Apabila Terlambat datang ke Masjid dan Shalat Jamaah Sudah Selesai

Seorang muslim hendaknya mengetahui Apakah Shalat Jama’ah Wajib di Masjid?

Siapa saja yang masuk masjid dan shalat jamaah sudah selesai (imam sudah mengucapkan salam), maka ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, masih ada jamaah yang bangkit berdiri menyempurnakan shalatnya. Kemungkinan ke dua, tidak ada jamaah yang masih menyempurnakan shalat. 

Jika Masih Ada Jamaah yang Bangkit Berdiri Menyempurnakan Shalatnya

Jika kemungkinan pertama yang terjadi, maka orang yang terlambat tadi (orang pertama) kemudian shalat bersama jamaah lain yang masih menyempurnakan shalatnya tersebut (orang ke dua). Orang pertama memberikan isyarat kepada orang ke dua bahwa dia shalat berjamaah dengannya, sehingga orang ke dua menjadi imam untuk orang pertama. Niat menjadi imam itu tetap sah, meskipun baru diniatkan di tengah-tengah shalat atau tidak diniatkan sejak dari awal takbiratul ihram. 

Dalil dalam masalah ini hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallhu ‘anhuma, ketika beliau bermalam di rumah bibinya, Maimunah radhiyallahu ‘anha. Di tengah malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun untuk shalat malam. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyusul dan berdiri di samping kiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik Ibnu ‘Abbas agar berdiri di samping kanan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. [1]

Hadits ini adalah isyarat bolehnya niat menjadi imam di tengah-tengah shalat. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, shalat sendirian di awal shalat sebelum Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma datang menyusul.

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata,

“Di dalam hadits ini terdapat bantahan bagi pendapat yang menyatakan tidak bolehnya seseorang menjadikan orang lain sebagai imam, kecuali orang lain tersebut niat menjadi imam sejak takbiratul ihram. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berniat menjadi imam bagi Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas berdiri dan menjadikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai imamnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan sunnah ketika menjadi imam, yaitu memindah (makmum) dari sisi kiri ke sisi kanan imam.” (At-Tamhiid, 13: 210)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata,

“Tidak ada perbedaan antara shalat wajib dan shalat sunnah. Karena pada asalnya, hukum yang berlaku di antara keduanya adalah sama, kecuali jika terdapat dalil yang mengkhususkannya [2]. Dan yang kami ketahui, tidak terdapat dalil yang mengkhususkan masalah ini. Wallahu a’lam.” [3] 

Jika Tidak Ada Jamaah yang Masih Menyempurnakan Shalat

Jika dia tidak mendapat seseorang yang masih shalat, maka dia boleh meminta jamaah yang sudah selesai shalat, untuk shalat (lagi) berjamaah bersamanya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang yang shalat sendirian. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ

“Tidakkah ada seseorang yang bersedekah untuk orang ini dengan shalat (lagi) bersamanya?” 

Lalu ada seseorang yang berdiri dan shalat jamaah bersamanya. (HR. Abu Dawud no. 574, shahih)

Hadits ini bersifat umum, untuk shalat apa saja. Artinya, meskipun setelah shalat maghrib, shalat subuh, dan shalat ‘ashar, boleh shalat lagi untuk bersedekah kepada saudaranya yang terlambat tersebut. 

Kemungkinan lainnya adalah dia berpindah ke masjid lain yang dimungkinkan masih mendirikan shalat jamaah sehingga bisa mendapatkan shalat jamaah di masjid lain tersebut.  Di Shahih Bukhari, Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan Aswad bin Yazid An-Nakha’i rahimahullah, salah seorang ulama besar tabi’in, jika beliau ketinggalan shalat jamaah di masjid, maka beliau pergi ke masjid lain yang masih belum selesai shalat jamaahnya.  

Imam Al-Bukhari rahimahullah menyebutkan atsar (riwayat) ini di bawah judul bab, “Keutamaan Shalat Jama’ah”. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan bahwa maksud Imam Bukhari adalah bahwa keutamaan shalat berjamaah itu hanya berlaku untuk yang shalat berjamaah di masjid, bukan untuk mereka yang shalat berjamaah di rumah, misalnya. Seandainya keutamaan shalat berjamaah itu bisa didapatkan di rumah, tentu Yazid akan memilih pulang dan shalat bersama keluarganya, dan tidak perlu bersusah payah mencari masjid lain untuk mencari keutamaan shalat jamaah. [3]

Oleh karena itu, hendaknya siapa saja yang tidak mendapatkan shalat jamaah di satu masjid, dia tetap berusaha mencari pahala keutamaan shalat berjamaah, meskipun dengan mendatangi masjid lain yang kemungkinan masih shalat berjamaah. Lebih-lebih jika masjid lain itu dekat dari rumahnya. Di jaman kita ini, sudah banyak masjid dan antar masjid kadang berbeda jarak antara adzan dan iqamahnya. Sehingga masih memungkinkan untuk mendapatkan shalat jamaah di masjid lain. Wallahu Ta’ala a’lam. [4]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53153-apabila-terlambat-datang-ke-masjid-dan-shalat-jamaah-sudah-selesai.html

Berusaha Tidak Tertinggal Takbiratul Ihram Shalat Berjamaah

Shalat berjamaah di masjid merupakan kewajiban bagi laki-laki menurut pendapat terkuat. Ada banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Salah satunya kami sebutkan, yaitu saat-saat perang berkecamuk, tetap diperintahkan shalat berjamaah. Maka, apalagi suasana aman dan tentram, tentu lebih wajib lagi. Dan ini perintah langsung dari Allah dalam al-Quran.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan  satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu.” (An-Nisa’ 102)

Ibnu Mundzir rahimahullah berkata, “pada perintah Allah untuk tetap menegakkan shalat jamaah ketika takut (perang) adalah dalil bahwa shalat berjamaah ketika kondisi aman lebih wajib lagi.”1

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan, “Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ain bukan hanya sunnah atau fardhu kifayah,  Seandainya hukumnya sunnah tentu keadaan takut dari musuh adalah udzur yang utama. Juga bukan fardhu kifayah karena Alloh menggugurkan kewajiban berjamaah atas rombongan kedua dengan telah berjamaahnya rombongan pertama… dan Allah tidak memberi keringanan bagi mereka untuk meninggalkan shalat berjamaah dalam keadaan ketakutan (perang).“2

Tidak tertinggal takbiratul ihram shalat berjamaah

Salah satu yang mungkin sering kita lalaikan adalah kita terkadang tertinggal takbiratul ihram shalat berjamaah, artinya kita terlambat datang shalat berjamaah. Padahal untuk acara lainnya urusan duniawi, kita tidak boleh terlambat, apalagi ini adalah panggilan dari Allah. Datang lebih awal dan tidak terlambat ke masjid memiliki banyak keutamaan. Misalnya akan mendapar pahala yang sangat besar sehingga orang-orang jika tahu akan mengundi shaf terdepan (tentu harus cepat datang ke masjid).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِى التَّهْجِيرِ لاَسْتَبَقُوا إِلَيْهِ

Jikalau orang-orang mengetahui apa yang ada di dalam mengumandangkan adzan dan shaf pertama (berupa pahala), kemudian mereka tidak mendapatkan (orang yang berhak atas itu) kecuali mereka berundi atasnya, maka niscaya mereka berundi, dan jikalau mereka mengetahui apa yang ada di dalam bersegera pergi ke masjid (berupa pahala), maka mereka niscaya akan berlomba-lomba kepadanya”3

Kemudian, datang lebih awal juga bisa mendapat banyak kebaikan seperti sempat shalat rawatib qabliyah dan bisa berdoa di antaran adzan dan iqamat di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الدُّعَاءَ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ فَادْعُوا

“Sesungguhnya do’a yang tidak tertolak adalah do’a antara adzan dan iqomah, maka berdo’alah (kala itu)”4

Lihat contoh para salafus shalih

Salah satu cara menimbulkan kembali semangat beragam adalah dengan melihat teladan dari para ulama dan orang shalih. Berikut beberapa kisah dari mereka terkait hal ini. Waki’ bin Al-Jarrah rahimahullahu berkataAl-A’masy ketika mendekati umur 70 tahun namun tidak pernah tertinggal takbir pertama [takbiratul ihram shalat berjamaah].”5

Muhammad bin Sama’ah rahimahullahu berkata, “saya tinggal selama 40 tahun tidak pernah luput dari takbir pertama melainkan satu hari saja yaitu hari ketika Ibuku meninggal maka luput dari saya satu shalat berjamaah, kemudian saya shalat sebanyak 25 kali karena menginginkan dilipatgandakan [pahala]…”6

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu mengisahkan biografi Sa’id bin Al-Musayyab rahimahullahu, “tidaklah diseru panggilan shalat sejak 40 tahun melainkan Sa’id berada di dalam masjid”7

Berkata Asy-Sya’bi rahimahullahu, tidaklah diiqamati shalat sejak aku masuk Islam melainkan aku masih dalam keadaan mempunyai wudhu [masih suci].”8

Semoga kita bisa selalu istiqamah, datang lebih awal ke masjid dan tidak tertinggal rakaat shalat berjamaah (tidak menjadi makmum masbuk).

Catatan Kaki

1 Al- Ausath 4/135

2 Kitab Sholah hal. 138, Ibnu Qoyyim

3 HR. Bukhari dan Muslim.

4 HR. Ahmad 3/155. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih

5 Siyar A’lam An-Nubala’ 6/345, Darul Hadits,Koiro, 1427 H, Asy Syamilah

6 Tahdzibut Tahdzib 9/204, Mathba’ah Dairatil Ma’arif, India, cet. I, 1326 H, Asy-Syamilah

7 Tahdzibut Tahdzib 4/87, Mathba’ah Dairatil Ma’arif, India, cet. I, 1326 H, Asy-Syamilah

8 Tahdzibut Tahdzib 7/166, Mathba’ah Dairatil Ma’arif, India, cet. I, 1326 H, Asy-Syamilah

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/19710-berusaha-tidak-tertinggal-takbiratul-ihram-shalat-berjamaah.html

Apabila Terlambat datang ke Masjid dan Shalat Jamaah Sudah Selesai

Seorang muslim hendaknya mengetahui Apakah Shalat Jama’ah Wajib di Masjid?

Siapa saja yang masuk masjid dan shalat jamaah sudah selesai (imam sudah mengucapkan salam), maka ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, masih ada jamaah yang bangkit berdiri menyempurnakan shalatnya. Kemungkinan ke dua, tidak ada jamaah yang masih menyempurnakan shalat. 

Jika Masih Ada Jamaah yang Bangkit Berdiri Menyempurnakan Shalatnya

Jika kemungkinan pertama yang terjadi, maka orang yang terlambat tadi (orang pertama) kemudian shalat bersama jamaah lain yang masih menyempurnakan shalatnya tersebut (orang ke dua). Orang pertama memberikan isyarat kepada orang ke dua bahwa dia shalat berjamaah dengannya, sehingga orang ke dua menjadi imam untuk orang pertama. Niat menjadi imam itu tetap sah, meskipun baru diniatkan di tengah-tengah shalat atau tidak diniatkan sejak dari awal takbiratul ihram. 

Dalil dalam masalah ini hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallhu ‘anhuma, ketika beliau bermalam di rumah bibinya, Maimunah radhiyallahu ‘anha. Di tengah malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun untuk shalat malam. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyusul dan berdiri di samping kiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik Ibnu ‘Abbas agar berdiri di samping kanan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. [1]

Hadits ini adalah isyarat bolehnya niat menjadi imam di tengah-tengah shalat. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, shalat sendirian di awal shalat sebelum Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma datang menyusul.

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata,

“Di dalam hadits ini terdapat bantahan bagi pendapat yang menyatakan tidak bolehnya seseorang menjadikan orang lain sebagai imam, kecuali orang lain tersebut niat menjadi imam sejak takbiratul ihram. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berniat menjadi imam bagi Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas berdiri dan menjadikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai imamnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan sunnah ketika menjadi imam, yaitu memindah (makmum) dari sisi kiri ke sisi kanan imam.” (At-Tamhiid, 13: 210)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata,

“Tidak ada perbedaan antara shalat wajib dan shalat sunnah. Karena pada asalnya, hukum yang berlaku di antara keduanya adalah sama, kecuali jika terdapat dalil yang mengkhususkannya [2]. Dan yang kami ketahui, tidak terdapat dalil yang mengkhususkan masalah ini. Wallahu a’lam.” [3] 

Jika Tidak Ada Jamaah yang Masih Menyempurnakan Shalat

Jika dia tidak mendapat seseorang yang masih shalat, maka dia boleh meminta jamaah yang sudah selesai shalat, untuk shalat (lagi) berjamaah bersamanya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang yang shalat sendirian. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ

“Tidakkah ada seseorang yang bersedekah untuk orang ini dengan shalat (lagi) bersamanya?” 

Lalu ada seseorang yang berdiri dan shalat jamaah bersamanya. (HR. Abu Dawud no. 574, shahih)

Hadits ini bersifat umum, untuk shalat apa saja. Artinya, meskipun setelah shalat maghrib, shalat subuh, dan shalat ‘ashar, boleh shalat lagi untuk bersedekah kepada saudaranya yang terlambat tersebut. 

Kemungkinan lainnya adalah dia berpindah ke masjid lain yang dimungkinkan masih mendirikan shalat jamaah sehingga bisa mendapatkan shalat jamaah di masjid lain tersebut.  Di Shahih Bukhari, Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan Aswad bin Yazid An-Nakha’i rahimahullah, salah seorang ulama besar tabi’in, jika beliau ketinggalan shalat jamaah di masjid, maka beliau pergi ke masjid lain yang masih belum selesai shalat jamaahnya.  

Imam Al-Bukhari rahimahullah menyebutkan atsar (riwayat) ini di bawah judul bab, “Keutamaan Shalat Jama’ah”. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan bahwa maksud Imam Bukhari adalah bahwa keutamaan shalat berjamaah itu hanya berlaku untuk yang shalat berjamaah di masjid, bukan untuk mereka yang shalat berjamaah di rumah, misalnya. Seandainya keutamaan shalat berjamaah itu bisa didapatkan di rumah, tentu Yazid akan memilih pulang dan shalat bersama keluarganya, dan tidak perlu bersusah payah mencari masjid lain untuk mencari keutamaan shalat jamaah. [3]

Oleh karena itu, hendaknya siapa saja yang tidak mendapatkan shalat jamaah di satu masjid, dia tetap berusaha mencari pahala keutamaan shalat berjamaah, meskipun dengan mendatangi masjid lain yang kemungkinan masih shalat berjamaah. Lebih-lebih jika masjid lain itu dekat dari rumahnya. Di jaman kita ini, sudah banyak masjid dan antar masjid kadang berbeda jarak antara adzan dan iqamahnya. Sehingga masih memungkinkan untuk mendapatkan shalat jamaah di masjid lain. Wallahu Ta’ala a’lam. [4]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53153-apabila-terlambat-datang-ke-masjid-dan-shalat-jamaah-sudah-selesai.html

Pesan Rasulullah: Pria Salat Berjemaah di Masjid

SEBAGIAN umat Islam masih membiasakan diri mengerjakan salat lima waktu di rumah atau di kantor tempat ia bekerja. Sangat sedikit yang membiasakan salat lima waktunya berjemaah di masjid atau musala di mana azan dikumandangkan.

Bahkan ada sebagian saudara muslim yang membiasakan dirinya salat seorang diri alias tidak berjemaah. Padahal terdapat sekian banyak pesan dari Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam yang menganjurkan ummat Islam terutama kaum pria-salat berjemaah di masjid tempat di mana azan dikumandangkan.

Ibn Masud radhiyallahu anhu berkata: “Barangsiapa ingin bertemu Allah esok hari sebagai seorang muslim, maka ia harus menjaga benar-benar salat pada waktunya ketika terdengar suara azan. Maka sesungguhnya Allah subhaanahu wa taaala telah mensyariatkan (mengajarkan) kepada Nabi shollallahu alaih wa sallam beberapa sunanul-huda (perilaku berdasarkan hidayah/petunjuk) dan menjaga salat itu termasuk dari sunanul-huda. Andaikan kamu salat di rumah sebagaimana kebiasaan orang yang tidak suka berjemaah berarti kamu meninggalkan sunah Nabimu Muhammad shollallahu alaih wa sallam. Dan bila kamu meninggalkan sunah Nabimu Muhammad shollallahu alaih wa sallam pasti kamu tersesat. Maka tidak ada seseorang yang bersuci dan dia sempurnakan wudhunya kemudian ia berjalan ke masjid di antara masjid-masjid ini kecuali Allah subhaanahu wa taaala mencatat bagi setiap langkah yang diangkatnya menjadi kebaikan yang mengangkat derajatnya dan bagi setiap langkah yang diturunkannya menjadi penghapus kesalahannya. Dan sungguh dahulu pada masa Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam tiada seorang tertinggal dari salat berjemaah kecuali orang-orang munafik yang terang kemunafikannya. Sungguh adakalanya seseorang itu dihantar ke masjid didukung oleh dua orang kanan kirinya untuk ditegakkan di barisan saf.” (HR Muslim 3/387).

Berdasarkan hadis di atas sekurangnya terdapat beberapa pelajaran penting:

Pertama, seseorang yang disiplin mengerjakan salat saat azan berkumandang akan menyebabkan dirinya diakui sebagai seorang muslim saat bertemu Allah subhaanahu wa taaala kelak di hari berbangkit. Sungguh suatu kenikmatan yang luar biasa! Pada hari yang sangat menggoncangkan bagi semua manusia justru diri kita dinilai Allah subhaanahu wa taaala sebagai seorang hamba-Nya yang menyerahkan diri kepada-Nya. Kita tidak dimasukkan ke dalam golongan orang kafir, musyrik atau munafik.

“Barangsiapa ingin bertemu Allah esok hari sebagai seorang muslim, maka ia harus menjaga benar-benar salat pada waktunya ketika terdengar suara azan.”

Kedua, menjaga salat termasuk kategori aktivitas sunanul-huda (perilaku atau kebiasaan berdasarkan pertunjuk Ilahi). Barangsiapa memelihara pelaksanaan kewajiban salat lima waktu setiap harinya berarti ia menjalani hidupnya berdasarkan petunjuk dan bimbingan Allah subhaanahu wa taaala. Berati ia tidak membiarkan dirinya hidup tersesat sekadar mengikuti hawa nafsu yang dikuasai musuh Allah subhaanahu wa taaala, yakni setan.

“Maka sesungguhnya Allah subhaanahu wa taaala telah mensyariatkan (mengajarkan) kepada Nabi shollallahu alaih wa sallam beberapa sunanul-huda (perilaku berdasarkan hidayah/petunjuk) dan menjaga salat itu termasuk dari sunanul-huda.”

Ketiga, salat di rumah identik dengan meninggalkan sunah Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam. Padahal tindakan meninggalkan sunah Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam merupakan gambaran raibnya cinta seseorang kepada Nabinya Muhammad shollallahu alaih wa sallam.Sebaliknya, bukti cinta seseorang akan Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam adalah kesungguhannya untuk melaksanakan berbagai sunah beliau, Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam.

“Andaikan kamu salat di rumah sebagaimana kebiasaan orang yang tidak suka berjemaah berarti kamu meninggalkan sunah Nabimu Muhammad shollallahu alaih wa sallam.”

Keempat, meninggalkan sunah Nabi akan menyebabkan seseorang menjadi tersesat. Berarti tidak lagi hidup di bawah naungan bimbingan dan petunjuk Allah. Sungguh mengerikan, bilamana seorang muslim merasa menjalankan kewajiban salat, namun karena ia kerjakannya tidak di masjid, maka hal itu menyebabkan dirinya menjadi tersesat dari jalan yang lurus! Naudzubillaahi min dzaalika.

“Dan bila kamu meninggalkan sunah Nabimu Muhammad shollallahu alaih wa sallam pasti kamu tersesat.”

Kelima, barangsiapa menyempurnakan wudhu lalu berjalan ke masjid, maka hal itu akan mendatangkan kenaikan derajat dan penghapusan kesalahan.

“Maka tidak ada seseorang yang bersuci dan dia sempurnakan wudhunya kemudian ia berjalan ke masjid di antara masjid-masjid ini kecuali Allah subhaanahu wa taaala mencatat bagi setiap langkah yang diangkatnya menjadi kebaikan yang mengangkat derajatnya dan bagi setiap langkah yang diturunkannya menjadi penghapus kesalahannya.”

Keenam, Ibnu Masud radhiyallahu anhu menggambarkan bahwa pada zaman Nabi Muhammadshollallahu alaih wa sallam masih hidup di tengah para sahabat radhiyallahu anhum jika ada yang tertinggal dari salat berjemaah maka ia dipandang identik dengan orang munafik sejati.

“Dan sungguh dahulu pada masa Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam tiada seorang tertinggal dari salat berjemaah kecuali orang-orang munafik yang terang kemunafikannya.”

Ketujuh, di zaman Nabi Muhammad shollallahu alaih wa sallam sedemikian bersemangatnya orang menghadiri salat berjemaah di masjid sampai-sampai ada yang dipapah dua orang di kiri-kanannya agar ia bisa salat berjemaah di masjid.

“Sungguh adakalanya seseorang itu dihantar ke masjid didukung oleh dua orang kanan kirinya untuk ditegakkan di barisan saf.”

Ya Allah, berkahi, mudahkan dan kuatkanlah kami untuk selalu salat lima waktu berjemaah di masjid bersama saudara muslim kami lainnya. 

INILAH MOZAIK

Jangan Tergesa-gesa ke Masjid

SHOLAT berjamaah di masjid adalah amalan utama dalam Islam. Bahkan bagi laki-laki yang mukim dan tidak memiliki udzur syari, ia diwajibkan untuk mendatangi panggilan muadzin untuk sholat berjamaah.

Kemuliaan sholat berjamaah tidak hanya dijelaskan oleh dalil hadits yang ada, namun tergambar pula dari bagaimana agama kita mengatur dan menyikapinya. Di antara aturan agama kita perihal berjalan ke masjid dalam rangka sholat berjamaah adalah ketenangan. Terlarang oleh agama, kita tergesa-gesa dalam memenuhi sholat berjamaah. Hal ini terjadi karena kurangnya ilmu pada sebagian kaum muslimin.

Firman Allah yang artinya:

Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa” (QS. Al Anbiya: 37)

Dan manusia bersifat tergesa-gesa“. (QS. Al Isra: 11)

Dijelaskan oleh ayat di atas, bahwa sifat manusia pada dasarnya tergesa-gesa, tidak sabaran. Maka agama memberi perintah dan rambu agar tergesa-gesa tersebut dapat direm dan diubah.

Di antara kurang ilmunya pelaku yang tergesa-gesa ke masjid, yakni ilmu bab keutamaan waktu antara adzan dan iqamah untuk berdoa. Juga keutamaan shaf pertama serta keutamaan mendapatkan takbiratul ihram imam dan keutamaan-keutamaan yang lain. Untuk menghilangkan penyebab ini, maka pelakunya harus mengilmui keutamaan-keutamaan tersebut.

Hal lain yang menyebabkan seseorang mungkin tergesa-gesa menuju sholat berjamaah di masjid, adalah karena ia menyibukkan diri dengan kepentingan dunia. Padahal urusan dunia adalah selingan di antara lima waktu sholat. Solusi dari hal ini adalah hendaknya ia segera melepaskan diri dari kesibukan duniawinya, dan menyiapkan diri untuk sholat berjamaah sebelum waktu sholat tiba. Sehingga saat adzan berkumandang, ia pun akan dengan tenang berjalan ke masjid.

Akibat dari penyebab-penyebab di atas adalah timbulnya kemalasan saat berjalan memenuhi panggilan sholat. Itu akibat yang ekstrem. Akibat minimalnya adalah seseorang pun mendatangi masjid dengan tergesa-gesa. Ia khawatir saat tiba di masjid ia tidak mendapatkan sholat berjamaah bersama imam rawatib kecuali satu atau dua rakaat.

Hal ini pun sebenarnya tidak disukai agama kita. Hendaklah dia mendatangi masjid dengan tenang dan sholat berjamaah dengan imam sedapatnya mungkin. Bila ada rakaat yang terlewat, ia tinggal hanya menyempurnakannya setelah imam salam.

Jika kalian mendengar iqomah, maka berjalanlah menuju shalat. Namun bersikap tenang dan khusyulah. Gerakan imam yang kalian dapati, ikutilah. Sedangkan yang luput dari kalian, sempurnakanlah.” (HR. Bukhari no. 636 dan Muslim no. 602).

Mari datangi masjid dengan tenang untuk sholat berjamaah bersama imam rawatib.

Allahu Alam.

oleh Quraniy

INILAH MOZAIK

Terlambat Salat Berjemaah? Inilah Caranya

MAKMUM masbuq atau masbuk adalah makmum yang terlambat salat berjemaah setelah satu rakaat atau lebih telah dijalani.

Adapun tata cara salat makmum masbuq diantaranya:

1. Jika makmum terlambat datang ke masjid dan imam sudah dalam posisi rukuk, sujud, atau julus (duduk tasyahud), maka ia harus melakukan takbiratul ihram (dengan berdiri) untuk mulai salat, lalu mengucapkan takbir (Allahu Akbar) lagi untuk kemudian mengikuti posisi imam.

Jika imam masih membaca surat Al-Fatihah atau surat pendek, maka hanya takbiratul ihram saja.

2. Setelah imam selesai melakukan salam dan mengakhiri salat, ia tidak boleh melakukan salam, tetapi langsung berdiri untuk menambah rakaat yang telah terlewat.

a. Bila ia baru bisa mengikuti 2 rakaat terakhir salat dzuhur, ashar, dan isya, maka ia harus menambah 2 rakaat (tanpa duduk tasyahud) setelah imam melakukan salam.

Bila ia baru bisa mengikuti satu rakaat terakhir salat dzuhur, ashar, dan isya, maka ketika imam melakukan salam ia harus berdiri dan salat satu rakaat (dengan Al-Fatihah dan membaca surat pendek), duduk tasyahud, berdiri lagi untuk rakaat kedua (dengan Al-Fatihah dan membaca surat pendek), lalu diteruskan berdiri lagi untuk rakaat ketiga (hanya Al-Fatihah).

b. Jika ia baru bisa mengikuti rakaat ke-2 dan ke-3 salat maghrib, maka ia harus berdiri dan menambah satu rakaat setelah imam melakukan salam.

c. Jika ia baru bisa mengikuti satu rakaat terakhir salat maghrib, ia harus berdiri setelah imam melakukan salam, salat satu rakaat, lalu duduk untuk membaca tasyahud, kemudian berdiri lagi untuk melakukan rakaat ke-3, setelah itu duduk untuk tasyahud akhir dan melakukan salam.

3. Bila makmum bergabung salat jemaah ketika posisi rukuk, maka ia dianggap telah mengikuti rakaat tersebut. Jika ia bergabung ketika imam sudah berdiri dari rukuk atau ketika sujud, ia dianggap telah terlambat mengikuti rakaat tersebut dan harus melakukannya lagi

 

INILAH MOZAIK

Bolehkah Wanita Ikut Shalat Jumat?

Di beberapa negeri Muslim dan Timur Tengah, beberapa masjid menyediakan fasilitas ruangan khusus bagi wanita yang ingin menunaikan shalat Jumat. Seperti Masjid Al Azhar dan masjid-masjid besar di Kairo Mesir yang menempatkan kaum wanita di lantai dua. Demikian juga di Masjidil Haram, Makkah.

Ada zona khusus yang disediakan untuk wanita yang ikut shalat Jumat. Hal seperti ini dirasa masih asing di tanah air. Bagaimanakah kedudukan wanita yang ikut shalat Jumat tersebut? Secara spesifik, tidak ada dalil yang melarang kaum wanita untuk ikut menunaikan shalat Jumat.

Kaum wanita tidak dibebani kewajiban shalat Jumat. Namun, bagi mereka yang ingin ikut, tidak ada pula nash yang melarangnya. Hal ini berdalil dari hadis Rasulullah SAW, “Shalat Jumat itu fardhu (wajib) bagi setiap Muslim, kecuali empat golongan; orang sakit, hamba sahaya, orang musafir, dan wanita.” (HR Bukhari).

Beberapa ulama di Arab Saudi dan Timur Tengah menyarankan kaum wanita untuk tidak ikut shalat berjamaah di Masjid. Apalagi, ikut shalat Jumat yang fitnahnya tentu lebih besar dibanding shalat berjamaah biasa. Namun, hal ini hanya sebatas saran dan tidak masuk ke ranah hukum.

Hal ini berdalil dari hadis Rasulullah SAW, “Shalatnya salah seorang dari kalian (wanita) di makhda’ (kamar khusus yang dipergunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan, shalat di kamarnya lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan, shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid kaumnya. Dan, shalat di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku (di masjid).” (HR Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).

Mufti Arab Saudi, Syekh Ibnu Al-Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa pernah ditanya, manakah yang lebih afdhal bagi wanita untuk shalat di rumah atau di Majidil Haram. Sebagaimana diketahui, fadhilah shalat di Masjidil Haram sangatlah besar, yaitu 100 ribu kali lipat shalat di masjid biasa. Berdalil dari hadis tersebut, Al-Utsaimin tetap mengatakan, shalat wanita di rumah tetap lebih afdhal dibanding shalat di Masjidil Haram sekalipun.

Adapun zona khusus wanita yang tersedia di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, menurut Al- Utsaimin, sebenarnya bagi wanita musafir yang tengah menjalankan haji atau umrah. Mereka boleh mengikuti shalat berjamaah dan shalat Jumat karena memang tidak ada dalil yang mengharamkannya. Akan tetapi, lebih disukai bagi mereka untuk menunaikan shalat di rumah saja.

Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syahr al- Muhadzdzab (4/495) mengatakan, kaum wanita yang difasilitasi menunaikan shalat Jumat dan mereka ikut menunaikannya maka shalat mereka pun dipandang sah sebagaimana shalat kaum lelaki. Mereka tidak perlu pula mengulang shalat Zhuhur. Pendapat ini dipakai seluruh mazhab dan mayoritas para ulama. Lajnah Daimah (Komisi Fatwa) Arab Saudi juga pernah mengeluarkan fatwa senada.

Ulama Mesir Syekh Musthafa al-Adawi juga menegaskan kebolehan shalat Jumat bagi kaum wanita. Ia mengatakan, jika ada wanita yang turut melaksanakan shalat Jumat bersama kaum laki-laki maka yang demikian sudah mencukupi (kewajiban shalat Zhuhurnya). Sehingga, tidak perlu lagi mereka melaksanakan shalat Zhuhur.

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (2/341) mengatakan, sebenarnya asal hukum wajib shalat Jumat adalah sama antara laki-laki dan wanita. Gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi wanita sama dengan hukum orang yang sakit. Jika laki-laki yang sakit memaksakan diri untuk tetap berangkat shalat Jumat maka shalatnya sah. Demikian pula bagi wanita yang ikut shalat Jumat.

Dalam Fatwa al-Mar’ah al-Muslimah terbitan Darul Ibnu al-Haitsam (112) disebutkan, shalat Jumat yang dipandang sah bagi kaum wanita jika mereka ikut menunaikannya di masjid bersama jamaah laki-laki lainnya. Tempat mereka harus terpisah dari laki-laki dan memang disediakan khusus untuk mereka. Tidak sah jika shalat Jumat tersebut mereka lakukan di rumah. Jika di rumah, wanita tetap melakukan shalat Zhuhur sebagaimana biasa.

Persoalan ini juga pernah dibahas di masa Sahabat Nabi dan Tabi’in. Abdurrazaq dalam Mushannaf (3/146) dengan riwayat dan sanad yang shahih dari Ibnu Juraij pernah berkisah tentang persoalan ini. Ibnu Juraij pernah menceritakan kepadanya kalau ia pernah bertanya kepada Atha’ tentang perempuan yang ingin ikut shalat Jumat. “Bila dia (wanita itu) ingin menghadirinya maka tidak apa-apa, dan bila tidak menghadirinya juga tidak apa-apa,” jawab Atha’ atas pertanyaan Ibnu Juraij.

Bolehnya kaum wanita mengikuti shalat Jumat sangat membantu mereka yang tengah bermusafir. Jika sebuah keluarga bermusafir di hari Jumat, biasanya hanya kaum laki-laki saja yang pergi menunaikan shalat Jumat. Kaum wanita yang ikut bersamanya hanya menunggu di mobil atau di tempat istirahat.

Setelah kaum lelaki selesai menunaikan shalat Jumat, barulah kaum wanita menunaikan shalat Zhuhur. Hal ini tidaklah salah. Namun sebenarnya, kaum wanita bisa juga memilih untuk ikut shalat Jumat jika pengurus masjid memfasilitasi tempat untuk mereka.

Perkara kaum wanita yang ikut shalat Jumat sebenarnya sudah ada di zaman Rasulullah SAW. Hasan al-Bashri mengatakan, di zaman Ra sulullah, para sahabiyah dari golongan muhajirin ikut menunaikan shalat Jumat bersama Rasulullah SAW. Mereka mengikuti ritual shalat Jumat sebagaimana kaum lelaki dan tidak perlu lagi melakukan shalat Zhuhur setelahnya.

Kesalahan-kesalahan Jemaah dalam Salat

TERMASUK di antara manfaat yang dapat dipetik dari salat berjemaah ialah saling memberikan pengajaran ilmu syari antarjemaah satu dengan lainnya.

Salah satu contohnya: Terkadang seorang salah dalam tata cara salat maka jemaah lain yang tahu kemudian membenarkannya. Inilah rahmat yang Allah turunkan kepada umat ini lewat syariat salat berjemaah. Berikut ini akan kami sampaikan beberapa kesalahan yang seringkali terjadi dalam praktik salat berjemaah sebagai bentuk nasihat kepada kaum muslimin secara umum.

Tidak Memperhatikan Kerapian dan Kelurusan Shaf

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda yang artinya, “Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah yang paling depan, sedangkan shaf yang paling buruk adalah yang paling akhir. Sedangkan shaf yang terbaik bagi wanita adalah paling belakang dan yang paling buruk adalah yang paling depan.” (HR. Muslim).

Tapi sungguh sangat disayangkan sebagian kaum muslimin tidak berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan ini, bahkan mereka malah menghindari dan enggan untuk memposisikan diri pada shaf yang pertama, dengan mereka mempersilahkan orang lain untuk berada di shaf depan. Kaidah Fiqhiyah mengatakan: “Mengutamakan orang lain dalam masalah ibadah adalah terlarang”.

Kesalahan lain yang banyak muncul adalah tidak meluruskan ataupun merapatkan shaf. Rasulullah bersabda yang artinya, “Luruskan shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (HR. Bukhori Muslim)

Mendahului Maupun Menyertai Gerakan Imam

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya mendahului imam merasa takut kalau Allah merubah kepalanya menjadi kepala keledai.” (HR. Bukhori, Muslim). “Sesungguhnya ubun-ubun orang yang merunduk dan mengangkat kepalanya mendahului imam berada di dalam genggaman setan.” (HR. Thobroni dengan status hasan)

Adapun larangan membarengi gerakan imam maka dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika imam telah ruku maka ruku-lah kalian dan jika imam bangkit maka bangkitlah kalian.” (HR. Al Bukhori). Dari hadis ini diambil kesimpulan terlarangnya mengakhirkan atau melambatkan gerakan dari imam. Adapun yang diperintahkan adalah mengikuti atau mengiringi gerakan imam.

Sibuk Dengan Berbagai Macam Doa Sebelum Takbirotul Ihrom

Sering kali kita lihat sebagian kaum muslimin sebelum salat menyibukkan melafalkan niat. Sebagian mereka membaca surat An Naas dengan dalih untuk menghilangkan was-was setan. Begitu juga ada makmum yang mengatakan: Samina wa Athona ketika mendengar perintah untuk meluruskan shaf dari imam: Sawwuu shufuufakum! Padahal perintah dari imam tadi butuh pelaksanaan, bukan butuh jawaban. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Hendaklah kaum muslimin bersegera meninggalkan segala macam tata cara ibadah yang tidak bersumber dari beliau.

Sibuk Dengan Salat Sunah Padahal Telah Iqomah

Terkadang kita jumpai seseorang yang malah sibuk dengan salat nafilah/sunah ketika iqomat telah dikumandangkan atau yang lebih parah malah memulai salat sunah baru dan tidak bergabung dengan salat wajib. Hal ini menyelisihi sabda Rasululloh shallallahu alaihi wasallam yang artinya: “Apabila iqomah sudah dikumandangkan, maka tidak ada salat kecuali salat wajib.” (HR. Muslim)

Menarik Orang Lain di Shaf Depannya Untuk Membuat Shaf Baru

Hadis-hadis yang menjelaskan masalah ini bukan termasuk hadis yang sahih, maka perbuatan ini tidak boleh dilakukan bahkan dia wajib bergabung dengan shaf yang ada jika memungkinkan. Jika tidak maka boleh dia salat sendiri di shaf yang baru, dan salatnya dianggap sah karena Allah tidaklah membebani seorang kecuali sesuai kemampuannya (Lihat Silsilah Al Hadits Ash Shohihah wal Mauduat). Wallohu Alam.[muslimorid]

 

MOZAIK

Ternyata! Bukan Shaf Terdepan yang Utama

TERPUJILAH Allah semesta alam yang menjadikan salat berjemaah di masjid memiliki keutamaan yang jauh lebih besar dibandingkan salat sendirian di rumah. Selain itu, bergegas memenuhi seruan muadzin demi mendapatkan shaf pertama pun menjadi hal penting sebagaimana yang kita ketahui selama ini. Namun, apakah benar bahwa shaf terdepan adalah yang paling utama?
Marilah kita simak untaian kalimat dari baginda kita Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
“Shaf salat laki-laki yang paling baik adalah yang paling depan, sedangkan shaf yang paling buruk adalah yang paling belakang. Sebaliknya, shaf salat perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang, sedangkan shaf yang paling buruk adalah yang paling depan.” (HR Muslim)
Hadis ini menjelaskan bahwa tak selamanya shaf terdepan adalah yang paling utama apabila itu bagi perempuan. Hal ini disebabkan, shaf terdepan bagi perempuan lebih dekat kepada shaf laki-laki sehingga memungkinkan terjadinya fitnah dibandingkan shaf shalat paling belakang yang dapat memperkecil kemungkinan terjadinya fitnah.
Selanjutnya, bagaimana cara mengantisipasi kondisi apabila shaf laki-laki berdekatan dengan shaf perempuan?
Adapun adab-adab yang dapat kita jaga di antaranya sebagai berikut:
1. Perempuan tidak mengangkat kepala dari ruku’ atau sujud sebelum laki-laki mengangkat kepala
2. Perempuan sebaiknya keluar dari masjid terlebih dahulu, bila tidak ada pintu khusus bagi masing-masing
3. Tidak memakai wewangian, perhiasan dan pakaian tertentu dengan tujuan memamerkan diri
Jadi, masihkah shaf terdepan menjadi yang paling utama bagi perempuan Shalihat? Mari berbenah bersama ya… (DOS)

Fatwa Ulama: Shalat Jama’ah Di Rumah Bersama Keluarga

Soal:

Apakah sah seseorang shalat jama’ah bersama keluarganya di rumah, ataukah tidak sah?

Jawab:

Jika rumah anda tidak terdapat satu pun masjid di lingkungan sekitarnya atau anda memiliki udzur untuk melaksanakan shalat di masjid maka hukumnya boleh bahkan lebih afdhal anda shalat berjamaah di rumah bersama keluarga anda. Bahkan lebih afdhal juga bagi istri anda, ia shalat bermakmum pada anda.

Namun tidak diperbolehkan seseorang muslim (lelaki) shalat berjamaah di rumahnya dan meninggalkan shalat jama’ah di masjid-masjid. Ini hukumnya haram, karena menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan karena itu merupakan bentuk ketidak-sukaan terhadap sunnah Nabi. Dan ketika seseorang tidak suka terhadap sunnah Nabi dan lebih menuruti nafsunya, itu karena keadaan dirinya yang rusak.

 

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/30506

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id