Paspor Palsu Filipina

ALLAH Swt berfirman,“Dan,apa saja nikmat yang ada pada kamu,maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan,maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.”(QS. An Nahl [16]: 53).

Jangan khawatir terhadap nikmat yang belum datang kepada kita. Sesungguhnya segala nikmat itu milik Allah Swt dan Dia Yang Maha Memberikannya kepada kita. Nikmat Allah Swt tersebut akan diberikan kepada kita apabila kita mau bersikap mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita.

Allah Swt berfirman,“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan,”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),makasesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”.(QS. Ibrahim [14]: 7).

Sikap bersyukur itu bagaikan tali yang menarik nikmat lain yang belum datang kepada kita. Apabila kita bersyukur, maka sikap kita tersebut akan mengikat nikmat yang sudah datang dan mengundang atau menarik nikmat-nikmat lainnya yang belum datang sehingga menghampiri kita.

Tidak perlu risaukan nikmat-nikmat yang belum datang kepada kita. Tidak perlu kita khawatir tidak akan mendapatkan nikmat-nikmat lain yang telah didapatkan oleh orang lain. Akan tetapi takutlah jika kita tidak mensyukuri nikmat-nikmat yang sudah kita terima dari Allah Swt.

Karena apabila kita tidak mensyukuri nikmat yang telah didatangkan oleh Allah Swt kepada kita, maka akan lepaslah nikmat itu dari genggaman kita. Jika nikmat tersebut sudah terlepas dari genggaman kita, bagaimana ia bisa mengundang nikmat lain untuk datang kepada kita. Malah yang akan muncul adalah malapetaka sebagai akibat sikap kita yang tidak bersyukur, sebagaimana firman Allah Swt tersebut di atas.

Tidak perlu khawatirkan uang yang belum datang kepada kita. Takutlah jika uang yang sudah ada di tangan kita, tidak kita syukuri. Karena sikap tersebut akan mengakibatkan sirnanya uang yang ada pada kita dan menjauhkan kita dari nikmat-nikmat lainnya.

Jika kita masih bertempat tinggal di rumah kontrakan, kemudian menghadapi kenyataan naiknya harga tanah dan harga rumah. Maka tidak perlulah kita takut dan khawatir. Karena yang menjadi masalah ketika kita tidak mampu beli rumah adalah bukan kerena harga tanah atau harga rumah naik, melainkan karena kita tidak memiliki uang untuk membelinya.

Oleh karena itu, tidak perlu takut dan khawatir, karena bagi Allah tidak ada yang mustahil. Jika Allah berkehendak memberikan rezeki kepada kita, maka berapapun tingginya harga tanah atau rumah, kita akan sanggup membelinya. Orang yang membangun hotel saja dicukupkan uangnya oleh Allah Swt, padahal kemudian berbagai perbuatan negatif terjadi di dalam hotel itu. Apalagi orang yang hendak membangun masjid atau orang yang hendak membangun rumah demi menaungi anak dan istrinya.

Tidak ada pemberi nikmat selain Allah Swt. Apapun yang selain Allah, bukanlah pemberi. Segala yang selain Allah hanyalah perantara atau jalan. Jangan berharap kepada perantara atau jalan, berharaplah kepada sumber.

Jika ada selang, jangan pernah berharap ada air keluar dari selang, berharaplah sumber air memancarkan air. Meskipun selangnya banyak, jika sumber airnya tidak memancarkan air, maka percuma saja selang-selang itu hadir. Daripada kita memperhatikan selang, akan lebih baik bila kita memperhatikan bagaimana mata air bisa memancar air.

Ada satu pertanyaan, apakah ada pembeli yang bisa memberi rezeki kepada kita seandainya kita berposisi sebagai penjual? Pada hakikatnya tidaklah demikian. Bukan pembeli yang memberikan rezeki kepada kita. Pembeli itu hanyalah pengantar atau perantara rezeki. Adapun sumber rezeki itu adalah Allah Swt.

Apakah yang menjamin kehidupan bulanan kita adalah gaji atau pesangon dari kantor? Tentu saja bukan. Gaji atau pesangon hanyalah salah satu jalan rezeki dari Allah Swt. Banyak yang tidak punya gaji dan tidak punya pesangon, akan tetapi dia tetap hidup dan sehat.

Apakah suami pemberi rezeki? Tentu saja bukan. Seandainya seorang suami meninggal dunia, itu bukan berarti rezeki sang istri terputus. Rezeki tetap mengalir untuknya dari perantara atau jalan yang lain. Bahkan di dunia ini lebih banyak yang meninggal suaminya daripada istrinya. Ketika seorang isteri ditinggal mati oleh suaminya, maka sesungguhnya Allah Swt tetaplah ada.

Tidak perlu gelisah atas nikmat yang belum kita dapatkan. Sikap seperti itu tidaklah penting dan tidak akan memberikan efek positif pada diri kita. Sikap yang penting kita lakukan adalah mensyukuri nikmat yang sudah Allah Swt berikan kepada kita. Karena sikap syukur akan mendatangkan nikmat-nikmat lain dan melipatgandakan nikmat yang sudah ada. Sedangkan sikap kufur atau tidak bersyukur akan menggerus nikmat yang sudah kita miliki dan menjauhkan kita dari nikmat yang belum kita punyai,naudzubillahi mindzalik.[*]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2319828/jangan-risau-pada-nikmat-yang-belum-datang#sthash.TLoXt7iK.dpuf

Paspor Palsu Filipina, Taruhan Nyawa, dan Perjalanan Berbahaya Jamaah Haji

Pada Kamis, 4 Agustus 12.08 WIB,  sebuah pesan pendek mampir ke telepon selular. Isinya mengejutkan, unik, dan sekaligus ajaib. Sebuah penawaran berangkat haji dengan harga selangit.

Isi pesan pendek (SMS,red) itu sebagai berikut: “Ass. Paket Haji Plus, daftar langsung berangkat tahun ini, tempat terbatas hrg US$ 13.500, Info hub: HP/WA 0812 xxxx xxxx.”

Bagi banyak orang yang suka memperhatikan isu soal haji, pesan pendek ini terlalu biasa. Apalagi pada saat yang sama juga ke luar ‘desas-desus’ baru bila ada peluang memakai jatah kursi haji milik negara Timor Leste. Harganya separuh dari tawaran tersebut, yakni sekitar 6.500 – 7000 dolar Amerika Serikat.

Dan tanpa diduga dipertengahan Agustus ini muncul berita menghebohkan. Sebanyak 177 calon haji dari Indonesia ditahan oyoritas imigrasi negara jiran Philipina. Dan setelah diusut, mereka ternyata memakai paspor dan visa haji asal negara itu. Maka publik pun geger. Apalagi para calon haji itu kini harus mendekam dalam rumah tahanan imigrasi di Filipina.

Maka kementerian luar negeri pun dibuat sibuk. Pekerjaan mereka bertambah yang tadinya hanya mengurus soal sandera WNI oleh kelompok Abu Sayaf, kini ditambah beban soal WNI yang terbelit visa dan paspor haji di Filipina.

“Saya tekankan kembali bahwa 177 jamaah haji WNI ini adalah korban, sekali lagi mereka adalah korban,” lanjut Menlu Retno Marsudi. Ia pun berjanji berusaha keras memulangkan mereka secepatnya ke Indonesia.

Minat berhaji orang Indonesia memang luar biasa. Antrean sudah begitu panjang. Jumlah yang mengantre sudah mencapai 2,5 juta orang. Tahun antrean pun dibanyak wilayah sudah mencapai 20 tahun.

Akibat panjangnya antrean berhaji, maka berbagai cara ditempun agar bisa menunaikan ibadah rukun Islam yang kelima ini. Bukan rahasia bila banyak jamaah hajiberangkat dari negara tetangga, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, dan yang terakhir ‘tercium’ dari Filipina. Pendek kata, berbagai cara ditempuh asal bisa berhaji, tak peduli berangkat dari negara mana.

Mengacu pada kajian Martin van Bruinessen ‘Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji’ semenjak dahulu minta pergi haji orang asal Nusantara (Indonesia,red) tetap tinggi. Bahkan, di antara seluruh jemaah haji, orang Nusantara selama satu setengah abad  terakhir merupakan proporsi yang sangat menonjol. Pada akhir abad ke-19 dan  awal abad ke-20, jumlah mereka berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh  haji asing, walaupun mereka datang dari wilayah yang  lebih jauh daripada yang lain. Malah pada dasawarsa 1920-an sekitar 40 persen dari seluruh hajiberasal dari Indonesia.

Orang Indonesia yang tinggal bertahun-tahun atau menetap di  Makkah pada zaman itu juga mencapai jumlah yang cukup berarti. Di antara semua bangsa yang berada diMakkah, orang ‘Jawah’ (Asia Tenggara) merupakan salah satu kelompok terbesar.

Sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua diMakkah, setelah bahasa Arab.

Kita tidak mempunyai data statistik mengenai jamaah haji Indonesia abad-abad  sebelumnya. Sebelum munculnya kapal api jumlah mereka pasti lebih sedikit, karena perjalanan dengan kapal layar cukup berbahayadan makan waktu lama sekali. Namun bagi umat Islam Indonesia ibadah haji sejak lama mempunyai peranan amat penting. Ada kesan bahwa orang Indonesia lebih mementingkan haji daripada banyak bangsa lain, dan bahwa penghargaan masyarakat terhadap para haji memang lebih tinggi. Keadaan ini mungkin dapat dikaitkan dengan budaya tradisional Asia Tenggara.

 

Martin selanjutnya menulis, perjalanan panjang dan berbahaya sebelum ada kapal api, perjalanan haji tentu saja ha rus dilakukan dengan perahu  layar, yang sangat tergantung kepada musim. Dan biasanya para haji  menumpang pada kapal dagang, berarti mereka terpaksa sering pindah kapal.

Perjalanan membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di Nusantara ke Aceh,
pelabuhan terakhir di Indonesia (oleh karena itu dijuluki ‘serambi Makkah’), di mana mereka menunggu kapal ke India. Di India mereka kemudian mencari  kapal yang bisa membawa mereka ke Hadramaut, Yaman atau langsung ke  Jeddah.

Perjalanan ini bisa makan waktu setengah tahun sekali jalan, bahkan lebih. (Perjalanan Sultan Haji dari Banten, yang sudah pulang satu setengah  tahun setelah berangkat, terhitung cepat). Dan para haji berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Tidak jarang perahu yang mer eka tumpangi karam  dan penumpangnya tenggelam atauterdampar di pantai tak dikenal. Ada haji yang semua harta bendanya dirampok bajak laut atau, malah, awak perahu
sendiri.

Para musafir haji yang sudah sampai ke tanah Arab pun belum aman juga, karena  di sana suku-suku Badui sering merampok rombongan yang menuju Makkah. Tidak jarang juga wabah penyakit melanda jemaah haji, di perjalanan maupun di tanah Arab.

Naik haji, pada zaman itu, memang bukan pekerjaan ringan. Tidak  banyak orang Nusantara yang pernah menulis catatan  perjalanannya, namun  dalam ceritera legendaris mengenai ulama-ulama besar petualangan mereka  dalam perjalanan ke Makkah sering diberikan tempat menonjol.

Penuturan yang sangat jelas mengenai kesulitan dan bahaya perjalanan dengan kapal layar ke Makkah ditinggalkan oleh pelopor sastra Melayu modern, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Abdullah naik haji p ada tahun 1854, tidak
ama sebelum kapal layar digantikan oleh kapal api.

Mendekati Tanjung Gamri di Seylon (Sri Lanka) kapalnya diserang angin kencang: Allah, Allah, Allah! Tiadalah dapat hendak dikhabarkan bagaimana kesusahannya dan bagaimana besar gelombangnya, melainkan Allah yang amat mengetahuinya. Rasanya hendak masuk ke dalam perut ibu kembali; gelombang dari kiri lepas ke kanan dan yang  dari kanan lepas ke kiri.

Maka segala barang-barang dan peti-peti dan tikar bantal berpelantingan. Maka sampailah ke dalam kurung air bersemburan, habislah basah kuyup. Maka masing-masing dengan halnya, tiadalah lain lagi dalam fikiran melainkan mati. Maka hilang-hilanglah kapal sebesar itu dihempaskan gelombang. Maka rasanya gelombang itu terlebih tinggi daripada pucuk tiang kapal. Maka sembahyang sampai duduk berpegang.

Maka jikalau dalam kurung itu tiadalah boleh dikhabarkan bunyi muntah dan kencing, melainkan segala kelasi selalu memegang bomba. Maka air pun selalu masuk juga ke dalam kapal. (…)

Maka pada ketika itu hendak menangis pun tiadalah berair mata, melainkan masing-masing keringlah bibir. Maka berbagailah berteriak akan nama Allah dan rasul kerana Kepulauan Gamri itu, kata mualimnya, sudah termasyhur ditakuti
orang:

“Kamu sekalian pintalah doa kepada Allah, kerana tiap-tiap tahun di sinilah beberapa kapal yang hilang, tiadalah mendapat namanya lagi, tiada hidup
bagi seorang, ah, ah, ah!’…..

Dari kajian Marin, pada masa itu, Belanda juga mencatat bahwa banyak orang yang telah berangkat ke Makkah tidak kembali lagi. Antara tahun 1853 dan1858, jemaah haji yang pulang dari Makkah ke Hindia Belanda tidak sampai separuh dari jumlah orang yang telah berangkat naik haji.

 

sumber: Republika Online