Kisah Inspiratif Kesabaran Suami Terhadap Isterinya

DITANYAKAN kepada Abu Utsman An-Naisaburi rahimahullah: “Apa amalan terbaik (yang pernah Anda lakukan) yang sangat Anda harapkan (pahalanya)?”

قيل لأبي عثمان النيسابوري رحمه الله: ما أرجى عملك عندك؟
قال: كنت في صبوتي يجتهد أهلي أن أتزوج فآبي

Beliau menjawab : “Pada masa mudaku, keluargaku berupaya keras agar aku menikah, tapi aku enggan.

فجاءتني امرأة، فقالت: يا أبا عثمان، إني قد هويتك، وأنا أسألك بالله أن تتزوجني!

Lalu datang kepadaku seorang perempuan seraya berkata : ‘Wahai Abu Utsman, aku sungguh menginginkan dirimu. Demi Allah, aku memintamu agar bersedia menikah denganku!’.

فأحضرت أباها – وكان فقيراً – فزوّجني منها وفرح بذلك.

Perempuan itupun mendatangkan ayahnya, seorang laki-laki fakir, lalu ayahnya menikahkan aku dengan anak gadisnya dan ia-pun sangat bergembira karenanya.

فلما دخلت إليّ رأيتها عوراء عرجاء مشوهة!!

Ketika ia masuk menemuiku, aku melihatnya, ternyata ia seorang perempuan juling, pincang dan buruk rupa!

وكانت لمحبّتها لي تمنعني من الخروج، فأقعد حِفظاً لقلبها، ولا أظهر لها من البغض شيئاً وكأنّي على جمر الغضا من بغضها.

Karena begitu cintanya kepadaku, ia melarangku untuk keluar rumah, maka aku-pun tetap tinggal di rumah demi untuk menjaga hatinya. Aku tidak menampakkan sedikitpun kebencian kepadanya, padahal seakan-akan aku berada diatas bara dari kebencian kepadanya.

فبقيت هكذا خمس عشرة سنة حتى ماتت، فما من عملي شيء هو أرجى عندي من حفظي قلبها.
[من كتاب صيد الخاطر لابن الجوزي رحمه الله]

Aku menjalani semua itu selama lima belas tahun, hingga akhirnya ia meninggal dunia. Tidak ada amalan yang lebih aku harapkan pahalanya selain perbuatanku untuk menjaga hatinya.”
[Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Kitab Shaidul Khathir]

***

Di antara sesuatu yang paling indah di dunia ini adalah ketika suami berdoa kebaikan untuk isterinya dengan menyebut namanya dalam doa. Juga ketika isteri berdoa kebaikan untuk suaminya dengan menyebut namanya dalam doa.

“Ya Allah ampuni dan sayangi isteri hamba …….”

oleh: Abdullah Soleh Hadrami

Akhukum Fillah
@AbdullahHadrami

HIDAYATULLAH

Pentingnya Sabar

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Ta’ala, yang senantiasa mencurahkan kepada kita nikmat dan bimbingan-Nya. Selawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia; amma ba’du.

Menjadi seorang muslim merupakan sebuah kebahagiaan yang sangat agung. Sebab dengan keislaman yang ada pada dirinya itulah Allah akan menerima amal dan ketaatannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَٰمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

“Barang siapa mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya dan kelak di akhirat dia pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi” (QS. Ali-Imran: 85).

Oleh sebab itu seorang muslim akan berusaha untuk menjaga agama dan akidahnya agar tidak rusak dan hanyut dalam gelombang kekafiran dan kemunafikan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bersegeralah kalian menggapai amal-amal sebelum datangnya berbagai fitnah laksana potongan malam yang gelap gulita; pada pagi hari seorang masih beriman namun sore harinya berubah menjadi kafir, atau sore hari beriman namun keesokan harinya berubah menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim).

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah. Fitnah di dalam hidup ini beragam bentuknya. Hakikat fitnah itu adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk hamba-hamba-Nya; dalam rangka membuktikan kebenaran iman dan ketulusan penghambaan mereka kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ (٢) وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ‌ۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَـٰذِبِينَ (٣)

“Apakah manusia itu mengira dia ditinggalkan begitu saja mengatakan: Kami beriman, lalu mereka tidak diberikan ujian? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah akan mengetahui orang-orang yang jujur dengan orang-orang yang dusta” (QS. Al-Ankabut: 2-3).

Iman itu sendiri bisa mengalami penambahan dan pengurangan, peningkatan dan kemerosotan. Ia akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena perbuatan kemaksiatan. Diantara perkara yang bisa memperkuat dan mengokohkan kembali iman adalah dengan merenungkan ayat-ayat Allah dan mengamalkannya di dalam sudut-sudut kehidupan kita. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُہُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡہِمۡ ءَايَـٰتُهُ ۥ زَادَتۡہُمۡ إِيمَـٰنً۬ا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ

“Hanyalah orang-orang beriman itu adalah jika disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah imannya, dan mereka bertawakal hanya kepada Rabb mereka” (QS. Al-Anfal: 2).

Para ulama menjelaskan, bahwa iman itu terdiri dari dua bagian. Sebagian berupa sabar, dan sebagian lagi berupa syukur. Sabar adalah menerima musibah yang menimpa dengan lapang dada, walaupun memang ia terasa pahit dan menyakitkan. Akan tetapi ingatlah bahwa musibah itu datang dari sisi Allah Dzat Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Allah Ta’ala berfirman,

 وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَہۡدِ قَلۡبَهُ 

“Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya” (QS. At-Taghabun: 11).

Alqomah -seorang tabi’in– menafsirkan ayat ini, bahwa orang yang dimaksud adalah seorang yang tertimpa musibah lalu dia menyadari bahwasanya musibah itu datang dari sisi Allah, sehingga dia pun merasa rida dan pasrah kepada kehendak Allah. Sehingga, dengan bersabar akan diperoleh pahala berlipat ganda. Allah Ta’ala berfirman,

 إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّـٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang sabar itu akan disempurnakan balasan pahala mereka tanpa ada perhitungan” (QS. Az-Zumar: 10)

Sabar memang terasa pahit akan tetapi buahnya jauh lebih manis daripada madu; sebagaimana diungkapkan oleh sebagian ulama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya balasan yang besar bersama dengan cobaan yang besar pula. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan timpakan cobaan (musibah) kepada mereka” (HR. Tirmidzi, dan beliau menghasankannya).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang menempa diri untuk sabar maka Allah akan jadikan dia penyabar. Dan tidaklah seorang diberikan suatu karunia yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Namun, sebenarnya sabar tidak hanya meliputi sabar ketika tertimpa musibah. Terdapat bentuk kesabaran yang lain, yaitu sabar di atas ketaatan dan sabar dalam menjauhkan diri dari berbagai bentuk kemaksiatan.

Ketika seorang hamba berusaha menuntut ilmu maka dia harus bersabar dalam menjalaninya. Demikian pula ketika dia berusaha mengamalkan ilmu yang telah dia dapatkan, pun dibutuhkan kesabaran. Tidak berhenti di situ, tatkala dia mendakwahkan ilmu dan kebenaran itu kepada orang lain pun dibutuhkan kesabaran. Sehingga sabar akan senantiasa mewarnai gerak langkah dan aktivitas ketaatannya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ جَـٰهَدُواْ فِينَا لَنَہۡدِيَنَّہُمۡ سُبُلَنَا‌ۚ

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di atas jalan Kami maka Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju keridaan Kami” (QS. al-‘Ankabut: 69).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Seorang mujahid adalah orang yang berjuang mengendalikan nafsunya di atas ketaatan kepada Allah. Dan seorang muhajir/yang berhijrah adalah yang meninggalkan segala yang dilarang Allah” (HR. Ahmad, disahihkan al-Albani).

Hal terpenting dalam melaksanakan ketaatan dan tidak boleh kita lupakan adalah hendaknya kita selalu membersihkan dan memurnikan niat kita untuk mencari wajah Allah saja, bukan untuk selain-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu diukur dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin dia dapatkan atau wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya hanya akan mendapatkan balasan seperti apa yang dia niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sehingga seorang harus berjuang untuk menggapai keikhlasan dalam segala amal ibadahnya, ketika mengerjakan salat, ketika berpuasa, ketika bersedekah, ketika berdakwah, ketika meninggalkan maksiat, dan lain sebagainya. Semuanya membutuhkan kesabaran dan keikhlasan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sabar itu cahaya yang panas” (HR. Muslim). Sabar akan menerangi kehidupan kita, namun untuk mencapainya kita harus berjuang dan melawan berbagai keinginan nafsu dan ambisi-ambisi dunia yang rendah dan hina; wallahul musta’aan.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Jenis sabar yang lain adalah sabar dalam menghindarkan diri dari maksiat. Sebagaimana kita ketahui bahwa hawa nafsu senantiasa mengajak kepada hal-hal yang buruk dan merusak kehidupan. Allah Ta’ala berfirman,

 إِنَّ ٱلنَّفۡسَ لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ‌ۚ

“Sesungguhnya nafsu itu senantiasa mengajak kepada keburukan, kecuali yang dirahmati Rabbku” (QS. Yusuf: 53).

Oleh sebab itu Allah Ta’ala menjanjikan kepada orang yang merasa takut kepada Allah dan menahan dirinya dari memperturutkan kemauan hawa nafsunya dengan balasan surga. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ (٤٠) فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِىَ ٱلۡمَأۡوَىٰ (٤١)

“Adapun barang siapa yang merasa takut kepada kedudukan Rabbnya serta menahan diri dari memperturutkan hawa nafsunya maka surgalah tempat tinggalnya” (QS. An-Naz’iat: 40-41).

Dari sini, kita menyadari bahwa sabar memiliki peranan yang sangat besar dalam menjaga keimanan seorang hamba. Baik sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam menjalankan ketaatan, maupun sabar dalam menjauhi maksiat. Karenanya Sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu berkata, “Sabar di dalam iman bagaikan kepala di dalam tubuh manusia.” Apabila kepala hilang maka hilang pula nyawa tubuh tersebut dan pada akhirnya tidak tersisa iman pada orang yang tidak memiliki kesabaran.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kepada kita kekuatan iman, sehingga kita bisa bersabar dalam menghadapi musibah, dalam menjalani ketaatan, dan menjauhi maksiat. Dan semoga Allah membantu kita untuk mewujudkan syukur kepada-Nya dengan hati, lisan, dan anggota badan kita. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَٮِٕن شَڪَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡ‌ۖ وَلَٮِٕن ڪَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

“Sungguh, jika kalian bersyukur pasti Aku tambahkan nikmat kepada kalian, akan tetapi jika kalian kufur maka sesungguhnya azab-Ku teramat pedih” (QS. Ibrahim: 7).

Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/66285-pentingnya-sabar.html

Sabar Menahan Gangguan Dari Orang Tua

Salah satu akhlak yang harus dimiliki oleh para anak adalah tahammul al adza minal walidain, yaitu bersabar menahan gangguan dari orang tua.

Andaikan orang tua memarahi anda, mengomeli anda, menghukum anda, mencaci maki anda, merendahkan anda, membanding-bandingkan anda dengan orang lain, melakukan kezaliman kepadamu, maka hendaknya diam, tahan dan bersabarlah. Jangan membantahnya, jangan mendebatnya, jangan membalasnya dengan keburukan, jangan membalasnya dengan kemarahan juga, jangan pergi berpaling. Tapi diam, tahan dan bersabarlah.
Allah ta’ala berfirman :

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Luqman: 15).

Perhatikan dalam ayat ini ketika orang tua mengajak berbuat syirik, Allah perintahkan untuk jangan taat kepada mereka dalam kesyirikan. Maka ketika itu biasanya orang tua akan marah bila tidak ditaati. Mungkin mereka akan memukul anda. Mungkin mereka akan mencaci maki, menganggap anda radikal, fanatik, sok suci, sok pintar dan lainnya.

Namun Allah tetap perintahkan untuk menghadapi orang tua dengan sikap yang baik. Diantaranya dengan tahammul al adza (menahan gangguannya dengan sabar).
Syaikh Musthafa al ‘Adawi hafizhahullah mengatakan:

فإذا نال من ولده أو ضربه أو سبه فليس من الأدب ولا من الخلق الحسن بحال من الأحوال أن يرد الابن على الأب بمثل الذي صنع, بل أن هذا يحرم في أكثر الأوقات والأحوال

“Jika orang tua memberikan gangguan pada anaknya, atau orang tua memukul anaknya, atau mencelanya, maka bukan termasuk adab dan akhlak yang baik, apapun keadaannya, jika sang anak membalas ayahnya dengan semisal yang dilakukan sang ayah. Bahkan ini hukumnya haram secara umum” (Fiqhu at Ta’amul ma’al Walidain, hal. 45).

Kemudian Syaikh Musthafa al ‘Adawi membawakan kisah keteladanan dari Abdurrahman bin Abi Bakar Ash Shiddiq, ketika ia dimarahi oleh Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu’anhuma, karena Abdurrahman dianggap kurang maksimal dalam memuliakan tamunya Abu Bakar. Maka Abu Bakar mengatakan kepada Abdurrahman:

يَا غُنْثَرُ فَجَدَّعَ وَسَبَّ وَقَالَ كُلُوا لَا هَنِيئًا فَقَالَ وَاللَّهِ لَا أَطْعَمُهُ أَبَدًا وَايْمُ اللَّهِ مَا كُنَّا نَأْخُذُ مِنْ لُقْمَةٍ إِلَّا رَبَا مِنْ أَسْفَلِهَا أَكْثَرُ مِنْهَا قَالَ يَعْنِي حَتَّى شَبِعُوا وَصَارَتْ أَكْثَرَ مِمَّا كَانَتْ قَبْلَ ذَلِكَ فَنَظَرَ إِلَيْهَا أَبُو بَكْرٍ فَإِذَا هِيَ كَمَا هِيَ أَوْ أَكْثَرُ مِنْهَا فَقَالَ لِامْرَأَتِهِ يَا أُخْتَ بَنِي فِرَاسٍ مَا هَذَا قَالَتْ لَا وَقُرَّةِ عَيْنِي لَهِيَ الْآنَ أَكْثَرُ مِنْهَا قَبْلَ ذَلِكَ بِثَلَاثِ مَرَّاتٍ فَأَكَلَ مِنْهَا أَبُو بَكْرٍ وَقَالَ إِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ مِنْ الشَّيْطَانِ يَعْنِي يَمِينَهُ

“Wahai Ghuntsar (kalimat celaan)!” Abu Bakar terus saja marah dan mencela Abdurrahman. Kemudian ia berkata (kepada tamu-tamunya), “Makanlah kalian semua.” Kemudian Abu Bakar mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan berikan ia (Abdurrahman) makanan”. Demi Allah, tidaklah kami ambil satu suap kecuali makanan tersebut justru bertambah semakin banyak dari yang semula.” ‘Abdurrahman berkata, “Mereka kenyang semua, dan makanan tersebut menjadi tiga kali lebih banyak dari yang semula. Abu Bakar memandangi makanan tersebut tetap utuh bahkan lebih banyak lagi. Kemudian ia berkata kepada istrinya, “Wahai saudara perempuan Bani Firas, bagaimana ini?” Istrinya menjawab, “Tak masalah, bahkan itu suatu kebahagiaan, ia bertambah tiga kali lipatnya.” Abu Bakar kemudian memakannya seraya berkata, “Itu pasti dari setan!” (yaitu sumpah serapah yang ia ucapkan kepada Abdurrahman)” (HR. Bukhari no. 602, 3581, Muslim no. 2057).

Dalam hadits ini, Abdurrahman dimarahi dan dicela oleh Abu Bakar Ash Shiddiq namun ia tidak membalas sedikitpun dan tidak mendebatnya. Ia tahan kemarahan dan cacian ayahnya dengan sabar. Dan justru hal itu berbuah keberkahan dari Allah dan penyesalan dari Abu Bakar.

Juga keteladanan yang ditunjukkan oleh Aisyah radhiallahu’anha. Sebagaimana diceritakan beliau:

خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في بعض أسفاره ، حتى إذا كنا بالبيداء أو ذات الجيش انقطع عقد لي ، فأقام رسول الله صلى الله عليه وسلم على التماسه ، وأقام الناس معه ، وليسوا على ماء ، وليس معهم ماء ، فأتى الناس أبا بكر رضي الله عنه ، فقالوا : ألا ترى ماصنعت عائشة ؟ ! أقامت برسول الله صلى الله عليه وسلم وبالناس ، وليسوا على ماء ، وليس معهم ماء ، فجاء أبو بكر رضي الله عنه ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم ، واضع رأسه على فخذي قد نام ، فقال حبست رسول الله صلى الله عليه وسلم والناس ، وليسوا على ماء ، وليس معهم ماء ؟ ! قالت عائشة : فعاتبني أبو بكر وقال : ما شاء الله أن يقول ، وجعل يطعن بيده في خاصرتي ، فما منعني من التحرك إلا مكان رسول الله صلى الله عليه وسلم على فخذي ! فنام رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى أصبح على غير ماء ، فأنزل الله عز وجل آية التيمم . فقال أسيد بن حضير : ما هي بأول بركتكم يا آل أبي بكر ! قالت : فبعثنا البعير الذي كنت عليه ، فوجدنا العقد تحته

“Kami keluar bersama Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam pada beberapa perjalanan beliau. Tatkala kami sampai di Al-Baidaa atau di daerah Dzatul Jaisy, kalungku terputus. Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam pun berhenti untuk mencari kalung tersebut. Orang-orang yang ikut bersama beliau pun ikut berhenti mencari kalung tersebut. Padahal mereka tatkala itu tidak dalam keadaan bersuci (dalam keadaan berwudu) dan tidak membawa air. Sehingga orang-orang pun berdatangan menemui Abu bakar Ash-Shiddiq dan berkata, ‘Tidakkah engkau lihat apa yang telah dilakukan oleh Aisyah? Ia membuat Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam dan orang-orang berhenti padahal mereka tidak dalam keadaan bersuci dan tidak membawa air. Maka Abu Bakar pun menemuiku, lalu ia mengatakan apa yang dikatakannya. Lalu ia memukul pinggangku dengan tangannya. Tidak ada yang mencegahku untuk menghindar kecuali karena Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam yang sedang tidur di atas pahaku. Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam terus tertidur hingga subuh dalam keadaan tidak bersuci. Lalu Allah menurunkan ayat tentang tayammum. Usaid bin Al-Hudhair mengatakan, “Ini bukanlah awal keberkahan kalian wahai keluarga Abu Bakar”. Lalu kami pun menyiapkan unta yang sedang aku tumpangi, ternyata kalung itu berada di bawahnya”. (HR. An Nasa-i no.309, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i).

Aisyah radhiallahu’anha dipukul oleh ayahnya (dengan pukulan yang tidak menyakitkan), namun ia tidak membalas, tidak membantah, dan tidak protes kepada ayahnya. Dan hal tersebut kembali berbuah keberkahan dan kebaikan.

Inilah salah satu akhlak mulia kepada orang tua, yaitu sabar menahan kemarahan dan gangguan dari orang tua.

Tentunya dengan catatan, selama gangguan dan kemarahan tersebut masih bisa ditahan dan tidak membahayakan diri. Jika gangguan tersebut bisa membahayakan diri maka tidak mengapa menghindar dan menyelamatkan diri. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, Nabi Shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

لا ضَرَرَ ولا ضِرَارَ

tidak boleh membiarkan bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain” (HR. Ibnu Majah no.1910, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257, Muslim, no. 1840).

Perkara yang ma’ruf didefinisikan oleh As Sa’di:

المعروف: الإحسان والطاعة، وكل ما عرف في الشرع والعقل حسنه

Al ma’ruf artinya perbuatan kebaikan dan perbuatan ketaatan dan semua yang diketahui baiknya oleh syariat dan oleh akal sehat” (Tafsir As Sa’di, 1/194-196).

Maka jika orang tua melakukan perkara yang membahayakan agama si anak atau perkara yang dipastikan oleh akal bahwa itu membahayakan diri, ketika itu boleh menghindar dan menyelamatkan diri.

Tetap memberikan nasehat
Ketika orang tua memberikan gangguan, maka akhlak yang mulia adalah diam, bersabar dan menahannya. Namun bukan berarti membiarkan kekeliruan atau pelanggaran syari’at yang dilakukan orang tua. Allah ta’ala berfirman:

أَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ فَإِنۡ عَصَوۡكَ فَقُلۡ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تَعۡمَلُونَ

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan”(QS. Asy Syu’ara: 216).

Namun hendaknya memberi nasehat kepada orang tua dengan cara yang hikmah, santun dan di waktu yang tepat. Allah ta’ala berfirman:

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS. An Nahl: 125).

Dengan sabar dan perlahan, disertai terus memohon hidayah kepada Allah untuk orang tua. Ini adalah cara dalam menasehati orang tua.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslimah.or.id

4 Sikap Manusia Menghadapi Musibah, Bagaimana Kita?

ADA empat kelompok manusia dalam mensikapi setiap musibah dan cobaan hidup di dunia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah di dalam kitabnya, ‘Uddatus Shobirin wa Dzakhiratus Syakirin (Bekal orang-orang sabar dan Perbendaharaan orang-orang yang bersyukur). Keempat kelompok itu adalah;

Pertama; kelompok orang-orang yang lemah

Yaitu orang-orang yang selalu berkeluh kesah terhadap setiap keadaan. Dia selalu mengadu namun bukan kepada Allah tempat mengadu melainkan kepada sesama manusia. Ia selalu meratapi hari-hari bahkan tidak jarang ia bertindak diluar batas untuk melampiaskan amarah atas takdir buruk yang ia terima. Ia selalu mengeluh kepada semua orang. Padahal dengan banyak mengeluh bukannya orang akan simpati malah akan menjauh. Dan juga dengan banyak mengeluh persoalan bukannya kelar malah bertanmbah rumit.

Sikap ini adalah sikap orang-orang yang lemah imannya, lemah akalnya dan agamanya.

Kedua; kelompok orang-orang yang bersabar

Sabar atas musibah dengan cara menahan diri dari melakukan hal-hal yang mengundang amarah Allah Subhanahu Wata’ala. Menahan lisan dari berucap kata yang tidak disukai Allah. Mencegah perbuatan dari perkara yang dimurkai Allah.

Orang yang sabar dalam menghadapi musibah senantiasa berdoa agar Allah menyingkirkan dan meringankan musibah yang menimpanya dan berharap pahala yang ada padanya, di saat yang sama ia mengambil sebab dan upaya agar musibah itu berlalu darinya.

Dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari Shuhaib berkata; Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (HR: Muslim)

Setiap mukmin akan selalu mendapat ujian. Dan Allah tidak akan memberi beban kecuali sesuai kemampuannya.

Dalam al-Qur’an, Allah berfirman:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا‌ۚ

“Tidaklah Allah membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya.” [QS. al-Baqarah: 286].

Ketiga; kelompok orang-orang yang ridho

Yaitu mereka yang berlapang dada ketika musibah menimpanya. Orang yang ridho atas musibah sangat menyadari bahwa semua yang terjadi atas kehendak Allah. Baginya, ketika ditimpa musibah seolah-olah dia tidak merasa mendapat musibah. Derajat ridho atas musibah tentu lebih tinggi tingkatannya dari sikap sabar.

Keempat; kelompok orang yang bersyukur

Aneh kedengarannya, ditimpa musibah kok malah bersyukur. Ditimpa musibah kok malah berterima kasih.  Ya memang demikian keadaannya kelompok keempat ini. Baginya musibah adalah sesuatu yang ‘mengasyikkan’. Dia seakan menikmati ‘memadu kasih’ dengan Tuhannya di saat tertimpa musibah yang bagaimanapun bentuknya.

Malah, kalau bisa dia berharap agar musibah itu tidak lekas hilang darinya. Yang menempati derajat ini adalah para nabi dan rasul, wali-wali Allah, orang-orang yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang mendalam seperti yang pernah saya tuliskan dalam kisah Abu Qilabah al Jarmi, seorang tabi’in yang diuji oleh Allah Subhanahu Wata’ala dengan penderitaan yang luar biasa, buntung kedua tangan dan kakinya, buta matanya, hampir tidak berfungsi pendengarannya, ditambah lagi kematian anak satu-satunya yang selalu merawatnya.

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu sekalian memaklumkan; sungguh apabila kamu telah bersyukur, pasti akan Aku tambah nikmat kepadamu; tetapi apabila kamu kufur, adzab-Ku amatlah pedih” [QS. Ibrahim: 7]

Sahabat, kalau kita yang diuji oleh Allah Subhanahu Wata’ala dan diberinya musibah, kira-kira masuk kelompok yang mana kita?

Apakah kita masuk  kelompok pertama? Na’udzubillah, berarti kita masuk kelompok orang yang imannya bermasalah.

Kelompok kedua? Ya, paling tidak kedalam kelompok inilah sikap kita; bersabar atas musibah. Ini adalah sikap wajib bagi seorang mukmin.

Ingatlan pesan al-Quran,  “Fa inna ma’al ‘ushri yusra, inna ma’al ‘ushri yusra.” (maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sungguh bersama kesulitan ada kemudahan) [QS. as-Syarh: 5 – 6].Amin.*/Imron Mahmud

HIDAYATULLAH

Memahami Makna Sabar

Sabar memiliki arti yang luas.

Mengutip Ensiklopedi Tasawuf Imam Ghazali karya Luqman Junaedi, sabar memiliki arti yang cukup luas. Sabar tidak hanya dilakukan ketika seseorang tertimpa musibah. Tetapi, apa pun pekerjaan yang dilakukan dan diterima harus dibarengi dengan sikap sabar.

Sabar bisa berarti dapat menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Menahan diri dalam keadaan lapang dan keadaan sempit dan dari hawa nafsu yang menggoyahkan iman.

Sabar adalah salah satu tingkatan maqamat yang harus dilalui oleh setiap manusia yang beriman. Manusia yang ingin berada dalam jalan Allah SWT akan melalui jalan tersebut dengan sabar.

Masih dalam buku yang sama, menurut Sahla, sabar adalah mengharapkan kebahagian dari Allah dan sesuatu yang paling mulia juga utama. Menurut sufi lain, sabar adalah berlaku sabar dengan kesabaran dengan artian tidak mencari kebahagiaan dan kesenangan dalam bersabar.

Sedangkan, menurut pendapat Abu Ismail al Harawi dalam Kitab Manazil as- Sairin, sabar adalah menahan diri dari hal-hal yang tidak disenangi dan menahan lisan agar tidak mengeluh dan sabar yang paling lemah adalah sabar karena Allah.

Meski demikian, Ibnu Taimiyah mengatakan sabar dalam menghadapi musibah merupakan sikap sabar yang paling mendominasi. Jika seseorang memiliki stres, risih, resah, dan susah maka sebaik-baiknya senjata adalah bersabar

Saking pentingnya sikap sabar bagi setiap manusia, Allah menyebut kata sabar dalam Alquran sebanyak 70 kali. Sedangkan, ungkapan Allah yang khusus diperuntukkan bagi mereka yang bersabar tertuang setidaknya melalui 16 ayat Alquran yang berbeda-beda.

Di antaranya, surah al-Baqarah ayat 45. Allah meminta segenap hamba-Nya agar menjadikan shalat dan sabar sebagai media pelipur lara. “Dan mohonlah pertolongan terhadap Allah SWT dengan sabar dan shalat.”

Dari 16 ayat tersebut, tersarikan segudang hikmah dan manfaat bersabar. Hikmah  bersabar tersebut, antara lain, Allah memuji orang sabar sebagai golongan orang yang beriman dan bertakwa. Kemudian, orang yang tidak dapat bersabar merupakan orang yang lemah dan bersedih.

Allah mencintai orang-orang yang bersabar, Dia akan selalu dekat dengan orang yang bersabar, memberikan kebahagiaan pada orang-orang yang bersabar, serta Allah akan memberikan pahala dan ganjaran yang tanpa batas bagi orang-orang yang bersabar.

Selain itu, sabar bisa dikategorisasikan secara garis besar ketiga bagian yang utama, yaitu pertama, sabar karena pertolongan Allah. Artinya, seseorang mengetahui kesabaran karena pertolongan-Nya. Dan, Allahlah yang menganugerahkan kesabaran kepada hamba-Nya.

Kedua, sabar untuk Allah SWT. Maknanya, pendorong umat untuk bersabar adalah karena cinta pada-Nya. Penuh harap dan mendekat dengan berbagai ragam ketaatan kepada-Nya. Bukan hanya untuk memperlihatkan jiwa yang kuat dan ketabahan terhadap manusia lain ataupun tujuan lain.

Ketiga, sabar beserta Allah. Yakni, sabar yang dilakukan sesuai dengan hukum-hukum Allah. Sehingga, dia dapat menegakkan hukum Allah sekuat tenaga, pikiran, dan hatinya.

Terkait hukum bersikap wajar, tapi berdasarkan konsensus ulama, hukumnya wajib. Karena pada hakikatnya, menurut Islam, iman seseorang terbagi dua bagian, separuhnya terdapat kesabaran dan sebagiannya lagi terkandung rasa syukur.

KHAZANAH REPUBLIKA

Memaknai Kesabaran Sebagai Salah Satu Esensi Puasa Ramadhan

Ramadhan mengajarkan umat Islam untuk senantiasa bersabar.

Ramadhan dijuluki syahrul Quran atau bulan Alquran dan bulan kesabaran. Melalui Ramadhan, Allah mendidik hamba-hamba-Nya selalu ingat kepada-Nya agar dapat selalu bersabar.  Baca Juga

Pakar ilmu tafsir dan hukum Islam, Prof KH Ahsin Sakho Muhammad, menyampaikan kesabaran harus menjadi hiasan setiap Muslim, dengan kesabaran diharapkan tercipta karakter sabar pada diri seseorang. Karena dengan kesabaran banyak persoalan yang akan terselesaikan dengan baik.  

Imam Syafi’i mengomentari surat Al Ashr, menurutnya, seandainya Allah SWT memberi pencerahan kepada manusia hanya dengan menurunkan surat Al Ashr, ini saja sudah cukup. “Karena kesabaran yang menjadi tulang punggung kesuksesan manusia baik di dunia maupun di akhirat nanti,” kata Prof Ahsin kepada Republika.co.id, pekan lalu. 

Mantan rektor Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta ini menyampaikan bahwa arti kesabaran sangat luas sekali. Pekerjaan sehari-hari yang biasa dilakukan memerlukan kesabaran dalam pengerjaannya. Contohnya orang yang menanak nasi, punya istri cerewet, dan bekerja saja harus sabar.  

Seseorang mencuri dan korupsi karena tidak sabar menunggu rezeki yang halal. Orang yang melakukan zina juga akibat tidak sabar menunggu jodoh yang dinikahi sesuai syariat Islam.  

“Sesuatu yang berkaitan dengan perilaku manusia yang menyimpang itu adalah karena tidak sabar, jadi sabar merupakan tulang punggung dari kesuksesan manusia dalam menghadapi persoalan-persoalan di dunia ini,” ujarnya.  

Kiai Ahsin mencontohkan, orang-orang yang mampu membuat pesawat terbang dan kendaraan bermotor itu adalah buah dari kesabaran dalam menuntut ilmu. Jadi menuntut ilmu pengetahuan apapun harus sabar karena sangat penting bagi kehidupan manusia.  

Dalam pandangan ulama sabar berkaitan dengan agama. Maka sabar dapat diartikan sabar melaksanakan kewajiban-kewajiban dari Allah. Serta sabar agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah. Termasuk sabar menghadapi musibah.  

“Jadi kesabaran adalah kunci sukses kehidupan dunia sampai di akhirat nanti, bagaimana Allah menciptakan media atau sarana untuk menciptakan kesabaran? Yaitu dengan berpuasa, di sini puasa sampai satu bulan jadi setiap orang dilatih setiap hari untuk bersabar tidak makan dan minum,” jelasnya.

Kiai Ahsin mengatakan, permasalahannya apakah ada orang yang setelah Ramadhan terbentuk kesabarannya. Ini sangat tergantung pada kualitas puasanya, kalau kualitas puasanya bagus maka bisa mendapatkan kesabaran. Tapi kalau kualitas puasanya kurang, setelah Ramadhan tidak mendapatkan sifat sabar itu dan kembali melakukan hal-hal yang dilarang agama. 

“Karena dengan sabar perintah Allah bisa dijalankan dengan baik, larangan Allah bisa dijaga dengan baik, nanti dengan kesabaran itu bisa menjalani kehidupan dengan baik, pahala orang yang bersabar juga besar,” jelasnya.

Dia menyampaikan, bila seseorang sudah mendapatkan karakter sabar, maka akan mendapatkan pahala yang penuh tanpa terhitung. Karena dengan kesabaran, maka keimanan seseorang akan semakin tinggi.  

Dia menegaskan, puasa menciptakan kesabaran, filosofi inilah yang harus diresapi, direnungkan dan diamalkan. Sehingga kesabaran sebagai hikmah dari puasa biasa didapatkan. Kemudian menjadi semakin arif dan bijaksana serta semakin tidak tergesa-gesa.

“Bergaul dengan masyarakat semakin bagus, jadi akhlaknya semakin bagus, ibadahnya tambah bagus dan tambah istiqamah, itu buat keuntungan manusia sendiri bukan untuk keuntungan Allah,” kata dia.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Sabar Itu Wajib, Ridha Itu Sunnah

Sabar artinya menahan diri dari apa yang dilarang oleh syariat ketika menghadapi sesuatu yang tidak disukai. Ketahuilah bahwa sabar itu hukumnya wajib. Lebih dari sabar adalah sikap ridha, dan ridha lebih disukai dari sabar.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung” (QS. Al Imran: 200).

Allah ta’ala juga berfirman:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfal: 46).

Allah ta’ala juga berfirman:

وَاتَّبِعْ مَا يُوحَى إِلَيْكَ وَاصْبِرْ حَتَّى يَحْكُمَ اللَّهُ وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ

Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.” (QS. Yunus: 109).

Allah ta’ala juga berfirman:

وَاصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Hud: 115).

Dan ayat-ayat yang lainnya, yang terdapat perintah untuk bersabar. Sabar disebutkan dengan fi’il amr (kata kerja perintah). Sedangkan kaidah ushul fiqih mengatakan:

الأصل في الأمر للوجوب

“Hukum asalnya kata perintah menghasilkan hukum wajib”.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:

فيجب على الإنسان أن يصبر على المصيبة, و ألا يحدث قولا محرما و لا فعلا محرما

“Maka wajib bagi setiap orang untuk bersabar terhadap musibah dan tidak mengucapkan perkataan yang haram serta tidak melakukan perbuatan yang haram (ketika menghadapi musibah)” (Syarah Hadits Jibril, hal. 84).

Maka sabar itu wajib, orang yang tidak bersabar dia berdosa. Dan tidak boleh seorang mengatakan: “saya sudah tidak sabar lagi”, karena ini berarti: “saya sudah tidak mau melakukan kewajiban lagi”.

Bagaimana sabar yang wajib itu?

Definisi dari sabar adalah sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim:

الصبر : حبس اللسان عن الشكوى الى غير الله ، والقلب عن التسخط ، والجوارح عن اللطم وشق الثياب ونحوها

“Sabar adalah menahan lisan dan mengeluh kepada selain Allah, menahan hati agar tidak marah (pada takdir Allah), dan menahan anggota badan dari menampar-nampar pipi, merobek baju atau ekspresi marah yang semisalnya” (‘Uddatus Shabirin, 231).

Maka batasan sabar adalah ketika seseorang bisa menahan lisannya dan perbuatannya agar tidak terjerumus pada sesuatu yang haram ketika terjadi musibah, walaupun ia menahannya dengan berat dan sesak di dada.

Yang lebih utama dari sabar adalah ridha. Yaitu sikap menerima dengan sepenuh hati dan penuh tulus takdir Allah tanpa merasakan sesak di dada. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:

والفرق بين الرضا والصبر : أن الراضي لم يتألم قلبه بذلك أبدا ، فهو يسير مع القضاء

“Perbedaan antara ridha dan sabar adalah, orang yang ridha tidak merasakan sakit hatinya sama sekali dengan adanya musibah, ia berjalan bersama dengan takdir Allah dengan ringan” (Syarah Hadits Jibril, hal. 84).

Ridha hukumnya sunnah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

الرضا بالمصائب كالفقر والمرض والذل : مستحب في أحد قولي العلماء وليس بواجب ، وقد قيل : إنه واجب ، والصحيح أن الواجب هو الصبر

“Ridha terhadap musibah seperti kefakiran, sakit dan bangkrut, ini hukumnya mustahab (dianjurkan) menurut salah satu pendapat dari para ulama, tidak sampai wajib. Sebagian ulama, mengatakan ridha itu wajib. Namun pendapat yang shahih, yang wajib adalah sabar” (Majmu’ Al Fatawa, 10/682).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

فما يقع من المصائب يستحب الرضا به عند أكثر أهل العلم ولا يجب ، لكن يجب الصبر عليه

“Ketika terjadi musibah, dianjurkan untuk ridha terhadap musibah, menurut jumhur ulama, tidak sampai wajib. Namun yang wajib adalah sabar” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 2/92).

Intinya, sabar adalah menahan diri dari yang diharamkan dalam agama, ketika terjadi musibah. Itulah kadar yang wajib! Adapun jika bisa lebih dari itu maka mustahab (dianjurkan).

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Penulis: Ustadz Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11985-sabar-itu-wajib-ridha-itu-sunnah.html

Sabar dan Tawakal, Dua Tiang Keimanan

Allah swt berfirman :

ٱلَّذِينَ صَبَرُواْ وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ

“(yaitu) orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (QS.An-Nahl:42)

Dalam ayat ini Allah swt menggandengkan antara sabar dan tawakal. Sabar adalah tawakal adalah tiang yang mengokohkan keimanan kita.

Dalam beribadah perlu kesabaran, dalam berbuat baik perlu kesabaran bahkan dalam meninggalkan dosa dan rayuan setan juga perlu kesabaran.

Di sisi lain kita juga memerlukan tawakal dalam menghadapi berbagai problem kehidupan. Sehingga kita selalu menatap hari dengan penuh optimis, karena kita selalu bersandar kepada Yang Maha Kuat.

Tawakal menumbuhkan harapan dan membuang rasa takut. Karena kita sedang bergantung pada Yang Maha Kuasa, kita sedang berharap kepada Yang Maha Perkasa, sehingga tiada sesuatu yang mustahil bagi-Nya. Kita sedang bersandar kepada Yang Maha Hidup, Yang Tidak Pernah Mati.

وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱلۡحَيِّ ٱلَّذِي لَا يَمُوتُ

“Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup, Yang tidak mati.” (QS.Al-Furqan, Ayat 58)

Nampaknya ketika Allah swt menggandengkan sabar dan tawakal seakan memberikan isyarat bahwa dunia ini dipenuhi cobaan dan ujian dan agar kita mampu melewati semua ini dan meraih Kerelaan Allah swt di surga, maka jangan pernah lepas dari dua senjata ini, yaitu sabar dan tawakal.

Semoga bermanfaat.

Indahnya Kesabaran

SAUDARAKU, Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran [2]: 200)

Ayat ini hanyalah satu dari sekian banyak dalil yang menyerukan tentang kesabaran. Kandungan di dalam ayat ini, Allah menjanjikan keberuntungan bagi orang-orang yang mau bersabar. Dan, Allah sudah tentu akan memenuhi janji-Nya.

Sahabatku, semoga Allah yang telah mengukur setiap kejadian sesuai dengan kesanggupan hamba-hamba-Nya, mengaruniakan kepada kita indahnya kesabaran. Karena seseorang yang pribadinya dihiasi dengan kesabaran, maka ia akan melesat menjadi pribadi yang teramat memesona dan menawan.

Seseorang yang memiliki kesabaran, dia akan menjadi sosok yang tegar dalam mengarungi kehidupan. Seseorang yang hari-harinya penuh kesabaran, dia akan menjadi orang yang didekatkan dengan Allah, sesuai janji-Nya di dalam al-Quran, “Dan, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfaal [8]: 46)

Imam al-Ghazali menerangkan bahwa sabar adalah sifat istimewa manusia yang tidak terdapat pada makhluk lainnya. Kebaikan berlangsung di muka bumi karena adanya kesabaran di dalam diri manusia.

Beras hadir dan mencukupi kebutuhan pokok manusia, adalah buah dari kesabaran petani menanam dan memelihara tanaman padinya hingga panen. Pembangunan berlangsung karena para insinyur bersabar menuntut ilmu, sebelum mereka akhirnya bisa menjadi para perancang bangunan dan tata ruang. Anak-anak tumbuh sehat dan cerdas berkat kesabaran ibu dan ayahnya mendidik dan merawat mereka.

Tetapi, kemaksiatan, kekacauan dan kerusakan yang terjadi di tengah-tengah kita pun itu adalah sebagai akibat dari masalah kesabaran manusia. Semua itu terjadi karena manusia tidak mampu dan tidak mau bersabar. Terjadinya kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang bisa disebabkan oleh dua hal. Yaitu, bisa jadi karena dia tidak mau bersabar terhadap sesuatu yang disukainya. Atau kedua, bisa jadi karena ia tidak mau bersabar terhadap sesuatu yang tidak disukainya.

Demikianlah pentingnya kesabaran di dalam kehidupan. Kesabaran bisa menjadi pemicu berlangsungnya kehidupan yang aman dan tenteram. Namun, kesabaran juga bisa menjadi pemicu berlangsungnya kehidupan yang kacau balau penuh dengan kemaksiatan. Yakni ketika manusia tidak mampu mengendalikan dirinya untuk bersabar.

Oleh karena itulah Allah SWT berfirman, “Maka bersabarlah kalian sebagaimana Ulul Azmi (orang-orang yang memiliki keteguhan hati dari para rasul) telah bersabar..” (QS. al-Ahqaaf [46]: 35). [*]

Oleh KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Sabarlah Engkau dalam Tiga Hal ini…

ALLAH Taala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 200)

Dalam ayat ini diperintahkan kepada orang beriman untuk bersabar, sabar menghadapi gangguan orang lain, melakukan ketaatan (menunggu shalat setelah shalat), disuruh pula bertakwa kepada Allah, supaya menjadi orang yang beruntung di dunia dan akhirat.

Sabar sendiri ada tiga macam:
– Sabar dalam menjalankan ketaatan.
– Sabar dalam menjauhi maksiat.
– Sabar dalam menghadapi musibah.

Mushabarah dalam ayat berbeda dengan sabar. Menurut Syaikh As-Sadi, mushabarah adalah terus menerus bersabar dalam menghadapi musuh.

Faedah dari Ayat:
– Sabar, mushabarah, melakukan ketaatan, dan takwa termasuk sifat orang beriman.
– Ayat ini menunjukkan keutamaan menyelisihi hawa nafsu dan berusaha menahan kesulitan demi menggapai ridha Allah.
– Ada perbedaan antara ishbiru dan shaabiru. Ishbiru hanya dari satu pihak yaitu menahan diri dari sesuatu. Sedangkan shaabiru berasal dari dua pihak yaitu bersabar atas gangguan orang lain misalnya bersabar ketika bertemu musuh.
– Kita diperintahkan tsabat, terus kokoh dalam menghadapi orang yang ingin menentang syariat.
– Ayat ini menunjukkan keutamaan orang yang melakukan ribath. Bentuk sederhananya adalah menunggu satu shalat ke shalat berikutnya. Bisa pula bentuknya adalah menjaga pos dari musuh.
– Ada akibat yang baik (falah, keberuntungan), bagi orang yang sabar, mushabarah, murabathoh (melakukan ribath), dan bertakwa. Berarti luput dari salah satu sifat ini, luput dari keberuntungan secara keseluruhan atau sebagian.
– Siapa saja yang bertakwa kepada Allah, maka ia akan menjadi orang beruntung ketika bertemu dengan Allah.
– Ayat ini menunjukkan amalan secara bertahap, dari yang ringan hingga yang berat, mulai dari sabar, mushabarah, murabathah, dan takwa.
– Kalimat laallakum tuflihun, semoga kalian beruntung, menunjukkan bahwa hal itu pasti akan terjadi jika terpenuhi syarat dan Allah tidak mungkin mengingkari janji-janji-Nya.

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. [Referensi: Tafsir As-Sadi; Tafsir Az-Zahrawain; Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK