Hukum Membaca Al-Quran saat Haid

APA hukum membaca Al-Quran saat haid? Masalah ini termasuk masalah yang diperdebatkan para ulama.

Hukum Membaca Al-Quran Saat Haid: Jumhur ulama berpendapat diharamkan membaca Al-Quran bagi wanita haid sebelum dia suci.

Tidak dikecualikan hal tersebut kecual bacaan yang dibaca dengan tujuan berzikir dan berdoa, tidak ditujukan membaca Al-Quran. Seperti bacaaan bismillahrrahmaanirrahim, inna lillah wa inna ilaihi raajiun, rabbanaa aatina fiddunya hasanah… dst. Sebagaimana zikir dan doa lainnya yang terdapat dalam Al-Quran.

Pendapat mereka yang melarang hal tersebut dilandasi dengan beberapa dalil;

1- Hukum wanita haid sama dengan hukum orang yang junub, karena keduanya diwajibkan mandi janabah. Sementara terdapat riwayat shahih dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu,

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan mereka Al-Quran, tidak ada yang menghalanginya dari Al-Quran selain janabah.”

(HR. Abu Daud, 1/281, Tirmizi, no. 146, Nasai, no. 1/144, Ibnu Majah, no. 1/207, Ahmad, 1/84, Ibnu Khuzaimah, 1/104. Tirmizi berkata, “Haditsnya hasan shahih, Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata, “Yang benar bahwa hadits ini termasuh hadits hasan dan layak menjadi hujjah/dalil.”

2. Apa yang diriwayatkan dari hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bersabda,

” لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئاً من القرآن ” رواه الترمذي، رقم 131)وابن ماجه، رقم 595 والدارقطني 1/117 والبيهقي،

“Hendaknya wanita haid dan orang yang junub tidak membaca Al-Quran sedikitpun.” (HR. Tirmizi, no. 121, Ibnu Majah, no. 595, Daruquthni, 1/117 dan Baihaqi, 1/89)

Ini merupakan hadits lemah, karena berasal dari riwayat Ismail bin Ayasy dari orang-orang Hijaz. Riwayat dia dari mereka dianggap lemah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (21/460) berkata, ‘Ini merupakan hadits lemah berdasarkan kesepakatan para pakar hadits.” (Lihat Nashburroyah, 1/195 dan Talkhis Habir, 1/183)

Hukum Membaca Al-Quran Saat Haid: Sebagian ulama berpendapat bolehnya membaca Al-Quran bagi wanita haid.

Ini merupakan mazhab Maliki, juga menjadi salah satu pendapat Ahmad, sertai pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Asy-Syaukani menguatkannya. Mereke berdalil dengan pendapat tersebut dengan dalil-dalil berikut ini;

1- Asal dalam sebuah perkara adalah dibolehkan dan halal hingga ada dalil yang melarangnya. Sedangkan dalam masalah ini tidak ada dalil yang melarang wanita haid untuk membaca Al-Quran. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Dalam masalah pelarangan wanita haid untuk membaca Al-Quran, tidak terdapat nash yang jelas dan sah. Padahal telah diketahui bahwa kaum wanita mengalami haid pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam, akan tetapi beliau tidak mealrang mereka untuk membaca Al-Quran, sebagaimana beliau tidak melarang mereka untuk berzikir dan berdoa.

2- Sesungguhnya Allah Ta’al telah memerintahkan untuk membaca Al-Quran dan memuji orang yang membacanya serta menjanjikannya dengan pahala yang banyak dan besar. Maka semestinya hal tersebut tidak terhalang kecuali dengan dalil yang telah jelas. Sementara tidak ada dalil yang mencegah wanita haid untuk membaca Al-Quran sebagaimana telah dijelaskan.

3- Mengqiyaskan wanita haid dengan orang yang sedang junub dalam hal larangan membaca Al-Quran adalah qiyas untuk sesuatu yang berbeda, karena orang yang junub dapat memilih untuk menghilangkan pencegah tersebut dengan mandi, berbeda dengan wanita haid. Demikian pula masa haid itu lama biasanya. Berbeda dengan orang yang junub, dia tetap diperintahkan untuk shalat jika telah masuk waktunya.

4- Dengan melarang wanita haid untuk membaca Al-Quran dapat menyebabkannya kehilangan kesempatan pahala, juga dapat membuatnya melupakan hafalan Al-Quran, atau dia sendiri butuh untuk membacanya untuk belajar dan mengajar.

Hukum Membaca Al-Quran Saat Haid: Sikap yang Lebih Hati-hati

Dengan uraian di atas, jelaslah kekuatan dalil pihak yang membolehkan membaca Al-Quran bagi wanita haid. Namun jika wanita tersebut membatasi dirinya dengan membacanya apabila takut lupat hafalan yang dimilikinya, maka dia mengambil sikap yang lebih hati-hati.

Yang layak diperingatkan dalam masalah ini adalah bahwa perkara ini apabila wanita tersebut membacanya dengan cara menghafal, adapun membaca lewat mushaf, maka ada hukum lain. Karena pendapat yang kuat dari beberapa pendapat ulama adalah diharamkan menyentuh mushaf bagi yang berhadats. Berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

لا يمسه إلا المطهرون

“Tidak boleh menyentuhnya kecuali orang yang suci.”

Begitupula berdasarkan riwayat tentang surat untuk Amr bin Hazm yang ditulis oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk penduduk Yaman, di dalamnya terdapat ungkapan,

ألا يمس القرآن إلا طاهر (رواه مالك 1/199 والنسائي 8/57 وابن حبان 793 والبيهقي 1/87)

“Tidak boleh menyentuhnya kecuali orang yang suci.” (HR. Malik, 1/199, Nasai, 8/57, Ibnu Hibban, no. 793 dan Baihaqi, 1/87)

Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini dishahihkan oleh sejumlah tokoh ulama dari sisi keterkenalannya. Asy-Syafii berkata, “Terdapat riwayat yang kuat itu merupakan surat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” Ibnu Abdul Bar berkata, “Ini surat yang terkenal di kalangan ahli sejarah dan sangat dikenal di kalangan para ulama sehingga tidak membutuhkan sanad, karena lebih mirip sebagai riwayat mutawatir yang diterima manusia dengan baik dan telah dikenal.”

Syaikh Al-Albany berkata tentang riwayat ini, “Shahih.” (Talkhisul Habir, 4/17. Lihat Nashbur-Rayah, 1/196 dan Irwa’ul Ghalil, 1/158)

Lihat: Hasyiah Ibnu Abidin, 1/159, Al-Majmu, 1/356, Kasyaful Qana, 1/147, Al-Mughni, 3/461, Nailul Authar, 1/226, Majmu Fatawa, 21/460, Asy-Syarhul Mumti, Ibnu Utsaimin, 1/291.

Hukum Membaca Al-Quran Saat Haid: Kesimpulan

Karena itu, jika seorang wanita haid hendak membaca melalui mushaf, hendaknya dia memegangnya melalui sesuatu yang memisahkannya dari mushaf, seperti dengan menggunakan kain yang suci atau menggunakan sarung tangan atau membalik halaman dengan gagang, pulpen atau semacamnya. Kulit mushaf yang dijahit atau menempel, hukumnya sama dengan mushaf dalam hal menyentuhnya.

Wallahua’lam. []

SUMBER: ISLAMQA

Denda Usai Pasutri Berhubungan Intim Saat Haid

Ulama fikih sepakat berhubungan suami istri saat haid merupakan dosa besar.

Haid menjadi fitrah bagi setiap perempuan. Untuk Muslimah, haid adalah siklus bulanan yang memberikan bermacam konsekuensi. Salah satunya ialah perihal berjimak atau berhubungan intim bagi mereka yang sudah memiliki suami. Keharamannya sudah dituliskan dalam Alquran.

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS al-Baqarah: 222).

Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.

QS AL-BAQARAH: 222

Pengisi kolom di Rumah Fiqih Indonesia, Ustazah Aini Aryani, menjelaskan, ulama fikih sepakat bahwa berhubungan suami istri saat haid merupakan dosa besar. Ulama dari kalangan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa sepasang suami istri yang melakukannya dikenai denda masing-masing satu dinar jika hubungan itu dilakukan pada masa awal haid atau seperlima dinar jika dilakukan pada pertengahan-akhir haid.

Pendapat di atas didukung oleh ulama dari mazhab Hanafi. Tetapi, mazhab Hanafi berpendapat bahwa denda tersebut hanya diwajibkan atas suami dan tidak kepada istri karena larangan itu ditujukan kepada suami.

Pendapat-pendapat di atas berdasarkan pada hadis berikut, “Seorang laki-laki menjimak istrinya yang sedang haid, apabila itu dilakukan saat darah haid istrinya berwarna merah maka dikenai denda satu dinar, sedangkan jika dilakukan saat darahnya sudah berwarna kekuningan, dendanya seperlima dinar.” (HR Tirmidzi).

Sedangkan, ulama dari mazhab Hambali mengatakan bahwa keduanya (suami-istri) dikenai denda masing-masing setengah dinar tanpa membedakan apakah itu dilakukan di awal, pertengahan, atau akhir masa haid. Mazhab Maliki berpendapat, tidak ada denda apa pun dalam perbuatan itu, baik atas si suami atau si istri.

Namun, pembayaran denda tersebut belum tentu menghapus dosa. Menurut Ustazah Aini, berhubungan suami istri saat istri sedang haid adalah perbuatan dosa besar. Selama keduanya tidak bertobat kepada Allah, dosa tersebut akan tetap melekat pada diri mereka.

Karena itu, pasangan suami istri tidak cukup hanya membayar denda sebagaimana tertulis di atas. Namun, juga harus disertai tobat dengan meminta ampun kepada Allah, menyesali perbuatan dengan sebenar-benarnya, dan tidak akan mengulangi kesalahan tersebut.

REPUBLIKA

Hukum Berhubungan Seks Sebelum Bersuci dari Haid

Salah satu hal yang diharamkan ketika haid adalah bersetubuh. Lalu, bagaimana hukum berhubungan seks sebelum bersuci dari haid? Padahal sudah tidak keluar darahnya?

Syekh Muhammad Asy-Syirbini Al-Khathib dalam kitab Al-Iqna’ fi Hilli Al-Fadz Ibn Syuja’ menjelaskan sebagaimana berikut.

(و) السابع ( الوطء ) ولو بعد انقطاعه وقبل الغسل لقوله تعالى { ولا تقربوهن حتى يطهرن }

Bagian ketujuh (dari hal yang diharamkan saat haid) adalah bersetubuh. Meskipun darah sudah terhenti dan belum mandi suci karena firman Allah swt. “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci (Q.S. Al-Baqarah: 222).

Imam Al-Mawardi di dalam kitab Al-Hawi fi Fiqh As-Syafii menjelaskan bahwa keharaman bersetubuh berlaku sampai telah bersuci dari haid adalah pendapat imam As-Syafii, imam Malik, dan mayoritas ulama fiqh.

Sementara itu, menurut imam Abu Hanifah boleh bersetubuh sebelum bersuci dari haid jika haidnya sudah mencapai batas maksimal haid. Namun, jika belum pada batas maksimal haid dan sudah bersih darahnya, maka ia harus tetap mandi bersuci dahulu sebelum bersetubuh.

Bersetubuh saat istri haid meskipun darah sudah terhenti namun belum bersuci tersebut diharamkan jika memang disengaja dan tahu bahwa itu haram. Jika suami/istri itu tidak mengetahui bahwa hal itu diharamkan, lupa, atau dipaksa, maka hal itu tidak dihukumi haram.

Kasus tersebut sesuai dengan hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah dan imam Al-Baihaqi dari sahabat Ibnu Abbas r.a. sebagaimana berikut.

إن الله تجاوز عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya Allah mengampuni perbuatan umatku disebabkan ketidaksengajaan, lupa, atau dipaksa.”

Adapun bagi orang yang terlanjur bersetubuh dengan istrinya yang belum bersuci dari haid meskipun darah telah terhenti, ulama Syafiiyah menyunnahkan untuk shadaqah setengah dinar.

Sementara jika ia terlajur bersetubuh dengan istrinya saat darah haid masih keluar deras, maka ia disunahkan untuk shadaqah satu dinar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw. riwayat imam At-Tirmidzi dari sahabat Ibnu Abbas r.a.

إِذَا كَانَ دَمًا أَحْمَرَ فَدِينَارٌوَإِذَا كَانَ دَمًا أَصْفَرَ فَنِصْفُ دِينَارٍ

“Jika darah itu merah, maka (shadaqah) satu dinar, dan jika darah itu kuning maka setengah dinar.”

Keterangan tersebut merupakan penjelasan dari Syekh Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. Beliau juga menjelaskan bahwa satu dinar adalah setara dengan 4.25 gram emas.

Demikianlah penjelasan hukum berhubungan badan sebelum bersuci dari haid. Menurut jumhur ulama fiqh meskipun darah telah terhenti, maka tetap diharamkan bersetubuh/berhubungan badan sebelum bersuci/mandi besar.

Jika sudah terlanjur bersetubuh sebelum bersuci, maka ulama menyunnahkan untuk shadaqah setengah dinar. Tentunya juga dengan meminta ampunan kepada Allah swt. karena telah melanggar aturan yang ada.

Demikian hukum berhubungan seks sebelum bersuci dari haid. Semoga bermanfaat. Wa Allahu a’lam bis shawab.

BINCANG SYARIAH

Hikmah Larangan Shalat bagi Wanita Haid

Perlu kita ingat kembali bahwa perempuan memiliki keistimewaan yang tak dimiliki oleh laki-laki, yakni perempuan memiliki kebiasaan haid. Dalam bahasa medis, haid disebut menstruasi. Haid merupakan salah satu tanda baligh seorang perempuan. Dan perlu disadari, bahwa menurut medis terdapat banyak manfaat di dalam haid. Apa hikmah larangan shalat bagi wanita haid?

Pada masa-masa haid kaum perempuan diberi perlakuan khusus dalam menjalankan syariat. Sebab, haid merupakan salah satu kodrat seorang perempuan yang telah ditrntukan oleh allah swt. satu di antara perlakuan khusus yang diberikan oleh syariat adalah gugurnya kewajiban shalat bagi perempuan yang sedang haid.

Di dalam kajian ilmu fikih klasik maupun kontemporer disebutkan bahwa haid secara bahasa adalah mengalir. Sedangkan secara istilah haid adalah darah yang keluar dari pangkal rahim perempuan ketika berumur (minimal) Sembilan tahun. Paling sedikitnya haid adalah satu hari satu malam dan paling banyaknya haid adalah lima belas hari. Sementara, pada umumnya seorang perempuan haid selama 6 sampai 7 hari.

Menurut pakar ilmu kesehatan, menstruasi adalah pendarahan uterus secara periodik dan siklus yang normal terjadi pada wanita yang puber dan disertai dengan pelepasan dinding rahim (endometrium) yang berisi pembuluh darah. Siklus ini merupakan proses organ reproduksi perempuan ketika tidak mengalami masa kehamilan. Menurut bidang kesehatan, siklus menstruasi pada umumnya adalah 28 hari, dengan lama menstruasi sekitar 4 sampai 6 hari. Disebutkan juga bahwa jumlah darah yang keluar ketika haid rata-rata sebanyak 20-60 mililiter.

Allah Ta’ala telah menyinggung perempuan haid di dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah, “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhi diri dari wanita pada waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah: 222)

Ayat di atas memberikan isyarat bahwa ketika masa haid seorang suami tidak boleh berhubungan badan (bersenang-senang) dengan istrinya di tempat keluarnya darah, karena darah dan tempat keluarnya darah merupakan hal yang kotor. Berhubungan badan diperbolehkan kembali ketika istri telah selesai dari masa haid.

Larangan Bagi Perempuan Haid Menurut Ilmu Kesehatan

Berikut merupakan beberapa larangan bagi wanita yang sedang menstruasi berdasarkan ilmu kesehatan:

Pertama, menurut dokter Jaime Melissa Knopman, MD. Menurutnya, pada masa menstruasi wanita dilarang melakukan waxingWaxing ialah usaha wanita agar tubuh terlihat mulus dan bersih. Hal ini dikarenakan ketika menstruasi, reseptor rasa sakit lebih tinggi dan kulit lebih sensitif.

Kedua, wanita menstruasi dilarang melakukan hubungan seksual tanpa ada pengaman. Hal ini dikarenakan darah menstruasi merupakan media yang mudah untuk membuat virus dan bakteri masuk kedalam tubuh. Oleh karenanya, penularan penyakit HIV berpotensi lebih tinggi selama periode menstruasi.

Ketiga, tidur terlalu malam. Tidur yang cukup bagi perempuan yang haid itu penting. Ketika tidur terlalu malam, akan meningkatkan hormon stres kortisol (hormon yang dihasilkan ketika seseorang merasakan stres) sehingga menyebabkan hormon di dalam tubuh menjadi tidak seimbang. Hal ini akan berakibat buruk bagi orang yang sedang menstruasi, seperti darah yang keluar tidak lancar.

Hikmah Larangan Shalat bagi Wanita Haid

Dalam pandangan fikih, terdapat beberapa hal yang dilarang bagi wanita yang sedang haid, yakni larangan melakukan shalat, puasa, I’tikaf, menyentuh mushaf dan berhubungan badan. Dari beberapa larangan syariat terhadap wanita yang sedang haid tersebut, penulis akan menitik fokuskan pembahasan pada larangan melakukan shalat bagi wanita yang sedang haid. Ada rahasia apakah di balik larangan shalat bagi wanita haid, padahal shalat merupakan ritual ibadah yang harus dilakukan oleh ummat Islam setiap harinya? Berikut penjelasannya.

Wanita haid dilarang melakukan shalat, karena shalat yang mereka lakukan tidak akan sah. Hal ini dikarenakan mereka tidak memenuhi satu syarat yang harus dipenuhi dalam shalat, yaitu bersihnya anggota badan dari najis dan kotoran. Sebagaimana pada ayat yang telah disebutkan di atas, bahwa darah haid dan tempat keluarnya darah merupakan kotoran yang tidak bisa dibawa kedalam shalat. Tidak hanya itu, bagi wanita haid juga tidak diperintahkan untuk mengganti shalat yang tertinggal.

Syaikh Ali bin Ahmad Al-Jurjawi dalam kitabnya Hikmah At-Tasyri’ Wa Falsafatuhu menyebutkan bahwa terdapat tiga hikmah di balik gugurnya kewajiban shalat bagi perempuan yang sedang menstruasi/haid, sebagaimana berikut:

Pertama, sulitnya melakukan bersesuci ketika haid, karena darah haid keluar terus menerus dan tidak diketahui kapan berhentinya. Oleh karena itu, shalat tidak diwajibkan karena akan mempersulit perempuan yang haid untuk membersihkan darah dan tempat keluarnya secara terus menerus.

Kedua, adanya kasih sayang dari syariat kepada perempuan yang sedang haid. Hal ini bisa kita lihat dari aturan tidak adanya kewajiban untuk melakukan qadha’ atas shalat yang ia tinggalkan ketika haid. Sebab, jika ia harus melakukan qadha’ atas setiap shalat yang ia tinggalkan ketika ia haid, maka tentu waktunya akan banyak dihabiskan untuk melakukan qadha’ shalat, sementara di sisi lain banyak kemaslahatan yang mestinya ia lakukan.

Berbeda halnya dengan puasa, seorang perempuan yang haid tetap diperintahkan untuk melakukan qadha’ atas setiap puasa yang ia tinggalkan. Hal ini dikarenakan kewajiban puasa hanya dilakukan selama satu tahun sekali. Oleh karena itu, perempuan yang haid tetap harus mengganti puasa yang ditinggalkannya, karena mudah dan tidak akan menghabiskan banyak waktu.

Ketiga, perempuan haid dianjurkan untuk bersedekah ketika masa haid. Hal ini dalam rangka untuk menutupi ibadah yang mereka tinggalkan ketika haid.

Hikmah di atas menunjukkan bahwa betapa besarnya perhatian agama terhadap kesulitan yang dirasakan oleh kaum perempuan ketika haid. Oleh karena itu, agama memberikan rukhsah (dispensasi) bagi mereka kaum perempuan agar mereka tidak merasa kesulitan dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. dalam Al-Qur’an Allah berfirman,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ

Dan Ia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj: 78)

Walhasil, dapat disimpulkan bahwa agama Islam selalu mempunyai jalan keluar agar ummatnya tidak merasa kesulitan. Jika perkara yang dilakukan oleh ummat terlalu luas, maka Islam memberikan peluang untuk mempersempit. Sedangkan, jika perkara yang dilakukan itu terlalu sempit, maka Islam memberikan hak kepada ummatnya untuk memperluas. Hal ini bertujuan agar tidak menjadi beban yang berat bagi mereka dan memudahkan ummat Islam dalam menjalankan perintah dan larangan dari allah dan Rasulnya. Wallahua’lam.

BINCANG SYARIAH

Jika Suci dari Haid di Waktu Ashar, Apakah juga Harus Shalat Dzuhur?

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan: 

Jika seorang wanita suci dari haidh atau nifas pada waktu ashar, apakah dia wajib shalat dzuhur dan shalat ashar; atau apakah tidak wajib shalat kecuali shalat ashar saja?

Jawaban:

Pendapat yang terkuat dalam masalah ini bahwa wanita tersebut tidak memiliki kewajiban shalat, kecuali shalat ashar saja. Hal ini karena tidak ada dalil wajibnya shalat dzuhur (bagi wanita tersebut). (Juga karena) hukum asalnya adalah seseorang itu terbebas dari kewajiban (baraa’atu adz-dzimmah) (sampai ada dalil yang mewajibkan perkara tersebut, pen.). 

Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ العَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَقَدْ أَدْرَكَ العَصْرَ

“Siapa saja yang mendapati satu raka’at dari shalat ashar sebelum matahari tenggelam, dia telah mendapatkan shalat ashar.” (HR. Bukhari no. 579 dan Muslim no. 163)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan bahwa dia mendapati shalat dzuhur. Seandainya shalat dzuhur juga diwajibkan dalam kondisi ini, tentu akan dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Selain itu, jika seorang wanita datang haidh setelah masuk waktu shalat dzuhur (dan dia belum shalat dzuhur, pen.), maka tidak ada kewajiban qadha’ untuknya (setelah suci dari haidh, pen.), kecuali qadha’ shalat dzuhur saja, tanpa qadha’ shalat ashar. Padahal, shalat dzuhur itu dikumpulkan (dijama’) dengan shalat ashar. Sehingga tidak ada perbedaan antara kondisi tersebut dengan kondisi yang ditanyakan di sini.

Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah tidak ada kewajiban atas wanita tersebut kecuali shalat ashar saja, karena inilah yang ditunjukkan oleh dalil nash (hadits) dan juga oleh dalil qiyas. Sehingga demikian pula kondisinya ketika seorang wanita suci dari haidh sebelum habisnya waktu shalat isya’. Maka tidak ada kewajiban bagi wanita tersebut, kecuali shalat isya’ saja. Tidak ada kewajiban shalat maghrib baginya.

[Selesai]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53382-jika-suci-dari-haid-di-waktu-ashar-apakah-juga-harus-shalat-dzuhur.html

Tak Semua Ibadah Dilarang saat Haid

TIDAK semua ibadah dilarang ketika haid. Wanita haid hanya dilarang melakukan ibadah tertentu.

Dalam Fatwa Islam disebutkan beberapa daftar ibadah yang dilarang untuk dikerjakan ketika haid, “Wanita haid boleh melakukan semua bentuk ibadah, kecuali shalat, puasa, tawaf di kabah, dan itikaf di masjid.” (Fatwa Islam no. 26753)

Ibnul Mundzir mengatakan, “Kami mendapatkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa beliau membaca wiridnya ketika junub. Ikrimah dan Ibnul Musayib memberi keringanan untuk membaca wirid ketika junub.” (HR. Ibnul Mundzir dalam al-Ausath, 2/98).

Berdoa termasuk dzikir. Sebagaimana layaknya orang junub boleh berdzikir, maka wanita haid lebih ringan kondisinya. Mereka boleh berdzikir. Karena itu, wanita haid boleh berdzikir.

Imam Ibnu Baz pernah ditanya tentang hukum membaca doa ketika haji bagi wanita haid. Jawaban beliau, “Tidak masalah, wanita haid atau nifas untuk membaca doa-doa dalam buku ketika manasik haji.” (Fatawa Islamiyah, 1/239)

Mengenai tata caranya, sama persis seperti cara berdoa pada umumnya. Memperhatikan adab-adab yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, agar doanya lebih mustajab. Misalnya dengan diawali dengan memuji Allah, kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK

Mencegah Haid Agar Bisa Berpuasa

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa pendapat Anda tentang wanita yang mengkonsumsi pil pencegah haidh hanya untuk bisa berpuasa bersama orang-orang lainnya di bulan Ramadhan?

Jawaban
Saya peringatkan untuk tidak melakukan hal-hal semacam ini, karena pil-pil pencegah haid ini mengandung bahaya yang besar, ini saya ketahui dari para dokter yang ahli dalam bidang ini. Haidh adalah suatu ketetapan Allah yang diberikan kepada kaum wanita, maka hendaklah Anda puas dengan apa yang telah Allah tetapkan, dan berpuasalah Anda jika Anda tidak berhalangan. Jika Anda berhalangan untuk berpuasa maka janganlah berpuasa, hal itu sebagai ungkapan keridhaan pada apa yang telah Allah tetapkan.

(52 Su’alan an Ahkaiml haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 19)

SAYA PERNAH BERTANYA KEPADA SEORANG DOKTER, IA MENGATAKAN, BAHWA PIL PENCEGAH HAIDH ITU TIDAK BERBAHAYA

Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Saya seorang wanita yang mendapatkan haidh di bulan yang mulia ini, tepatnya sejak tanggal dua lima Ramadhan hingga akhir bulan Ramadhan, jika saya mendapatkan haidh maka saya akan kehilangan pahala yang amat besar, apakah saya harus menelan pil pencegah haidh karena saya telah bertanya kepada dokter lalu ia menyatakan bahwa pil pencegah haidh itu tidak membahayakan diri saya ..?

Jawaban
Saya katakan kepada wanita-wanita ini dan wanita-wanita lainnya yang mendapatkan haidh di bulan Ramadhan, bahwa haidh yang mereka alami itu, walaupun pengaruh dari haidh itu mengharuskannya meninggalkan shalat, membaca Al-Qur’an dan ibadah-ibadah lainnya, adalah merupakan ketetapan Allah, maka hendaknya kaum wanita bersabar dalam menerima hal itu semua, maka dari itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang kala itu sedang haidh :

إن هذا أمر كتبه الله على بنات آدم

Sesungguhnya haidh itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan kepada kaum wanita”.

Maka kepada wanita ini kami katakan, bahwa haidh yang dialami oleh dirinya adalah suatu yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita, maka hendaklah wanita itu bersabar dan janganlah menjerumuskan dirinya ke dalan bahaya, sebab kami telah mendapat keterangan dari beberapa orang dokter yang menyatakan bahwa pil-pil pencegah kehamilan berpengaruh buruk pada kesehatan dan rahim penggunanya, bahkan kemungkinan pil-pil tersebut akan memperburuk kondisi janin wanita hamil.

(Durus wa Fatawa Al-Harram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/273-274)

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin. Penerbit Darul Haq Jakarta]

Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/11571-mencegah-haid-agar-bisa-berpuasa.html

Hukum Menunda Mandi Haid Karena Sibuk

Pertanyaan:
Bismillah
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

Izin bertanya ustadz,
Bagaimana jika seorang wanita yang haid berhenti pada waktu dhuhur tapi belum sempat mandi karna sibuk sampai magrib sehingga melewatkan sholat ashar. Ketika maghrib, apakah sholat ashar itu diqodho atau tidak? Mohon jawaban ustadz.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,

Wajib bagi wanita tersebut shalat dhuhur dan ashar pada waktunya. Tidak boleh menunda shalat karena sibuk kerja. Ini merupakan dosa besar. Allah berfirman:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ
الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Celaka orang yang shalat, yaitu yang lalai dalam shalatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5).

Yaitu orang yang menunda shalat hingga berakhir waktunya.

Masalah mandi haid, itu perkara yang mungkin dilakukan jika ada usaha keras dan kesungguhan demi menjalankan kewajiban agama.

Jika lemah iman dan lemah kesungguhan untuk menjalankan kewajiban agama, maka apapun akan terasa sulit. Lebih lagi jika menjalankan agama terkalahkan oleh kesibukan dunia. Allahul musta’an.

Adapun shalat yang sudah terlanjur terlewat, tetap wajib di-qadha segera walaupun sudah keluar waktunya.

Wallahu a’lam.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama hafidzahullaah di grup telegram Tanya Jawab Muslimah.or.id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11114-hukum-menunda-mandi-haid-karena-sibuk.html

Sudah Bersuci, Keluar Darah Haid Lagi

PERMASALAHAN ini memang sering kali terjadi pada diri wanita yang mengalami haidh. Kadang seorang wanita sudah yakin bahwa dirinya telah suci dari haidh, karena darah sudah berhenti keluar. Lalu dia bersuci dan mandi janabah. Namun tidak lama kemudian, ternyata darah masih keluar.

Maka dalam hal ini perlu dipastikan terlebih dahulu, apakah dia masih dalam batas waktu yang memungkinkan untuk mendapat haidh, ataukah sudah kelewat waktunya. Sebab dalam hukum haidh, para ulama telah menetapkan batas waktu maksimal di mana seorang wanita masih memungkinkan mendapat haidh. Misalnya mazhab As-Syafi’i, mereka menetapkan bahwa batas maksimalnya adalah 15 terhitung sejak pertama kali mendapat haidh di bulan itu. Lihat kitab Kifayatul Akhyar halaman 116 kitabut-thaharah.

Tetapi bila batas 15 hari itu sudah terlewat, maka wanita itu dipastikan tidak mendapat haidh, meski darah masih mengalir keluar. Dengan menggunakan batas waktu maksimal ini, para wanita bisa dimudahkan. Pokoknya, bila ada darah sebelum selesai 15 hari masa haidh, berarti itu adalah darah haidh. Sebaliknya, bila telah lewat masa 15 hari, dianggap bukan haidh.

Adapaun apakah shalat dan puasa yang terlanjur dilakukan akan mendapat pahala atau tidak, kembali kepada niatnya. Kalau seorang wanita sudah tahu bahwa dirinya masih haidh, lalu nekat mau tetap shalat dan puasa, tentu bukan pahala yang didapat melainkan dosa. Karena dia telah mengerjakan perbuatan yang terlarang. Namun bila dia sama sekali tidak mengetahui bahwa dirinya masih mendapat haidh, atau yakin sekali dirina sudah suci dari haidh, lalu melakukan shalat dan puasa yang ternyata masih dalam keadaan haidh, tentu Allah Ta’ala lebih tahu dengan urusan hamba-Nya.

Kita bisa membaca salah satu firman Allah Ta’ala: “Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 171). Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc]

 

INILAH MOZAIK

Dosakah Membuang Pembalut yang Penuh Darah?

PADA dasarnya tidak ada ketentuan bagi wanita yang haidh untuk membersihkan pembalut yang digunakan sebelum membuangnya. Sebab fungsi pembalut itu bukan semata-mata sekedar menampung keluarnya darah, tetapi juga untuk menjaga kebersihan seorang wanita.

Jadi kalau kemudian pembalut itu menjadi kotor dengan darah, tentu tidak perlu lagi dibersihkan. Pembalut itu bisa langsung dibuang, karena memang dibuat dan dirancang untuk sekali pemakaian. Kira-kira fungsinya seperti kertas tissue yang hanya sekali pakai. Apa pernah ada orang menggunakan kertas tissue berkali-kali, dipakai lalu dibersihkan lagi, lalu dipakai lagi? Tentu tidak pernah, bukan?

Sebab kertas tissue itu memang dirancang oleh penemunya untuk pemakaian sekali saja lalu dibuang. Kalau masih penasaran, kita bisa ambil perbandingan dengan prilaku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat berisitinja’ dengan batu. Di dalam ilmu fiqih, istilah yang lazim digunakan adalah istijmar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memerintahkan umatnya untuk membersihkan batu-batu yang telah digunakan untuk beristinja’, bukan? Perintahnya hanya sekedar menggunakan batu saja, tapi tidak diikuti dengan perintah untuk membersihkan batu itu setelah dipakai.

Dan logikanya bisa kita pakai dalam kasus pembalut wanita itu. Di mana salah satu fungsinya adalah untuk membersihkan kotoran atau darah wanita. Sekali pakai dan silahkan dibuang. [baca lanjutan: Sudah Bersuci, Keluar Darah Haid Lagi]

 

INILAH MOZAIK