Menasehati Itu Bukan dengan Menyindir di Publik

Setiap kita butuh nasehat dan saling menasehati. Terkadang kita menyampaikan nasehat dan terkadang kita dinasehati, akan tetapi kita perlu sama-sama ingat kembali tujuan utama menasehati adalah menghendaki kebaikan dan memperbaiki yang dinasehati. Sebagaimana dalam hadits,

ﺍﻟﺪِّﻳﻦُ ﺍﻟﻨَّﺼِﻴﺤَﺔُ

“Agama adalah nasehat.”(HR. Muslim).

Ibnul Atsir menjelaskan,

ﻧَﺼﻴﺤﺔ ﻋﺎﻣّﺔ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ : ﺇﺭﺷﺎﺩُﻫﻢ ﺇﻟﻰ ﻣﺼﺎﻟِﺤِﻬﻢ

“Nasehat bagi kaum muslimin yaitu memberikan petunjuk untuk kemashalatan mereka.” [An-Nihayah 5/142]

Kita perlu ingat juga adab utama menasehati yaitu hukum asalnya empat mata (sembunyi-sembunyi, bukan di depan publik) serta dengan menggunakan kata-kata yang lembut dan mengena bukan dengan kata-kata kasar dan menyindir.

Imam Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa nasehat di depan publik (tanpa ada udzur yang membolehkan) adalah penghinaan, itu bukan nasehat. Beliau rahimahullah berkata:

تعمدني بنصحك في انفرادي** وجنبْني النصيحة في الجماعهْ

فإن النصح بين الناس نوع** من التوبيخ لا أرضى استماعهْ

وإن خالفتني وعصيت قولي** فلا تجزعْ إذا لم تُعْطَ طاعهْ

“Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri,
Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian
Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu
Pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya
Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku
Maka janganlah engkau marah
Jika kata-katamu tidak aku turuti”
[Diwaan Imam Syafi’i, disusun oleh Muhammad Ibrahim Salim]

Hendaknya kita hati-hati dan intropeksi, bisa jadi kita bukan ingin menasehati, tetapi ingin menghinakan orang lain dengan kesombongan dan hasad kita. Semoga kita dijauhkan dari hal semisal ini.

Nasehat juga harus dalam bentuk kata-kata yang lembut dan mengena (ini hukum asalnya). Jangan sampai manusia lari dari nasehat dan dakwah kita serta enggan menerima.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻳَﺴِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻌَﺴِّﺮُﻭﺍ ﻭَﺑَﺸِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻨَﻔِّﺮُﻭﺍ

“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari.” (HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmu no.69)

Apabila nasehat kita ingin diterima, hendaknya dilakukan dengan empat mata (di zaman ini misalnya dengan menelpon, mengirim pesan pribadi dan lain-lain). Gunakan juga kata-kata yang lembut karena ini lebih mengena.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya kelembutan tidaklah berada pada sesuatu melainkan akan membuatnya lebih bagus, dan tidak akan tercabut sesuatu darinya kecuali akan membuatnya jelek.” [HR. Muslim]

Hendaknya kita tetap berkasih sayang sesama muslim, mereka saudara kita se-iman dan se-Islam.

Allah Ta’ala berfirman,

ﺃَﺷِﺪَّﺁﺀُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻜُﻔَّﺎﺭِ ﺭُﺣَﻤَﺂﺀُ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ

“Mereka adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS. Al-Fath :29)

CATATAN:
Apabila kesalahan yang dilakukan saudara kita telah tersebar dan dia yang menyebarkan maka boleh dilakukan nasehat secara publik untuk menjelaskan bahwa itu adalah salah, tapi kita hanya menjelaskan kesalahan saja, membantah dengan penuh adab dan santun, tidak melebar sampai menghina dan mengolok-olok dengan cacian dan hinaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan

المنكر إذا أعلن فيجب إنكاره علناً

“Kemungkaran apabila dilakukan secara terang-terangan maka wajib mengingkarinya secara terang terangan juga.” [Liqa Bab Al-Maftuh 12/54]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Nasihat Fajar

Subuh itu terasa nikmat. Selepas shalat berjamaah, dilanjutkan dengan zikir maktubah, penulis melihat kedua anak penulis, Alvin dan Amer, sedang terlibat diskusi kecil dengan mushaf di tangannya, persis di salah satu tiang masjid yang menghadap keluar.

Udara segar dan cuaca yang sangat sejuk pagi itu membersitkan keharuan bercampur bahagia. Kedua anak penulis yang kini sudah menginjak remaja itu terlihat begitu akrab membincangkan sesuatu yang ada dalam kitab pegangan hidupnya, Alquran.

Rupanya, pagi itu jamaah lain dan para generasi rabbani juga sedang membuat halakah-halakah kecil untuk saling menyimak Alquran dan ilmu-ilmu lain dalam al-Uluum ad-Diiniyyah. Dengan mata berkaca-kaca, penulis nasihatkan ini untuk kita semua, semoga di setiap Subuh atau dalam mengawali hari, yang selalu membuncah adalah rasa bahagia dan nikmat; karena buah dari ketaatan kita yang istiqamah di jalan Allah SWT.

Ikhwah, inilah keutamaan berhalakah dan bersimpuh dalam majelis ilmu, apalagi setelah shalat Subuh berjamaah di masjid sampai matahari terbit. Pertama, meraih pahala haji dan umrah sempurna. “Barang siapa menegakkan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu ia duduk berzikir (tadarusan) sampai matahari terbit, lalu menegakkan shalat dua rakaat, maka ia akan meraih pahala haji dan umrah, “Sempurna, sempurna, sempurna!” (HR At-Tirmidzi).

Kedua, seakan duduk di taman surga Allah. “Jika kalian melewati taman surga maka singgahlah dengan hati senang.” Para sahabat bertanya, “Apakah taman surga itu?” Beliau SAW menjawab, “Halakah-halakah zikir (atau halakah ilmu).” (HR at-Tirmidzi).

Ketiga, masuk menjadi generasi termulia, yaitu generasi rabbani. “Jadilah kalian generasi rabbani, yang selalu mengajarkan Alquran (dan sunah) dan terus mempelajarinya. (QS Ali Imron [3]: 79).

Keempat, termasuk dalam sebutan mujahid di jalan Allah. “Siapa yang keluar rumah untuk menuntut ilmu syar’i, maka ia berjihad di jalan Allah hingga ia kembali.” (HR at-Tirmidzi). Kelima, didoakan para malaikat, meraih rahmat Allah, hati dibuat senang, tenang, dan bahagia. Serta, dibanggakan oleh Allah di hadapan para malaikat-Nya. (HR Muslim).

Keenam, jauh dari murka Allah. “Dunia ini terkutuk dengan segala isinya kecuali zikrullah (taat kepada Allah) dan yang serupa itu, berilmu dan penuntut ilmu.” (HR At-Tirmidzi). Ketujuh, menjadi kelompok umat terbaik. Sabda Kanjeng Rasul, “Yang terbaik di antara kalian adalah yang belajar Alquran dan mengajarkannya.” (HR Bukhari).

Satu di antara tujuh golongan di akhirat kelak yang mendapat “perlindungan Allah”, yaitu “Ijtama’a ‘alaihi wa tafarroqo alaihi”, berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah. (HR Bukhari Muslim). Ia menjadi jalan mudah menuju surga Allah. “Siapa yang melalui satu jalan untuk menuntut ilmu Allah, Allah mudahkan menuju jalan surga-Nya.” (HR Abu Daud dan At Tirmidzi).

Bahkan, kelak kembali berkumpul bersama di akhirat. “Seseorang kelak di akhirat dikumpulkan bersama siapa yang dicintai di dunia.” (HR Muslim). Nah, apalagi alasan kita untuk tidak menghadirinya. Jangan sia-siakan hidup yang sebentar ini. Ayo raih semua kemuliaan itu dengan duduk di taman surga. Wallahu A’lam.

 

Oleh: Muhammad Arifin Ilham

KHAZANAH REPUBLIKA

Beberapa Sebab Kita Sulit Mendengar Nasihat? (1)

PADA tulisan sebelumnya telah dibahas beberapa penyebab mengapa kita sering kali enggan untuk menerima nasihat dari orang lain, seperti sikap arogan, cara yang salah, dan waktu yang tidak tepat.

Seperti dikutip dari productivemuslim.com (14/3/2016), penyebab lainnya serta cara yang perlu dilakukan untuk mengatasi tersebut, sehingga kita dapat lapang dada mendengar segala nasihat adalah sebagai berikut.

1. Malas dan Ketakutan Akan Kesalahan

Ya, benar! Meskipun kita hadir di kajian-kajian dan memperoleh berbagai nasihat, tidak jarang itu hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Kita terlalu malas untuk keluar dari zona nyaman kita untuk melakukan sesuatu yang baru, sehingga kita tak kunjung memperbaiki diri.

Akhiri kemalasan yang melanda! Yakinkan bahwa untuk menjadi pribadi yang lebih baik, kita harus memperbaiki atas kebiasaan dan sikap kita saat ini. Dengan adanya kemauan untuk berubah menjadi yang lebih, insya Allah kita pun akan lebih siap dan senang mendengar nasihat seseorang. Karena kita telah bertekad, bahwa kita akan berubah menjadi pribadi yang lebih baik.

2. Kesenjangan Generasi

Jika kita mendengar nasihat dari orangtua, kita cenderung untuk berkata, “Apa yang mereka tahu tentang masalah yang saya hadapi sekarang?” Jika kita mendengar nasihat dari orang yang lebih muda, kita cenderung berkata, “Bisa-bisanya dia menasihati saya, padahal dia masih muda dan tidak berpengalaman.” Akhirnya, tidak ada nasihat dari siapapun yang mau kita dengar.

Sadarilah, bahwa mereka yang memberikan nasihat kepada kita adalah orang-orang yang masih menyayangi kita. Orangtua, kakak, adik, saudara, kerabat, sahabat, pasangan, dll. Jangan memandang apakah mereka orang yang sudah tua atau jauh lebih muda dari kita.

Terlebih jika itu datang dari ayah atau ibu, meskipun nasihatnya tampak tidak sesuai dengan permasalahan yang kita hadapi saat ini, bersabarlah dan tetap terima dengan baik. Sesungguhnya Allah telah berfirman:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, san ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS. Al Isra [17]: 23)

Mari kita ingat kisah para sahabat. Mereka meninggalkan adat dan kebiasaan lamanya setelah memeluk Islam. Sepanjang waktu mereka menerima berbagai nasihat agar menjadi muslim yang lebih baik. Bayangkan jika mereka berhenti menerima nasihat seperti apa yang mereka lakukan, apakah mereka akan menjadi mereka yang dicintai Allah? Tentuk tidak. Mereka dicintai Allah Rasul-Nya karena mereka senantiasa mendengar dan menuruti nasihat-nasihatnya. Mereka menjadi orang-orang penting yang di kemudian hari memberikan kejayaan Islam di masanya. Mereka adalah contoh nyata bahwa menerima nasihat adalah sesuatu yang akan membawa kebaikan bagi kita pribadi maupun orang lain.[An Nisaa Gettar]

 

 

Menasihati Pemimpin

Siapa pun boleh memberikan kritik dan nasihat terhadap penguasa, terutama seorang alim yang takut terhadap Tuhannya atau orang yang mengerti agama–ulama. Orang alim atau ulama wajib memberikan nasihat dan mengingatkan penguasa agar dirinya tidak melakukan kezaliman kepada rakyatnya atau keluar dari jalan kebenaran Tuhannya.

Jika diibaratkan sebagai obor, ulama dan orang-orang alim bagaikan obor penerang umat–terkhusus bagi penguasa agar tidak lalim akan amanah yang diemban di pundaknya. Amanah, kekuasaan, dan tanggung jawab yang begitu besar yang dipikul seorang pemimpin cukup rentan disalahgunakan. Nasihat kebaikan harus disampaikan kepada penguasa dengan cara-cara yang makruf.

Nasihat yang baik adalah yang disampaikan dengan bahasa lembut, baik, sopan, tegas, dan tidak dibumbui niat ingin mempermalukan si penguasa. Jika nasihat disampaikan menggunakan bahasa kasar, pilihan diksi provokatif, dan semata-mata ingin menjatuhkan wibawa sang penguasa, itu nasihat yang kurang baik.

Di dalam buku Akhlak Ulama Salaf dalam Bergaul buah karya Syekh Abu Abdurrahman Ridha terdapat perkataan Imam an-Nawawi, Adapun menasihati pemimpin kaum Muslimin adalah membantu mereka berjalan di atas kebenaran, menaatinya, memperingati, dan mengoreksi dengan cara lemah lembut, memberitahukan letak-letak kesalahannya, tidak keluar dari perintahnya, serta mendorong manusia untuk menaati mereka.

Suatu hari Atha bin Rabah masuk menemui Khalifah Abdul Malik yang sedang duduk di atas kursi empuk sambil dikelilingi para pembesarnya. Hal itu terjadi di Makkah ketika musim haji pada masa kekhalifahannya.

Ketika melihatnya, Abdul Malik pun memberi salam, lalu berdiri menyambutnya seraya mendudukkannya di atas kursi mewah. Wahai Abu Muhammad, ada perlu apakah? tanya sang Khalifah.

Wahai Amirul Mukminin, bertakwalah kepada Allah ketika berada di tanah yang disucikan Allah dan rasul-Nya, makmurkanlah ia. Bertakwalah kepada Allah pada anak- anak kaum Anshar dan Muhajirin sebab engkau berada di majelis mereka. Bertakwalah kepada Allah di tempat amannya kaum Muslimin sebab itu adalah perisai mereka.

Kontrollah untuk melihat kaum Muslimin sebab engkau akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Bertakwalah kepada Allah terhadap siapa yang berada dihadapan pintumu, janganlah engkau menutup diri dari mereka.

Setelah selesai, Atha pun bangkit dan hendak beranjak. Namun, Atha ditahan oleh Abdul Malik seraya ia berkata, Wahai Abu Muhammad, sungguh engkau telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang lain, lalu apakah kebutuhanmu?Aku tidak punya kebutuhan apa pun kepada makhluk Allah, jawab Atha dengan tegas. Atha pun beranjak keluar. Engkau dan ayahmu orang yang mulia. Engkau dan ayahmu orang yang terhormat, kata Abdul Malik.

Orang-orang alim harus selalu terlibat aktif memberikan nasihat kebaikan. Memberikan kritik dan nasihat kepada pemimpin itu wajib dilakukan. Sebab, jika seorang pemimpin sudah keluar dari jalur semestinya dan tidak amanah, lalu orang-orang saleh membiarkannya, rusaklah semua sendi kehidupan kita.

Sang penguasa bisa tetap konsisten di jalan kebenaran selama orang-orang alim tidak bosan untuk selalu memberikan nasihat kebaikan kepadanya. Jika penguasa suatu negeri sudah baik, otomatis akan memberikan dampak yang baik pula kepada rakyatnya. Wallau a’lam.

OLEH FERI ANUGRAH

REPUBLIKA

Jangan Putus Asa Mendakwahi Orang Terdekat

DARI Abu Kasir, Yazid bin Abdurrahman, Abu Hurairah bercerita kepadaku, “Dulu aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam ketika dia masih musyrik. Suatu hari aku mendakwahinya namun dia malah memperdengarkan kepadaku cacian kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang tentu merupakan kalimat-kalimat yang tidak kusukai untuk kudengar. Akhirnya aku pergi menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sambil menangis. Ketika telah berada di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam aku berkata, “Ya Rasulullah, sungguh aku berusaha untuk mendakwahi ibuku agar masuk Islam namun dia masih saja menolak ajakanku. Hari ini kembali beliau aku dakwahi namun dia malah mencaci dirimu. Oleh karena itu berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan hidayah kepada ibu-nya Abu Hurairah.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lantas berdoa, “Ya Allah, berilah hidayah kepada ibu dari Abu Hurairah.”

Kutinggalkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan gembira karena Nabi mau mendoakan ibuku. Setelah aku sampai di depan pintu rumahku ternyata pintu dalam kondisi terkunci. Ketika ibuku mendengar langkah kakiku, beliau mengatakan, “Tetaplah di tempatmu, hai Abu Hurairah”. Aku mendengar suara guyuran air. Ternyata ibuku mandi. Setelah selesai mandi beliau memakai jubahnya dan segera mengambil kerudungnya lantas membukakan pintu. Setelah pintu terbuka beliau mengatakan, “Hai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusannya.”

Mendengar hal tersebut aku bergegas kembali menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Aku menemui beliau dalam keadaan menangis karena begitu gembira. Kukatakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, bergembiralah. Sungguh Allah telah mengabulkan doamu dan telah memberikan hidayah kepada ibu-nya Abu Hurairah.” Mendengar hal tersebut beliau memuji Allah dan menyanjungnya lalu berkata, “Bagus.” Lantas kukatakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, doakanlah aku dan ibuku agar menjadi orang yang dicintai oleh semua orang yang beriman dan menjadikan kami orang yang mencintai semua orang yang beriman.” Beliau pun mengabulkan permintaanku. Beliau berdoa, “Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini yaitu Abu Hurairah dan ibunya orang yang dicintai oleh semua hambaMu yang beriman dan jadikanlah mereka berdua orang-orang yang mencintai semua orang yang beriman”. Karena itu tidak ada seorang pun mukmin yang mendengar tentang diriku ataupun melihat diriku kecuali akan mencintaiku. (HR Muslim, no. 6551)

Faedah Hadits: Dakwah penting juga pada keluarga terdekat.

Allah Taala berfirman, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syuaraa: 214)
– Dakwah kadang mendapatkan cacian bahkan dari keluarga dekat.
– Perlu sabar dalam menyampaikan dakwah.
– Tetap berdakwah kepada keluarga non-muslim.
– Boleh tawassul dengan meminta doa pada orang shalih yang masih hidup.
– Keutamaan Abu Hurairah dan doa baik Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam padanya, begitu pula doa baik untuk ibunya dari beliau.
– Tak boleh putus asa dalam berdakwah, suatu saat nanti akan terbuka pintu hidayah.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah. [Muhammad Abduh Tuasikal]

Nasehat Pagi dari Sahabat

MENJELANG subuh tadi, sahabatku yang kini tinggal di Mesir mengirimkan satu kalimat indah dalam bahasa Arab yang terjemahan Indonesianya kira-kira begini: “Bentuk kedengkian yang paling jelek adalah menghina orang lain demi untuk meningkatkan nilai dirinya sendiri, mengungkap kekurangan orang lain demi untuk menutupi kekurangan diri.”

Terapi untuk menyembuhkan penyakit ini adalah dengan selalu menanamkan keyakinan dalam hati bahwa tak ada manusia tanpa kekurangan, termasuk diri kita sendiri. Indahnya hidup jika kita mampu mensinergikan kelebihan-kelebihan masing-masing kita demi untuk mengurangi dan menutupi kekurangan yang ada.

Ada pemilik perkutut yang menghina perkutut orang lain, mencacinya sedemikian rupa agar tak ada yang tertarik pada perkutut orang lain itu. Dia lupa bahwa tak semua orang memiliki tabiat seperti dirinya. Orang sehat mata dan telinga masih dengan baik dan jelas bisa menilai secara obyektif. Sang pendengki ternyata tak mampu mengobati apalagi membunuh kedengkiannya sendiri sehingga dia tega membunuh burung perkutut milik orang lain itu.

Perkutut orang lain itu tak salah. Pemiliknyapun tak salah. Yang salah fatal adalah yang membunuh yang menganggap dengan membunuh perkutut itu dia tak lagi memiliki saingan dan urusan menjadi selesai. Maka, sang pembunuh perkutut itu ditangkap, disidang dan dipenjara. Akhir yang ngenes, bukan?

“Hati-hatilah dengan iri hati dan dengki.” Demikian pesan Nabi kita yang mulia. Jalan hidup sudah ditentukan oleh Allah, bagian kita tak akan tiba di orang lain, bagian orang lain tak akan tiba di kita. Cukup hadapi dengan dua hal utama, yakni syukur dan sabar.

Memilih jalan selain syukur dan sabar hanya akan menciptakan masalah-masalah baru selain iri hati dan dengki itu. Sayangnya, ada juga orang yang beranggapan bahwa masalah itu bisa diselesaikan dengan masalah sambil berkata ringan: “Bikinlah masalah baru sehingga masalah lama tertutupi.” Ah, sepertinya ini bukan jalan yang tepat, bukan?. Salam AIM. [*]

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

MOZAIK

Indahnya Saling Menasihati Diantara Kaum Muslimin

Sesungguhnya nasihat itu diperuntukkan bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, dan bagi kaum mukminin. Nasihat adalah perkara yang sangat agung bagi setiap muslim. Bahkan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai pokok ajaran agama, ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Agama itu adalah nasihat. “ Kami berkata: “Kepada siapa wahai Rasulullah?” Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, dan para imam kaum Muslimin serta segenap kaum Muslimin.” [1]

Ringkas Kata, Tapi Padat Makna

Nasihat merupakan kata yang ringkas, tapi memiliki makna yang tersirat di dalamnya. Secara bahasa kata nasihat berarti ikhlas. Dikatakan نصحت العسل, artinya: aku menjernihkan madu.[2,3]

Imam al-Khaththabi rahimahullah mengatakan bahwa kata nasihat diambil dari lafadz “nashahar-rajulu tsaubahu” (نَصَحَ الرَّجُلُ ثَوْبَهُ), artinya, lelaki itu menjahit pakainnya. Para ulama mengibaratkan perbuatan penasihat yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya, sebagaimana usaha seseorang memperbaiki pakaiannya yang robek.[4]

Perkara yang Sangat Penting

Nasihat adalah perkara yang penting sehingga setiap muslim wajib memperhatikan dan melakukannya kepada orang lain. Sampai-sampai Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengambil bai’at atasnya dan selalu mengikat diri dengannya karena sangat memperhatikan masalah nasihat ini.

Diriwayatkan dari Jarir radhiyallaahu‘anhu: “Aku berbai’at (berjanji setia) kepada Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan memberi nasihat kepada setiap muslim.” [5,6]

Nasihatilah Saudara Semuslim

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan nasihat yang tulus kepada seorang muslim sebagai bagian dari hak-haknya yang harus ditunaikannya oleh saudaranya sesama Muslim. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Hak Muslim atas Muslim lainnya ada enam: jika engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya; jika ia mengundangmu, maka penuhilah undangannya; jika ia meminta nasihat kepadamu, maka nasihatilah ia…” [7]

Hukum Memberikan Nasihat

Imam Ibnu Daqiq mengatakan bahwa hukum memberikan nasihat adalah fardhu kifayah, jika ada pihak yang memenuhi syarat telah menjalankannya, maka gugurlah kewajiban dari selainnya. Dan memberi nasihat harus disesuaikan dengan menurut kadar kesanggupan seseorang.[8]

Adab-Adab dalam Bernasihat

Alangkah indahnya jika diantara kaum muslimin mengetahui adab-adab dalam bernasihat, saling menasihati dalam kebaikan akan timbul rasa cinta dan ukhuwah yang tinggi. Adapun adab-adab dalam bernasihat menurut ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada ada lima adab, diantaranya adalah:

Pertama, Niat yang Benar

Hendaklah orang yang memberikan nasihat kepada orang lain meniatkannya semata-mata mengharapkan Wajah Allah subhanahu wa ta’ala serta mencari pahala dan balasan dari-Nya. Sebab, nasihat yang diberikan kepada kaum Muslimin mengandung pahala yang sangat agung. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri menganggapnya sebagai inti dari ajaran agama, yaitu dalam sabda beliau :

Agama itu adalah nasihat”.[1]

Demikian juga nasihat bagi Allah, bagi kitab-Nya, dan bagi Rasul-Nya. Makna nasihat bagi Rasul-Nya adalah meneladani dan mentaati Nabi dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Semua itu wajib dikerjakan karena Allah ta’ala, ikhlas semata-mata mengharapkan Wajah-Nya dan pahala dari-Nya, serta mencari keridhaan-Nya. Dengan demikian, ikhlas adalah syarat diterimanya amal shalih. [9,10]

Kedua, Memberikan Nasihat kepada Seorang Muslim Walaupun Tidak Diminta

Ini merupakan kesempurnaan nasihat untuk saudaramu sesama muslim. Jika engkau mendapatinya hampir terjatuh ke dalam suatu keburukan, melakukan pelanggaran syar’i, berbuat sesuatu yang memudharatkan dirinya, atau perbuatan yang lainnya, maka segera nasihatilah saudaramu itu walaupun ia tidak memintanya. Demikian itu bukanlah termasuk sikap yang lancang, bahkan kesempurnaan nasihat dan bentuk kepedualianmu kepadanya. Hendaklah pula bersabar terhadap reaksi tidak baik yang engkau terima darinya. Misalnya, ia menuduhmu sebagai pihak luar yang suka turut campur, menudingmu ikut campur dalam masalah yang bukan urusanmu, atau yang lainnya. Karena, sesungguhnya engkau melakukannya hanya karena mengharapkan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala.[10,15]

Ketiga, Mencari Cara Terbaik dalam Menyampaikan Nasihat

Ketahuilah bahwasanya setiap manusia apabila diingatkan dengan maksud untuk mengupas aibnya, kejelekannya dan kekurangannya maka hal itu diharamkan. Namun apabila di dalamnya terdapat maslahat bagi kaum muslimin secara khusus dengan maksud tanpa merendahkannya maka itu bukan perkara yang diharamkan namun dianjurkan.[11] Oleh karena itu kita harus mengetahui cara yang sesuai dengan orang yang dinasihati.

Pada kondisi-kondisi tertentu, engkau dapat memberikan nasihat kepada seseorang secara langsung. Namun, terkadang nasihat disampaikan dengan cara memberikan contoh berupa amal perbuatan, yang tujuannya adalah memberikan nasihat. Maka dari itu, cara penyampaian nasihat berbeda-beda menurut keadaan orang yang dinasihati, seperti terhadap anak kecil, orang dewasa, atau orang yang memiliki kedudukan tinggi di tengah masyarakat. Tidak semua cara cocok untuk semua orang.[10]

Keempat, Memberi Nasihat Secara Umum dalam Urusan Agama dan Dunia

Hendaklah orang yang memberikan nasihat kepada saudaranya sesama Muslim Memberikannya dalam setiap urusan, baik agama maupun dunia. Maksudnya, dalam perkara-perkara yang ia ketahui atau ia pandang bermanfaat bagi orang tersebut dalam urusan agama dan dunianya.Kapan saja engkau mendapati kesempatan atau peluang untuk memberikan nasihat kepada saudaramu sesama muslim, maka janganlah engkau menahan diri untuk melakukannya. Apabila engkau melihatnya lalai dalam mengerjakan amalan agama yang wajib baginya, maka berikanlah nasihat atas perkara itu. Jika engkau melihatnya jatuh dalam perkara haram, maka berikanlah nasihat kepadanya untuk meninggalkannya.

Apabila engkau melihatnya akan melakukan sesuatu dari urusan-urusan dunia dan engkau melihat bahwa maslahat baginya adalah menjauhi perkara tersebut dan meninggalkannya, maka berilah nasihat kepadanya untuk itu. Jika engkau mendapati ia lalai dalam melaksanakan suatu urusan yang bermanfaat baginya, maka berilah nasihat kepadanya dan ingatkanlah ia. Demikian pulalah ilustrasi-ilustrasi lainnya. Sesungguhnya wajib atas setiap muslim untuk mencintai saudaranya sesama muslim dalam semua urusan yang ia sukai bagi dirinya sendiri dari kebaikan-kebaikan dunia dan akhirat.[10]

Kelima, Merahasiakan Nasihat

Hendaklah seseorang memberikan nasihat secara diam-diam, tidak terang-terangan di hadapan orang lain. Sebab, manusia pada umumnya tidak mau menerima nasihat apabila diberikan di hadapan orang lain karena hal itu dapat mempermalukannya atau mengesankan kerendahan dan kehinaannya. Oleh karena itu, akan bangkitlah keangkuhannya sehingga menyebabkannya menolak nasihat yang disampaikan[10]. Nasihat pada kondisi tersebut sama dengan membongkar aib dan nasihat ini hampir semakna dengan merendahkannya. Dan para ulama salaf pun membenci perbuatan amar ma’ruf nahi munkar dengan bentuk merendah-rendahkan di hadapan orang banyak dan mencintai jika memberikan nasihat secara diam-diam. [12]

Adapun nasihat yang diberikan dengan diam-diam tidaklah mengandung makna seperti itu,. Oleh sebab itu, biasanya orang yang dinasihati menerima jika nasihat untuknya tidak disampaikan secara terang-terangan. Niscaya orang yang dinasihati tidak merasa keberatan atau tertekan untuk menerima nasihat tersebut. Sehingga apabila seseorang menerima suatu nasihat dari orang yang menginginkan kebaikan darinya supaya mencegah dari hal yang dilarang, kemudian ia menerimanya, taat, tunduk dan mengetahui baiknya nasihat tersebut maka hal itu diumpamakan seperti menginginkan kebaikan kepada orang yang dinasihati. [13]

Imam Syafi’i dalam syairnya mengatakan:

Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri,

dan jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian

karena nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk satu jenis

pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya

jika engkau menyelisihi dan menolak saranku

maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti[14]

Terkadang manusia luput akan dosa, dan tenggelam akan kemaksiatannya, maka kita sebagai seorang Muslim yang mencintai saudaranya adalah memberikan nasihat dengan cara yang baik dan mengarahkan untuk kembali ke jalan yang benar. Betapa indahnya jika kita bisa saling nasihat-menasihati di antara sesama kaum muslimin dalam hal kebaikan, dengan memperhatikan adab-adab dan akhlak seorang muslim dalam memberikan nasihat. Semoga Allah ‘azza wa jalla selalu senantiasa menghiasi diri kita dengan akhlak-akhlak yang mulia. Wallaahu a’lam.

Artikel Muslimah.Or.Id

Penulis: Anita Rahma Wati

Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Sumber: Muslimah.co.id

Menasehati Tanpa Melukai

Ketika seseorang hendak memberikan nasehat hendaklah memperhatikan adab-adabnya karena adab tersebut sangat menentukan diterima atau tidaknya nasehat. Beberapa adab yang perlu diperhatikan adalah sebagaimana berikut ini…

Siapakah yang tak ingin hidayah mengetuk hati orang yang dicintai?

Orang tua, kerabat dekat, teman, tetangga, dan bahkan orang-orang di luar Islam. Hidayah yang melembutkan hati yang keras, menyabarkan hati tatkala ditimpa musibah, meredakan kemarahan, menjalin tali yang lama terpisah, menyatukan prinsip syariat sehingga berjalan beriringan dalam satu jalan yang haq menuju shiraathal mustaqiim. Pasti banyak orang yang kita inginkan kebaikan terlimpah padanya. Kebaikan yang senantiasa menghiasi diri sehingga melahirkan generasi Rabbani yang senantiasa berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As Sunnah sesuai pemahaman salafush shalih sebagaimana yang diharapkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sejak beratus abad yang lalu hingga sekarang, sampai nanti datang hari penghisaban sedangkan amal tak lagi terhitung dan tergores tintanya dalam catatan.

Siapa mengira, Al Fudhail bin Iyadh yang kita kenal sebagai seorang hamba yang shalih dan tokoh teladan bagi umat, dahulunya adalah seorang perampok jalanan yang banyak ditakuti orang. Lalu beliau terketuk hatinya dan mendapat hidayah tatkala mendengar percakapan dua saudagar yang tengah takut kepadanya.

Tak kenalkah dengan Salman Al Farisi? Dahulunya beliau adalah seorang Majusi kemudian beliau mendapatkan hidayah tatkala melihat orang muslim yang sedang shalat di gereja. Dan banyak dari kaum muslimin di zaman Nabi yang berbondong-bondong masuk Islam tidak lain karena mulianya dakwah beliau.

Oleh karena itu, mari kita lihat bagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beserta orang-orang shalih dahulu mengajarkan kepada kita bagaimana adab tatkala memberikan nasehat sehingga membuka pintu-pintu hidayah bagi seseorang.

Adab Memberi Nasehat

Ketika seseorang hendak memberikan nasehat hendaklah memperhatikan adab-adabnya karena adab tersebut sangat menentukan diterima atau tidaknya nasehat. Beberapa adab yang perlu diperhatikan adalah:

1. Mengharapkan ridha Allah Ta’ala

Seorang yang ingin menasehati hendaklah meniatkan nasehatnya semata-semata untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala. Karena hanya dengan maksud inilah dia berhak atas pahala dan ganjaran dari Allah Ta’ala di samping berhak untuk diterima nasehatnya. Rasulullaah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Artinya, “Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang itu hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya (dinilai) kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka (hakikat) hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)

2. Tidak dalam rangka mempermalukan orang yang dinasehati

Seseorang yang hendak memberikan nasihat harus berusaha untuk tidak mempermalukan orang yang hendak dinasehati. Ini adalah musibah yang sering terjadi pada kebanyakan orang, saat dia memberikan nasihat dengan nada yang kasar. Cara seperti ini bisa berbuah buruk atau memperparah keadaan. Dan nasehatpun tak berbuah sebagaimana yang diharapkan.

3. Menasehati secara rahasia

Nasihat disampaikan dengan terang-terangan ketika hendak menasehati orang banyak seperti ketika menyampaikan ceramah. Namun kadangkala nasehat harus disampaikan secara rahasia kepada seseorang yang membutuhkan penyempurnaan atas kesalahannya. Dan umumnya seseorang hanya bisa menerimanya saat dia sendirian dan suasana hatinya baik. Itulah saat yang tepat untuk menasehati secara rahasia, tidak di depan publik. Sebagus apapun nasehat seseorang namun jika disampaikan di tempat yang tidak tepat dan dalam suasana hati yang sedang marah maka nasehat tersebut hanya bagaikan asap yang mengepul dan seketika menghilang tanpa bekas.

Al Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila para salaf hendak memberikan nasehat kepada seseorang, maka mereka menasehatinya secara rahasia… Barangsiapa yang menasehati saudaranya berduaan saja maka itulah nasehat. Dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak maka sebenarnya dia mempermalukannya.” (Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman 77)

Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh Zhahiri menuturkan, “Jika kamu hendak memberi nasehat sampaikanlah secara rahasia bukan terang-terangan dan dengan sindiran bukan terang-terangan. Terkecuali jika bahasa sindiran tidak dipahami oleh orang yang kamu nasehati, maka berterus teranglah!” (Al Akhlaq wa As Siyar, halaman 44)

4. Menasehati dengan lembut, sopan, dan penuh kasih

Seseorang yang hendak memberikan nasehat haruslah bersikap lembut, sensitif, dan beradab di dalam menyampaikan nasehat. Sesungguhnya menerima nasehat itu diperumpamakan seperti membuka pintu. Pintu tak akan terbuka kecuali dibuka dengan kunci yang tepat. Seseorang yang hendak dinasehati adalah seorang pemilik hati yang sedang terkunci dari suatu perkara, jika perkara itu yang diperintahkan Allah maka dia tidak melaksanakannya atau jika perkara itu termasuk larangan Allah maka ia melanggarnya.

Oleh karena itu, harus ditemukan kunci untuk membuka hati yang tertutup. Tidak ada kunci yang lebih baik dan lebih tepat kecuali nasehat yang disampaikan dengan lemah lembut, diutarakan dengan beradab, dan dengan ucapan yang penuh dengan kasih sayang. Bagaimana tidak, sedangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

Artinya, “Setiap sikap kelembutan yang ada pada sesuatu, pasti akan menghiasinya. Dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya. (HR. Muslim)

Fir’aun adalah sosok yang paling kejam dan keras di masa Nabi Musa namun Allah tetap memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun agar menasehatinya dengan lemah lembut. Allah Ta’ala berfirman,

فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا

Artinya, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut.” (QS. Ath Thaha: 44)

Saudariku… dan lihatlah tatkala nasehat dilontarkan dengan keras dan kasar maka akan banyak pintu yang tertutup karenanya. Banyak orang yang diberi nasehat justru tertutup dari pintu hidayah. Banyak kerabat dan karib yang hatinya menjauh. Banyak pahala yang terbuang begitu saja. Dan tentu banyak bantuan yang diberikan kepada setan untuk merusak persaudaraan.

5. Tidak memaksakan kehendak

Salah satu kewajiban seorang mukmin adalah menasehati saudaranya tatkala melakukan keburukan. Namun dia tidak berkewajiban untuk memaksanya mengikuti nasehatnya. Sebab, itu bukanlah bagiannya. Seorang pemberi nasehat hanyalah seseorang yang menunjukkan jalan, bukan seseorang yang memerintahkan orang lain untuk mengerjakannya. Ibnu Hazm Azh Zhahiri mengatakan: “Janganlah kamu memberi nasehat dengan mensyaratkan nasehatmu harus diterima. Jika kamu melanggar batas ini, maka kamu adalah seorang yang zhalim…” (Al Akhlaq wa As Siyar, halaman 44)

6. Mencari waktu yang tepat

Tidak setiap saat orang yang hendak dinasehati itu siap untuk menerima petuah. Adakalanya jiwanya sedang gundah, marah, sedih, atau hal lain yang membuatnya menolak nasehat tersebut. Ibnu Mas’ud pernah bertutur: “Sesungguhnya adakalanya hati bersemangat dan mudah menerima, dan adakalanya hati lesu dan mudah menolak. Maka ajaklah hati saat dia bersemangat dan mudah menerima dan tinggalkanlah saat dia malas dan mudah menolak.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih)

Jika seseorang ternyata tak bisa menasehati dengan baik maka dianjurkan untuk diam dan hal itu lebih baik karena akan lebih menjaga dari perkataan-perkataan yang akan memperburuk keadaan dan dia bisa meminta tolong temannya agar menasehati orang yang dimaksudkan. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ

Artinya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah berkata yang baik atau diam…”(HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Syarhu Al Arba’in An Nawawi memberikan beberapa faedah dari cuplikan hadits di atas yaitu wajibnya diam kecuali dalam kebaikan dan anjuran untuk menjaga lisan.

Jangan pernah putus asa untuk memohon pertolongan Allah karena pada hakekatnya Allah-lah Yang Maha Membolak-balikkan hati seseorang. Meski sekeras apapun hati seseorang namun tidak ada yang mustahil jika Allah berkehendak untuk melembutkan hatinya dan menunjukkan kepada jalan-Nya. Wallaahu Musta’an.

“Jika engkau inginkan kebaikan pada saudaramu

Maka ajaklah ia tuk bergandengan

Dan beriringan menuju jalan-Nya

Bertuturlah dengan baik

Berilah senyuman tatkala ia tak peduli

Tunggulah… Bersabarlah… hingga pintu itu terbuka

Jangan kau paksa.. dan jangan pula kau marahi

Sebab nasehat itu akan berubah menjadi pisau yang tajam

Yang hanya membuat goresan di hati

Dan akan membuat lari

Jangan kau paksa.. dan jangan pula kau marahi

Sesungguhnya hidayah itu ada di tangan Sang Rabb

Yang Maha Membolak-balikkan hati”

***

Sumber: muslimah.or.id

Penasihat yang Kau Butuhkan adalah Kematianmu

NABI Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sering merenungkan kematiannya sendiri. Latihan ini meluaskan pemahaman beliau tentang misteri kehidupan dan memperdalam pengalaman kasih sayangnya.

Beliau pernah bersabda, “Satu-satunya penasihat yang kau butuhkan adalah kematianmu.”

Dalam proses mencapai keputusan penting, renungkanlah kematian Anda. Latihan ini dengan cepat menyusun ulang prioritas dan nilai.

Latihan spiritual lain Rasulullah adalah melakukan ziarah kubur dan berdoa di sana. Beliau kerap melakukan ini di tengah malam.

Dalam salah satu kegiatan beliau sebelum wafat, Rasul berdoa semalam suntuk di sebuah makam seraya memohon rahmat dari Allah untuk para orang yang sudah wafat.

Praktik ini, ujar Rasul, membangun sifat rendah hati, lembut hati, dan keberanian di dalam diri kita. [Wajah Sejuk Agama]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2315489/penasihat-yang-kau-butuhkan-adalah-kematianmu#sthash.NTApmnhS.dpuf