Bertawakal Setelah Berdoa, Jangan Tergesa Pengabulan-Nya

APABILA kita sudah mengetahui bahwasanya doa adalah inti dari ibadah, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam, hendaklah kita juga mengetahui bahwa doa adalah inti dari isti’anah (permintaan tolong kepada Allah).

Tidak masuk akal jika kita meminta pertolongan kepada seseorang untuk mengerjakan sesuatu, tetapi dengan tidak mengucapkan satu kalimat permintaan sedikit pun. Namun, antara permintaan kepada manusia dan permohonan kepada Allah terdapat perbedaan yang sangat jauh.

Terkadang manusia menolak satu permintaan, terkadang pula ia mau memberi suatu permintaan. Akan tetapi, ketika kita memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ia akan senantiasa memenuhi permintaan Anda, dan memberikan apa yang diinginkan melebihi apa yang diminta.

Sungguh benar perkataan seorang penyair:

Jangan sekali-kali Anda meminta dari anak Adam untuk satu keperluan

Mintalah kepada Dzat yang pintu-Nya senantiasa terbuka

Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan marah jika Anda tidak meminta kepada-Nya

Sementara anak Adam akan marah ketika diminta

Di berbagai tempat dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, di antaranya firman Allah:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb kalian berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina’.” (Al-Mu’min [40]: 60)

Baca: Doa “Ampuh” Imam Ahmad

Firman Allah yang lain:

ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Rabb-mu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-A’raf [7]: 55)

Berdoa tidak hanya dilakukan di saat genting saja. Karena hal tersebut adalah sesuatu yang wajib bagi setiap muslim, baik dalam keadaan senang maupun susah. Rasulullah pernah bersabda:

“Kenalilah Allah Subhanahu Wa Ta’ala di kala senang, niscaya Dia pasti akan mengetahuimu ketika susah.” (HR Ahmad).

Seorang hamba hendaknya banyak berdoa kepada Allah dan selalu mengulang-ulang (baca; mendesak) doanya, karena Allah menyukai hamba-Nya yang mengulang-ulang dalam doanya sebagaimana firman-Nya:

فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“…Maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku…” (Al-Baqarah[2]: 186).

Lafazh ‘idza’ (diterjemahkan dengan apabila-edt) berfungsi sebagai tahqiq (benar-benar melakukannya) dan katsrah (sering mengulang-ulang). Berbeda dengan lafazh `in‘ yang berfungsi mewakili perasaan syak (keraguan) dan menunjukkan bahwa tindakan tersebut jarang dilakukan.

Dengan demikian, Allah menyeru hamba-Nya untuk ilhah (mengulang-ulang/mendesak) ketika berdoa dan Dia menjanjikan mereka jawaban yang baik. Hendaklah setiap hamba mengetahui bahwa doanya tidak akan pernah sia-sia.

Rasulullah bersabda:

“Tidak ada seorang muslim pun di bumi ini yang berdoa kepada Allah  kecuali Allah akan memenuhi permohonannya, atau Dia akan memalingkannya dari kejelekan yang setimpal dengan doanya, selama dia tidak berdoa untuk kesalahan (dosa) atau memutuskan silaturrahim.” Seorang laki-laki berkata, ‘Kalau begitu, kami akan banyak melakukannya (berdoa).’ Beliau bersabda, ‘Allah akan lebih banyak lagi (mengabulkannya)’.” (HR At-Tirmidzi).

Oleh sebab itu, jika seorang muslim berputus asa dari dikabulkannya doanya, niscaya doanya juga tidak akan dikabulkan. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

“Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selama ia tidak tergesa-gesa, (yaitu) ia berkata, Aku telah berdoa kepada Rabb-ku, namun doaku belum juga dikabulkan’.”

Allah tidak tergesa-gesa sebagaimana ketergesaan anak Adam, namun setiap keputusan (takdir) yang ada di sisi-Nya mempunyai waktu tertentu. Alangkah indahnya perkataan Imam Syafi’i:

Apakah engkau menyepelekan dan meremehkan doa

Sementara engkau tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh doa

Panah di waktu malam tidak akan salah sasaran

Namun dia memiliki jarak, dan ia mesti ditempuh

Telah disebutkan dalam sebuah atsar bahwa Nabi Musa alaihis salam ketika berdoa untuk kecelakaan pengikut Fir’aun, beliau berdoa:

رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلاَ يُؤْمِنُواْ حَتَّى يَرَوُاْ الْعَذَابَ الأَلِيمَ

“… Wahai Rabb kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka. Maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (Yunus [10]: 88)

Kemudian Allah berfirman kepada beliau:

قَدْ أُجِيبَت دَّعْوَتُكُمَا

“…Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua…” (Yunus [10]: 89)

Allah baru mewujudkan doa beliau setelah empat puluh tahun kemudian, dengan ditenggelamkannya pengikut Fir’aun dan diberikannya kekuasaan kepada Bani Israil.

Apakah Nabi Allah, Musa, menganggap doanya terlambat dikabulkan? Tidak, beliau mengetahui bahwa keputusan Allah mempunyai waktu tertentu. Dengan itu, beliau memberikan kabar gembira kepada kaumnya:

رَبُّكُمْ أَن يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الأَرْضِ فَيَنظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ

“…Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi (Nya). Maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (Al-A’ raf [7]: 129)

Sesungguhnya hakikat isti’anah (meminta pertolongan kepada Allah) tampak pada sikap hamba ketika meminta kepada Rabbnya. Dia meyakini bahwa semua kebaikan berada di tangan Allah,  Dia Maha Pemurah yang memberi tanpa menghitung.

 

Dengan meminta kepada Allah, ia tidak perlu lagi meminta kepada sesama manusia. Dia menjadi mulia karena Rabbnya dan bertawakal kepada-Nya. Para shahabat –semoga Allah meridhai mereka semua–memohon semua keperluan mereka kepada Allah sampai pada urusan tentang makanan ternaknya.

Apa yang menarik dari hal ini? Benar, di dalam jiwa mereka telah tertanam kuat hakikat yang besar bahwasanya Allah adalah Raja Yang Maha Pemurah, Dia tidak pernah menolak orang yang meminta kepada-Nya. Tidak pernah seorang hamba mengangkat kedua tangannya ke langit untuk meminta kepada Rabb-nya, kecuali Dia akan memberikannya.

Allah  Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah [2]: 186)

Rasulullah telah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menghadap (meminta) kepada Allah dalam segala hajat yang kita perlukan, baik keperluan itu datangnya dari Allah atau dari seorang makhluk-Nya, baik untuk kepentingan dunia atau akhirat.

Namun, seorang hamba tidak boleh tergesa-gesa untuk meminta agar doanya segera dikabulkan. Allah lebih mengetahui kebaikan untuk hamba-Nya. Dia mengetahui kapan memberinya dan kapan menahannya. Hal ini disebutkan dalam hadits Rasulullah:

“Barang siapa yang berwudhu dan memperbagus wudhunya kemudian dia shalat dua rakaat dengan sempurna, Allah akan memberikan apa yang dia minta, baik dengan segera atau ditunda.” (Al-Bukhari, Ahmad, dan Ath-Thabrani dari Abu Darda’).*

 

/Dr. Hani Kisyik, dari bukunya Kunci Sukses Hidup Bahagia

HIDAYATULLAH

Apa Saja Ciri-Ciri Tawakal?

ADAPUN ciri-ciri dari tawakal di antaranya:

1. Mujahadah (Semangat yang kuat)

Sebagai seorang mukmin dan muslim dianjurkan untuk memiliki akhlak yang baik. Salah satunya tawakal. Guna terciptanya sosialisasi yang tentram, tenang, dan damai. Tawakal bukan hanya sekadar merasakan segala perkara kepada Allah Ta’ala, tetapi diawali dengan usaha-usaha ataupun jalan-jalannya yang kuat. Setelah itu serahkan hasilnya kepada Allah Ta’ala. Di antara ciri orang yang bertawakal ialah memiliki semangat yang kuat. Mempunyai semangat yang kuat merupakan salah satu akhlak orang mukmin yang dianjurkan oleh Islam.

Orang mukmin yang menempuh cara semacam ini adalah orang yang lebih bagus dan lebih dicintai Allah Azza wa Jalla daripada orang yang lemah semangatnya, tidak mau bekerja keras dan mengerjakan atau mencari pekerjaan yang berfaedah. Sepantasnyalah setiap orang untuk meningkatkan ilmu, budi pekerti, serta kemasyarakatan dan perekonomiannya.

2. Bersyukur

Ciri lain orang yang bertawakal ialah ia senantiasa bersyukur kepada Allah Ta’ala. Apabila ia sukses ataupun berhasil dalam segala urusan ataupun ia mendapatkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan ia tak luput untuk senantiasa bersyukur kepada Allah Ta’ala, karena ia menyadari dan meyakini bahwa semua yang ia dapatkan itu adalah takdir Allah dan kehendak-Nya. Dengan bersyukur pula ia akan selalu merasa puas, senang dan bahagia.

Firman Allah Ta’ala: “Bersyukurlah kepada-Ku niscaya akan aku tambah nikmatnya, tapi jika tidak bersyukur sesungguhnya azabku teramat pedih.”

3. Bersabar

Ciri orang yang bertawakal selanjutnya ialah selalu bersabar. Sebagai orang mukmin yang bertawakal kepada Allah Ta’ala ia akan bersabar, baik dalam proses maupun dalam hasil. Karena dengan inilah ia akan bahagia dan tenang atas apa yang di terimanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya sebagai berikut: “Orang yang bahagia ialah yang dijauhkan dari fitnah-fitnah dan orang yang terkena ujian dan cobaan dia bersabar.” (HR. Ahmad dan Abu dawud)

4. Intropeksi Diri (Muhasabah)

Orang yang bertawakal salah satu sikapnya ialah intropeksi diri. Dimana ia akan intropeksi diri apabila ia kurang sukses daam menjalankan sesuatu ia tidak membuat dirinya “drop”, melainkan ia selalu intropeksi pada diri, dapat dikatakan muhasabah. Senantiasa mengoreksi apa yang telah dilakukannya. Setelah itu ia akan berusaha menghindari faktor penyebab suatu kegagalan tersebut serta senantiasa memberikan yang terbaik pada dirinya.

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2346223/apa-saja-ciri-ciri-tawakal#sthash.RqsmDrwp.dpuf

Tawakal Bukan Pasrah

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.

Datangnya musibah yang menimpa tanah air silih berganti, mulai dari tsunami, gempa, busung lapar, flu burung dan kesulitan hidup karena naiknya harga BBM, benar-benar menguji keimanan seorang muslim. Apakah mampu untuk tetap tegar menghadapi kesulitan hidup. Ataukah justru sebaliknya, pesimis dan apatis sehingga menempuh cara-cara yang salah untuk mengais rizki dengan dalih kepepet. Kalaupun tidak, minimal terus digelayuti emosi, rasa gamang, cemas dan bahkan putus asa.

Pembaca budiman yang dirahmati allah, tentu saja tidak, karena dalam menghadapi masalah tersebut, bahkan semua problema kehidupan manusia, islam telah memberikan solusinya dengan sempurna. Sebagai petunjuk bagi manusia dalam mengarungi kehidupannya di dunia dan akhirat. Baik keluasan maupun kesempitan hakekatnya adalah sama merupakan ujian hidup yang harus dihadapi dengan baik.

Coba renungkan sabda panutan kita, rasulullah saw di bawah ini.
“Sangat menakjubkan perkara orang mukmin itu. Semua perkaranya adalah baik. Hal ini tidak didapati kecuali pada orang mukmin. Yaitu jika menerima nikmat dia bersyukur maka ini baik baginya dan jika tertimpa musibah bersabar dan ini juga baik baginya.” (HR. Muslim).

Kewajiban lain seorang mukmin ketika menghadapi kesulitan hidup adalah tawakal kepada allah. Banyak ayat-ayat al quran dan hadis-hadis rasulullah saw yang mengisyaratkan wajibnya bertawakal kepada allah. Dengan tawakal inilah seorang mukmin akan mampu menghadapi berbagai kesulitan dengan optimisme tinggi dan akan mendapatkan kemudahan dari allah yang maha pemurah.

Tawakal adalah amalan hati atau amalan yang dilakukan hati, bukan amalan lisan atau aktivitas anggota badan. Dan hakekat tawakal itu sendiri adalah hati benar-benar bergantung kepada allah azza wa jalla guna memperoleh maslahat dan menolak mafsadat dari urusan-urusan dunia dan akhirat. (Jami’ul Ulum Wal Hikam hal. 567).

Sebagian orang menyangka, bahwa tawakal identik dengan pasrah secara total. Padahal ini anggapan yang keliru, karena tawakal itu menuntut rasa optimis dan aktif. Dalam sebuah ayat allah berfirman: “Dan barang siapa yang bertawakal kepada allah niscaya allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS Thalaq : 3).
Dalam ayat ini allah menjamin akan memberi kecukupan kepada orang-orang yang bertawakal, termasuk urusan rizki. Apakah artinya orang tersebut tidak berupaya dan tidak kerja keras lantas tiba-tiba memperoleh rizki dari langit ? tentu tidak demikian. Orang yang ingin terpenuhi kebutuhannya harus bekerja, sama halnya dengan orang ingin punya anak harus menikah dan mengumpuli istrinya. Tidak mungkin allah memberi rizki kepada seseorang tanpa upaya sedikitpun.

Hadis berikut lebih memperjelas, rasulullah saw bersabda : “Andaikan kalian tawakal kepada allah dengan sebenarnya niscaya allah akan memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi dengan perut kosong dan pulang sore dengan perut kenyang.”(HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Tawakal burung adalah dengan pergi mencari makanan, maka allah jamin dengan memberikan makanan kepada mereka. Burung-burung itu tidak tidur dan nongkrong saja disarang sambil menunggu makanan datang, tetapi mereka pergi jauh mencari makanan untuk dirinya dan anak-anaknya. Begitu pula seharusnya manusia. Apalagi kita diberi kelebihan yang banyak dibanding seekor burung.

Tawakal itu bukan berarti tidak berusaha dan menggantungkan kepada makhluk. Hal itu justru dapat dikatakan berlawanan dengan makna tawakal yang sebenarnya. Seorang ulama besar Imam ahmad bin hanbal pernah ditanya tentang seseorang yang hanya duduk di rumah atau di mesjid seraya berkata, ‘aku tidak akan berusaha sedikitpun sampai datang rizki kepadaku.’ Jawabnya, ‘orang tersebut jahil, sebab nabi bersabda, ‘sesungguhnya allah menjadikan rizkiku di bawah naungan pedangku’ dan sabdanya, ‘andaikan kalian tawakal dengan sebenarnya niscaya allah akan memberi rizki kepada kalian seperti telah memberi rizki kepada burung. Nabi menyebutkan, kawanan burung tersebut pergi pagi-pagi untuk mencari rizki. Dan para sahabat berdagang dan memelihara pohon-pohon kurma mereka. Maka contohlah mereka. (Fathul Bari 7/107)

Pembaca budiman yang dirahmati allah, jika engkau tawakal kepada allah dengan benar, engkau harus melaksanakan sebab (berusaha) yang disyariatkan allah bagimu. Yaitu mencari rizki secara halal, bisa dengan tani, berdagang, menjadi pekerja pada pekerjaan apa saja yang dapat mendatangkan rizki dengan bergantung kepada allah niscaya allah akan memudahkan rizki bagimu.
Nabi adalah orang yang paling tawakal kepada allah. Namun demikian beliau melakukan usaha. Beliau ketika bepergian membawa perbekalan, ketika perang uhud memakai dua baju besi dan ketika hijrah ke madinah menyewa penunjuk jalan. Beliau tidak mengatakan, “aku akan hijrah dan aku tawakal kepada allah”. Beliau juga berlindung dari panas dan dingin. Hal ini tidak mengurangi tawakalnya. Justru menunjukkan, bahwa beliau betul-betul tawakal kepada allah. Dan itulah tawakal yang sebenarnya.

Mudah-mudahan dengan tawakal kita kepada allah yang sebenar-benarnya kita semua selamat dalam menghadapi berbagai problema dan kesulitan hidup sebagaimana mestinya, tidak tergelincir ke jurang kenistaan. Optimis dalam menghadapi kesulitan hidup dan percaya diri dalam menatap masa depan, adalah salah satu kunci kesuksesan dalam menjalani hidup ini. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Oleh : Ahmad Wandi Al Mas’udy

sumber: Daarut Tauhid

 

Silakan simak artikel mengenal Tawakal lainnya, klik di sini!