Ketika Orang Beriman Akan Meninggal Dunia

SESUNGGUHNYA bila seorang yang beriman hendak meninggal dunia dan memasuki kehidupan Akhirat, ia didatangi oleh segerombol Malaikat dari Langit.

Wajah mereka putih bercahaya bak matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari Surga. Selanjutnya mereka akan duduk sejauh mata memandang dari orang tersebut. Pada saat itulah Malaikat Maut alaihissalam menghampirinya dan duduk di dekat kepalanya.

Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata, “Wahai jiwa yang baik, bergegas keluarlah dari ragamu menuju kepada ampunan dan keridhaan Allah.”

Segera ruh orang Mukmin itu keluar dengan begitu mudah dengan mengalir bagaikan air yang mengalir dari mulut guci. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat maut menyambutnya. Dan bila ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para Malaikat yang telah terlebih dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkannya sekejap pun berada di tangan Malaikat Maut.

Para Malaikat segera mengambil ruh orang Mukmin itu dan membungkusnya dengan kain kafan dan wewangian yang telah mereka bawa dari Surga. Dari wewangian ini akan tercium semerbak bau harum, bagaikan bau minyak misik yang paling harum yang belum pernah ada di dunia.

Selanjutnya para Malaikat akan membawa ruhnya itu naik ke Langit. Tidaklah para Malaikat itu melintasi segerombolan Malaikat lainnya, melainkan mereka akan bertanya, “Ruh siapakah ini, begitu harum?”

Malaikat pembawa ruh itupun menjawab, “Ini adalah arwah Fulan bin Fulan (disebut dengan namanya yang terbaik yang dahulu semasa hidup di Dunia ia pernah dipanggil dengannya).” (HR. Imam Ahmad, dan Ibnu Majah) []

INILAH MOZAIK

Wafat Sesuai Rencana Allah

MANUSIA lahir dalam keadaan yang berurutan, tetapi manusia wafat sesuai dengan rencana Allah SWT. Tidak ada yang bisa membuat kita meninggal, kecuali memang sudah waktunya.

Termasuk para korban kecelakaan jatuhnya pesawat JT610 yang takdirnya sudah dipanggil oleh Allah SWT. Mereka meninggal, karena memang sudah waktunya untuk meninggal.

Dan yang memang belum takdirnya, pasti ada rahasia Allah SWT untuk bisa menghentikan seseorang dari kecelakaan tersebut. Bisa tertinggal pesawat dan dibuat terlambat. Atau bisa juga diberikan kegiatan lain, yang membuat orang tersebut tidak jadi ikut menaiki pesawat ini.

Oleh karena itu, dengan kejadian ini jangan sampai membuat kita hanya ingat kepada kematian, tapi malah melupakan Allah SWT yang bisa memerintahkan malaikat maut untuk mencabut nyawanya. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Hai Jiwa yang Tenang, Kembalilah Pada Tuhanmu (2)

DARI beragam bentuk nafs yang disebutkan oleh Alquran itu, kita berharap memiliki bentuk nafs yang paling tinggi dan paling mulia, yaitu al-nafs al-muthmainnah, jiwa yang tenang.

Dalam kitab Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, Al-Baghdadi menjelaskan bahaw makna al-nafs al-muthmainnah adalah jiwa yang tetap pada keimanan dan keyakinan, membenarkan firman Allah, meyakini bahaw Allah adalah Tuhannya, tunduk serta taat kepada perintah Allah, rida dengan ketetapan (qadla) serta takdir (qadar) Allah, yang selalu tenang dan damai dengan terus berzikir kepada Allah.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana agar agar jiwa kita bisa mencapai tingkat tertinggi, yakni jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah)?

Dalam pandangan penulis, setidaknya ada dua faktor yang menentukan seseorang untuk dapat mencapai tingkat kualitas jiwa tertinggi (al-nafs al-muthmainnah), yaitu: faktor internal dan faktor eksternal.

Pertama, faktor internal, yaitu berasal dari dalam diri seseorang. Dalam setiap diri manusia itu ada yang paling menentukan segala tindakan serta tingkah lakunya. Dia adalah hati. Hati yang dalam bahasa Arab disebut qalb (yang mudah terbolak-balik) adalah penentu segala aktivitas kita. Jika hati kita selalu mengingat Allah, maka perilaku kita akan selalu menghasilkan hal positif, dan jiwa kita pun menjadi tenang. Tetapi sebaliknya, jika hati cenderung lalai kepada Allah, maka perilaku kita akan menghasilkan hal negatif, dan jiwa kita akan gelisah.

Kedua, faktor eksternal, yaitu berasal dari luar diri kita berupa hidayah yang datang dari Allah Swt. Hidayah atau petunjuk Allah akan datang kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Meski demikian, bukan berarti manusia tidak punya peran dalam hal ini. Kita harus terus berusaha untuk menjemputnya. Dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk menjemput hidayat tersebut, maka insya Allah hidayah pun akan datang kepada kita. Dengan datangnya hidayah ini, maka hati kita akan tetap terjaga. Dengan demikian, jiwa pun menjadi tenang.

Semoga kita termasuk ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang kelak disambut dengan panggilan mesra: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.”

[Didi Junaedi]/selesai.

INILAH MOZAIK

Hai Jiwa yang Tenang, Kembalilah Pada Tuhanmu (1)

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diradai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr [89]: 27-30)

Wahai jiwa yang telah yakin pada kebenaran, tidak diliputi keraguan, tetap pada aturan syariat, tidak tergoda dengan syahwat (nafsu duniawi), serta tidak tergoyahkan dengan keinginan semu, kembalilah pada tempat yang mulia di sisi Tuhanmu, yang telah rida dengan segala amalmu ketika di dunia, keridaan atasmu…maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku yang mulia, tempuhlah jalan mereka…maka nikmatilah segala yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, terdetik dalam hati. Demikian penjelasan Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya, Al-Maraghi, ketika menafsirkan rangkaian ayat di atas.

Di dalam Alquran, kata yang biasa dipakai untuk menunjukkan makna jiwa adalah kata ‘nafs’. Secara eksplisit, Alquran menyebut tiga jenis nafs, yaitu: 1) al-nafs al-muthmainnah, terdapat dalam QS. Al-Fajr [89]: 27; 2) al-nafs al-lawwamah, terdapat dalam QS. Al-Qiyamah [75]: 2; 3) al-nafs al-ammarah bi al-su’, terdapat dalam QS. Yusuf [12]: 53.

Selain ketiga jenis nafs di atas, Alquran juga menyebut istilah nafs zakiyyah, seperti terdapat dalam QS. Al-Kahfi [18]: 74.

Menurut Ahmad Mubarok dalam bukunya, Jiwa dakan Alquran, dari empat tingkatan itu dapat digambarkan bahwa pada mulanya, ketika seorang manusia belum mukallaf, jiwanya maha suci (zakiyah). Ketika sudah mencapai mukallaf dan berinteraksi dengan lingkungan kehidupan yang menggoda, jika ia merespons secara positif terhadap lingkungan hidupnya, maka nafs itu dapat meningkat menjadi nafs muthmainnah, setelah terlebih dahulu berproses di dalam tingkat nafs lawwamah. Akan tetapi, jika nafs itu merespons lingkungan secara negatif, maka ia dapat menurun menjadi nafs ammarah dengan segala karakteristik buruknya. [Didi Junaedi]/bersambung…

INILAH MOZAIK

Cara Meminta Maaf kepada Orang yang Sudah Wafat

MENURUT mazhab Syafi’i, jika kita pernah menzalimi seseorang, kita harus meminta maaf dan menyebutkan sebabnya. Oleh karena itu, seseorang yang menggunjing orang lain dan ingin meminta maaf haruslah menyebutkan ucapannya dan siapa saja yang bersamanya dikarenakan untuk tujuan yang berbeda.

Sehingga pemberian maaf tidak akan berpengaruh bila tidak diketahui sebabnya. Berbeda dengan mazhab Maliki dan Hanafi yang menyatakan bahwa tidak wajib memerinci secara detail ketika meminta maaf.

Jika terdapat kesulitan dalam meminta maaf, seperti orang yang digunjing telah meninggal atau sulit menemuinya karena lama tak berjumpa, hendaklah beristighfar untuknya.

Begitu pula jika gunjingannya tidak dapat disampaikan maka cukup adanya penyesalan dan istighfar untuknya. Bila keadaannya seperti itu bahkan tidak diperbolehkan mengungkapkannya. Ibnu Al-Mubarak berkata, “Janganlah kamu mengganggunya dua kali.”

Jika pelaku telah menyesali dan beristighfar untuknya, itu cukup baginya meskipun setelah itu gunjingan itu didengar oleh orang yang digunjingkan. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu ‘Adiy, “Jika seseorang di antara kalian menggunjing saudaranya, hendaklah beristighfar untuknya. Sesungguhnya itu merupakan penebusnya.”

INILAH MOZAIK

Empat Sebab Seseorang Wafat dalam Keadaan Buruk

DIKISAHKAN bahwa seorang lelaki masuk negeri Romawi, ia melihat seorang wanita dan ia pun tertarik maka dilamarnya.

Namun, mereka enggan mengawinkannya hingga ia mau pindah agama Nasrani. Ia pun menerima tawaran mereka, sehingga dihadirkan para pendeta dan dibaptis menjadi Nasrani.

Keluarlah wanita itu dan meludah di wajahnya seraya berkata,

“Celaka kamu, kamu tinggalkan agama yang benar sekadar untuk syahwat, sungguh aku tinggalkan agama yang batil untuk mendapatkan kenikmatan yang kekal. Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.”

Kisah di atas menunjukkan salah satu kelembutan Allah dan keluasan rahmat-Nya bahwa perubahan manusia dari buruk menuju baik banyak terjadi, sedangkan perubahan mereka dari baik menuju buruk sangatlah sedikit dan jarang terjadi. Tidaklah terjadi, kecuali orang yang terus-menerus dalam perbuatan dosa besarnya.

Seorang ulama berkata, “Sebab-sebab seseorang mendapat akhir yang buruk, ada empat hal, yakni meremehkan shalat, artinya bermalas-malasan dalam mengerjakannya, minum khamr, mengganggu kaum muslimin dan durhaka kepada orang tua.”

Semoga Allah melindungi kita dari akhir kehidupan yang buruk. Amin.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2298129/empat-sebab-seseorang-wafat-dalam-keadaan-buruk#sthash.pCut4lef.dpuf