara perlahan.

Bertekad kuat memuaskan rasa ingin tahunya, Ayana mendaftar ke camp World Assembly of Muslim Youths (WAMY) di Korea selama tiga hari dua malam. Sejak itu, ia mengaku jadi lebih sering mengikuti program-program keagamaan yang banyak diselenggarakan masjid-masjid setiap pekan, sampai mengantarkan Ayana akhirnya benar-benar berkeinginan untuk bisa memeluk Islam.

“Saya bergabung dengan program mingguan di Masjid Salam Nuri dan di sana saya bertemu mentor saya, Paman Amin, dan saya belajar tentang Islam sampai saya menjadi seorang Muslim Korea,” ujar Ayana.

Meski begitu, ia menambahkan, pengalamannya memeluk Islam bukanlah tugas yang mudah, terutama karena kekhawatiran kalau keluarga dan teman-temannya akan dirugikan akibat keputusannya memeluk Islam. Maka itu, Ayana menegaskan postingannya di YouTube tentang pengalamannya merupakan pengalaman pribadi, dan tidak mewakili komunitas Islam dan Muslim secara keseluruhan.

 

sumber: Republika Online

Dalton Mtengwa: Islam Membuatku Tenang

Dalton Mtengwa merasa seperti menemukan oasis di tengah padang gersang. Saat diwawancarai Vice beberapa waktu lalu, pemuda 24 tahun asal Oldham, Inggris, ini menceritakan sekelumit pencarian spiritualnya hingga menerima Islam.

Sejak masih berumur belasan tahun, saya termasuk anak yang nakal di sekolah. Saya terlibat berbagai tindak kriminal atau kenakalan remaja lainnya. Saya selalu dalam masalah, kata Dalton.

Dia melanjutkan, memasuki usia 17 tahun, ia justru kabur dari sekolah. Dalton memilih hidup menggelandang di jalan-jalan bersama geng-nya. Dalton terkenal memiliki pergaulan luas. Ia telah berkelana bersama kawan-kawannya di hampir seluruh wilayah Inggris.

Memang, pada suatu ketika, ia memutuskan melanjutkan kembali pendidikannya. Namun, ia merasa tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan kampus. Di sana, ia hanya menaruh perhatian di bidang olahraga. Selain itu, ia mati-matian berusaha mendapatkan nilai yang layak.

“Perhatian saya mudah terpalingkan. Apalagi, waktu itu saya cukup populer, yang itu berarti agak berbahaya. Saat itu, saya lebih suka kehidupan jalanan,”katanya mengenang.

 

Bagaimanapun nakalnya Dalton, keluarganya tetap bersama dia. Ia tumbuh dari ayah dan ibu pemeluk Kristen. Sejak kecil, keluarganya membiasakan diri beribadah ke gereja.

Sebagai contoh, bibi Dalton merupakan sosok yang sangat religius. Dialah yang mengarahkan Dalton mengambil bidang studi kajian Injil di kampus.

Awalnya, Dalton menanggapi dengan sopan. Saat itu, Dalton merasa masih kurang tertarik menggali lebih banyak pengetahuan ihwal kitab suci agamanya itu. Ia mengaku bukanlah seorang Kristen yang taat pada masa remaja.

Pergaulannya yang luas, membuatnya acap kali berpikir bahwa agama seharusnya tidak berjumlah banyak. Cukup satu saja, karena semua semestinya mengarah ke Pencipta yang sama.

Ya, saya percaya Tuhan itu ada. Saya pergi ke gereja sesekali. (Namun) Itu tidak terlalu berdampak buat saya, sejujurnya, tidak bila dibandingkan belakangan dengan Islam, katanya.

Saya tidak percaya bahwa perlu ada banyak agama di dunia. Seharusnya, hanya perlu satu agama dan semua orang menyembah Tuhan Yang Esa, kata dia.

Sejak memasuki bangku kuliah, Dalton mengalami kegelisahan spiritual. Puncaknya, ia mengalami depresi. Ia mulai jarang mengikuti kuliah dan berkumpul bersama kawan satu geng-nya. Bahkan, ia terancam dikeluarkan dari kampus tempatnya belajar.

Banyak orang yang sampai melalui depresi ketika tidak ada ketenangan dalam hatinya, ujar dia.

 

Sampai di titik ini, Dalton sering menepi dari keramaian. Ia mulai merefleksikan hidupnya. Ia merasa, masa remajanya banyak dihabiskan untuk berbuat jahat, seperti mencuri, merampok, atau mengonsumsi narkoba. Kenakalan remaja hanya demi uang atau lantaran iri terhadap mereka yang bisa membeli apa saja dengan mudah.

Saya merasa berada di pergaulan yang salah. Selalu ada tekanan saat itu. Banyak di antara kami yang hidup materialistis. Saya melakukan tindak kriminal hanya untuk menambah uang membeli apa yang dibeli orang, katanya mengenang.

Hingga suatu ketika, ajakan dari beberapa sahabat baiknya untuk mengobrol. Kemudian, mereka mengatakan kepada Dalton, Kamu sebaiknya berzikir, mengucapkan dua kalimat syahadat.

Saat itu, Dalton tidak benar-benar memahami apa maksud sahabatnya itu. Namun, ia merasa berbeda. Sebab, mereka melihat dengan mata hati dan memahami kekosongan yang sedang dialami Dalton.

Mereka yakin bahwa saya sebaiknya mengucapkannya (dua kalimat syahadat). Sebab, mereka menilai saya sebagai orang yang religius. Mereka melihat ke dalam hati saya. Dan mereka menemukan iman di sana, ujar Dalton.

Bahkan, kata mereka, sewaktu pertama kali bertemu dengan saya, mereka pikir saya ini Muslim. Mereka benar-benar terkejut begitu saya sampaikan yang sebenarnya (bahwa bukan Muslim), katanya melanjutkan.

Akhirnya, pada Februari lalu, Dalton resmi memeluk Islam. Ia dibimbing oleh tokoh Muslim setempat bernama Syekh Bilal, yang juga seorang mualaf.

Dari Syekh Bilal, Dalton mempelajari rukun Islam, rukun Iman, dan ajaran-ajaran Islam lainnya. Di lingkungan tempat tinggalnya, tidak banyak dijumpai orang Islam.

Perlahan-lahan, depresi dalam diri Dalton terkikis. Ia merasa hidupnya kini lebih tenang dan memiliki tujuan jelas.

Saya masuk Islam karena saya telah menemukan kebenaran, jalan yang benar. Di Islam, ada banyak ajaran dan cara hidup yang disiplin. Islam mengajarkan kepada saya untuk hidup sederhana dan tidak tamak. Saat kita mati, harta benda tidak menyertai. Hanya amal kita. Allah hanya melihat amal ibadah kita, katanya.

Dalton kemudian melanjutkan studinya kembali di kampus dalam bidang matematika dan bahasa Inggris. Islam menjadi penyemangat baginya untuk hidup selalu lebih baik.

Ini juga menolong ia untuk berkonsentrasi belajar dan meninggalkan kehidupan jalanan. Alih-alih menghabiskan waktu dalam hal-hal nirguna, ia menyibukkan diri dengan belajar Alquran. Ia konsisten shalat tepat waktu.

Sebagai seorang pemuda, setelah memeluk Islam, sikap Dalton berubah menjadi lebih sopan. Dahulu, ia menjalin hubungan penuh nafsu dengan lawan jenis. Kini, ia berkeyakinan, pernikahan adalah jalan terbaik.

Dahulu, hubungan saya dengan banyak perempuan begitu liar. Kini, di dalam agama saya, Islam, ternyata ada lebih banyak sikap romantis yang bisa dikembangkan. Ada banyak ajaran (dalam Islam) yang menghormati perempuan.

 

Bagaimana hubungan Dalton dengan keluarganya kini? Dia mengakui, awalnya ayah dan ibunya terkejut dengan keputusannya beralih iman.

Sebab, keduanya lebih memahami Islam sebagaimana yang dicitrakan melalui pemberitaan di televisi. Menurut Dalton, media massa Barat kerap memojokkan Islam. Apalagi, di Inggris, islamofobia masih menjadi fenomena yang sering dijumpai.

Namun, pihak keluarga lama-kelamaan mengamati perkembangan sikap Dalton setelah memeluk Islam. Pemuda itu menjadi lebih sopan, taat, dan menghindari perilaku buruk yang kerap dia lakukan dahulu. Bahkan, hubungan Dalton dengan ayah, ibu, dan keluarganya kian erat setelah memeluk Islam.

Mereka sekarang memahami, Islam telah mengubah hidup saya. Saya merasa lebih dekat dengan keluarga saya sekarang. Memang, ada banyak mualaf yang disalahpahami. Karena itu, sebaiknya siapa pun mengenal lebih dekat lagi mereka (mualaf), sehingga bisa mengerti, ujarnya.

sumber: republika online

Islam Menjawab Kegelisahan Katya Kotova

Katya Kotova, Perempuan Rusia yang berumur 23 tahun ini mengaku tak asing dengan Islam. Ketika usianya tiga tahun, Katya pernah menginjakkan kaki di masjid itu.

Ia mengenang, saat itu neneknya mengajaknya ikut sekadar menyaksikan shalat berjamaah. Suasana itu masih jelas dalam ingatannya. Aku masih mengingat pemandangan itu dengan jelas. Para perempuan shalat di lantai dua masjid.

“Aku berdiri dekat tangga, sambil melihat ke bawah, di mana para pria shalat di lantai dasar,”kata Katya Kotova seperti dikutip dari laman Russia Beyond the Headlines, belum lama ini.

Hampir 50 persen orang Bashkortostan merupakan Muslim. Namun, kekuasaan Uni Soviet yang berpaham ateis membuat cukup banyak orang beradaptasi. Orang tua Katya, misalnya, menganut paham sekuler. Ayahnya seorang Kristen Ortodoks Rusia, sedangkan ibunya Muslim Tatar. Tidak seorang pun dari mereka yang taat pada kepercayaan masing-masing.

Namun, generasi di atas orang tua Katya lebih religius. Nenek Katya, misalnya, tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Dari sang nenek, Katya pertama kali mengenal ibadah tersebut.

Selain itu, ia sering pula mendengar suara sang nenek ketika sedang berdoa dalam bahasa Arab. Saat itu, tentu saja Katya belum memahami artinya.

“Sewaktu aku masih kecil, kapan pun merasa takut, aku mengucapkan doa-doa Islami itu, meskipun tak paham betul artinya,” kata dia. Di sisi lain, buyut Katya dari pihak ayah merupakan penganut Kristen Ortodoks.

Saat berusia 13 tahun, Katya telah dibaptis menjadi seorang Kristen Ortodoks. Dengan begitu, di sekolah Katya merasa sudah seperti orang Rusia pada umumnya. Dia mengenakan kalung salib dan mulai meninggalkan kebiasaan merapalkan doa berbahasa Arab.

Katya begitu dekat dengan kakaknya. Berbeda dengan Katya, kakaknya itu penganut Kristen Ortodoks yang taat. Memasuki usia 18 tahun, Katya pindah ke Moskow.

Di ibu kota itu, ia belajar ilmu hukum di Universitas Negeri Rusia. Ia bercita-cita menjadi seorang pengacara dan pejuang keadilan. Saat menjadi mahasiswi, Katya tinggal sekamar dengan seorang kawan yang Muslimah.

Di sela-sela waktu belajar, mereka berdua kerap bertukar pikiran soal agama. Katya mulai serius mendalami agama sendiri, Kristen Ortodoks. Selain itu, agar bisa memahami perspektif kawannya, Katya juga membaca buku-buku mengenai Islam.

Seiring waktu, kenang dia, ketertarikannya meningkat terhadap Islam. Ia bahkan kemudian ingin pindah ke agama tauhid tersebut. Beberapa bulan sebelum wisuda, Katya telah menyelesaikan magang di Komite Investigatif, Moskow. Ia memang berniat menempuh karier di lembaga itu. Saat itu, hasratnya berpindah agama kian besar. Ia merasakan, jiwanya tersentuh dengan kesan-kesan yang didapatnya dari Islam.

Segala pertanyaan mengenai eksistensi diri, hubungan manusia dengan Sang Pencipta, serta bagaimana manusia seharusnya menjalani hidup. Semua kegelisahan itu dirasakannya dan ia menemukan jawabannya dalam Islam. Katya akhirnya memeluk agama Islam.

Pada 30 Maret 2016 lalu, ia mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Agung Moskow. Seluruh koleganya di Komite Investigatif terkejut begitu mendengar kabar itu. Tidak menunggu waktu lama, Katya lantas memutuskan konsisten berhijab.

Sejak saat itulah, suasana kerja di Komite dirasakannya kurang kondusif lagi. Karena itu, pelan-pelan Katya mencari pekerjaan baru, sekalipun tak ada hubungannya dengan dunia hukum. Meskipun keluar dari Komite, Katya tetap menjalin pertemanan dengan sejumlah koleganya.

Ia berhijrah ke Dagestan. Katya menjalani pekerjaan baru sebagai pelayan di sebuah kafe halal di sana sampai kini. Sebagai informasi, Dagestan merupakan negara bagian yang terletak sekitar 2.000 kilometer di selatan Moskow. Tepatnya di tepi Laut Kaspia. Negara bagian Dagestan memiliki populasi Muslim terbesar ketiga.

Saat ditanya apakah Katya menyesali masuk Islam di mana harus meninggalkan karier yang dicita-citakan dan bekerja hanya sebagai pelayan kafe, ia tak menyesalinya.

Dia mengaku terinspirasi kisah seorang perempuan yang teguh pendirian. Namanya Irena Sendler. Katya menceritakan, Irena merupakan sosok Muslimah yang tercatat dalam sejarah berhasil menyelamatkan sekitar 2.500 anak dari kekejaman Perang Dunia II di Warsawa, Polandia.

Selain itu, Katya juga mengambil semangat dari Valentina Tereshkova, perempuan Uni Soviet pertama yang menjadi kosmonaut. Sampai yang paling kontemporer, Katya tergugah dengan keteguhan seorang aktivis HAM Pakistan, Malala Yousafzai.

Lantaran itu, Katya masih menyimpan bara semangat kembali membaktikan diri di dunia aktivis keadilan. Ia tidak ingin berpangku tangan terhadap penderitaan anak-anak dan perempuan, khususnya di Rusia.

Adalah rahasia umum di Rusia bahwa Anda jangan pernah terlihat mencuci pakaian kotor Anda. Maksudnya, masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah sesuatu yang biasa ditampilkan ke publik. Ini persoalan perempuan, yang biasa dihadapinya sendirian. Nah, saya percaya, solusi datang dari kedua sisi (ranah privat dan publik), ujarnya menjelaskan. ed: nashih nashrullah.

Bagaimana Islam memandang perempuan? Katya menilai, agama ini sejatinya membebaskan perempuan. Namun, begitu banyak stigma yang dilekatkan kepada seorang Muslimah. Menurut Katya, tidak benar bahwa Islam mengajarkan pengasingan perempuan dari ranah publik. Ada beberapa stigma atas Muslimah. Misalnya, bahwa perempuan Islami haruslah dikekang bagaikan burung di dalam sangkar oleh orang tua atau kemudian suami.

Faktanya, lanjut Katya, seorang Muslimah boleh dan bisa saja bekerja di luar rumah kapan pun Muslimah itu menghendakinya. Jika pekerjaannya itu semata-mata halal, sang suami tidak bisa menghalang-halangi.

Setiap orang memiliki potensi berbuat kebaikan bagi masyarakat. Menurutku, tujuan kita menjadi perempuan adalah membawa perdamaian dan ketenteraman, terutama bagi keluarga sendiri, simpulnya.

Karena itu, Katya merasa bersyukur memiliki keluarga yang mendukung keputusannya. Kedua orang tuanya tidak melarang Katya mengenakan hijab. Mereka malah menghormatinya. Sebagai bentuk bakti kepada orang tua, Katya merasa wajib menjaga nama baik keluarga.

Orang tuaku paham keputusanku memeluk agama Islam. Demikian pula dengan keputusanku konsisten mengenakan hijab, yang kira-kira mirip perempuan dari suku Tatar pada umumnya, ujar Katya.

Dalam beberapa hari ke depan, Katya akan menghabiskan waktu liburan tahun baru bersama keluarga tercinta.

 

 

sumber: Reublika Online

Wayan Fitriyani, Baca Buku-Buku Islam Lalu Bersyahadat

Ada beragam cara Allah SWT menganugerahkan hidayah kepada seseorang. Perjalanan yang tidak begitu berat dalam mengenal Islam dirasakan Wayan Fitriyani.

Proses perkenalan Wayan, begitu akrab disapa dengan Islam, terjadi begitu sederhana, yaitu melalui kegiatan membaca.  Ketika berhadapan dengan doktrin yang selama ini melekat dalam Islam, yakni sebagai agama paling benar, Wayan tertarik menelaah lebih jauh.

Seberapa jauh kebenaran doktrin tersebut?

Wayan penasaran. Ia mendalami Islam lewat buku dan menjelajahi internet. Rasa itu kian kuat ketika di lingkungan tempat ia bekerja seusai menamatkan pendidikan SMA, terdapat banyak Muslim.  

Meski kerap mendengar Islam agama yang paling benar, risalah Muhammad SAW ini tak terlalu dikenal di lingkungan keluarga perempuan kelahiran 29 Desember 1992. Ia terlahir di Bali dengan mayoritas pemeluk Hindu.

Keluarga saya sama sekali tidak mengenal Islam. Jadi, baik atau buruk ajarannya keluarga saya tidak peduli, katanya kepada Republika pada akhir pekan lalu.

Setelah membaca buku-buku tentang Islam, Wayan fokus belajar tata cara ibadah dengan baik dan benar meski belum berikrar syahadat. Ia membeli sebuah buku tentang tuntunan shalat wajib dan sunah serta kumpulan doa-doa ijabah.

Buku itu dibelinya lantaran ia kerap menyaksikan teman kerjanya melaksanakan ritual-ritual itu. Jadi, buku itu sengaja saya beli, ujarnya.

 

Meski buku koleksi Wayan Fitriyanitermasuk bacaan ringan, buku tersebut memiliki nilai karena mampu memberikan banyak informasi dan pengetahuan tentang ajaran Islam, yang sama sekali tidak pernah ada di pikirannya.

Dari buku yang tebalnya tidak kurang dari 200 halaman itu, Wayan banyak mendapat informasi dan pengetahuan dari bacaan-bacaan shalat. “Saya pikir ini agama yang masuk akal, ujarnya.

Wayan mengaku tertarik membaca semua buku tentang Islam. Setelah membaca buku tentang tuntunan shalat wajib dan sunah, rasa ingin tahu Wayan tentang Islam  terus tumbuh.

Setiap ada waktu senggang di tempatnya bekerja, perempuan kelahiran  Banjar Klungah, Desa Wisman, Kecamatan Sideman, Kabupaten Karang Asem, Bali, ini menyempatkan membaca ajaran Islam lewat ponsel pintarnya.

Pokoknya saya baca semua sumber informasi tentang Islam, termasuk dakwah-dakwah di televisi, katanya.
Akhirnya pada 4 Juli 2016, Wayan mengucapkan dua kalimat syahadat. Ketika itu ia diantar seorang Muslimah, rekan kerjanya.

Jadi hampir lima bulan yang lalu saya masuk Islam, katanya.

 

Memeluk Islam atas keputusannya sendiri, tanpa paksaan dari pihak manapun, Wayan tidak menyembunyikan keyakinan barunya tersebut dari kedua orang tua dan keluarga besarnya.

Dengan penuh rasa percaya diri, Wayan menyampaikan kepada orang tuanya. Saya sudah masuk Islam, katanya.

Setelah mendengar pengakuannya masuk Islam, Wayan mengatakan, jika kedua orang tuanya kaget dan tidak terima sama sekali dengan keputusan putri pertama mereka itu.

Jejak keluarga tak pernah ada yang keluar dari keyakinan leluhur, Hindu. Jadi, semua menentang saya masuk Islam, katanya

Walaupun mendapat penolakan, Wayan tidak mendapatkan perlakuan kasar dari kedua orang tuanya. Mereka hanya menyesalkan. Mengapa kamu mesti pindah keyakinan, katanya menirukan pernyataan ibunya.

Wayan masih diterima keluarga dan berbaur, meski Wayan sudah berbeda keyakinan. Ini juga menjadi kesempatan baginya untuk mengenalkan Islam. Walau demikian, ia mengaku, keluarga besarnya berkeinginan besar agar ia kembali memeluk agama leluhur.

Namun, Wayan tetap dalam pendiriannya dengan penuh toleran. Ia tetap tak ingin membuat orang tua yang membesarkan dan membiayai hidupnya itu kecewa.

Saya tunjukkan lewat perbuatan baik kepada kedua orang tua, kata dia.

Akhlak dan pekerti luhur yang tetap Wayan junjung, membuat luluh hati orang tuanya. Mereka menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada putrinya tanpa mesti dimusuhi. Alhamdulilah sekarang semuanya menerima, katanya.

Bentuk penerimaan keluarga terhadap keyakinan baru Wayan, upacara Banten, ritual pelepasan keluar dari Hindu, digelar khusus untuknya. Untuk menjaga hati dan pandangannya agar tidak bermaksiat kepada Allah SWT setelah kurang lebih tiga bulan masuk Islam, Wayan memutuskan menikah.

 

Setelah masuk Islam, Wayan ingin tetap istiqamah menjalankan ajaran Islam lewat berbakti kepada suami dan ritual lainnya, seperti shalat, puasa sunah, dan tetap istiqamah menggunakan hijabnya dalam kehidupan sehari-hari. Wayan mengatakan, setelah resmi masuk Islam langsung menggunakan hijab.

Sekarang yang sedang saya perjuangkan bagaimana bisa tetap istiqamah dalam Islam,” katanya.

Agar keislamannya lebih sempurna, Wayan sedang berusaha memperbaiki bacaan-bacaan shalat dan belajar mengaji. Terutama bagaimana saya bisa menerapkannya, ujar dia.

Untuk menambah pengetahuan tentang Islam yang baru lima bulan ia yakini, Wayan masih tetap membaca buku tentang Islam dan ikut-ikut pengajian.

Kadang kalau mendapati kebingungan dan kerancuan dalam amalan sehari-hari, ia tidak segan bertanya kepada orang-orang yang lebih paham tentang Islam, baik dari suami maupun mertuanya.

 

 

sumber:Republika Online

Ahmad Victor Ary Subekti, dari Benci Lalu Bersyahadat

Sebelum bersyahadat, Ahmad Victor Ary Subekti mengaku, ia menganggap Islam rendah, terutama pemeluknya. Alasannya apa?

Pria kelahiran Jakarta, 26 September 1975, ini menceritakan kisahnya kepada Republika di sela kesibukannya sebagai karyawan perusahan swasta di Jakarta. Pemilik nama asli Victor Ary Subekti ini menceritakan bagaimana dulu ia memandang rendah orang Islam yang hanya berbekal ucapan salam demi memungut sumbangan dari pemilik rumah mewah di Sumurbatu, Kemayoran, Jakarta Pusat.

“Islam, menurut saya, dulu adalah agama yang penganutnya seperti pengemis,” katanya mengenang sikapnya yang apriori terhadap agama samawi ini.

Tidak hanya itu, Victor, begitu akrab disapa, juga menilai pemeluk Islam berperangai kasar dan (maaf) biadab. Anggapannya itu berangkat dari pengalamannya semasa di bangku SD. Bersama sang kakek yang seorang polisi dan ayahnya, seorang wartawan, berusaha menyelamatkan tetangganya yang etnis Tionghoa pada kerusuhan Tanjung Priok. “Di situ, saya liat Islam juga galak dan anarskistis,” ceritanya.

Victor yang terlahir dari keluarga Katolik ini bahkan mengaku, begitu bencinya terhadap Islam, ia selalu berupaya mencari pasangan kekasih yang beragama Islam. Tujuannya satu, agar sang pacar bisa diajak pindah ke agamanya.

Akan tetapi, tidak pernah ia menyangka, justru keadaan berubah ketika Victor berkuliah di Universitas Trisakti. Ia mulai kritis terhadap Alkitab. Baginya, doktrin teologi yang ia yakini selama ini tidak sinkron.

Victor mengonsultasikan kegamangannya itu kepada pastur. Ia berharap menemukan jawaban yang logis dan rasional terkait konsep teologi yang ia yakini, terutama soal doktrin trinitas. “Saya tanya begitu malah dimarahin sama pastur,” ujarnya.

Victor didesak melakukan pengakuan dosa. “Tapi, pertanyaan saya tidak bisa dijawab,” katanya mengisahkan cerita yang terjadi antara 1993-1996-an itu.

Victor ingat betul bagaimana ia pernah memutuskan belajar ke Seminari Xaverian, semacam ‘pesantren’ khusus generasi muda Katolik hanya untuk menghilangkan keraguannya itu. Namun, insiden yang terjadi antara dirinya dan sang pastur membuatnya kecewa.

Bukannya mendapat jawaban, ia malah mendapat cemoohan. Victor hilang selera. “Setelah dimarahi pastor, ya saya nggak pernah ke gereja lagi dan malas lagi berdoa, akhirnya hilang kepercayaan,” katanya.

 

 

sumber:Republika Online

Ahmad Victor Menangis Saat Mendengar Kumandang Azan

Sebelum bersyahadat Ahmad Victor Ary Subekti mengaku begitu menganggap Islam rendah, terutama pemeluknya. Alasannya apa?

Pria kelahiran Jakarta, 26 September 1975 ini menceritakan kisahnya kepada Republika di sela-sela kesibukannya sebagai karyawan perusahaan swasta di Jakarta.

Pemilik nama asli Victor Ary Subekti ini menceritakan, bagaimana dulu ia memandang rendah orang Islam yang hanya berbekal ucapan salam, demi memungut sumbangan dari pemilik rumah mewah di Sumurbatu, Kemayoran, Jakarta Pusat.

“Islam menurut saya dulu adalah agama yang penganutnya seperti pengemis,” katanya mengenang sikapnya yang apriori terhadap agama samawi ini. Tidak hanya itu, Victor, begitu akrab disapa, juga menilai pemeluk Islam juga berperangai kasar dan (maaf) biadab. Anggapannya itu berangkat dari pengalamannya semasa di bangku SD. Bersama sang kakek yang seorang polisi dan ayahnya, seorang wartawan, berusaha menyelamatkan tetangganya yang etnis Tionghoa pada kerusuhan Tanjung Priok.

“Di situ saya liat Islam juga galak dan anarkis,” katanya mengenang. Victor yang terlahir dari keluarga Katolik ini bahkan mengaku, saking bencinya terhadap Islam, ia selalu berupaya mencari pasangan kekasih yang beragama Islam. Tujuannya satu, agar sang pacar bisa diajak pindah ke agamanya.

Akan tetapi, tidak pernah ia menyangka, justru keadaan berubah ketika Victor berkuliah di Universitas Trisakti. Ia mulai kritis terhadap Alkitab. Ia menemukan keraguan.

Victor mengonsultasikan kegamangannya itu kepada pastur. Ia berharap, menemukan jawaban yang logis dan rasional terkait konsep teologi yang ia yakini, terutama soal doktrin trinitas.

“Saya tanya begitu malah dimarahin sama pastur, ujarnya. Victor didesak melakukan pengakuan dosa. Tapi pertanyaan saya tidak bisa dijawab,” katanya mengisahkan cerita yang terjadi antara tahun 1993-1996-an itu.

Victor ingat betul, bagaimana ia pernah memutuskan belajar ke Seminari Xaverian, semacam ‘pesantren’ khusus generasi muda Katolik, hanya untuk menghilangkan keraguannya itu.

Namun, insiden yang terjadi antara dirinya dan sang pastur, membuatnya kecewa. Bukannya mendapat jawaban, ia malah mendapat cemoohan. Victor hilang selera.

“Setelah dimarahin pastor ya saya nggak pernah ke gereja lagi dan malas lagi berdoa, akhirnya hilang kepercayaan,” katanya.

 

Victor mengalami goncangan yang begitu dahsyat. Ia lebih suka menyendiri di kantornya daerah Batam, peristiwa itu berlangsung sekira 1997-an. Di tengah kesendirian, bertepatan dengan waktu Shalat Maghrib, ia mendengar  tayangan azan di sebuah stasiun televisi.

“Saya menangis. Mungkin ini karena saya sendirian kali, ya jadi terbawa emosi,” katanya.

Kesendirian mulai hilang ketika temannya dari Jakarta datang dan tinggal di markas peristirahatan kantor. Di situlah Victor mulai banyak diskusi, terutama masalah agama. Setelah mendapatkan banyak pengetahuan tentang Islam.

“Saya mulai coba-coba belajar Islam,” katanya.

Di tengah-tengah proses belajarnya itu, ia mengaku pernah bermimpi bertemu dengan seseorang yang memiliki cahaya putih. “Dan bertanya agama kamu apa, siapa Tuhan kamu, dan apa kitab kamu,” katanya mengisahkan mimpinya tersebut.

Tak hanya sekali itu, ia bermimpi aneh. Pada tahun yang sama, dalam mimpinya, ia ditampakkan dengan lautan manusia berbaju serbaputih di padang luas.  “Kini saya tahu bahwa pakaian putih itu adalah kain ihram,” tuturnya.

 

Pada mimpi berikutnya, Victor tiba-tiba bisa mengucap kalimat syahadat. Meski saat hendak mengulangi kalimat itu saat terbangun, ia tak mampu.

Victor menceritakan kisah tersebut ke Ustaz Fanani, seorang tokoh agama di Masjid al-Falah yang berada dekat kantornya. “Beliau menangis dengar cerita saya, dan minta saya belajar Islam,” katanya.

Tidak menunggu lama, Victor pun belajar Islam lebih serius kepada Ustaz Fanani. Pelajaran pertama yang ia terima adalah bagaimana mengucapkan syahadat yang benar dan artinya. Ustaz Fanani sempat menanyakan, apakah dirinya sudah disunat apa belum? “Saya bilang karena saya orang Jawa, Yogyakarta, ya saya sunat,” katanya.

Setelah selesai belajar syahadat, Ustaz Fanani mengajarkan shalat dan membaca Alquran. Sedangkan pelajaran kedua ialah shalat. “Mualaf harus benar-benar diberikan bimbingan yang benar agar bisa shalat secara disiplin, teratur, dan khusyuk,” katanya.

Setelah belajar syahadat, shalat, dan membaca Alquran, tepat pada 1998 Victor masuk Islam. Sertifikat mualaf ia terima dari Masjid Sunda Kelapa, satu bulan sebelum menikah pada 2000.

 

Beberapa tahun menetap di Batam, Victor kembali ke Jakarta dengan membawa keislamannya. Ia pun aktif di berbagai majelis keagamaan. “Ikut ESQ, ikut pengajian salafi juga, sampai akhirnya kenal dengan dunia pesantren mulai dari Langitan, Nurul Haromain, Miftahul Huda sampai diajak Kiai Chalil (KH Chalil Nafis–Red)  main-main ke Sidogiri,” katanya.

Victor tak bisa sembunyi dari kenyataan. Ia memberi tahu kedua orang tuanya ihwal agama barunya tersebut. Kabar tersebut membuat kecewa keduanya. “Tapi saya bilang bahwa tanggung jawab akhirat hanya saya yang menanggungnya,” katanya.

Sejak saat itu, hingga dua bulan selanjutnya, ia memutuskan keluar dari rumah dan mengontrak tempat tinggal yang dekat dengan kediaman sang calon mertua.

Meski telah berbeda keyakinan, ayah dari Rafianda Subekti dan Dinar Daviana ini tetap menghormati kedua orang tuanya dengan tetap menjaga komunikasi. “Misalnya ketika Natalan, saya datang meski ketika Lebaran orang tua saya tidak pernah datang,” katanya.

 

Setelah menjadi Muslim, pemilik nama Islam Ahmad ini aktif di kegiatan dakwah dan beragam aktivitas keagamaan. Dia pernah bergabung dengan Gerakan Bebas Buta Alquran bersama KH Chalil Nafis.

Pengalaman itu mengantarkannya dipercaya menggawangi Program Quran On the Street di YMTV (Yusuf Mansyur TV ). “Di episode kedua, saya menjadi  host-nya juga,” katanya.

Namun, karena sibuk dengan pekerjaan barunya, di salah satu perusahaan penerbangan, kegiatan-kegiatan dakwah sementara diistirahatkan dulu. Akan tetapi, perjuangannya dalam  menyebarkan Alquran seluas-luasnya dengan Gerakan Bebas Buta Alquran masih tetap bertahan, meski dengan pola yang berbeda.

“Salah satunya, aktif di pelatihan dan distribusi Alquran gratis, tuturnya.

 

 

sumber:Republika Online

Islam Agama Sempurna, 10 Tokoh Dunia Jadi Mualaf

ISLAM adalah agama akhir zaman, Islam adalah agama yang sempurna untuk menyempurnakan ajaran agama sebelumnya, Islam adalah agama bagi seluruh umat manusia, Islam merupakan agama damai, rasional, relevan di setiap zaman dan merupakan satu-satunya agama yang sesuai fitrah manusia.

Kita sebagai seorang muslim tentu tidak meragukan hal ini. Banyak nash-nash Alquran yang menegaskan bahwa Islam adalah ajaran yang berlaku hingga datangnya hari akhir kelak. Bahwa Rasulullah Muhammad saw adalah nabi terakhir yang tidak akan ada lagi nabi yang akan turun setelahnya.

Tapi bagaimana dengan nubuat (informasi tentang masa depan) yang disampaikan para nabi Allah SWT yang lain? Adakah mereka juga menyampaikan bahwa Islam sebagai agama akhir zaman? Ya betul. Ada.

Nubuat itu sebagian tertulis dalam Bibel, di kumpulan kitab Perjanjian Lama. Adapun memang Bibel sudah tidak asli, banyak karya tangan-tangan manusia didalamnya. Tapi setidaknya kita masih bisa menjumpai bekas-bekas petunjuk yang masih tersisa, luput dari pengubahan.

“Tetapi pada zaman raja-raja, Allah semesta langit akan mendirikan suatu kerajaan yang tidak akan binasa sampai selama-lamanya, dan kekuasaan tidak akan beralih lagi kepada bangsa lain: kerajaan itu akan meremukkan segala kerajaan dan menghabisinya, tetapi kerajaan itu sendiri akan tetap untuk selama-lamanya.” (Daniel 2: 44)

Makna kerajaan di sini adalah sebuah kepemimpinan umat. Dan kepemimpinan umat yang diberikan oleh Allah SWT tidak lain hanyalah Islam. Dimana Islam adalah sebuah sistem aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Baik duniawi maupun akhirat. Jasmani maupun ukhrawi.

Di sana dikatakan, “kerajaan yang tidak akan binasa sampai selama-lamanya”. Maka sistem Islam tidak akan musnah, akan tetap ada hingga akhir zaman.

“Kekuasaan tidak akan beralih lagi kepada bangsa lain”. Bermakna, sistem Islam tidak akan dihapus dan umat Islam yang ada saat ini tidak akan dipunahkan sebagaimana bangsa-bangsa terdahulu pernah Allah SWT punahkan dengan azabNya, karena kezaliman yang mereka lakukan.

“Apakah mereka (kaum musyrikin) yang lebih baik ataukah kaum Tubba dan orang-orang yang sebelum mereka. Kami telah membinasakan mereka karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berdosa” (Qs.Ad Dukhaan:37)

“Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat mudharat kepada-Nya sedikitpun. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu.”(Huud:57)

Kalimat selanjutnya dalam nubuat Daniel di atas adalah: “kerajaan itu akan meremukkan segala kerajaan dan menghabisinya”. Bermakna, sistem kepemimpinan Islam akan mengalahkan semua sistem-sistem kepemimpinan yang lain. Baik monarkhi, teokrasi, komunisme, sosialisme, kapitalisme, dan semua sistem yang lainnya.

Dan dengan alasan itulah, mereka orang-orang yang berpikir dari umat Kristiani kemudian berpindah agama menjadi Islam.

Berikut 10 tokoh dunia dari Amerika Serikat (AS), Inggris, Rusia dan lain-lainnya pindah keyakinan dan agama menjadi Islam. Mereka tidak hanya memilih Islam untuk mereka peluk, namun sampai saat ini juga mereka ikut aktif menyebarkan Islam. Inilah 10 tokoh dunia tersebut:

1. Cat Steven yang kini bernama Yusuf Islam. Dia dalah seorang penyanyi dunia dari Inggris. Kini dia menjadi seorang pendakwah dan pendidik. Dia aktif menciptakan lagu-lagu rohani keIslaman.

2. Lew Alcindor seorang pemain bola basket dari NBA yang merupakan pencetak skor tertinggi sepanjang waktu. Setelah memeluk Islam ia mengubah namanya menjadi Kareem Abdul-Jabbar. Agama asalnya adalah Kristen.

3. Thomas J. Abercomble adalah seorang fotografer senior di Amerika yang karya-karyanya menjadi rujukan fotografer modern dunia.

4. Dave Chappelle dari Amerika. Dia seorang comedian, penulis naskah, produser televise/film, dan actor.

5. Juli Volkova dari Rusia. Volkova adalah penyanyi dan artis yang terkenal sebagai salah satu anggotaRussian pop duo.

6. Lauren Booth dari Inggris. Seorang jurnalis, penyiar televisi dan aktivis hak-hak asasi manusia.

7. MargarethMarcus yang setelah Islam menjadi Maryam Jameelah. Dia seorang ilmuwan sosial dunia yang telah melahirkan berbagai karya di antaranya tentang Modernism, Sociology, History, Jihad dan Teknologi.

8. Jermaine Jackson dari Amerika Serikat. Dia merupakan saudara Michel Jackson dan salah satu anggota dari Jackson 5.

9. Anthony Mundine dari Australia. Dia seorang petinju yang menjuarai berbagai pertandingan dunia, pernah menjuarai dua kali Super Middleweight champion.

10. Alys Faiz dari Inggris. Seorang aktivis hak-hak asasi manusia dan perdamaian. [Eramuslim]

 

 

sumber: Mozaik Inilah.com