Tafsir Ayat Puasa (4): Memilih Antara Puasa dan Fidyah

Pada masa awal diwajibkannya puasa, dijadikan pilihan antara puasa dan menunaikan fidyah. Bagi yang mau menunaikan fidyah saja tanpa puasa, itu baik. Namun puasa lebih baik daripada menunaikan fidyah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 184).

Di Masa Awal Diwajibkannya Puasa

Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa inilah yang terjadi di masa awal diwajibkannya puasa. Di awal diwajibkannya, puasa itu masih berat. Tatkala itu diberikanlah kemudahan dengan cara yang mudah. Bagi yang berat menjalankan puasa, maka ia bisa memilih antara berpuasa atau menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada orang miskin setiap kali tidak berpuasa. Namun berpuasa tetap dinilai lebih baik.

وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ

Dan berpuasa lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 184). Lihat Tafsir As Sa’di, hal. 86.

Ibnu Katsir berkata, “(Di masa awal diwajibkannya puasa), orang yang sehat dan menetap -tidak bersafar- yang berat menjalankan puasa kala itu, maka ia boleh memilih antara berpuasa dan menunaikan fidyah (memberi makan). Jika ia mau, ia boleh berpuasa. Jika ia mau, ia boleh dengan menunaikan fidyah yaitu memberi makan setiap hari sekali memberi makan pada satu orang miskin. Namun jika ia memberi makan lebih dari satu orang miskin, itu baik. Adapun jika ia memilih untuk puasa, itu lebih baik. Inilah yang jadi pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Thowus dan Maqotil bin Hayyan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 54).

Mu’adz bin Jabal juga berkata bahwa di masa-masa awal diwajibkannya puasa, siapa yang mau puasa, dibolehkan. Dan siapa yang mau memberi makan pada orang miskin (fidyah), dibolehkan.  Hal ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Salamah bin Al Akwa’. Ia berkata ketika turun ayat yang kita bahas. Kemudian nantinya bentuk memilih antara puasa dan fidyah akan dihapus (dinaskh). Lihat Idem, 2: 56.

Masalah naskh hukum yang dibahas dalam ayat ini akan diungkap pada ayat 185. Pada ayat tersebut dibahas bahwa cuma ada satu pilihan yaitu berpuasa.

Pembahasan di atas juga menunjukkan bagaimanakah kemudahan yang diberikan dalam agama ini ketika mewajibkan suatu hukum secara bertahap agar umatnya tidak terasa berat.

Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tahqiq: Abu Ishaq Al Huwainiy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H

Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.

Disusun menjelang ‘Ashar, 15 Ramadhan 1435 H di Pesantren DS

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/8201-tafsir-ayat-puasa-4-memilih-antara-puasa-dan-fidyah.html

Salah Paham Mengenai Bau Mulut Orang yang Berpuasa

Ada sebagian kaum muslimin yang salah paham mengenai hadits “bau mulut orang berpuasa lebih harum daripada bau misk”.

Mereka beranggapan bahwa bau mulut orang yang berpuasa harus dibiarkan secara total, tidak boleh dinetralkan baunya atau diubah baunya, karena nantinya akan lebih harum daripada minyak wangi misk di sisi Allah. Akibat dari salah paham ini, mereka sengaja membiarkan mulut bau, mereka tidak mau berkumur-kumur, tidak mau gosok gigi bahkan sebagian meyakini semakin bau mulut mereka karena puasa, maka semakin harum di sisi Allah.

 

Pemahaman ini tidak tepat, karena:

  1. Bau mulut orang yang berpuasa bersumber dari uap lambung akibat lambung yang kosong dari makanan, bukan berasal dari mulut secara total
  2. Boleh menggosok gigi atau memakai siwak untuk meminimalkan bau mulut karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup sering melakukan siwak dalam keadaan berpuasa

Berikut penjelasannya lebih rinci:

1. Bau mulut orang yang berpuasa bersumber dari uap lambung akibat lambung yang kosong dari makanan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.”[HR. Muslim no. 1151]

Ibnu Rajab Rahimahullah menjelaskan bahwa bau mulut berasal dari uap lambung yang baik ke mulut. Beliau berkata,

خلوف الفم: رائحة ما يتصاعد منه من الأبخرة لخلو المعدة من الطعام بالصيام، وهي رائحة مستكرهة في مشام الناس في الدنيا لكنها طيبة عند الله حيث كانت ناشئة عن طاعته وابتغاء مرضاته، كما أن دم الشهيد يجيء يوم القيامة يثغب دماً لونه لون الدم وريحه ريح المسك

“Bau yang naik berupa uap karena kekosongan lambung dari makanan ketika puasa. Bau yang tidak disukai oleh penciuman manusia di dunia, akan tetapi baik di sisi Allah karena muncul dari ketaatan dan mencari keridhaan Allah. Sebagaimana darah orang yang syahid akan datang pada hari kiamat, warnanya warna darah tetapi baunya bau misk.” [Al-Lathaif Al-Ma’arif hal 161]

 

2. Boleh menggosok gigi atau memakai siwak untuk meminimalkan bau mulut

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sering melakukan siwak ketika berpuasa. Hal ini menunjukkan bahwa beliau sangat menjaga kebersihan mulut.

Salah serorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan,

رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَا لاَ أُحْصِى يَتَسَوَّكُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersiwak beberapa kali hingga tidak dapat kuhitung banyaknya, meskipun saat itu beliau sedang berpuasa.”[HR Tirmidzi & Ahmad]

Bersiwak selain membersihkan mulut juga bisa mendatangkan ridha Allah. Beliau juga bersabda,

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

“Bersiwak bisa membersihkan mulut dan mendatangkan ridha Allah.” [HR. Nasa’i dan dishahihkan al-Albani]

 

Demikian semoga bermanfaat

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46728-salah-paham-mengenai-bau-mulut-orang-yang-berpuasa.html

Mencegah Haid Agar Bisa Berpuasa

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa pendapat Anda tentang wanita yang mengkonsumsi pil pencegah haidh hanya untuk bisa berpuasa bersama orang-orang lainnya di bulan Ramadhan?

Jawaban
Saya peringatkan untuk tidak melakukan hal-hal semacam ini, karena pil-pil pencegah haid ini mengandung bahaya yang besar, ini saya ketahui dari para dokter yang ahli dalam bidang ini. Haidh adalah suatu ketetapan Allah yang diberikan kepada kaum wanita, maka hendaklah Anda puas dengan apa yang telah Allah tetapkan, dan berpuasalah Anda jika Anda tidak berhalangan. Jika Anda berhalangan untuk berpuasa maka janganlah berpuasa, hal itu sebagai ungkapan keridhaan pada apa yang telah Allah tetapkan.

(52 Su’alan an Ahkaiml haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 19)

SAYA PERNAH BERTANYA KEPADA SEORANG DOKTER, IA MENGATAKAN, BAHWA PIL PENCEGAH HAIDH ITU TIDAK BERBAHAYA

Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Saya seorang wanita yang mendapatkan haidh di bulan yang mulia ini, tepatnya sejak tanggal dua lima Ramadhan hingga akhir bulan Ramadhan, jika saya mendapatkan haidh maka saya akan kehilangan pahala yang amat besar, apakah saya harus menelan pil pencegah haidh karena saya telah bertanya kepada dokter lalu ia menyatakan bahwa pil pencegah haidh itu tidak membahayakan diri saya ..?

Jawaban
Saya katakan kepada wanita-wanita ini dan wanita-wanita lainnya yang mendapatkan haidh di bulan Ramadhan, bahwa haidh yang mereka alami itu, walaupun pengaruh dari haidh itu mengharuskannya meninggalkan shalat, membaca Al-Qur’an dan ibadah-ibadah lainnya, adalah merupakan ketetapan Allah, maka hendaknya kaum wanita bersabar dalam menerima hal itu semua, maka dari itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang kala itu sedang haidh :

إن هذا أمر كتبه الله على بنات آدم

Sesungguhnya haidh itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan kepada kaum wanita”.

Maka kepada wanita ini kami katakan, bahwa haidh yang dialami oleh dirinya adalah suatu yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita, maka hendaklah wanita itu bersabar dan janganlah menjerumuskan dirinya ke dalan bahaya, sebab kami telah mendapat keterangan dari beberapa orang dokter yang menyatakan bahwa pil-pil pencegah kehamilan berpengaruh buruk pada kesehatan dan rahim penggunanya, bahkan kemungkinan pil-pil tersebut akan memperburuk kondisi janin wanita hamil.

(Durus wa Fatawa Al-Harram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/273-274)

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin. Penerbit Darul Haq Jakarta]

Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/11571-mencegah-haid-agar-bisa-berpuasa.html

Apakah Puasa Batal Bila Melihat Aurat Wanita?

Apakah melihat gambar porno saat puasa dapat membatalkan puasa? Bagaimana dengan lawan jenis yang mengumbar aurat di jalanan atau di kelas, apakah juga membatalkan puasa?

Yang jelas melihat aurat seperti melihat gambar porno termasuk dosa.

Cukup dua hadits berikut jadi alasan hal itu adalah dosa.

“Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, ia berkata, Al-Fadhl bin ‘Abbas pernah berboncengan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu datanglah seorang wanita dari Khats’am ingin meminta fatwa pada beliau. Saat itu Al-Fadhl terus memandangi wanita tersebut. Wanita tersebut pun melihat Al-Fadhl. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memalingkan wajah Al-Fadhl ketika itu ke sisi yang lain.” (HR. Abu Daud, no. 1809, shahih menurut Syaikh Al-Albani)

Ibnul Qayyim berkata, “Apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan larangan dan pengingkaran dengan praktik. Seandainya memandangi wanita seperti itu dibolehkan, tentu tidak dibiarkan seperti itu.” Dinukil dari Raudhah Al-Muhibbin.

Sama halnya ketika ada yang nongkrong di pinggir jalan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingatkan untuk menundukkan pandangan.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ » . فَقَالُوا مَا لَنَا بُدٌّ ، إِنَّمَا هِىَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا . قَالَ « فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا » قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ قَالَ « غَضُّ الْبَصَرِ ، وَكَفُّ الأَذَى ، وَرَدُّ السَّلاَمِ ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ ، وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ »

Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan”. Mereka bertanya, “Itu kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan karena itu menjadi majelis tempat kami bercengkrama”. Beliau bersabda, “Jika kalian tidak mau meninggalkan majelis seperti itu maka tunaikanlah hak jalan tersebut”. Mereka bertanya, “Apa hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menyingkirkan gangguan di jalan, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi munkar”. (HR. Bukhari no. 2465)

Perintah menundukkan pandangan itu ada demi terselamatkan kita dari pikiran untuk berbuat mesum hingga akhirnya berujung pada zina. Karena awalnya zina adalah dari memandang.

Dari sini apakah jadi halal jika seorang muslim memandang video porno dan gambar telanjang?

Lantas yang tidak menutup aurat juga berdosa, diancam sebagaimana hadits di bawah ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: (1) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan (2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim, no. 2128).

Dua perbuatan di atas yang jelas dosa, bagaimana jika dilakukan di saat berpuasa di bulan Ramadhan?

Mala ‘Ali Al-Qari rahimahullah berkata, “Ketika berpuasa begitu keras larangan untuk bermaksiat. Orang yang berpuasa namun melakukan maksiat sama halnya dengan orang yang berhaji lalu bermaksiat, yaitu pahala pokoknya tidak batal, hanya kesempurnaan pahala yang tidak ia peroleh. Orang yang berpuasa namun bermaksiat akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang ia lakukan.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, 6:308).

Dua dalil berikut yang menunjukkan bermaksiat saat berpuasa mengakibatkan pahala puasa bisa jadi hilang, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari, no. 1903).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

,لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan sia-sia dan kata-kata kotor. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”. (HR. Ibnu Khuzaimah 3: 242. Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad hadits tersebut shahih)

Intinya, puasa jadi sia-sia jika seseorang bermaksiat di bulan Ramadhan. Semoga Allah menjauhkan kita dari setiap maksiat, baik saat berpuasa, maupun tidak berpuasa.


Your brother: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel RemajaIslam.Com

Sumber : https://remajaislam.com/1224-apakah-puasa-batal-bila-melihat-aurat-wanita.html?

Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridho Illahi (5)

Puasa dan Sholat yang Paling Dicintai Alloh

Dari Abdulloh bin ‘Amr bin Al ‘Ash rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya puasa yang paling dicintai Alloh adalah puasa Dawud dan sholat yang paling dicintai Alloh adalah sholatnya Dawud; beliau itu tidur setengah malam dan bangun di sepertiga sesudahnya lalu tidur seperenam malam sisanya, dan beliau senantiasa berpuasa sehari dan tidak berpuasa sehari.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Tahajjud no. 1131 dan dalam kitab Ahaaditsul Anbiyaa’ no. 3402, Muslim dalam kitab Shiyaam 1159, 189, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2448, Ad Daarimi II/20 dalam kitab Shoum, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1712 dan Ahmad dalam Musnad-nya II/160)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Sehari berpuasa dan sehari berbuka merupakan amalan puasa yang paling utama karena di dalamnya sudah menyamai puasa Dahr.
  2. Tidur di setengah malam pertama, kemudian bangun untuk sholat di sepertiga sesudahnya, lalu tidur seperenam sisanya merupakan tata cara sholat malam yang paling utama karena pada cara ini tubuh dipenuhi kebutuhannya untuk beristirahat terlebih dulu kemudian bangun malam di waktu-waktu turunnya Alloh ke langit dunia lalu tidur seperenam sisanya supaya tubuh lebih segar dalam melakukan sholat shubuh dan untuk berdzikir sesudahnya.
  3. Ibadah itu penuh keseimbangan dan keadilan, sehingga tidak boleh lalai dari beribadah kepada-Nya dan juga tidak boleh berlebih-lebihan dalam mengerjakannya, karena Robbmu itu memiliki hak atasmu, demikian juga keluargamu maka tunaikanlah setiap hak kepada pemiliknya.
  4. Alloh Tabaaroka wa Ta’aala telah menyediakan berbagai macam ibadah bagimu, apabila kamu terlalu memforsir diri hanya pada salah satunya bisa saja menyebabkan yang lainnya tertinggal, maka sudah semestinya kamu sisakan kekuatan untuk mengerjakan yang lainnya. Kebiasaan yang berjalan pada manusia seperti bergaul dengan keluarga, mengunjungi sahabat-sahabat, mencari rizki, berbincang-bincang dengan anak-anak, tidur; itu semua bisa bernilai ibadah apabila diniatkan untuk meraih pahala dan menunaikan hak-hak sesama. Jadi keutamaan yang Allah sediakan amatlah luas dan kebaikan-Nya amatlah agung (lihat Taisirul ‘Allaam Juz I hal. 388).

Puasa 3 Hari Setiap Bulan

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: “Kekasihku shollallohu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepadaku dengan tiga perkara: Puasa 3 hari setiap bulan, sholat 2 rokaat Dhuha dan sholat witir sebelum tidur.” (Hadits riwayat Al Bukhori di kitab Shoum no. 1981, kitab Tahajud no. 1178, Muslim dalam kitab Sholatul Musafirin no. 721, Abu Dawud dalam kitab Sholat no. 1432, Ad Daarimi dalam kitab Sholat I/339, II/18,19 di kitab Shoum, Ahmad dalam Musnad-nya II/258, 271, 277, 402, 459, 497, 526)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Disunnahkan puasa tiga hari setiap bulan, yaitu pada tanggal 13, 14 dan 15 sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Qotadah bin Malhan yang diriwayatkan oleh Ahlu Sunan, beliau mengatakan: Dahulu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk puasa pada hari-hari putih yaitu pada tanggal 13, 14 dan 15, dan beliau mengatakan “Puasa ini setara dengan puasa sepanjang masa.”
  2. Disunnahkan melakukan sholat Dhuha serta sering-sering melakukannya bagi orang yang tidak kuat bangun sholat malam agar dia tidak kehilangan sholat (sunnah) siang dan malam sekaligus.
  3. Mengerjakan witir sebelum tidur bagi orang yang berdasarkan perkiraan kuat tidak kuat untuk bangun di akhir malam, adapun orang yang merasa kuat untuk bangun di akhir malam hendaknya dia mengerjakan di akhir malam, dan apabila luput darinya karena tidur atau lupa disunnahkan untuk mengqodho’nya.
  4. Tiga hukum yang disebutkan dalam hadits ini termasuk wasiat Nabi yang sangat berharga yang sudah semestinya diperhatikan dan bersemangat dalam mengerjakannya, sebab mengandung manfaat yang amat besar dan kedudukannya sangat mulia (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal 390).

Larangan Puasa di hari Jum’at

Dari Muhammad bin ‘Abbaad bin Ja’far beliau mengatakan: “Aku pernah bertanya kepada Jabir bin ‘Abdillah: ‘Apakah Nabi shollallohu ‘alihi wa sallam melarang puasa di hari Jum’at?’ Dia menjawab: ‘Ya.’” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1984, Muslim dalam kitab Shiyam no. 1143)

Imam Muslim memberikan tambahan riwayat: “(ya) Demi Rabb ka’bah.”

Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau bekata: Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa di hari Jum’at, kecuali sehari sebelum atau sesudahnya berpuasa.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1985, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1144, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2420, At Tirmidzi dalam kitab Shoum no. 743, Ibnu Maajah di kitab Shiyam no. 1723)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Larangan mengerjakan puasa di hari Jum’at saja.
  2. Hal itu boleh dilakukan apabila diiringi puasa sehari sebelum atau sesudahnya, atau karena bertepatan dengan puasa yang sudah biasa dikerjakan (misal Puasa Dawud, pent).
  3. Larangan puasa di dalam hadits ini dibawa menuju hukum makruh li tanzih (bukan haram) karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah berpuasa pada hari itu dalam rangkaian puasa yang biasa beliau lakukan. Beliau memberikan keringanan bolehnya berpuasa pada hari itu apabila diiringi dengan puasa sehari sebelum atau sesudahnya, seandainya larangan ini dibawa ke hukum haram niscaya tidak boleh puasa di hari itu sebagimana haramnya berpuasa di hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (lihat Taisirul’Allaam juz I hal. 391).

Larangan Puasa di Hari Raya

Dari Abu ‘Ubaid maula Ibnu Azhar yang bernama Sa’ad bin ‘Ubaid, beliau berkata: “Aku pernah menghadiri hari raya bersama ‘Umar bin Khoththob rodhiyallohu ‘anhu dan beliau berkata dalam khotbahnya: Dua hari raya ini dilarang oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk mengerjakan puasa, yaitu hari kalian ber idul fithri dan hari kalian menyembelih kurban.”(Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1990, kitab Al Adhoohi no. 5571, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1137, Abu Dawud no. 2416, At Tirmidzi dalam kitab Shoum no. 771, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1772)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Diharamkan berpuasa pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha.
  2. Puasa pada dua hari itu tidak dianggap sebagai puasa sehingga hukumnya tidak sah apabila dilakukan, sama saja apakah karena qodho’ atau puasa sunnah, atau puasa nadzar.
  3. Hikmah larangan puasa pada hari itu adalah sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits: masuknya Idul Fithri adalah tanda berakhirnya bulan Romadhon maka hendaknya dibedakan dan supaya diketahui batas puasa wajib dengan merayakan Idul Fithri. Demikian pula beliau melarang puasa sehari atau dua hari sebelum Romadhon dalam rangka membedakan bulan puasa ini dengan bulan-bulan yang lainnya.
  4. Disunnahkan bagi khothib mengingatkan hukum-hukum yang terkait dengan kondisi pada saat dia berbicara dan hendaknya dia berusaha memilih tema-tema yang bersesuaian (Lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 392).

Balasan Bagi Orang yang Berpuasa Ketika Berjihad Fii Sabiilillaah

Dari Abu Sa’id Al Khudri rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa berpuasa sehari ketika berjihad di jalan Alloh niscaya Alloh akan menjeuhkan wajahnya dari apai neraka sejauh perjalanan 70 tahun.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Jihad no. 2840, Muslim dalam kitab Shiyaam 128,1153, At Tirmidzi dalam kitab Fadhooilul Jihad no. 1623, An Nasaa’i dalam kitab Shiyaam IV/173, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1717)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Keutamaan berpuasa di tengah suasana jihad fii sabiilillaah serta pahala agung yang akan diberikan atasnya.
  2. Disunnahkannya berpuasa ketika jihad dengan syarat tidak melemahkan kekuatan berjihad, apabila berpuasa justru membuatnya lemah maka disunnahkan baginya meninggalkan puasa karena jihad termasuk maslahat umum yang lebih luas cakupannya adapun puasa maslahatnya hanya terbatas pada diri orang yang berpuasa, karena semakin luas kemaslahatan yang terkandung dalam suatu ibadah maka itulah yang lebih utama (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 394).

Demikianlah beberapa buah hadits yang berkenaan dengan ibadah puasa beserta faedah-faedah yang bisa dipetik darinya. Semoga bermanfaat. Alhamdulillaahilladzii bi ni’matihi tatimmu sholihaat.

Departemen Ilmiah Divisi Bimbingan Masyarakat
Lembaga Bimbingan Islam Al Atsary Jogjakarta

***

Penyusun: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/319-puasa-menahan-diri-demi-menggapai-ridho-illahi-5.html

Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridho Illahi (4)

Berpuasa Ketika Safar/Bepergian

Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha bahwasanya Hamzah bin ‘Amr Al Aslami pernah bertanya kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam: Apakah saya boleh berpuasa sewaktu safar ? (Beliau adalah orang yang banyak berpuasa) Nabi menjawab, “Jika kamu mau berpuasalah, dan jika kamu mau maka berbukalah.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1943, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1121, Malik dalam kitab Shiyaam I/295, Ad Daarimi dalam kitab Shoum II/9, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1662, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2042)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Ada keringanan untuk berbuka dalam kondisi safar, karena pada kondisi itu terdapat kesukaran.
  2. Boleh memilih antara puasa atau berbuka bagi orang yang punya kekuatan untuk berpuasa, yang dimaksud dalam hadits ini adalah puasa Romadhon sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain yang dibawakan oleh Imam Abu Dawud dan Al Haakim (lihat Taisirul ‘Allaam Juz 1 hal. 368-369).

Dari Anas bin Maalik rodhiyallohu ‘anhu beliau mengatakan: “Dahulu kami pernah bersafar bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka dan orang yang berbuka (juga) tidak mencela orang yang berpuasa.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1947, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1118, Maalik dalam Al Muwaththo’ kitab Shiyaam I/295, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2405)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Bolehnya berbuka ketika safar.
  2. Nabi mentaqrir (mendiamkan) perbuatan para sahabat yang berpuasa dan yang berbuka dalam kondisi safar, ini menunjukkan keduanya boleh dikerjakan (lihat Taisirul ‘Allaam Juz 1 hal. 370)

Dari Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: “Kami pernah bepergian bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pada bulan Romadhon dalam keadaan udara yang sangat panas, sampai-sampai salah seorang diantara kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat menyengat, di antara kami tidak ada yang berpuasa kecuali Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan Abdulloh bin Rowahah.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1945, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1122, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2409 dan Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1663)

Bukan Termasuk Kebaikan Berpuasa Ketika Safar (?)

Dari Jaabir bin Abdulloh rodhiyallohu’anhu beliau berkata: Dahulu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersafar, maka beliaupun melihat segerombolan orang dengan seorang lelaki yang diberi naungan di atasnya, maka beliaupun bertanya, “Apa ini ?” Mereka menjawab, “Orang yang sedang berpuasa.” Beliau bersabda, “Berpuasa di saat safar bukan termasuk kebaikan.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1946, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1115, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2407, An Nasaa’i dalam kitab Shiyaam IV/175, Ad Daarimi dalam kitab Shoum II/9, Ahmad dalam Musnad-nya III/299, 317, 319, 399)

Dan dalam satu lafazh Muslim, “Ambillah rukhshoh dari Alloh yang telah dianugerahkan-Nya kepada kalian.” (Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1115).

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Bolehnya berpuasa ketika safar dan bolehnya mengambil rukhshoh yaitu dengan berbuka.
  2. Berpuasa di waktu bersafar bukan kebaikan tetapi tetap sah dan sekedar menggugurkan kewajiban.
  3. Yang lebih utama adalah mengambil rukhshoh dari Alloh yang telah ditetapkan-Nya untuk meringankan hamba-hamba-Nya lihat (Taisirul ‘Allaam Juz 1 hal. 371).

Meraih Pahala Lebih Dengan Berbuka

Dari Anas bin Maalik rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Dahulu kami bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan/safar di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang berbuka. Anas berkata: Kemudian kamipun singgah di suatu tempat dalam suasana siang yang begitu terik. Orang yang memiliki kain dialah yang bisa berteduh lebih baik, dan di antara kami ada yang melindungi (kepalanya) dari teriknya panas matahari hanya dengan tangan. Anas berkata: Maka para sahabat yang berpuasa menjadi lemah sedangkan para sahabat yang berbuka tetap dapat bekerja sehingga mereka dapat mendirikan tenda dan memberi minum binatang kendaraan. Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari ini, orang-orang yang berbuka berangkat dengan mendapatkan ganjaran pahala.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Jihad no. 2890, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1119)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Boleh berbuka atau tetap puasa ketika bersafar, karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari kedua kelompok sahabat dalam kondisinya masing-masing.
  2. Keadaan duniawi para sahabat rodhiyallohu ‘anhum ketika itu yang cukup memprihatinkan, meskipun demikian hal itu tidak menghalangi mereka untuk menghadapi berbagai kesulitan dalam berjihad di jalan Alloh Ta’ala.
  3. Keutamaan membantu saudara dan sanak keluarga, dan itu merupakan bagian dari agama dan sikap ksatria yang telah diterapkan lebih dahulu oleh generasi terbaik ummat ini, amat berbeda dengan perilaku kebanyakan orang yang sok tinggi lagi menyombongkan diri.
  4. Berbuka ketika safar lebih utama, apalagi jika dibarengi dengan munculnya kemaslahatan berupa memperkuat diri demi menghadapi musuh atau semacamnya. Karena dalam kondisi seperti itu manfaat hanya bisa dipetik oleh orang yang puasa, sedangkan orang yang berbuka dapat memberikan manfaat lebih kepada orang lain. Dari sisi inilah alasan kenapa berbuka itu lebih utama.
  5. Islam mendorong manusia agar giat bekerja dan meninggalkan kemalasan. Islam memberikan bagian pahala yang besar bagi orang yang giat bekerja serta mengutamakan dirinya daripada orang yang terputus dari kegiatannya dengan alasan beribadah (lihat Taisirul ‘Allaam hal. 374-375).

Menunda Qodho’ Sampai Sya’ban

Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha beliau berkata: “Dahulu aku memiliki hutang puasa Romadhon, akan tetapi aku tidak bisa mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1950, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1146, Maalik dalam Al Muwaththo’ dalam kitab Shiyaam, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2399, At Tirmidzi dalam kitab Shoum no. 783, An Nasaa’i dalam kitab Shiyaam IV/191, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1669)

Dalam kitab Shohih-nya Imam Muslim memberikan riwayat tambahan, Hal itu karena kedudukan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam (sebagai suamiku).

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Bolehnya mengakhirkan qodho’ puasa Romadhon sampai bulan Sya’ban selama ada alasan yang bisa diterima.
  2. Yang lebih utama adalah menyegerakan qodho’ selama tidak ada hambatan, karena ‘Aisyah menjelaskan apa yang menyebabkan beliau melakukan demikian.
  3. Tidak boleh menunda qodho’ hingga melampaui bulan Romadhon sesudahnya.
  4. Keluhuran budi yang dicontohkan oleh ‘Aisyah (dalam perannya sebagai isteri), semoga Alloh menganugerahkan kepada kaum wanita kita kemampuan untuk meneladaninya (lihat Taisirul ‘Allaam hal. 376).

Hutang Puasa Orang yang Mati

Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dan punya hutang puasa maka walinya yang membayar puasanya.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1952, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1147, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2400)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Zhohir hadits ini menunjukkan wajibnya mengqodho’ puasa si mayit, sama saja apakah puasa nadzar atau puasa yang secara asalnya wajib menurut syari’at (puasa Romadhon), ini menyelisihi pendapat Imam Abu Dawud yang menganggap hal itu hanya berlaku untuk puasa nadzar saja.
  2. Orang yang menanggung hutang puasa adalah walinya yaitu orang yang akan mendapat bagian warisan apabila dia meninggal (lihat Taisirul ‘Allaam hal. 377).

Dari Abdulloh bin ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma beliau berkata: Seorang lelaki datang kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan, “Wahai Rosululloh sesungguhnya ibuku telah meninggal dan dia memiliki hutang puasa sebulan apakah aku harus mengqodho’ puasa itu baginya ?” Beliau menjawab, “Seandainya ibumu punya hutang, apakah engkau akan membayarkannya ?” Dia menjawab, “Iya” Beliau bersabda, “Kalau begitu maka hutang kepada Alloh lebih berhak untuk ditunaikan.” (Hadits riwayat Al Bukhori di dalam kitab Shoum no. 1953 dan Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1148)

Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa suatu saat ada seorang perempuan yang datang menemui Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan: “Wahai Rosululloh sesungguhnya ibuku telah meninggal dan dia memiliki hutang puasa nadzar apakah saya harus berpuasa menggantikannya ?” Beliau bersabda, “Bagaimana menurutmu seandainya ibumu memiliki hutang kemudian kamu membayarkannya, apakah hal itu bisa menunaikan hutangnya ?” Dia menjawab, “Iya” Beliau bersabda, “Maka berpuasalah untuk ibumu.” (Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shiyaam no.1148, 156)

Faedah yang bisa dipetik dari dua hadits di atas adalah:

  1. Riwayat yang pertama menunjukkan bahwa hutang puasa mayit baik karena nadzar atau puasa wajib (Romadhon -pent) ditunaikan/diqodho’.
  2. Riwayat yang kedua menunjukkan bahwa puasa yang ditunaikan hutangnya bagi si mayit adalah puasa nadzar.
  3. Zhohir dari kedua hadits di atas menunjukkan kisah yang berbeda, yang satu terjadi pada seorang lelaki dan yang satunya terjadi pada seorang perempuan. Maka kandungan hukum keduanya dibiarkan sendiri-sendiri, riwayat yang pertama tidak disempitkan maknanya oleh riwayat yang kedua, jadi hukumnya tetap berlaku sebagaimana keumuman riwayat yang pertama (yaitu hutang puasa yang harus diqodho’ adalah puasa wajib, baik karena nadzar atau puasa Romadhon-pent).
  4. Alasan ditunaikannya tanggungan si mayit yang terdapat di dalam hadits ini berlaku secara umum dalam masalah tanggungannya kepada Alloh, hutang piutang dengan sesama makhluk, kewajiban karena nadzar serta kewajiban lain yang pada asalnya memang diwajibkan oleh syari’at, maka semuanya harus ditunaikan (diqodho’) bagi si mayit. Pendapat ini disampaikan oleh Syaikh Abdurrohman Alu Sa’di menukil dari Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah rohimahumalloh.
  5. Di dalam hadits tersebut terkandung penetapan tentang keabsahan dalil qiyas/analogi yang merupakan salah satu pokok yang dipegang oleh Jumhur ulama’ dalam menyimpulkan dalil. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah memberikan permisalan bagi mereka berdua (lelaki dan perempuan yang bertanya -pent) dengan permisalan yang sudah disepakati oleh mereka agar memudahkan pemahaman dan supaya hal itu semakin mudah dicerna oleh pikiran mereka, karena sesungguhnya menyerupakan sesuatu yang jauh (agak sulit dijangkau) dengan sesuatu yang dekat (mudah dipahami) akan mempermudah pemahaman dan pengertian.
  6. Dalam sabda Nabi “Hutang Allah lebih berhak untuk ditunaikan.” terkandung dasar hukum didahulukannya zakat dan hak-hak Alloh dalam hal harta apabila hak-hak-Nya dan hak-hak anak Adam saling berbenturan pada harta yang ditinggalkan oleh orang yang mati. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa hak-hak tersebut disamaratakan (lihat Taisirul ‘Allaam juz I, hal. 380-381).

Larangan Puasa Wishol (Bersambung)

Dari Abdulloh bin ‘Umar rodhiyallohu ‘anhuma beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang puasa wishol. Mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rosululloh, sesungguhnya anda juga mengerjakan wishol.” beliau bersabda, “Sesungguhnya keadaanku tidak sebagaimana kalian, aku diberi makan dan diberi minum.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1962, Muslim dalam kitab Shiyaam 1102, Maalik dalam Al Muwaththo’ di kitab Shiyaam, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2320)

Dan dalam riwayat Bukhori dari Abu Sa’id Al Khudri rodhiyallohu ‘anhu Nabi bersabda, “Barangsiapa di antara kalian ingin wishol maka hendaklah dia wishol (tidak berbuka) sampai waktu sahur.” (Hadits riwayat Al Bukhori no. 1963 dalam kitab Shoum, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2361, Ad Daarimi II/8 dalam kitab Shoum dan Ahmad dalam Musnad-nya III/87)

Al Imam An Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan wishol adalah: berpuasa selama dua hari dan seterusnya tanpa sedikitpun makan dan minum dalam rentang waktu tersebut (lihat Syarah Muslim Jilid IV hal. 434)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Diharamkannya puasa wishol.
  2. Wishol boleh dikerjakan bagi orang yang mampu melakukannya sampai waktu sahur dan meninggalkannya itu lebih utama.
  3. Kasih sayang Pembuat syari’at Yang Maha bijaksana yang amat menyayangi ummat ini dalam bentuk pengharaman segala sesuatu yang membahayakan diri mereka.
  4. Larangan berlebih-lebihan/melampaui batas dalam beragama, karena sesungguhnya syari’at ini adalah syari’at yang lapang dan penuh keseimbangan, dengan menunaikan hak kepada Robb dan juga menunaikan hak badan. Sesungguhnya kewajiban-kewajiban syari’at itu dibebankan demi mencapai kemaslahatan yang nantinya akan kembali kepada hamba itu sendiri, baik dari sisi diniyah maupun duniawiyah. Dan karena perhatian Pembuat syari’at terhadap maslahat tersebut maka hal itu menjadi faktor pendorong pembebanan kewajiban kepada hamba.
  5. Puasa wishol merupakan salah satu kekhususan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam karena hanya beliaulah yang benar-benar sanggup untuk melaksanakannya, dan tidak ada seorangpun yang bisa mencapai keadaan sebagaimana yang dimiliki beliau.
  6. Makna ungkapan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam diberi makan dan minum dalam hadits ini artinya beliau dianugerahi kelezatan bermunajat kepada Alloh dan kegembiraan jiwa yang amat besar yang meliputi dirinya sebab keinginan berjumpa dengan Dzat yang paling dicintainya. Banyak bukti pada manusia yang menguatkan pendapat ini, dan kenikmatan seperti hanya bisa dicapai oleh Kekasih Ar Rohman dan orang yang paling dicintai-Nya yaitu Muhammad sholawaatulloohi wa salaamuhu ‘alaihi dan tidak ada seorangpun yang bisa mengejar beliau dalam perkara ini [akan tetapi makna diberi makan dan minum dalam hadits ini yang lebih tepat Wallohu a’lam adalah sebagaimana dikatakan Imam An Nawawi, artinya: Alloh menganugerahkan kepada beliau kekuatan sebagaimana orang yang makan dan minum (lihat Syarah Muslim Juz IV hal. 435)].
  7. Tenggelamnya matahari adalah waktu untuk berbuka puasa. Dan orang yang berpuasa tidaklah dihukumi sudah berbuka dengan masuknya waktu berbuka -sebagaimana sudah dijelaskan di depan-, kalau tidak demikian niscaya tidak ada artinya wishol sebab secara otomatis ketika matahari tenggelam dia telah dihukumi berbuka karena sudah masuk waktunya.
  8. Di dalam hadits ini terkandung kekhususan yang hanya dimiliki Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang merupakan pengecualian terhadap (keumuman dalil-pent) firman Alloh Ta’ala yang artinya, “Sungguh telah ada teladan yang baik bagimu pada diri Rosululloh.” (QS. Al Ahzaab: 21) (Taisirul ‘Allaam juz I hal. 386).

Puasa Dawud

Dari Abdulloh bin ‘Amr bin Al ‘Ash rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam diberitahu bahwasanya aku pernah berkata, “Demi Alloh, sungguh aku akan berpuasa sepanjang siang dan dan sholat malam sepanjang hidupku.” Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah benar kamu yang mengucapkan itu?” Maka akupun menjawab, “Benar, ayah dan ibuku sebagai tebusannya aku memang benar-benar telah mengatakannya.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup melaksanakannya maka berpuasa dan juga berbukalah, tidur dan sholat malamlah, dan berpuasalah 3 hari di setiap bulan, karena satu kebaikan itu dilipatkan pahalanya senilai 10 kebaikan, dan itu sudah seperti puasa sepanjang masa/puasa Dahr.” Aku berkata, “Sesungguhnya saya mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda, “Kalau begitu maka puasalah sehari dan tidak puasa 2 hari.” Aku berkata, “Sesungguhnya saya mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda, “Kalau begitu maka puasalah sehari dan tidak berpuasa sehari Itulah puasa Nabi Dawud ‘alaihis salam, dan itu merupakan puasa yang paling utama.” Maka akupun mengatakan, “Sesungguhnya saya mampu melakukan yang lebih utama dari itu.” Beliau bersabda, “Tidak ada lagi (puasa) yang lebih utama darinya.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1976, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1159)

Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Tidak ada puasa yang boleh dikerjakan melebihi puasa saudaraku Dawud ‘alaihis salam selama separoh masa, maka berpuasalah sehari dan tidak berpuasa sehari.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1979 dan no. 6277 dalam kitab Isti’dzan)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:

  1. Keinginan kuat yang dimiliki Abdulloh bin ‘Amr bin Al ‘Ash dalam melakukan kebaikan dan kekuatan beliau dalam melakukannya, sampai-sampai beliau bersumpah untuk mengerjakan puasa sepanjang masa dan sholat sepanjang malam.
  2. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mengetahui kapasitas kemampuan dalam mengerjakan amalan dan dampaknya, sehingga beliau bisa mengabarkan kepada Abdulloh bin ‘Amr bahwasanya dia tidak akan mampu melakukannya, ini artinya hal itu akan memberatkan dirinya dan itu benar-benar dialaminya kemudian.
  3. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menentukan amalan berdasarkan kemampuan pelakunya. Pada awalnya beliau membatasi Abdulloh bin ‘Amr untuk mengerjakan puasa 3 hari dalam setiap bulan, dan ketika dia meminta tambahan beliau melihat di dalam dirinya terdapat keinginan yang kuat dan kemampuan sehingga beliau memerintahkan, “Berpuasalah sehari dan tidak berpuasalah 2 hari.” Kemudian ketika dia menampakkan keinginannya yang amat kuat dan meminta tambahan lagi maka beliau menunjukkan kepadanya amalan puasa yang paling utama, beliau bersabda, “Maka berpuasalah sehari dan tidak berpuasa sehari.”
  4. Batasan maksimal puasa yang paling utama adalah sehari puasa dan sehari tidak berpuasa, itulah puasa yang dilakukan Nabi Dawud ‘alaihis salaam.
  5. Makruhnya puasa sepanjang masa (puasa Dahr) karena amalan itu menyimpang dari sabda Nabi ‘alaihi sholaatu wa salaam dalam sebuah hadits, “Tidak sah puasanya orang yang berpuasa selamanya.”
  6. Kelapangan syari’at ini yang di dalamnya tindakan berlebihan dan melampaui batas dibenci, sebab aturan syari’at menuntut adanya kemudahan dan kelapangan, karena hal itu lebih menggiatkan amalan dan lebih bisa dikerjakan secara kontinyu (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 388).

***

Penyusun: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/318-puasa-menahan-diri-demi-menggapai-ridho-illahi-4.html

Bekam Tidak Membatalkan Puasa

Ada yang bertanya apakah bekam itu membatalkan puasa?

Jawaban yang tepat untuk ini, bekam tidak membatalkan puasa asal bekam tersebut tidak membuat lemas.

Sumber : https://remajaislam.com/1219-bekam-tidak-membatalkan-puasa.html

Alasan pertama adalah hadits,

رَخَّصَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ وَالْحِجَامَةِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan berbekam.” (HR. Ad Daruquthni, An-Nasa’i dalam Al-Kubro, dan Ibnu Khuzaimah)

Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits yang menyatakan bahwa batalnya puasa orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam adalah hadits yang shahih –tanpa ada keraguan sama sekali-. Akan tetapi, kami menemukan sebuah hadits dari Abu Sa’id : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam”. Sanad hadits ini shahih. Maka wajib bagi kita untuk menerimanya. Yang namanya rukhsoh (keringanan) pasti ada setelah adanya ‘azimah (pelarangan) sebelumnya. Hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa dengan berbekam (baik orang yang melakukan bekam atau orang yang dibekam) adalah hadits yang telah dinaskh (dihapus).”

Alasan kedua adalah hadits Anas,

أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ

“Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas mengatakan, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari, no. 1940)

 

Sumber : https://remajaislam.com/1219-bekam-tidak-membatalkan-puasa.html

Tingkatan Orang Yang Berpuasa

Amalan puasa adalah amalan yang luar biasa dan memiliki pahala yang Allah membalasnya secara langsung. Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

“Semua amal Bani Adam akan dilipatgandakan kebaikan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya.” [HR. Muslim]

Dalam riwayat yang lain, Allah sendiri yang akan membalasnya karena seorang hamba meninggalkan semuanya itu karena Allah.

يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : الصَّوْمُ لِي ، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ ، يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Puasa itu untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya, sebab ia telah meninggalkan makannya, minumnya dan syahwatnya karena Aku.” [HR. Ahmad]

Bahkan pahala yang hamba dapatkan karena berpuasa karena Allah bisa jadi berupa pahala yang tidak terhingga di mana hanya Allah saja yang tahu kadarnya. Ibadah puasa sangat identik dengan kesabaran yaitu menahan diri dari berbagai pembatal dan yang bisa mengurangi pahala puasa. Hal ini termasuk dalam firman Allah,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [QS. Az Zumar: 10]

Mengingat besarnya pahala puasa, hendaknya kita bersungguh-sungguh menjalani puasa sampai tingkatan yang paling baik. Ibnu Qudamah menjelaskan tingkatan orang yang berpuasa:

  1.  Tingkatan orang awam yang hanya sebatas menahan perut dan kemaluan saja
  2. Tingkatan puasa khusus yaitu juga menahan pandangan lisan, penglihatan dan semua anggota badan dari perbuatan dosa
  3. Tingkatan puasa yang lebih khusus menahan diri dari keinginan-keinginan yang jelek yang dapat menjauhkan dari Allah

Beliau berkata,

فأما صوم العموم فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة وأما صوم الخصوص فهو كف النظر ، واللسان، واليد، والرجل ، والسمع ، والبصر، وسائر الجوارح عن الآثام . وأما صوم خصوص الخصوص فهو صوم القلب عن الهمم الدنيئة، والأفكار المبعدة عن الله تعالى، وكفه عما سوى الله تعالى بالكلية، وهذا الصوم له شروح تأتى فى غير هذا الموضع

“Puasa orang awam yaitu sebatas menahan perut dan kemaluan dari keinginan syahwatnya. Sedangkan puasa orang khusus menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota badan dari segala perbuatan dosa. Sedangkan puasa orang yang lebih khusus yaitu puasanya hati dari keinginan-keinginan yang hina, serta pikiran-pikiran yang dapat menjauhkan dirinya dari Allah serta menahannya secara total dari segala sesuatu selain Allah Ta’ala.” [Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 45]

Semoga kita bisa mewujudkan tujuan dari puasa dan bulan Ramadhan yaitu bertakwa kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” [Al-Baqarah:183]

@ Yogyakarta tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/40362-tingkatan-orang-yang-berpuasa.html

Jelang Ramadan: Hukum Ziarah Kubur dan Adabnya

BULAN Ramadan semakin dekat. Saat ini tempat-tempat pemakaman umum ramai dengan peziarah. Seperti biasa terjadi kontroversi dalam ziarah kubur. Ada yang kritik dengan alasan melanggar batasan-batasan Islam dalam berziarah kubur.

Berikut ini kami ringkaskan pembahasan mengenai hukum ziarah kubur dan adab-adabnya dari kitab Fiqih Islami wa Adilatuhu karangan Syaikh Prof. DR. Wahbah Az Zuhaili, seorang ulama fiqih dari Suriah yang sangat masyhur. Kami lengkapi juga dari sumber-sumber lain.

Tentang Ruh si Mayit

Pendapat Ahlu Sunnah wal Jamaah, bahwa ruh yaitu jiwa yang dapat berbicara, yang mampu untuk menjelaskan, memahami objek pembicaraan, tidak musnah karena musnahnya jasad. Ia adalah unsur inti, bukan esensi. Ruh-ruh orang yang sudah meninggal itu berkumpul, lalu yang berada di tingkatan atas bisa turun ke bawah, tapi tidak sebaliknya.

Menurut Salafush Shahih dan para pemukanya, bahwa siksa dan kenikmatan dirasakan oleh ruh dan badan mayat. Ruh tetap kekal setelah terpisah dari badan yang merasakan kenikmatan atau siksaan, kadang juga bersatu dengan badan sehingga merasakan juga kenikmatan dan siksaan. Ada pendapat lain dari Ahlus Sunnah bahwa kenikmatan dan siksa untuk badan saja, bukan ruh.

Hukum Ziarah Kubur

Untuk kaum laki-laki, ulama fiqih tidak ada pertentangan mengenai hukumnya, yakni sunah. Bahkan Ibnu Hazm mengatakan, “Sesungguhnya ziarah kubur itu wajib, meski sekali seumur hidup, karena ada perintahnya.”

Namun, untuk perempuan, ulama fiqih berselisih pendapat.

1. Sunah Bagi Perempuan, Seperti Halnya Laki-laki

Ini adalah pendapat paling sahih dalam mazhab Hanafi. Dalilnya adalah keumuman nash tentang ziarah. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka ziarahilah (sekarang)! Karena sesungguhnya ziarah kubur dapat mengingatkan kalian akan kematian.” (HR Muslim dari Abu Buraidah)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah bahwa, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendatangi makam syuhada Uhud setiap awal tahun, seraya bersabda, Keselamatan bagi kalian atas kesabaran kalian, sungguh sebaik-baik tepat tinggal terakhir.”

Namun mereka juga mengatakan bahwa tidak diperbolehkan kaum perempuan berziarah jika untuk mengingat kesedihan, menangis, atau melakukan apa yang biasa dilakukan oleh mereka, dan akan terkena hadits, “Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur.” Namun, jika tujuannya mengambil pelajaran, memohon rahmat Allah tanpa harus menangis, maka diperbolehkan.

2. Makruh Bagi Perempuan

Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Sebab asal hukum ziarah mereka itu dilarang, lalu dihapus. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka ziarahilah (sekarang)!”

Sebab dimakruhkannya perempuan untuk ziarah kubur karena mereka sering menangis, berteriak, disebabkan perasaannya lembut, banyak meronta, dan sulit menghadapi musibah. Namun, hal itu tidak sampai diharamkan.

Dalam riwayat Muslim, Ummu Athiyah berkata, “Kami dilarang untuk berziarah kubur, tetapi beliau tidak melarang kami dengan keras.”

Imam At Tirmidzi meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur.” (shahih)

Akan tetapi, menurut mazhab Maliki, hal ini berlaku untuk gadis, sedangkan untuk wanita tua yang tidak tertarik lagi dengan laki-laki, maka dihukumi seperti laki-laki.

Tatacara dan Adab Ziarah Kubur

Tujuan utama ziarah kubur adalah mengingat mati dan mengingat akhirat sebagaimana dinyatakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka ziarahilah (sekarang)! Karena sesungguhnya ziarah kubur dapat mengingatkan kalian akan kematian.” (HR Muslim dari Abu Buraidah)

Dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya ziarah itu akan melunakkan hati, mengundang air mata dan mengingatkan pada hari kiamat.” (HR Al Hakim). Oleh karena itu, tujuan itu harus senantiasa dipancangkan di dalam hati orang yang berziarah.

Selain itu, ada beberapa adab dalam berziarah kubur:

1. Dianjurkan Melepas Alas Kaki

Dianjurkan menurut mazhab Hanbali, melepas sandal ketika masuk ke areal pemakaman karena ini sesuai dengan perintah dalam hadits Busyair bin Al Khashahshah:

Ketika aku berjalan mengiringi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ternyata ada seseorang berjalan di kuburan dengan mengenakan kedua sandalnya. Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan “Hai pemakai dua sandal, tanggalkan kedua sandal kamu!” Orang itu pun menoleh. Ketika dia tahu bahwa itu ternyata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia melepaskannya serta melemparkan keduanya. (HR. Abu Dawud, hasan)

Diperbolehkan tetap memakai sandal jika ada penghalang semacam duri, kerikil yang panas, atau semacam keduanya. Ketika itu, tidak mengapa berjalan dengan kedua sandal di antara kuburan untuk menghindari gangguan itu.

2. Mengucapkan Salam

Disunnahkan bagi orang yang berziarah mengucapkan salam kepada penghuni kuburan Muslim. Adapan ucapan salam hendaklah menghadap wajah mayat, lalu mengucapkan salam sebagaimana telah diajarkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada para Shahabatnya ketika mereka berziarah kubur, “Assalamu alaikum dara qaumin Muminin, wa insya Allah bikum laa hiqun.” Artinya, “Keselamatan atas kalian di tempat orang Mukmin, dan kami insya Allah akan menyusul kalian juga.”

Atau bisa juga dengan lafal lain, “Assalamu ala ahlid diyari minal Muminina wal Muslimin, wa inna insya Allah taala bikum laa hiqun. As-alullahu lana wa lakumul afiyah.”

Artinya, “Keselamatan kepada penghuni kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin, kami insya Allah akan menyusul kalian. Aku memohon keselamatan kepada Allah untuk kami dan kalian semua.” Kedua lafazh salam tersebut diriwayatkan Imam Muslim.

3. Membaca Surat Pendek

Dianjurkan membacakan Alquran atau surat pendek. Ini adalah sunah yang dilakukan di kuburan. Pahalanya untuk orang yang hadir, sedang mayat seperti halnya orang yang hadir yang diharapkan mendapatkan rahmat.

Disunnahkan membaca surat Yasin seperti yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Al Hakim dari Maqal bin Yassar, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Bacakanlah surah Yasin pada orang yang meninggal di antara kalian.”

Sebagian ulama menyatakan hadits ini dhaif. Imam Asy Syaukani dan Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan bahwa hadits ini berstatus hasan. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa membacakan Alquran ini dilakukan saat sakaratul maut, bukan setelah meninggal.

4. Mendoakan si Mayat

Selanjutnya mendoakan untuk mayat usai membaca Alquran dengan harapan dapat dikabulkan. Sebab doa sangat bermanfaat untuk mayat. Ketika berdoa, hendaknya menghadap kiblat.

Saat berziarah kubur di Baqi, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berdoa dengan lafazh, “Allahummaghfir li Ahli Baqiil gharqad.”

5. Berziarah dalam Posisi Berdiri

Disunnahkan ketika berziarah dalam keadaan berdiri dan berdoa dengan berdiri, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika keluar menuju Baqi.

Selain itu, jangan duduk dan berjalan di atas pusara kuburan. Dalam riwayat Muslim, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, itu lebih baik daripada duduk di atas kubur.” Sedangkan jika berjalan di samping atau di antara pusara-pusara kubur, maka itu tidak mengapa.

6. Menyiramkan Air di Atas Pusara

Diperbolehkan menyiramkan air biasa di atas pusara si mayat berdasarkan hadits berikut, “Sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam menyiram (air) di atas kubur Ibrahim, anaknya, dan meletakkan kerikil di atasnya.” Hadits diatas oleh Abu Dawud dalam Al Marasil, Imam Baihaqi dalam Sunan, Thabarani dalam Mujam Al Ausath. Syaikh Al Albani menyatakan sanadnya kuat di dalam Silsilah Ahadits Shahihah. Sedangkan menyiram dengan air kembang tujuh rupa atau menabur bunga, maka itu tidak dituntunkan oleh syariat.

Hal-hal yang Makruh dan Munkar Saat Berziarah

Mazhab Maliki menyatakan makruh hukumnya makan, minum, tertawa, dan banyak bicara, termasuk juga membaca Al Quran dengan suara keras. Tidaklah pantas bagi seseorang yang berada di pekuburan, baik dia bermaksud berziarah atau hanya secara kebetulan untuk berada dalam keadaan bergembira dan senang seakan-akan dia berada pada suatu pesta, seharusnya dia ikut hanyut atau memperlihatkan perasaan ikut hanyut di hadapan keluarga mayat.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan, “Makruh hukumnya mencium peti yang dibuat di atas makam, atau mencium makam, serta menyalaminya, atau mencium pintunya ketika masuk berziarah makam aulia.”

Mengkhususkan hari-hari tertentu dalam melakukan ziarah kubur, seperti harus pada hari Jumat, tujuh atau empat puluh hari setelah kematian, pada hari raya dan sebagainya, maka itu tak pernah diajarkan oleh Rasulullah dan beliau pun tidak pernah mengkhususkan hari-hari tertentu untuk berziarah kubur. Sedangkan hadits-hadits tentang keutamaan ziarah pada hari Jumat adalah dhaif sebagaimana dinyatakan para Imam Muhaditsin. Oleh karena itu, ziarah kubur dapat dilakukan kapan saja.

Sedangkan salat persis di atas kuburan seseorang dan menghadap kuburan tanpa tembok penghalang, maka ulama sepakat tentang ketidakbolehannya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian shalat menghadap kuburan dan jangan pula kalian duduk di atasnya.” (HR Muslim) Sedangkan jika di samping kubur, maka terjadi sejumlah perselisihan ulama, ada yang memakruhkannya, dan ada yang mengharamkannya. Demi kehati-hatian, kami berpendapat untuk tidak melaksanakan shalat di kompleks pekuburan. Selain itu, Ibnu Hibban meriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang dari shalat di antara kuburan.” Dikecualikan dari hal ini adalah bagi seseorang yang ingin melaksanakan shalat jenazah, tetapi tidak berkesempatan menshalati mayit saat belum dikuburkan.

Dilarang juga mengencingi dan berak di atas kuburan. Diriwayatkan Abu Hurairah, bersabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Barang siapa yg duduk di atas kuburan, yang berak dan kencing di atasnya, maka seakan dia telah menduduki bara api.”

Tidak diperbolehkan melakukan thawaf (ibadah dengan cara mengelilingi) kuburan. Hal ini sering dijumpai dilakukan oleh orang-orang awam di kuburan orang-orang salih. Dan ini termasuk dalam kesyirikan. Thawaf hanya boleh dilakukan pada Baitullah Kabah. Allah berfirman, “Dan hendaklah mereka melakukan Thawaf disekeliling rumah yang tua (Baitul Atiq atau Baitullah) itu.” (QS Al Hajj : 29)

Berdoa, meminta perlindungan, meminta tolong, pada penghuni kubur juga tidak diperbolehkan, hukumnya haram dan merupakan kesyirikan. Berdoa hanya boleh ditujukan pada Allah Subhanahu wa Taala. Sedangkan berdoa dengan perantaraan si mayit (tawasul), maka hal itu diperselisihkan. Pendapat yang kuat adalah tidak diperbolehkan.

Tidak diperbolehkan memasang lilin atau lampu di atas pusara kuburan. Selain hal itu merupakan tatacara ziarah orang Ahli Kitab dan Majusi, dalam riwayat Imam Al Hakim disebutkan, “Rasulullah melaknat.dan (orang-orang yang) memberi penerangan (lampu pada kubur).”

Tidak boleh memberikan sesajen berbentuk apapun, baik berupa bunga, uang, masakan, beras, kemenyan, dan sebagainya. Juga dilarang menyembelih hewa atau kurban di kuburan. Selain itu, tidak boleh mengambil benda-benda dari kubur seperti kerikil, batu, tanah, bunga, papan, pelepah, tulang, tali dan kain kafan, serta yang lainnya untuk dijadikan jimat. []

INILAH MOZAIK

Ketika Makam Ahli Puasa Dijaga Para Malaikat

APAKAH Anda puasa sunah pada hari ini? Jika puasa dan melakukan secara konsisten, juga terhadap puasa-puasa sunah lainnya, insya Allah Anda termasuk yang mendapatkan keistimewaan di akhirat kelak. Siapa yang tak ingin dalam kehidupan akhirat nanti tidak bahagia?

Setiap orang tentu saja mengharapkan kenikmatan ketika dia sudah meninggal dunia nanti. Salah satu cara untuk mendapatkan kenikmatan itu adalah dengan rajin berpuasa. Seperti kisah di bawah ini tentang jenazah yang dijaga oleh malaikat di dalam kuburnya.

Di dalam sebuah riwayat yang berasal dari Sufyan As-Tsauri diceritakan bahwa ada seorang muslim yang telah mendapatkan kebahagiaan di alam barzah karena ia rajin berpuasa. Pada saat meninggal dunia, ia mendapatkan kenikmatan yang sangat luar biasa karena amalan-amalan ibadah selama hidupnya di dunia mampu menjaga dirinya.

Kejadian itu terjadi pada saat Sufyan AsTsauri tinggal di Mekah selama tiga tahun. Ketika itu, Sufyan salut melihat salah seorang penduduk Mekah yang bernama Abdullah. Pria itu memiliki kebiasaan beribadah yang sangat istiqomah. Selain istiqomah puasa sunah, ia juga selalu datang ke Masjidil Haram pada waktu terik matahari, lalu melakukan tawaf dan salat sunah dua rakaat.

Sebelum pulang, ia biasa menyalami Sufyan sehingga di antara keduanya terjalin persahabatan yang sangat erat. Namun, pada siang hari yang terik, Sufyan tidak lagi menemukan Abdullah. Tentu saja hal itu membuat dirinya penasaran karena waktu sudah lepas dari salat Ashar, namun sahabatnya itu tak kunjung datang ke masjid.

Rasa penasaran itu membuatnya selalu bertanya-tanya ada apa gerangan dengan Abdullah? “Apa yang terjadi dengan sahabatku Abdullah?”

“Apakah dia sedang sakit?”

Pertanyaan itu terus berkecamuk dalan hati dan pikiran Sufyan.

Berawal dari situlah akhirnya Sufyan mendatangi rumah Abdullah. Dugaan Sufyan ternyata benar adanya. Pada saat itu Abdullah sedang terbaring sakit di ranjangnya. Dalam kondisi yang sangat lemah tersebut, Abdullah memanggil sahabatnya untuk duduk lebih dekat dengannya sembari mengucapkan sesuatu.

“Apabila aku mati nanti, hendaklah kamu sendiri yang memandikan aku, menyalatiku, lalu kuburkan aku dan jangan kau tinggalkan aku sendirian di kuburan pada malam harinya. Talqinkanlah aku dengan kalimat tauhid ketika Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku,” ujar Abdullah.

Sufyan pun menyanggupinya dan tak lama kemudian Abdullah meninggal dunia. Sufyan sangat sedih karena telah kehilangan sahabat karibnya itu. Meski demikian, Sufyan tetap sabar dan ikhlas sembari melaksanakan amanah yang disampaikan almarhum kepadanya. Ia merawat jenazah almarhum dengan memandikan, mengkafani, menyalati hingga ikut menguburkannya.

Berkat puasa

Pada malam harinya, Sufyan juga menunggu seorang diri di atas makam sahabatnya itu sambil membacakan kalimat talqin. Beberapa saat kemudian, antara sadar dan tidak, Sufyan mendengar suara dari atas.

“Wahai Sufyan, orang tersebut tidak butuh penjagaanmu, tidak butuh talqinmu, tidak juga butuh pelipur laramu karena aku telah mentalqinkannya dan memberinya kesenangan,” kata suara tanpa wujud itu. “Dengan apa engkau menjaganya?” tanya Sufyan.

“Dengan puasa di bulan Ramadan dan diikuti puasa enam hari di bulan syawal,” jawab suara itu.

Tak lama setelah dialog itu,tiba-tiba Sufyan terjaga dan tersadar. Ia kaget karena saat itu ia tidak melihat seorang pun di sekelilingnya. Sufyan masih ragu, apakah suara itu berasal dari malaikat atau setan yang berupaya menghasutnya. Oleh karena itu, Sufyan kemudian pergi untuk mengambil air wudhu, melaksanakan shalat, kemudian pergi tidur.

Anehnya, dalam tidur itu ia bermimpi sama persis dengan kejadian tadi. Bahkan mimpinya berulang hingga tiga kali. Hal itu membuat Sufyan yakin sekali bahwa suara itu berasal dar malaikat Allah, bukan dari setan. Ia juga mengerti bahwa sahabatnya itu telah mendapatkan nikmat kubur.

Sufyan pun berdoa kepada Allah SWT, “Ya Allah, dengan anugerah dan kemuliaan-Mu, berilah aku taufik agar dapat berpuasa seperti puasanya sahabatku ini, amiiin.”[]