Mengapa Rasulullah Menyebut Muharram sebagai Bulan Allah?

Dalam sebuah riwayat An-Nasa’i, Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah SAW, “Bulan dan malam apa yang yang paling baik, wahai Rasulullah?” Lalu Rasul menjawab, “Malam terbaik adalah pertengahan malam, dan bulan terbaik adalah bulan Allah yang kamu sebut Muharram.”

Rasulullah SAW dalam riwayat itu menyebut Muharram dengan bulan Allah.Lantas mengapa disebut demikian?

Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali menjelaskan, Nabi Muhammad SAW menyebut bulan Muharram dengan sebutan bulan Allah karena untuk menunjukkan keagungan dan karunia-Nya. Allah yang menghubungkan Nabi Muhammad, Nabi Ibrahim, Nabi Ishak, Nabi Yakub dan Nabi-Nabi lainnya sebagai hamba-Nya.

“Dan bulan ini (bulan Muharram/bulan Allah), adalah bulan yang khusus untuk disandarkan kepada Allah ta’ala,” demikian penjelasan Ibnu Rajab.

Imam As-Suyuti, dalam kitab syarah Shahih Muslim, menjelaskan, bulan Muharram memiliki perbedaan dengan bulan lain. Nama bulan-bulan yang lain sudah ada pada masa jahiliyah, sedangkan nama bulan Muharram baru ada saat Islam datang.

Orang-orang pada masa jahiliyah menyebutnya dengan bulan Safar Awal, lalu Allah SWT mengganti nama tersebut dengan Muharram, sehingga kemudian bulan ini juga sering disebut dengan bulan Allah.

Hal itu menjadi petunjuk bahwa bulan Muharram itu adalah milik Allah yang Mahaperkasa dan Mahaagung. Tidak ada seorang pun yang berhak merubah nama bulan tersebut sebagaimana nama yang digunakan pada masa jahiliyah terdahulu.

Amalan yang diutamakan pada bulan Muharram adalah puasa. Hal ini merujuk pada riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Puasa yang paling utama di luar bulan Ramadhan adalah di bulan Muharram. Dan sebaik-baik sholat setelah sholat wajib adalah sholat malam.” (HR Muslim) 

Karena itu, sudah sepantasnya pula bahwa puasa termasuk di antara amalan-amalan yang khusus disematkan kepada Allah SWT pada bulan Muharram. Dan kita sebagai seorang Muslim tentu harus melaksanakan ibadah puasa tersebut di bulan Muharram dengan penuh khidmat.

IHRAM

Awal Tahun, Waktunya Koreksi Diri!

Allah Swt Berfirman :

يَوۡمَئِذٖ يَصۡدُرُ ٱلنَّاسُ أَشۡتَاتٗا لِّيُرَوۡاْ أَعۡمَٰلَهُمۡ

“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan berkelompok-kelompok, untuk diperlihatkan kepada mereka (balasan) semua perbuatannya.” (QS.Az-Zalzalah:6)

Ayat ini menjelaskan bahwa kita semua kelak akan dibangkitkan di Hari Kiamat. Dan di hari itu semua amal perbuatan kita dari yang terkecil hingga yang terbesar akan ditampakkan dan di hadirkan.

Bila kita tengok ayat lain, kita dapati pula bahwa manusia kelak hanya akan mendapati hasil dari amal perbuatannya.

وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ – وَأَنَّ سَعۡيَهُۥ سَوۡفَ يُرَىٰ

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).” (QS.An-Najm:39-40)

وَوَجَدُواْ مَا عَمِلُواْ حَاضِرٗاۗ

“an mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan.” (QS.Al-Kahfi:49)

Sekecil apapun perbuatan itu, kelak kita pasti akan menemuinya. Tak hanya itu, semua amal perbuatan akan di pertontonkan dan dinampakkan oleh Allah Swt.

Karenanya, jangan pernah kita meremehkan perbuatan buruk sekecil apapun dan jangan pula meremehkan kebaikan sekecil apapun. Karena pasti kelak kita akan bertemu dengannya.

Yang kecil atau besar menurut kita belum tentu sama di sisi Allah Swt. Bisa saja hal yang menurut kita kecil tapi di sisi Allah hal itu sangatlah besar. Dan begitu juga sebaliknya.

Ingatlah bahwa perbuatan sekecil dzarrah pun akan ditampakkan !

فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ – وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS.Az-Zalzalah:7)

Maka setelah kita meninggalkan tahun 1441 dan memasuki tahun 1442. Awal-awal tahun ini adalah momen penting untuk kita koreksi diri. Karena hari ini harus lebih baik dari kemarin dan tahun ini harus lebih baik dari tahun kemarin.

Tugas kita hanya melakukan yang terbaik, apapun posisi kita sekarang dan bagaimanapun kondisi kita saat ini. Telah tiba waktunya untuk kita memperbanyak investasi untuk akhirat. Agar ketika kita berjumpa dengan Allah dan diperlihatkan amal nanti, kita akan tergolong sebagai orang-orang yang tersenyum gembira melihat amal-amalan yang dipertontonkan dihadapan kita.

Semoga Bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

————————————

Miliki Jam Masjid dan wakafkan untuk Masjid dan Musholah di sekitar Anda,…


Muharram 1442: Spirit Hijrah di Masa Pandemi

Memasuki tahun 1442 Hijriyah, yang sarat dengan spirit hijrah tetaplah terus diingat meskipun saat ini kita berada di masa pandemi. Jadikan Muharram kali ini sebagai Spirit Hijrah di Masa Pandemi.

Marilah kita terus berupaya meningkatkan syukur dan taqwa kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sungguh di seluruh satuan waktu dan di setiap kesempatan, nikmat Allah selalu membersamai kita. Dalam kondisi saat ini, dipanjangkan-Nya usia kita adalah nikmat besar. Disehatkan-Nya fisik kita adalah nikmat besar. Dan yang paling besar di antara nikmat-nikmat besar adalah ketika Dia menjaga kita sehingga iman tetap bersemayam dalam jiwa kita.

Spirit Hijrah dalam Kalender Hijriyah

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Awalnya umat Islam tidak memiliki angka tahun. Di masa Rasulullah, tahun-tahun dinamakan sesuai peristiwa besar yang terjadi di dalamnya. Misalnya tahun gajah, karena di tahun itu ada pasukan gajah pimpinan Abrahah yang hendak menghancurkan Ka’bah. Ada yang disebut tahun fijar karena di dalamnya terjadi Perang Fijar. Ada tahun nubuwah karena di tahun itu Rasulullah menerima wahyu.

Tidak adanya bilangan tahun memunculkan masalah baru, khususnya dalam administrasi pemerintahan Islam yang semakin maju. Maka Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengumpulkan para sahabat lainnya untuk menetapkan tahun penanggalan Islam.

Ada yang mengusulkan mengikuti tahun Romawi, tetapi usulan ini ditolak mentah-mentah. Para sahabat kemudian mengusulkan empat peristiwa sebagai tahun pertama dalam kalender Islam. Pertama, kalender Islam dimulai dari tahun kelahiran Rasulullah. Kedua, kalender Islam dimulai dari tahun nubuwwah. Ketiga, kalender Islam dimulai dari tahun hijrah. Dan keempat, kalender Islam dimulai dari tahun wafatnya Rasulullah.

Usulan pertama dan ketiga tidak diambil. Alasan terbesarnya, baik kelahiran maupun tahun nubuwah, keduanya adalah semata-mata anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tak ada upaya atau perjuangan manusia (juhud basyari) sama sekali. Usulan keempat juga tidak diambil. Sebab dikhawatirkan mengulang suasana duka jika wafatnya Rasulullah dijadikan tahun pertama kalender Islam.

Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu mengusulkan kalender Islam dimulai dari tahun hijrah ke Madinah. Banyak alasannya. Hijrah adalah dimulainya peradaban baru Islam. Hijrah adalah perubahan umat Islam dari yang semula tertindas di Makkah menjadi kekuatan di Madinah. Dan berbeda dengan kelahiran dan nubuwah Rasulullah yang sama sekali tak ada upaya manusiawi, hijrah merupakan perjuangan besar umat Islam yang dipenuhi dengan banyak sejarah pengorbanan (tadhiyah).

Maka ditetapkanlah tahun hijrah sebagai tahun pertama kalender Islam. Dan karenanya, penanggalan ini disebut sebagai kalender hijriyah. Spiritnya adalah spirit hijrah.

Makna Hijrah

Ma’asyiral muslimin hafidhakumullah,
Secara khusus, hijrah yang menjadi dasar penentuan tahun pertama kalender hijriyah adalah perpindahan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Perpindahan tempat dalam rangka menyelamatkan dan memperjuangkan agama. Hijrah makaniyah.

Namun hakikat hijrah jauh lebih luas dari itu. Ia bisa dilakukan oleh siapapun dan di manapun. Hijrah maknawiyah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

الْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

“Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah.” (HR. Bukhari)

Hijrah maknawiyah inilah yang harus menjadi spirit dalam momentum tahun baru hijriyah. Kita meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hijrah dari syirik menuju tauhid. Hijrah dari kebathilan menuju kebenaran. Hijrah dari kemaksiatan menuju ketaatan. Hijrah dari kezaliman menuju keadilan. Hijrah dari yang haram menuju yang halal. Hijrah dari keburukan menuju kebaikan.

Spirit Hijrah di Masa Pandemi

Ma’asyiral muslimin haadakumullah,
Spirit hijrah tak pernah lekang di makan waktu. Ia senantiasa relevan di setiap masa. Termasuk di masa pandemi seperti saat ini. Justru ketika begitu banyak kematian datang tiba-tiba, saatnya bagi kita untuk hijrah dengan segera. Hijrah dalam makna yang seluas-luasnya. Sehingga kita berubah dari buruk menjadi baik dan dari baik menjadi lebih baik.

Spirit hijrah harus ada mulai dari hal yang paling fundamental dalam diri kita. Yakni keyakinan, keimanan. Jika selama ini masih ada keraguan dalam keimanan kita, maka kita harus memiliki spirit hijrah sehingga iman kita kepada Allah benar-benar iman yang kuat. Iman yang menancap di hati. Dibuktikan dalam sikap dan perbuatan. Mewujud dalam perjuangan dan pengorbanan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. Al Hujurat: 15)

Keyakinan kita terhadap akhirat harus semakin kuat. Apalagi di masa pandemi kita dihadapkan pada fakta banyaknya teman dan tetangga yang tiba-tiba meninggal dunia. Baik terpapar virus corona maupun sakit lainnya. Keyakinan kita lantas membuahkan spirit hijrah berikutnya. Yakni kita berusaha semakin mendekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka kita pun memperbaiki shalat kita. Memperbaiki dzikir dan doa-doa kita. Memperbaiki tilawah kita. Memperbaiki puasa dan infaq kita. Pendek kata, spirit hijrah harus membuat ibadah kita lebih baik, lebih khusyu’ lebih taqarrub ilallah.

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah… (QS. Al Hadid: 16)

Spirit hijrah juga harus mewarnai akhlak kita. Di masa pandemi seperti ini, alangkah banyaknya orang yang tiba-tiba berpisah dengan keluarganya. Berpisah dengan kerabatnya. Berpisah dengan tetangganya. Berpisah dengan teman-temannya. Karena meninggal dunia.

Maka selagi kesempatan masih ada, perbaiki hubungan kita dengan keluarga. Perbaiki hubungan dengan kerabat dan handai taulan. Perbaiki hubungan dengan tetangga dan teman.

Spirit hijrah juga harus mewarnai semangat dan gaya hidup kita. Pandemi ini membawa dampak yang luas. Tak hanya kesehatan, tetapi juga ekonomi, sosial dan pendidikan. Maka spirit hijrah membuat kita lebih menjaga kebersihan dan kesehatan. Spirit hijrah mewujud dalam gaya hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Spirit hijrah mewujud dalam semangat pantang menyerah. Spirit hijrah mewujud dalam menyempurnakan ikhtiar demi mencapai karunia dan barokah-Nya.

Kita yakin, dengan menyempurnakan ikhtiar dan senantiasa bertawakal, pandemi akan segera berlalu. Kesulitan akan berganti dengan kemudahan.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا . إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Al Insyirah: 5-6)

أَقُوْلُ قَوْلِ هَذَا وَاسْتَغْفِرُوْاللَّهَ الْعَظِيْمِ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ


Meskipun kita tidak mendapat kesempatan hijrah makaniyah sebagaimana para sahabat yang hijrah dari Makkah ke Madinah, semoga dengan hijrah maknawiyah kita mendapat keutamaan yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 218)

الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. Surat At-Taubah: 20)

Sumber: BERSAMADAKWAH

Doa Memasuki Bulan Baru dari Sahabat Nabi

ADA sebuah dalil yang diyakini merupakan amalan dari para sahabat Nabi melalui riwayat Abdullah bin Hisyam dalam al mujam al awsath imam Thabrani:

Dari Abdullah bin Hisyam, ia berkata bahwa para Sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mempelajari doa berikut jika memasuki tahun atau bulan Ya Allah, masukan kami ke dalamnya dengan aman, iman, selamat dan Islam. Mendapatkan ridho Allah dan dijauhkan dari gangguan syetan (HR Thabrani, Al Hafizh Al Haitsamiy menilai Hasan)

Atsar ini tidak ada dalam riwayat lain kecuali dari Thabrani dan tidak ditemukan rantainya kecuali melalui sanad yang tersebut di atas dimana Risydin bin Saad menyendiri di jalur sanad tersebut. Sekalipun demikian Imam Ahmad mengatakan bahwa hadist ini dinilai hasan oleh Al Hafidz Al Haitsamiy. (1)

Dalam menetapkan status hadist ataupun atsar sahabat, kadang para ulama juga berselisih, inilah yang kerap menjadi bagian asbab ikhtilaf dalam kesimpulan hukum dalam fiqih.

Maka sekalipun seandainya hadist ini tidak diakui eksistensinya oleh golongan tertentu,toh masih banyak hadist lain yang shahih dan dalil al quran dengan konotasi umum yang menganjurkan muslimin untuk banyak berdoa. Termasuk berdoa kebaikan di awal ataupun akhir tahun. sebagaimana kita ketahui bahwa redaksi doa juga tidaklah selalu harus dari lafadz Rasulullah, ada juga yang merupakan warisan dari sahabat atau ulama-ulama yang shalih, maka yang seperti ini juga sah saja untuk kita lanjutkan.

[Lihat : musnad Ahmad, tahqiq arnauth. Muassasah risalah. 3/18, lihat juga: Al Haitsamiy, Majmau zawaid wa manbaul fawaid. Maktabah al qudsiy, kairo. 10/139]

INILAH MOZAIK

Tahun Baru Hijriyah: Antara Amalan dan Perayaan

Sejatinya sebuah tahun baru, awal Hijriyah juga mempunyai perayaan dan diisi dengan beragam kegiatan. Tak semeriah tahun baru masehi setiap tanggal 1 Januari, tahun baru Hijriyah menjadi awal yang baru dan juga akhir dari masa lalu yang mempunyai banyak makna berupa amalan-amalan bagi umat Islam.

 

Sejarah 1 Muharram

Tanggal 1 Muharram adalah permulaan dalam sistem penanggalan sehari-hari yang digunakan oleh umat Islam. Istilahnya kita kenal dengan sebutan Kalender Hijriyah. Dinamakan dengan Hijriyah, karena pada tahun ini terjadi peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari kota Mekkah ke Madinah (saat itu bernama Yatsrib) pada tahun 622 Masehi.

Penggunaan Kalender Hijriyah ini bermula saat Khalifah Umar bin Khattab sedang mengalami sebuah masalah administrasi pemerintahan. Saat itu Abu Musa Al-Asy’ari yang menjabat sebagai Gubernur kota Bashrah mengadu kepada Umar karena kesulitan membedakan tahun di surat-surat yang dikirim oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab untuknya. Setelah pengaduan itu, Umar kemudian mengumpulkan para pembesar sahabat Nabi SAW sekaligus penasehat-penasehatnya untuk bermusyawarah. Mereka berunding untuk menetapkan kapan dimulainya kalender tahun dalam Islam.

Beberapa sahabat berpendapat bahwa penetapan awal tahun Islam adalah tahun diutusnya Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul. Namun sebagian yang lain mengusulkan supaya mengikuti kalender Romawi yang sudah dimulai sejak Raja Alexander. Lalu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib maju dan mengajukan sarannya. Beliau menyarankan agar peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dijadikan sebagai awal tahun untuk kalender umat Islam.

Umar bin Khattab dan para sahabat lain setuju dengan pendapat saudara sepupu sekaligus menantu dari Nabi Muhammad SAW ini. Lalu beliau berkata, “Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang salah. Jadikanlah ia sebagai patokan penanggalan,” tegasnya.

Selain itu, mereka juga mencocokan kata “hari pertama” dengan memahami Alquran Surat At-Taubah ayat 108 yang artinya; Sesungguhnya Masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. (QS. At-Taubah:108)

Maka atas dasar hasil musyawarah para sahabat ini, awal patokan kalender tahun penanggalan Islam resmi diberlakukan, tepatnya pada tahun 638 M/17 H. Kalender Hijriyah dikenal juga sebagai Kalender Qomariyah, yaitu kalender yang dihitung berdasarkan peredaran bulan.

Makna Muharram

Kata muharram diambil dari kata “haram” yang artinya berdosa dan terlarang. Bulan ini dalam Islam termasuk salah satu dari empat bulan haram atau bulan suci (Dzulqo’idah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab). Hal inis sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran surat At-Taubah ayat 36 yang artinya; Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu. (QS. At Taubah: 36)

Mengapa dikatakan haram?

Al Qodhi Abu Ya’la mengatakan dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Termasuk orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut, larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena kemuliaan bulan tersebut. Pada bulan itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.

Peraturan pelarangan ini dilakukan agar masyarakat saat itu berhenti dari peperangan sehingga keamanan umum terjamin. Sebagian mufassir berpendapat bahwa tradisi pengharaman perang di bulan Muharram dan tiga bulan tertentu lainnya telah terjadi sejak zaman Nabi Ibrahim AS. Peraturan tersebut tetap ada di masa Jahiliyah, bahkan menjadi sebuah tradisi yang telah mengakar. Setelah kemunculan Islam, pengharaman perang di bulan Muharram ditegaskan dalam agama Islam.

Pada dasarnya, pelarangan perang adalah salah satu cara untuk mengakhiri konflik panjang dan sekaligus sebagai alat untuk menyerukan perdamaian dan ketenteraman. Jika mereka yang terlibat dalam peperangan kemudian berhenti mengangkat senjata selama empat bulan, maka akan tercipta ruang untuk berpikir sehingga kemungkinan besar akan muncul mediasi untuk mengakhiri peperangan.

Sementara itu, selain sebagai bulan yang haram, Muharram juga merupakan bulan yang istimewa, karenanya disebut syahrullah yaitu bulan Allah. Bulan ini disandarkan pada Allah. Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah SWT kecuali bulan Muharram. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Muhammad SAW yang artinya; Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.

Perayaan dan Amalan

Perayaan Tahun Baru Hijriyah selalu dirayakan setiap tanggal 1 Muharram oleh umat Islam di seluruh dunia. Biasanya, umat Islam mengadakan berbagai acara seperti pengajian, tabligh akbar, ceramah, bahkan “pawai obor” yang biasanya melibatkan anak-anak.

Beberapa tokoh berpendapat, perayaan ini merupakan syiar agama Islam yang positif di masyarakat. Dengan perayaan, masyarakat sanggup memahami dan menyadari makna dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Hal ini dimaksudkan supaya nilai-nilai positif dalam peristiwa hijrah dapat mengubah perilaku masyarakat kea rah yang lebih baik.

Namun, sebagian yang lain juga berpendapat bahwa memperingati dan memeriahkan tahun baru Islam seperti perayaan tahun baru masehi adalah satu hal yang keliru dan dianggap bid’ah. Hal ini karena tidak ada contoh satupun dari Nabi dan para sahabatnya. Begitupun dengan amalan khusus yang dilakukan pada saat tahun baru hijriyah, seperti doa khusus, puasa awal dan akhir tahun, pesta kembang api, dan lainya. Menurut pendapat yang lain, memeriahkan tahun baru hijriyah sebenarnya hanya ingin menandingi tahun baru masehi yang dirayakan oleh kelompok agama lain.

Ragam pendapat ini sah-sah saja dalam setiap persoalan. Hanya saja sebagai Muslim, hendaknya memaknai tahun baru Islam supaya memiliki semangat baru untuk merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih baik. Karena peristiwa hijrah umat Islam dari Makkah ke Madinah tidak hanya mengandung nilai sejarah dan strategi perjuangan, tetapi juga mengandung nilai-nilai dan pelajaran berharga bagi perbaikan kehidupan umat secara pribadi dan kejayaan kaum Muslim pada umumnya.

Khalifah Umar bin Khattab menjadikan penanggalan Hijriyah sebagai zaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi harganya bagi agama dan umat Islam. Ali bin Abi Thalib, seorang yang berjasa dalam penanggalan Tahun Hijriyah. Keponakan Rasulullah SAW inilah yang mencetuskan pemikiran agar penanggalan Islam dimulai penghitungannya dari peristiwa hijrah, saat umat Islam meninggalkan Makkah menuju Yatsrib (Madinah).

Sidi Gazalba dalam buku Kebangkitan Islam dalam Pembahasan (1979), menulis: Dipandang dari ilmu strategi, hijrah merupakan taktik. Strategi yang hendak dicapai adalah mengembangkan iman dan mempertahankan kaum mukminin.

Semoga tahun baru Hijriyah ini kita tidak hanya sebatas merayakan dan melakukan berbagai amalan. Lebih dari itu, marilah kita pererat jalinan ukhuwah yang kokoh untuk membawa Islam mencapai kejayaan dan mengembangkan sayapnya ke berbagai penjuru bumi. Sejarah kaum Muhajirin-Anshar membuktikan bahwa ukhuwah Islamiyah bisa membawa umat Islam jaya dan disegani. Satu hal lain, kita tanamkan pula semangat hijrah dalam diri, menuju iman, ilmu, dan amal yang lebih baik. Selamat Tahun Baru 1 Muharram 1438 Hijriyah!

 

GO MUSLIM

Kekeliruan dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah

Sebentar lagi kita akan memasuki tanggal 1 Muharram. Seperti yang kita ketahui bahwa perhitungan awal tahun hijriyah dimulai dari hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu bagaimanakah pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan Muharram? Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang mungkin banyak di antara kita tidak mengetahuinya. Namun banyak di antara kaum muslimin yang salah kaprah dalam menyambut bulan Muharram atau awal tahun. Silakan simak pembahasan berikut.

Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram

Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”[1]

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[2]

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.  Oleh karena itu bulan Muharram termasuk bulan haram.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”[3]

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”

Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”[4]

Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)

Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[5]

Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.[6]

Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau rahimahullah mengatakan, ”Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Muharram. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”[7]

Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?”

Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram).[8]

Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iroqiy di atas, jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.

Menyambut Tahun Baru Hijriyah

Dalam menghadapi tahun baru hijriyah atau bulan Muharram, sebagian kaum muslimin salah dalam menyikapinya. Bila tahun baru Masehi disambut begitu megah dan meriah, maka mengapa kita selaku umat Islam tidak menyambut tahun baru Islam semeriah tahun baru masehi dengan perayaan atau pun amalan?

Satu hal yang mesti diingat bahwa sudah semestinya kita mencukupkan diri dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Jika mereka tidak melakukan amalan tertentu dalam menyambut tahun baru Hijriyah, maka sudah seharusnya kita pun mengikuti mereka dalam hal ini. Bukankah para ulama Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah kalimat,

لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ

Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.”[9] Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.[10]

Sejauh yang kami tahu, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan untuk menyambut tahun baru hijriyah. Dan kadang amalan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam menyambut tahun baru Hijriyah adalah amalan yang tidak ada tuntunannya karena sama sekali tidak berdasarkan dalil atau jika ada dalil, dalilnya pun lemah.

Amalan Keliru dalam Menyambut Awal Tahun Hijriyah

Amalan Pertama: Do’a awal dan akhir tahun

Amalan seperti ini sebenarnya tidak ada tuntunannya sama sekali. Amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama besar lainnya. Amalan ini juga tidak kita temui pada kitab-kitab hadits atau musnad. Bahkan amalan do’a ini hanyalah karangan para ahli ibadah yang tidak mengerti hadits.

Yang lebih parah lagi, fadhilah atau keutamaan do’a ini sebenarnya tidak berasal dari wahyu sama sekali, bahkan yang membuat-buat hadits tersebut telah berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Jadi mana mungkin amalan seperti ini diamalkan.[11]

Amalan kedua: Puasa awal dan akhir tahun

Sebagian orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah dan awal tahun Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir tahun. Dalil yang digunakan adalah berikut ini.

مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ المُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ بِصَوْمٍ ، وَافْتَتَحَ السَّنَةُ المُسْتَقْبِلَةُ بِصَوْمٍ ، جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَارَةٌ خَمْسِيْنَ سَنَةً

“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.”

Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:

  1. Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181)  mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.
  2. Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perowi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
  3. Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits.[12]

Kesimpulannya hadits yang menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir tahun adalah hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan dalil dalam amalan. Sehingga tidak perlu mengkhususkan puasa pada awal dan akhir tahun karena haditsnya jelas-jelas lemah.

Amalan Ketiga: Memeriahkan Tahun Baru Hijriyah

Merayakan tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, mengkhususkan dzikir jama’i, mengkhususkan shalat tasbih, mengkhususkan pengajian tertentu dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah, menyalakan lilin, atau  membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya. Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama sesudahnya. Yang memeriahkan tahun baru hijriyah sebenarnya hanya ingin menandingi tahun baru masehi yang dirayakan oleh Nashrani. Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas telah menyerupai mereka (orang kafir). Secara gamblang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[13]

Penutup

Menyambut tahun baru hijriyah bukanlah dengan memperingatinya dan memeriahkannya. Namun yang harus kita ingat adalah dengan bertambahnya waktu, maka semakin dekat pula kematian.

Sungguh hidup di dunia hanyalah sesaat dan semakin bertambahnya waktu kematian pun semakin dekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

Aku tidaklah mencintai dunia dan tidak pula mengharap-harap darinya. Adapun aku tinggal di dunia tidak lain seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu meninggalkannya.”[14]

Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya memiliki beberapa hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang pula sebagian darimu.”[15]

Semoga Allah memberi kekuatan di tengah keterasingan. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

RUMASYO

Lahirnya Umat Terbaik

Hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan babak awal kebangkitan Islam. Dari hijrah, Rasulullah SAW bisa membangun masyarakat baru di Kota Madinah.

Masyarakat yang terformulasikan dalam bentuk persaudaraan ukhuwah yang sangat kental antara orang-orang yang berhijrah dari Makkah atau kaum Muhajirin dan penduduk Kota Madinah yang membantu mereka atau lebih dikenal kaum Anshar. Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk hijrah dari meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah SWT. “Dan berbuat dosa tinggalkanlah.” (QS al Muddatstsir [74]: 5).

Hijrah adalah satu peristiwa penting yang harus selalu melekat dalam benak kaum Muslim. Hijrah adalah perjalanan Rasulullah SAW dan para sahabat beliau ke Madinah untuk menyongsong kehidupan bernegara yang berdaulat dan berdiri sendiri serta terbebas dari penguasaan negara-negara lain.

Hijrah itulah yang dijadikan sebagai awal penanggalan dalam Islam, awal munculnya sebuah umat dalam sejarah dunia, yaitu umat Islam yang dikatakan oleh Allah sebagai umat terbaik yang lahir ke dunia.

Sekarang sudah memasuki tahun ke-1437 H, umat Islam telah eksis di belantara kehidupan hampir satu setengah milenium. Suatu umur yang amat panjang sehingga amat wajar jika umat ini telah melewati segala pahit-manis, susah-senang, maju-mundur sebagai umat dan peradaban.

Umat ini pernah melalui masa-masa gemilang yang tidak ada tandingannya dalam sejarah. Menaungi kemanusiaan dengan keadilan dan kesejahteraan sebab Islam bukan hanya rahmat bagi umat Muslim, melainkan juga rahmat bagi seluruh alam, seluruh manusia. Bukankah Allah SWT telah berfirman, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS al-Anbiyaa[21]: 107).

Namun, sayang, sekarang ini umat Islam sedang terbelenggu oleh penguasaan negara-negara kafir. Harta mereka dikuasai, tenaga mereka dikuras, dan mereka hidup dalam kehidupan yang sempit. Semua ini disebabkan oleh umat ini telah berpaling dari mengingat Allah, mengingat aturan-aturan-Nya, dan menerapkannya dalam kehidupan seperti yang difirmankan-Nya dalam ayat 124 surah Thaha: “Dan barang siapa berpaling dari mengingat-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.”

Imam Ibnul Qoyyim dalam Risalah Tabukiyah menyatakan hijrah yang hukumnya fardhu ain adalah menuju Allah dan Rasul-Nya, tidak hanya berupa jasad, namun juga diikuti dengan hati. Allah berfirman, “Maka segeralah (berlari) kembali menaati Allah.” (QS adz-Dzariyaat [51]: 50).

Hijrah ini meliputi dari dan menuju: Dari perbuatan syirik menuju tauhid, dari jahiliyah menuju Islamiyah, dari mungkar menuju makruf, dari maksiat menuju taat. Dari kecintaan kepada selain Allah menuju kecintaan kepada-Nya, dari takut kepada selain Allah menuju takut kepada-Nya.

Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat la ilaha illallah. Hijrah ini sangat berat. Orang yang menitinya dianggap orang yang asing. Dia meninggalkan seluruh pendapat manusia dan menjadikan Rasulullah sebagai hakim dalam segala perkara yang diperselisihkan dalam seluruh perkara agama.

Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS al-Ahzab [33]: 36).

Pada akhirnya, hijrah adalah keberanian untuk tampil beda. Berani menolak suap ketika tradisi suap sudah membudaya. Berani menutup aurat ketika sebayanya ramai-ramai membuka aurat. Berani mengatakan yang benar, ketika yang lain justru menutup kebenaran. Wallahu ‘alam.

 

Oleh: Suparman Jassin

sumber: Republika Online

Dua Makna Bulan Haram

Dalam Islam, dikenal istilah bulan haram. Dinamakan demikian, karena pada bulan tersebut Allah SWT melarang seluruh hamba-Nya berbuat dosa atau melakukan hal yang dinilai haram secara syariat Islam.

Menurut Al-Qodhi Abu Ya’la, ada dua alasan dan dua makna mengapa Allah SWT menamakannya bulan haram. Pertama, pada bulan itu diharamkan berbagai pembunuhan atau perbuatan keji lainnya.

Kedua, pada bulan itu pula diharamkan melakukan tindakan dan perbuatan haram. Perintah ini lebih ditekankan daripada bulan lainnya, karena kemuliaan bulan tersebut. Sebaliknya, pada bulan haram, dianjurkan untuk lebih memperbanyak perbuatan baik dengan melakukan amalan dan ketaatan kepada Allah SWT.

Terdapat sebuah ayat yang menerangkan perihal eksistensi bulan haram. Hal ini tertuang dalam surah at-Taubah ayat 36, yang berbunyi, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Dalam ayat tersebut, Allah SWT telah menjelaskan pada kita bahwa bulan yang ada pada kehidupan manusia di dunia ini  berjumlah 12. Di antara 12 bulan tersebut, ada empat bulan yang dinyatakan oleh Allah SWT sebagai bulan-bulan haram.

 

sumbe: Republka ONline

Kekeliruan dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah

Hari ini, 14 Oktober 2015, berteatan juga dengan tanggal 1 Muharram 1437 H. Seperti kita ketahui bahwa perhitungan awal tahun hijriyah dimulai dari hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu bagaimanakah pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan Muharram? Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang mungkin banyak di antara kita tidak mengetahuinya. Namun banyak di antara kaum muslimin yang salah kaprah dalam menyambut bulan Muharram atau awal tahun. Silakan simak pembahasan berikut.

Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram

Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”[1]

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[2]

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.  Oleh karena itu bulan Muharram termasuk bulan haram.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”[3]

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”

Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”[4]

Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)

Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[5]

Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.[6]

Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau rahimahullahmengatakan, ”Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau ’Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Muharram. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”[7]

Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?”

Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram).[8]

Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iroqiy di atas, jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.

Menyambut Tahun Baru Hijriyah

Dalam menghadapi tahun baru hijriyah atau bulan Muharram, sebagian kaum muslimin salah dalam menyikapinya. Bila tahun baru Masehi disambut begitu megah dan meriah, maka mengapa kita selaku umat Islam tidak menyambut tahun baru Islam semeriah tahun baru masehi dengan perayaan atau pun amalan?

Satu hal yang mesti diingat bahwa sudah semestinya kita mencukupkan diri dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Jika mereka tidak melakukan amalan tertentu dalam menyambut tahun baru Hijriyah, maka sudah seharusnya kita pun mengikuti mereka dalam hal ini. Bukankah para ulama Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah kalimat,

لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ

Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.”[9]Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.[10]

Sejauh yang kami tahu, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan untuk menyambut tahun baru hijriyah. Dan kadang amalan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam menyambut tahun baru Hijriyah adalah amalan yang tidak ada tuntunannya karena sama sekali tidak berdasarkan dalil atau jika ada dalil, dalilnya pun lemah.

Amalan Keliru dalam Menyambut Awal Tahun Hijriyah

Amalan Pertama: Do’a awal dan akhir tahun

Amalan seperti ini sebenarnya tidak ada tuntunannya sama sekali. Amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama besar lainnya. Amalan ini juga tidak kita temui pada kitab-kitab hadits atau musnad. Bahkan amalan do’a ini hanyalah karangan para ahli ibadah yang tidak mengerti hadits.

Yang lebih parah lagi, fadhilah atau keutamaan do’a ini sebenarnya tidak berasal dari wahyu sama sekali, bahkan yang membuat-buat hadits tersebut telah berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Jadi mana mungkin amalan seperti ini diamalkan.[11]

Amalan kedua: Puasa awal dan akhir tahun

Sebagian orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah dan awal tahun Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir tahun. Dalil yang digunakan adalah berikut ini.

مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ المُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ بِصَوْمٍ ، وَافْتَتَحَ السَّنَةُ المُسْتَقْبِلَةُ بِصَوْمٍ ، جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَارَةٌ خَمْسِيْنَ سَنَةً

“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.”

Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:

  1. Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181)  mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.
  2. Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perowi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
  3. Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits.[12]

Kesimpulannya hadits yang menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir tahun adalah hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan dalil dalam amalan. Sehingga tidak perlu mengkhususkan puasa pada awal dan akhir tahun karena haditsnya jelas-jelas lemah.

Amalan Ketiga: Memeriahkan Tahun Baru Hijriyah

Merayakan tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, mengkhususkan dzikir jama’i, mengkhususkan shalat tasbih, mengkhususkan pengajian tertentu dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah, menyalakan lilin, atau  membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya. Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama sesudahnya. Yang memeriahkan tahun baru hijriyah sebenarnya hanya ingin menandingi tahun baru masehi yang dirayakan oleh Nashrani. Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas telah menyerupai mereka (orang kafir). Secara gamblang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[13]

Penutup

Menyambut tahun baru hijriyah bukanlah dengan memperingatinya dan memeriahkannya. Namun yang harus kita ingat adalah dengan bertambahnya waktu, maka semakin dekat pula kematian.

Sungguh hidup di dunia hanyalah sesaat dan semakin bertambahnya waktu kematian pun semakin dekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

Aku tidaklah mencintai dunia dan tidak pula mengharap-harap darinya. Adapun aku tinggal di dunia tidak lain seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu meninggalkannya.[14]

Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya memiliki beberapa hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang pula sebagian darimu.”[15]

Semoga Allah memberi kekuatan di tengah keterasingan. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

 

 

 

Sumber: Rumaysho