Hedley Churchward, Haji Pertama di Inggris

Hedley Churchward, kemudian dikenal sebagai Mahmoud Mobarek, adalah orang Inggris pertama yang tercatat menunaikan ibadah haji dalam sejarah.

Ia dilahirkan dari salah satu silsilah keluarga yang paling tua dan terkenal di Inggris. Kakek buyutnya memiliki rumah tertua kedua di Inggris, sekitar 700 tahun lebih daripada usia negara itu.

Dilansir dari onislam.net, Sabtu (1/8), Churchward telah terlahir dengan bakat seni sejak kecil. Spesialisasi bidangnya adalah lukisan adegan, dan di tahun 1880-an, ia menjadi terkenal berkat lukisannya.

Pada perjalanan inspirasionalnya lewat Spanyol, mata Churchward menangkap keindahan seni arsitektur Islam untuk pertama kalinya. Ia melanjutkan perjalanannya ke Maroko, yang juga membuatnya terkesan oleh keindahan gaya hidup Islam.

Setelah beberapa kali perjalanan ke Maroko, Churchward mengumumkan keputusan mengejutkan kepada keluarganya. Dia telah mengucapkan syahadat dan masuk Islam.

Churchward menorehkan prestasi besar di bidang studi Islam. Ia belajar di Al Azhar selama bertahun-tahun, kemudian menjadi seorang penceramah dan dosen sirah terkemuka di Qadi ‘Academy. Pria itu menikah dengan seorang wanita Mesir, putri salah satu ahli fiqh mahzab Syafii di Al Azhar.

Di Kairo, Churchward ditugaskan untuk menghias salah satu masjid di kota itu. Atas bantuan Churchward pula, Presiden Afrika Selatan, Paul Kruger, memberikan izin untuk pembangunan masjid pertama di Witwatersrand, Afrika Selatan.

Namun, sejak masuk Islam Churchward merasa belum sepenuhnya melebur dalam Islam. Ia pun memutuskan untuk pergi ke Mekkah melaksanakan ibadah haji, menggenapkan rukun Islam. Abdulhakim Murad menceritakan pengalaman mendalam Churchward lewat kata-kata Churchward sendiri.

“Suatu malam, saat aku berjalan di sepanjang Piramida menjulang dilatari matahari terbenam dan langit bergerigi Kairo, aku memutuskan untuk melaksanakan apa yang telah aku niatkan sejak masuk Islam. Aku akan pergi ke Kakbah di Mekkah.”

Churchward kemudian berangkat dari Afrika Selatan (Johannesburg) ke Mekkah pada tahun 1910. Paspornya disahkan oleh para qadi dan ulama terkemuka zaman itu untuk mengatasi hambatan birokrasi.

Dia melakukan perjalanan dengan kapal uap yang melelahkan melalui Bombay. Dari sana, ia naik kapal haji SS Islamic yang dikapteni seorang pelaut Skotlandia rewel. Mereka terpaksa melawan bajak laut dan mengambil rute perjalanan lewat Laut Merah.

Setiba di pelabuhan Suakin, Sudan, Churchward melakukan kunjungan ke British Council dan diberitahu bahwa ia tidak akan diizinkan turun di Jeddah. Tapi, Churchward mampu mengatasinya dengan menghubungi beberapa pejabat Ottoman Turki.

Ia juga berkomunikasi dengan pemandu haji. Mereka berangkat ke Mekkah dengan dua keledai pada malam berikutnya. Dalam perjalanan itulah, Churchward mengalami serangan dari orang-orang Arab gurun. Serangan macam ini wajar terjadi pada masa itu, meski para pejabat Ottoman sudah berupaya mengatasi.

Lagi-lagi, Churchward dan rombongannya berhasil melewati situasi berbahaya itu. Setelah lima bulan melakukan perjalanan penuh halang rintang, Churchward akhirnya menginjakkan kaki di Kakbah. Ia menjadi Muslim Inggris pertama yang bertamu ke baitullah pada tahun 1910.

Masuk Islam Setelah Mencoba Puasa Satu Bulan

Bennet, perempuan dari New York dan juga seorang keturunan Puerto Rico, memeluk Islam setelah satu bulan mencoba untuk berpuasa di bulan Ramadan.

“Saya juga seorang keturunan Afrika-Amerika,” ujarnya memperkenalkan diri dikutip Dream dari laman OnIslam.net, Jumat 9 Juli 2015.

Bagi Bennet, Islam adalah sebuah agama hebat yang bisa mengubah seluruh kehidupannya.

Sebelum memeluk Islam, Bennet hanya pergi ke tempat beribadah untuk acara-acara khusus atau merayakan hari besar keagamaan.

Sebenarnya pengalaman pertama puasa Ramadan Bennet terjadi sebelum menjadi seorang mualaf.

“Saya telah berlatih puasa satu hari sebelum atau ketika belum Ramadan,” kenang Bennet.

Entah mengapa saat itu dia terbangun untuk sahur. Dia ingat bahwa dia akan berpuasa pada hari itu, tapi waktu itu bukan bulan Ramadan. Tapi dia tetap melakukannya ketika itu.

Bennet kemudian berpuasa dan bekerja sepanjang hari dan semuanya berjalan baik-baik saja. Bagi Bennet, dia telah menemukan sebuah tantangan.

Bennet pun merasa ia sanggup setelah mencoba selama satu hari. Dia memutuskan; ‘OK, saya akan berpuasa penuh di bulan Ramadan’.

Bennet mengingatkan dia berpuasa bukan karena alasan agama karena saat itu dia bukan seorang Muslimah. Namun Bennet mampu menjalankan ibadah puasa satu bulan penuh.

Ketika berhasil menyelesaikan puasa satu bulan penuh itu, Bennet merasa seperti telah meraih satu prestasi pribadi.

“Saya merasakan kedamaian. Saya merasakan kasih sayang yang tidak pernah diberikan anggota keluarga saya,” katanya.

Tiga pekan setelah bulan Ramadan, Bennet memutuskan masuk Islam. “Saya masuk Islam pada 13 September 2009. Setelah menjadi mualaf, rasanya seperti hari-hari lain, tapi hari berikutnya saya merasakan sesuatu yang luar biasa.”

Sebelum berpuasa, Bennet mengalami berbagai pergolakan; perang batin, bertengkar dan segala hal yang bisa menghanguskan sebuah pertemanan.

Namun setelah masuk Islam, hatinya dipenuhi oleh kedamaian yang sangat dalam.

Selama Ramadan, Bennet mengunjungi rekan-rekan yang membantunya masuk Islam. Dia merasa ingin selalu bersama mereka. Setiap pulang kerja, Bennet akan pergi ke pusat Islam di Brooklyn dan larut dalam persaudaraan Muslim.

“Saya ingin bersama mereka. Saya telah mengamati semua agama lain dan saya tidak mendapatkan perasaan luar biasa,” ujar Bennet.

Dari Linkin Park ke Alquran, bule ini memeluk Islam

Hidayah Islam dapat masuk ke sanubari siapapun melalui jalan yang berbeda-beda. Seperti yang dialami Gary Williams. Bermula dari perbincangan musik rock Linkin Park dengan wanita muslim Indonesia, WNA asal Inggris ini mulai mengenal Islam dan Alquran.

“Dulu saya agnostik, keluarga saya begitu semua. Jadi kami ke gereja cuma kalau ada nikahan saja setelah berbicara dengan Ilona saya jadi begini,” kata Gary di kediamannya di bilangan Bintaro, Minggu (22/6).

Ilona yang kini telah menjadi istrinya, sukses membuat Gary penasaran tentang Islam. Bagi Gary, Islam adalah ajaran menarik dan masuk akal.

“Islam itu memuat semuanya mulai dari alam, tubuh, luar angkasa, dan masuk akal. Satu tahun kemudian saya mulai berhenti alkohol, satu tahun selanjutnya saya mulai belajar tidak makan babi,” jelas anggota dari mualaf center ini.

Gary tidak serta merta percaya pada ajaran Nabi Muhammad SAW, dia juga mulai berpikir dan belajar lagi tentang konsep tuhan yang selama ini dia pelajari.

“Saya sangat takjub dengan Alquran dan saya percaya tidak mungkin dibuat manusia dan akurat banget. Saya merasa aneh jika Yesus dibilang tuhan karena disalib dan itu tidak masuk akal. Saya sudah meneliti kalau di Islam itu Yesus adalah manusia bukan tuhan,”ucap ayah beranak satu ini panjang lebar.

Pengetahuan tentang Islam makin mantap saat dia bertemu kembali dengan mantan tetangganya Abdullah Hood. Hood yang memeluk Islam lebih dulu dari Gary sebenarnya sudah pindah ke Arab Saudi.

Namun Hood rela kembali ke Inggris untuk khusus membimbing Gary. Hood lah membawa Gary ke Islamic Center dan belajar salat.

“Dari situ saya banyak berbicara dengan banyak orang muslim. Dia sangat membantu akhirnya setelah belajar 18 bulan, saya rasa bagus Islam itu tidak seperti agama saya baca selama ini di sekolah dulu,”.

Setelah pencarian yang panjang, Gary akhirnya memeluk Islam pada awal 2011. Gary pun segera mereguk manisnya iman, Hood menawarinya berumroh gratis.

sumber: Merdeka.com

Setelah 22 Tahun Jadi Pendeta, Petrus Kali Memutuskan Masuk Islam

Petrus Kali, seorang pria yang telah 22 tahun menjadi pendeta asal Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menyatakan memeluk agama Islam setelah mendapat hidayah.

Petrus Kali saat memaparkan pengakuannya di hadapan ratusan jamaah Masjid An Nur di Kota Palu, Sabtu, mengaku telah masuk Islam di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Palu Barat pada 1 Mei 2015.

Sabelum masuk Islam, pendeta berusia sekitar 55 tahun itu mengalami sakit-sakitan, kemudian sembuh. Menurutnya hal itu adalah kuasa Allah SWT.

Selama ini pendeta asal Tana Toraja ini tinggal di dekat gereja di Dusun III, Desa Sejahtera, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, yang berjarak sekitar 70 km dari Kota Palu.

Setelah menyatakan masuk Islam, Petrus Kali mengganti namanya menjadi Ahmad Fikri.

Selain dia, sebanyak 18 pengikutnya atau enam keluarga yang merupakan warga desa setempat juga menyatakan memeluk Islam, dan nama-namanya sudah tercatat di KUA Kecamatan Palu Barat.

Ahmad Fikri sendiri diperkenalkan kepada jamaah oleh tokoh muslim asal Palu bernama Azis Godal.

Dalam pertemuan itu, ratusan jamaah Masjid An Nur yang berada di Jalan SIS Aljufri juga memberikan sumbangan kepada Ahmad Fikri dan rombongan yang terkumpul sebanyak Rp 13 juta.

Uang tersebut rencananya akan dipergunakan untuk merehabilitasi gerejanya yang akan dialihfungsikan menjadi masjid.

 

sumber: Republika Online

Lika Liku Hidup Raja Tekstil Lukminto Menjadi Muallaf

Pemilik pabrik tekstil terbesar di Asia Tenggara, PT Sri Rejeki Isman (Sritex) H. Muhammad Lukminto dilaporkan meninggal dunia di Singapura, sekira pukul 21.40 waktu setempat di rumah sakit Mount Elizabeth, Singapura, Rabu (5/2/2014).

Sosok Lukminto cukup kontroversial bagi masyarakat Surakarta dan sekitarnya. Mulai dari kasus-kasus ketenagakerjaan yang melibatkan para buruh pabrik yang dimilikinya, kasus rebutan wanita, hingga kasus pencemaran baik mewarnai jalan hidupnya. Entah benar atau tidak cerita-cerita negatif tentang Lukminto, satu fakta yang tak banyak diketahui orang. Lukminto seorang muallaf. Ia masuk Islam pada tahun pada tanggal 11 Maret 1994 di Solo dibimbing oleh pimpinan pondok pesantren Al Mukmin Ngruki. Ke-muallaf-annya pun masih menimbulkan kntroversi. Tak sedikit grenengan di kalangan masyarakat Solo yang menganggap Lukminto hanya Islam KTP. Wallahu A’lam.

Terlepas benar tidaknya semua cerita negatif tentang Lukminto, berikut penuturannya kenapa ia memutuskan masuk Islam pada tahun 1994. [mzf]

***

Saya dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1946 di Kertosono, Nganjuk, Jawa  Timur.  Kami bertetangga dengan keluarga Bapak H. Harmoko, Ketua DPR/MPR RI.  Beliau adalah sahabat saya sejak kecil. Meskipun akhirnya jalan hidup kami  berbeda, namun itu tak membuat jarak di antara kami. Kami tetap akrab bila bertemu. Saya terjun ke bidang bisnis dan industri tekstil. Kisah saya jadi industriawan dan pengusaha tekstil yang sukses saya mulai ketika menjadi pedagang tekstil kecil-kecilan di Pasar Klewer Solo. Waktu itu saya wira-wiri menjual tekstil eceran. Lalu, meningkat sampai mempunyai
sebuah kios tetap.

Rupanya, saya memang hoki berbisnis tekstil, sehingga lambat laun saya bahkan bisa membuka pabrik tekstil sederhana  yang berlokasi di Jl. Kyai Maja di tepi Bengawan Solo. Dengan memiliki pabrik tekstil sendiri, usaha bisnis saya maju kian pesat. Lalu, bersama kakak kandung saya, kami mendirikan pabrik tekstil besar seluas 65 hektar dengan investasi 300 miliar rupiah.

Pabrik tersebut kami beri nama PT Sri Rejeki Isman (Sritex), berlokasi di Desa Jetis, Sukoharjo. Karyawan yang bekerja di sini kurang lebih 20.000 orang. Pada tanggal 3 Maret 1992, pabrik kami tersebut turut diresmikan oleh Bapak Soeharto bersama 275 pabrik aneka industri lainnya di daerah Surakarta, Jawa Tengah. Bukan main bangganya kami ketika itu. Terutama saya tentunya.

Cita-cita saya untuk menjadi orang kaya tercapai sudah. Kini orang tak bisa lagi menghina diri saya seenaknya. Sebab, saya bukan lagi Lukminto yang dulu (miskin).Lukminto hari ini adalah Lukminto yang kaya raya, bahkan berhak menyandang gelar “Raja Tekstil.”

Tapi benarkah saya bahagia ? Secara lahiriah memang, saya tak kurang suatu apapun. Punya rumah mewah, punya harta berlimpah, punya pabrik modern dengan ribuan karyawan, dan punya isteri cantik yang setia. Kurang apa lagi ? Tapi, ada satu hal yang
tidak pernah saya rasakan, batin saya tak pernah tenang. Saya selalu diliputi kegelisahan, karena selalu berpacu mengejar materi.

Sebagaimana umumnya WNI keturunan Tionghoa, keluarga kami adalah penganut agama Budha Konghucu, yakni agama Budha yang telah bercampur dengan tradisi dan pandangan hidup leluhur kami. Tetapi, karena kami dari keluarga miskin maka pendidikan agama kurang mendapat perhatian. Kami lebih disibukkan untuk mencari uang. Sejak
kecil saya telah diajar untuk berdagang.

Saya masih ingat, pulang sekolah, saya dan kakak langsung berdagang makanan-makanan kecil, seperti kacang goreng, permen, rokok, dan lain-lain. Kedua orang tua kami selalu menekankan kepada kami agar kelak harus menjadi orang kaya. Sebab jadi orang miskin itu tidak enak, selalu jadi cemoohan dan hinaan orang. Begitu pesan mereka. Kami pun selalu dididik untuk tidak boleh puas terhadap perolehan yang kami dapat. Kalau perolehan yang kami dapat hari ini sama dengan yang kemarin, itu berarti rugi.

Karena dicambuk oleh hal-hal yang seperti itu, saya tumbuh menjadi anak yang mandiri dan ulet. Saya tak punya cita-cita yang muluk-muluk sebagaimana lazimnya teman-teman seusia saya ketika itu – jadi pegawai negeri, ABRI, polisi, pilot, dokter, dan lain-lain. Saya cukup bercita-cita jadi orang kaya. Mengapa begitu ? Sebab, saya tahu diri. Sebagai WNI keturunan, nasib kami nyaris ditentukan oleh usaha dan keuletan kami sendiri.

Setelah saya beranjak remaja, saya semakin sadar bahwa posisi kami “kurang beruntung”  dibandingkan saudara-saudara kami lainnya. Kami tak bisa jadi ABRI, kami tak boleh jadi pegawai negeri. Padahal kami sudah lahir di negeri ini, dan mencintai negeri ini sama besarnya seperti saudara-saudara kami dari suku-suku lainnya di Nusantara ini. Tapi, itulah kenyataan.

Tak Punya Pegangan

Tak ada jalan lain bagi kami untuk dapat bertahan hidup, selain mengkonsentrasikan seluruh daya dan kemampuan kami dalam bidang perdagangan. Itulah barangkali faktor yang membuat kami menjadi suku bangsa yang ulet berdagang. Tapi, resikonya, yaitu tadi, perhatian terhadap kehidupan beragama sangat kurang. Bahkan dalam soal yang satu ini, saya nyaris tak punya pegangan yang pasti. Di rumah, saya beragama Budha Konghucu, tapi di sekolah saya beragama Kristen.

Agama buat saya ketika itu, tak lebih hanya sebagai tempelan belaka. Sebagai penganut Budha, saya nyaris tak pernah ke wihara untuk bersembahyang. Begitu pun sebagai penganut Kristen, saya nyaris tak pernah ikut kebaktian di gereja. Karena terlalu dikejar obsesi untuk menjadi orang kaya, saya jadi lupa segalanya. Saya tak tahu lagi mana yang halal dan mana yang haram. Semua cara akan saya tempuh untuk memperoleh kekayaan. Termasuk dengan jalan “muja” ke  Gunung Kawi. Di tempat yang dianggap keramat ini banyak orang yang datang untuk minta pesugihan (kekayaan). Melalui petunjuk yang diberikan kuncen, saya mulai nglakoni (menjalankan) beberapa persyaratan yang tak bisa saya ceritakan di sini.

Alhasil, dalam tempo singkat usaha dagang saya maju pesat. Yang semula saya hanya pedagang tekstil eceran, meningkat bisa membuka kios, lalu membuka pabrik tekstil sederhana, sampai akhirnya mendirikan pabrik tekstil raksasa seperti PT Sritex tersebut. Kendati sudah menjadi Raja Tekstil, namun batin saya kosong dari siraman rohani. Saya tak pernah  merasakan kebahagiaan dan kedamaian, sebagaimana yang sering saya saksikan dari kehidupan kaum muslimin.

Kebetulan, sebagian besar karyawan saya beragama Islam. Sering saya saksikan, di sela-sela waktu istirahat makan siang, mereka tak lupa menunaikan sembahyang  (belakang saya tahu itu disebut shalat). Meskipun waktu itu di pabrik ada tempat khusus untuk shalat (mushalla atau  masjid), namun mereka tetap mendirikan shalat di beberapa tempat seperti di gudang dan di lorong-lorong pabrik.

Sering saya amati, usai shalat wajah mereka tampak begitu cerah. seakan terpancar dari jiwa mereka yang tenang. Padahal saya tahu pasti, gaji  mereka tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kekayaan yang saya miliki.

Suatu kali, secara iseng pernah saya tanyakan kepada salah seorang karyawan,  mengapa mereka begitu disiplin melaksanakan shalat. Apa jawabannya ? Jawabannya sungguh membuat saya terkejut. “Kami shalat semata-mata untuk mencari keridhaan Allah, sebab hidup di dunia hanya sementara. Ada kehidupan yang kekal di akhirat kelak, yang harus kami persiapkan sebelum mati,” begitu jawab mereka. Sungguh, selama itu saya tak pernah berpikir tentang mati. Yang saya tahu, kematian itu hanyalah akhir dari kehidupan. Sedangkan menurut karyawan saya yang muslim tadi, kematian adalah pintu atau jalan antara untuk menuju alam lain yang disebut akhirat, di mana segala perbuatan manusia akan diperhitungkan sesuai baik-buruknya. Mengingat itu semua, bulu kuduk saya berdiri. Sungguh, saya amat takut menghadapi kematian dalam keadaan saya yang bergelimang dosa.

Mimpi Shalat

Sejak itu, saya jadi pendiam. Saya jadi lebih suka merenung dan berpikir tentang diri saya sendiri. Saya pun mulai suka mengikuti siaran Mimbar Agama Islam yang ditayangkan TVRI setiap Kamis Malam. Begitu tenggelamnya saya dalam perenungan, sehingga pada suatu malam, tepatnya tanggal 10 Januari 1994 bertepatan malam 27 Rajab (Isra’ Mi’raj), saya bermalan di vila kami yang sejuk di daerah Tawangmangu (Solo).

Dalam tidur saya bermimpi diberikan sehelai sajadah oleh teman karib saya, lalu saya disuruh melaksanakan shalat.
“Saya nggak bisa shalat,” jawab saya. Lalu, teman saya memberi contoh bagaimana caranya shalat. Setelah paham, saya pun disuruh mengulangi gerakan shalat yang ia peragakan.

“Shalatlah kamu,” katanya. Lalu, saya pun shalat. Tapi, baru separo jalan, saya pun terjaga. Ternyata, itu hanya mimpi. Sejak bermimpi seperti itu, saya jadi gelisah. Isteri saya pun sempat bingung melihat diri saya. Tapi saya tak menceritakan mimpi itu kepadanya.

Untuk beberapa waktu lamanya, mimpi itu hanya jadi rahasia diri saya seorang. Tapi lama-lama saya tak tahan juga untuk tidak bercerita. Kebetulan, saya mempunyai tukang pijat pribadi, namanya Pak Edi. Ia seorang muslim yang taat. Ketika pada suatu malam saya minta dipijat olehnya, saya ceritakanlah mimpi itu kepadanya. Mendengar cerita mimpi saya itu, Pak Edi spontan bergumam,

“Subhanallah, insya Allah tak lama lagi Bapak akan masuk Islam,” katanya mantap. “Benarkah ?” tanya saya.
“Insya Allah,” jawabnya pasti.
Sejak itu, saya pun mulai dibimbingnya untuk melaksanakan shalat. Saya pun mengikuti sarannya untuk berkhitan. Tapi itu semua saya lakukan secara sembunyi-sembunyi. Saya bahkan dikhitan di Jakarta. Ketika  masuk bulan suci Ramadhan, saya pun ikut melaksanakan ibadah puasa dan mengeluarkan zakat (mal).

Karena sudah merasa mantap dengan pilihan hati saya itu, Pak Edi menyarankan agar keislaman saya itu harus segera diproklamirkan. Alasannya, agar semua orang tahu bahwa saya sudah muslim. Sarannya itu pun saya terima.

Singkat cerita, pada tanggal 11 Maret 1994 bertepatan dengan peringatan Supersemar, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat di hadapan umat Islam dan karyawan PT Sritex, dibimbing oleh pemimpin Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Ustadz H. Moh. Amir, S.H.

Alhamdulillah, isteri saya pun kini telah menjadi seorang muslimah. Bahkan pada tahun 1995 lalu, bersama isteri dan 10 orang staf PT Sritex, kami berkesempatan menunaikan ibadah haji.

sumber: Muslim Daily

Ketut Abdurrahman Masagung, Mengukuti Jejak Ayah yang Menjadi Muallaf

September 1990, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-63, suatu ‘kado’ paling berharga diterima Masagung (Pendiri gunung Agung) dari Sang Maha Pencipta. Kado itu adalah masuk Islamnya anak ketiga Masagung, Ketut Masagung. “Saya mendapatkan hadiah yang sangat besar dari Allah SWT, yaitu telah dibukakan oleh Allah hati anak saya yang ketiga untuk memeluk Islam.
Inilah suatu hadiah yang tidak ternilai besarnya,” ujar Masagung ketika itu. Dengan dibimbing tokoh Islam, Dr Imaduddin Abdurrahim, Ketut mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Al A’raf, Jakarta. Namanya mendapat tambahan Abdurrahman. Jadilah Ketut Abdurrahman Masagung, satu-satunya anak Masagung yang mengikuti jejak ayahnya.
Yang lain, Oka Masagung dan Putra Masagung, masih pada agama lamanya. Berbeda dengan Oka dan Putra yang kini lebih banyak bermukim di Amerika untuk berbisnis, Ketut memfokuskan peninggalan ayahnya di bidang bisnis di dalam negeri.
Bagi Masagung, kado ultah itu tak ternilai harganya. Ia menjadi kekuatan dan spirit baru dalam perjuangannya menegakkan dan mengembangkan Islam di Indonesia. Spirit itu pula yang ia wariskan dan diharapkan dapat dilanjutkan realisasinya kepada penerusnya, Ketut Masagung. Karena itulah, usai menyaksikan pengucapan dua kalimat syahadat Ketut, sebagaimana dikutip dalam buku Syahadat Ketut Masagung, salah seorang tokoh pembauran etnis Cina ini mewasiatkan kepada anaknya dua hal berharga, Alquran dan Hadis. “Dua pusaka ini harus menjadi pegangan utama hidupmu,” kata Masagung.
Keterlibatan Haji Masagung dalam aktivitas dan pengembangan Islam di Indonesia sesungguhnya bukanlah hal baru. Setidaknya, sejak dirinya berikrar kepada Islam pada 1975, Masagung banyak terlibat dalam kegiatan keislaman. Namun demikian, keterlibatan itu diakuinya belum maksimal mengingat waktunya yang banyak disita untuk urusan bisnis.
Barulah pada 1985, ketika secara resmi estafet kepemimpinan Gunung Agung Grup ia serahkan kepada ketiga putranya, Oka, Ketut, dan Putra, Masagung menghabiskan waktunya untuk dakwah dan pengembangan Islam serta aktivitas sosial kemasyarakatan.
Soal keterlibatan ini diakui aktivis Islam, Imaduddin Abdurrahim, yang juga teman dekat Masagung. “Segala yang dilakukannya atas dasar ikhlas. Itu nilai yang selalu dia pegang,” ujar Imaduddin kepada Republika.
Bang Imad, demikian ia biasa disapa, menambahkan bahwa peranan Masagung dalam pengembangan dan dakwah Islam sangatlah nyata. Ia mencontohkan, pembangunan Masjid Raya Al A’raf di Kwitang, Jakarta (menghabiskan dana sekitar Rp 9 miliar), pembangunan lima lantai toko buku pusat Gunung Agung di Kwitang, dua lantai pertama dan kedua khusus diperuntukkan untuk masjid –lantai bawah untuk pria, dan lantai 2 untuk wanita– serta beberapa panti asuhan oleh Masagung, adalah bukti nyata itu.
“Sebelum wafat, kepada saya, Masagung juga bercerita bahwa ia ingin membangun Pusat Islam dan Informasi terpadu di Jagorawi. Di dalamnya ada masjid, pesantren, sekolah, dan perpustakaan. Lahannya sudah ada, tinggal realisasi pembangunannya. Sayang, cita-cita mulia itu tak direalisasikan oleh generasi penerusnya. Padahal ini salah satu wasiat yang ia berikan kepada anaknya,” ujar Bang Imad.
Upaya memajukan Islam dan mencerdaskan pendidikan bangsa memang menjadi agenda utama Masagung. Dua agenda besar itu dikemas Masagung dalam “Proyek Mengharumkan Islam”. Proyek itu sebagian memang telah tercapai, yakni dengan mendirikan Masjid Al A’raf dan Pusat Informasi Islam (PII) pada 27 November 1987 di bawah naungan Yayasan Masagung. Untuk membangun PII ini, menurut catatan Junus Jahja (Lauw Chuan Thao), tokoh pembauran Cina dan salah seorang penasihat MUI Pusat, Haji Masagung menghabiskan sekitar 1,5 juta dolar AS. Dalam PII terdapat perpustakaan, penerbitan berkala, penelitian dan audio visual, koleksi Alquran dan kita-kitab klasik, serta komputer. Namun demikian, sebagian gagasan besarnya belum terlaksana. Kehendak Allah ternyata mendahului cita-cita besarnya.
Betapapun saham mencerdaskan bangsa dan syiar Islam yang dikemas Masagung dalam ‘Proyek Mengharumkan Islam’ tersebut telah memberi andil besar kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti dituturkan Junus Jahja, bagi Masagung mencerdaskan pendidikan bangsa sangat penting. “Dia menilai, yang paling penting bagi bangsa ini setelah meraih kemerdekaannya adalah kecerdasan bangsa.
Karena itulah, sembari berbisnis, Masagung juga mencurahkan sebagian rezekinya itu untuk pendidikan bangsa, dengan buku-buku yang diterbitkannya serta yayasan sosial dan pendidikan yang ia dirikan,” jelas Junus kepada Republika.
Junus Jahja, yang juga anggota Dewan Penasihat ICMI Pusat ini, dalam buku terbarunya Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya (Gramedia, Desember, 2002) menulis, bahwa pendirian toko buku Wali Songo yang juga difungsikan sebagai Islamic Centre sekaligus pengelola Masjid Al A’raf, juga dalam rangka proyek tersebut.
Proyek raksasa di Citeureup, Bogor, yang belum sempat diwujudkan, kata Junus, juga bagian dari ‘Mengharumkan Agama Islam’. Dedikasinya yang besar terhadap agama Islam dan kecerdasan bangsa Indonesia inilah yang membuat Gerhard Mayer Siagian menilai Masagung sebagai seorang reklamator buku-buku Islam dalam rangka arts keislaman, serta promotor dan dokumentator dalam perkembangan Islam modern.
Sebagai dai, Masagung juga kerap turun ke lapangan berdakwah bahkan sampai di daerah-daerah terpencil sekalipun.
Misalnya ketika ia ceramah di kawasan Cibeureum, Cisarua, ia begitu bersemangat menyambut anak-anak kecil dan penduduk setempat yang menjemputnya.
“Assalaamu’alaikum,” sapa Masagung kepada para penjemputnya tersebut. Seorang dai, bagi Masagung, juga tak berarti melupakan nasionalisme. Kiprahnya dalam dunia perbukuan dan mencerdaskan bangsa, tak peduli dari mana asal suku dan agamanya, adalah bukti.
Ia bukan pejuang kemerdekaan, tetapi ia mencurahkan tenaga, dana, dan pikiran untuk pelestarian nilai-nilai perjuangan itu melalui perbukuan dan dokumentasi,” ujar AH Nasution dalam buku Haji Masagung, Telah Tiada Tapi Roh Jihadnya Hidup Sepanjang Masa.
Sebagai seorang Muslim keturunan, Masagung tak berarti pula ‘menjauh’ dari warga keturunan Cina sejak diri
nya masuk Islam. Pergaulan baik, sebagaimana ditegaskan Junus Jahja, tetap ia pelihara. Bila di kalangan keturunan, ia hanya berdakwah terhadap mereka yang beragama Islam. “Misalnya melalui wadah Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).
Tapi di luar itu, Masagung tidak melakukan dakwah,” kata Junus. Begitu pun ia tidak berpihak terhadap satu golongan. Ini diwujudkannya dengan tidak masuknya Masagung dalam salah satu ormas keagamaan, semisal NU atau Muhammadiyah. Ia merasa dengan posisi bebas, tak bergolongan, lebih leluasa dalam menyampaikan dakwah.
Namun demikian, satu hal menarik dari sisi pemikiran keislaman, bahwa dilihat dari segi sikap dan kiprahnya, banyak sifat dan sikap keberagamaan pemikir Islam klasik, Ibnu ‘Arabi, pencetus konsep Wahdatul wujudnya itu terefleksikan dalam diri Masagung sebagaimana lazimnya kehidupan kaum mistis.
Misalnya, keinginan Masagung melaksanakan haji tidak hanya sekali. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa dia merasakan simbol spiritual Mekkah sebagai markaz al ruhi wa al fikr (pusat spiritualitas dan pemikiran) yang dimaksudkan Ibnu ‘Arabi. Ketenangan hati dan kenikmatan batin yang diperolehnya sebagaimana diceritakannya dalam pengalaman haji, menjangkau futuhat yang dimaksud Ibnu ‘Arabi.
Di sisi lain, keinginannya untuk selalu dekat dengan orang-orang yang bertakwa dan beramal shaleh dianggap sebagai salah satu upaya kebersamaan menuju insaan kaamil (manusia sempurna). Haji Masagung menghimpun orang-orang seperti ini dalam satu kata yang dianggapnya sedang menuju atau telah memperoleh ma’rifah.
Dalam konteks ini pula, ada kemungkinan masjid yang didirikan dan dikelolanya didasarkan pada pandangan ini, dan disebutnya sebagai Al A’raf, jamak dari al a’rif, orang yang memperoleh kearifan.
Sementara itu, rasa kerinduannya pada keagungan dan pusat spiritual Masjidil Haram di Mekkah, disublimasikan dengan Masjid Agung Al A’raf di pusat ibukota, namun tidak mengurangi kesan keramahan dan kejernihan hati dari lokasi induk (Makkiyyah) yang dimaksudkan Ibnu ‘Arabi.
Penguasaan Masagung pada makna nama-nama Allah, dan yang sering mengucapkan semua milik Allah, selalu hadir dalam percakapannya setiap hari. Disadari atau tidak, Masagung telah larut dalam salah satu ajaran Ibnu ‘Arabi untuk tidak layak menyebut: Untukku, Padaku, Hartaku, tetapi: Untuk Allah, Pada Allah, dan Harta Allah.
Kata-kata Allah hampir bergaung dalam sederetan percakapannya, yang mengingatkan kita pada konsep One is all, All is one dari paham Wahdatul Wujud-nya ‘Arabi.
Dan kini, Haji Masagung yang wafat pada September 1990 dan peraih beberapa penghargaan internasional berkaitan kiprahnya terhadap Islam, Insya Allah, akan menjemput semua itu. Semua yang telah ia perbuat.

H Budi Setyagraha, Berislam Sebagai Wujud Syukur

”Pak Budi habis sunat.” Begitulah ejekan orang-orang terhadap H Budi Setyagraha, tiap kali ia hendak ke masjid. Mantan ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Yogyakarta ini memang selau bersarung dan memakai kopiah tiap kali datang untuk shalat jamaah. Tak jarang, pria bernama asli Huang Ren Cong ini menerima ledekan yang lebih pedas.
”Bila saya datang ke tempat orang hajatan atau kematian, orang selalu menyelutuk ‘iki, kajine teko’ (nih, pak hajinya datang),” ujarnya. Biasa mendengar ledekan begitu, ia tak marah, bahkan menimpalinya dengan kata: “Amien!” Dan, ”Alhamdulillah, selang setahun setelah saya masuk Islam, saya benar-benar bisa menunaikan ibadah haji,”kata Budi. Menurut dia, pada tahun 1983 masih banyak orang, khususnya keturunan Tionghoa, yang pengetahuan dan persepsi mereka terhadap Islam selalu negatif. Mengadopsi pandangan Belanda yang berabad-abad menjajah Indonesia, Islam dipandang identik dengan kekotoran, kebodohan, dan kemiskinan.
Padahal, kata Budi, keindahan Islam itu ibarat berlian tetapi ditutupi debu. Debu dalam konotasinya adalah umat Islam itu sendiri. Sehingga mereka, khususnya warga keturunan Tionghoa, melihat agama Islam itu sudah menakutkan. ”Waktu saya masuk Islam orang tanda tanya, kenapa saya masuk Islam. Biasanya orang keturunan yang secara ekonomi mapan justru tidak mau masuk Islam. Bahkan saya dikira mau cari proyek,” ujarnya. Waktu kemudianlah yang membuktikan, keinginan Budi memeluk Islam adalah atas dasar nuraninya.
Budi mengaku masuk Islam karena hidayah Allah, bukan pengaruh orang. ”Saya memeluk agama Islam sebagai rasa bersyukur pada Tuhan, karena saya sukses dalam berusaha, punya isteri yang cantik, serta punya anak lengkap, laki-laki dan perempuan,”kata Budi yang lahir tanggal 20 November 1943 ini. Sebelum memeluk agama Islam, ayah dari dua anak ini memeluk agama Budha mengikuti orangtuanya. Namun ia mengaku hanya agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja, karena ia tak pernah mengunjungi tempat peribadatan.
Ia justru mengoleksi gambar-gambar masjid. Sejak usia sekolah dasar, ia sangat mengangumi arsitektur rumah ibadah kaum Muslim itu. Ketika ibunya meninggal sekitar dua tahun setelah menunaikan haji Budi menemukan foto masa kecilnya yang berpose di depan Masjid Syuhada Yogyakarta. Padahal saat itu mereka tinggal di desa Wuryantoro, Wonogori. ”Mungkin ini sudah suratan Allah untuk menjadikan saya orang Muslim,”ujarnya. Budi dan orang tuanya mulai tinggal di Yogyakarta tahun 1960. Setelah lulus SMA tahun 1964 di Sekolah Tionghoa Yogyakarta, ia membantu menjajakan dagangan orangtua berupa sirup, anggur, serta minuman dan makanan lainnya. Dengan mobil tua ia berkeliling keluar masuk kampung-kampung di wilayah DI Yogyakarta.
Tahun 1977 Budi menikah dan setahun kemudian ia mendirikan toko besi. Belum lima tahun ia menekuni bisnis itu, Budi sudah menuai keberhasilan. Grafik labanya meningkat secara luar biasa. ”Saat itulah, saya mulai berfikir bagaimana bersyukur pada Tuhan. Setelah saya tanya pada teman-teman dan mendatangi ustadz dari Tapanuli (Drs Ma’ruf Siregar-red). Saat itulah hati saya semakin mantap bahwa ternyata Islam yang saya cari,”ungkap pemilik Toko Besi ABC, BPR Syariah Margi Rizki di Yogyakarta, dan BPR Lumbung Arta di Muntilan ini.
Ia pun terus belajar agama Islam, sholat, dan mengaji. Ajaran agama Islam yang baru dianutnya, diamalkannya dengan sungguh-sungguh. Tahun 1984 Budi menunaikan ibadah haji. Sepulangnya berhaji, keluarganya mendapat hidayah kedua; isteri menyatakan diri masuk Islam. Pada tahun 1996 ia menunaikan ibadah haji lagi bersama sang isteri. Budi mendidik anaknya secara Islam. Bahkan anak keduanya, Mia Budi Setia Graha yang lahir tahun 1981, sejak TK disekolahkan di sekolah Islam.
Etos kerja etnis Tionghoa sejatinya selaras dengan etos kerja Muslim. Ia pun selalu memberi nasihat kepada kedua anaknya, ”Kalau mencari rizki sebisa mungkin mencari sebanyak-banyaknya seolah-olah kita hidup seribu tahun lagi, tetapi juga jangan lupa harus beramal seolah-olah besok kita akan meninggal.” Budi juga berdakwah dengan caranya sendiri. ”Karena saya masuk Islam karena Allah, saya berusaha menjadi Muslim yang baik. Saya harus memberikan contoh baik, sehingga syiar Islam bisa berkembang dan nur Islam bisa menyoroti hati nurani orang-orang Tionghoa,” kata penasehat dan pendiri Paguyuban Sosial Bakti Putra ini.
Tak lama setelah ia masuk Islam, banyak warga keturunan Tionghoa yang dekat dengannya juga turut bersyahadat. Bila pada tahun 1983 hanya ada tiga atau empat orang keturunan Tionghoa yang memeluk Islam itupun sudah tua kini jumlah Muslim Tionghoa di Yogyakarta terus bertambah. Tahun ini, anggota PITI berjumlah lebih dari 200 orang. Muslim Tionghoa juga sudah tidak malu lagi memeluk Islam. Secara psikologis, kata Budi, mereka sudah berani tampil dan bahkan bangga sebagai penganut Islam. Menurut dia, selama ini, pendekatan dakwah bagi keturunan Tionghoa seringkali keliru. ”Orang Tionghoa sering ‘dicina-cinakan’. Padahal bagi orang Tionghoa, kata Cina itu konotasinya negatif,” ujarnya.
Persinggungan Budi dengan organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, atau kemudian disebut dengan Persatuan Iman Tauhid Indonesia (PITI) ini dimulai sejak dia berislam. Setahun kemudian, tahun 1984, dia duduk sebagai ketua PITI Yogyakarta. Namun tahun 1999-2004 ia harus berhenti karena menjadi anggota legislatif. Karena tidak ada yang mau menjadi ketua PITI, akhirnya secara aklamasi sejak tahun 2000 hingga sekarang isterinya, Hj Raehana Fatimah, yang bernama asli Lie Sioe Fen, diangkat menjadi ketua PITI.
”Sebetulnya isteri saya sempat menangis tidak mau, karena tidak punya pengalaman berorganisasi. Selama ini ia ibu rumah tangga dan sibuk cari uang,” kata Budi. Tetapi ia mengingatkan pada amanah yang sudah diberikan teman-teman. Istrinya pun akhirnya mengangguk. Setiap bulan, PITI Yogyakarta mengadakan pengajian dan bakti sosial. ”Kami juga mengajak anggota orang Tionghoa untuk peduli terhadap kaum dhuafa, karena selama ini mereka mau beramal, tidak tahu harus diberi pada siapa,”kata bendahara DPW Pantai Amanat Nasional Yogyakarta ini.
Ia mengatakan program PITI adalah menjembatani orang Tionghoa yang ingin masuk Islam dan mendorong pembauran antara warga keturunan dengan pribumi. Dikatakannya, sudah dua tahun ini PITI DIY menyelenggarakan Imlek di masjid. Acaranya berupa diskusi dan sujud syukur di masjid karena mendapat karunia bertambahnya usia satu tahun. Tradisi Imlek berupa saling memberi kue keranjang juga dilakukan. Tahun ini, PITI DIY mengadakan kerja sama dengan UGM dalam peringatan Imlek. Mereka menggelar saresehan bertama “Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa”. Tujuannya adalah agar umat Islam dan Tionghoa saling mengenal Islam dan Budaya Tiongkok.