8 Cara Khatam Quran Selama Ramadan

Khatam Quran selalu menjadi dambaan muslim ketika menjalankan ibadah selama Ramadan. Banyak yang berhasil tak jarang juga yang gagal di tengah jalan.

Dream – Khatam Alquran telah menjadi keinginan setiap muslim kala memasuki Ramadan. Ada yang konsisten melaksanakan tak jarang gagal di tengah jalan.

Quran adalah kata-kata Allah yang merupakan mukjizat yang diturunkan atau diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Setiap Muslim mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap kitab sucinya. Di antara tanggung jawab dan kewajiban itu adalah mempelajari dan mengamalkannya.

Mengutip laman onislam.net, Selasa, 16 Juni 2015, berikut delapa tips yang mungkin bisa Anda ikuti agar tadarus Alquran bisa khatam sebelum Ramadhan usai.

1. Membangun niat

Nabi Muhammad mengajarkan kita – melalui kata-kata dan tindakannya – tentang pentingnya memiliki niat atau tujuan. Membangun niat merupakan katalis yang efektif untuk memacu kita membaca Alquran. Setelah ada niat, ingatlah untuk sesering mungkin memperbaruinya. Sebab, niat bisa saja pudar, bahkan hilang sama sekali sehingga kita menjadi malas untuk memulainya lagi.

2. Jangan merasa kewalahan

Kebanyakan orang yang ingin khatam Alquran di bulan Ramadhan, merasa kewalahan dengan jumlah halaman atau panjangnya beberapa surat. Hilangkan pikiran negatif dan kata-kata ‘Saya tidak mampu’ dari pikiran Anda.

Percayalah kepada Allah dengan diimbangi berjuang melalui tindakan nyata. Ingatkan diri Anda bahwa Anda sepenuhnya mampu mencapai tujuan khatam Alquran.

3. Rencanakan rutinitas dan waktu membaca

Sebelum memulai bacaan, sangat penting untuk merencanakan rutinitas dan waktu agar Anda bisa khatam Alquran meski sibuk dengan pekerjaan. Mungkin Anda bisa membacanya saat jam istirahat, ada sedikit waktu saat bekerja & komitmen lain yang mungkin Anda miliki.

Buatlah rencana yang realistis bagaimana menyelesaikan bacaan Alquran dalam waktu sebulan dengan membagi setiap Juz per hari. Susun rencana secara bijaksana dan tinjau terus-menerus. Setelah itu wujudkan ke dalam tindakan.

4. Pahami Alquran

Baca terjemahan ketika membaca Alquran sehari-hari. Memiliki pengetahuan dasar tentang tema, topik, pesan dan makna dari apa yang Anda baca, membuat acara membaca Alquran menjadi pengalaman yang sangat menggembirakan. Anda bahkan tidak ingin kehilangan momen tersebut.

5. Ajak teman untuk tadarus bersama

Cari teman-teman atau saudara yang punya keinginan yang sama untuk khatam Alquran di Bulan Ramadhan. Mereka akan menjadi teman rohani Anda. Melibatkan teman akan mempercepat langkah Anda untuk khatam Alquran. Minta mereka untuk mengingatkan janji dan tujuan Anda khatam Alquran.

Jika perlu, buat sebuah kompetisi membaca Alquran kecil-kecilan. Ini akan memotivasi dan menginspirasi Anda untuk semakin semangat menyelesaikan bacaan Alquran.

6. Manfaatkan waktu sebaik-baiknya

Sebuah kisah inspiratif tentang memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Seorang ibu sedang menunggu dokter memeriksa anaknya yang tengah sakit. Dia kemudian melihat seorang gadis Muslim yang menggunakan waktunya dengan cara yang paling efektif dan menguntungkan secara rohani. Gadis itu membaca Alquran berukuran saku. Pelajaran yang harus diambil di sini: Miliki sebuah Alquran mini dalam saku dan jadikan teman terbaik di bulan Ramadhan ini. Dengan cara ini, Anda sudah memanfaatkan setiap kesempatan dan momen untuk bersama Allah melalui bacaan Alquran.

Salah satu waktu terbaik untuk membaca Alquran, adalah setelah sahur atau satu atau dua jam sebelum pergi kerja atau sekolah. Nabi Muhammad meminta kepada Allah untuk memberkati umat Islam di waktu awal-awal hari. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa belajar di pagi hari membangkitkan kinerja yang lebih baik pada siswa. Jadi jangan lewatkan membaca Alquran di pagi hari.

Cara lainnya adalah membaca 6-8 halaman Alquran setiap shalat wajib. Lebih bagus lagi jika juga dilakukan setelah shalat malam.

7. Tetap sabar dan konsisten

Kunci keberhasilan adalah konsistensi. Setelah Anda memetakan rencana, maka konsistenlah dengan rencana itu. Ingatkan diri Anda tentang kebesaran bulan Ramadhan, yang memberikan kesempatan bagi spiritual Anda untuk meningkat, termasuk hubungan Anda dengan Alquran.

8. Selalu berdoa kepada Allah

Tidak ada yang dapat dicapai tanpa bantuan dan bimbingan dari Allah. Ketika membuat niat, berdo’a kepada Allah agar mempermudah tujuan mulia Anda ini. (Ism)

Smartphone, Media Sosial dan Anak-anak Muslim

Di era digital saat ini, anak-anak tumbuh dengan obsesi yang kuat pada gadget teknologi modern. Mereka benar-benar ‘gila’ untuk menggunakan setiap jenis gadget yang tersedia seperti komputer, tablet, smartphone dan orang tua tampaknya telah kehilangan kontrol atas mereka. Di sisi lain, sebagian dari kita benar-benar mendorong anak-anak kita untuk menggunakan gadget ini. Orangtua memberikan perangkat ini untuk mereka sebagai hadiah ulang tahun atau sebagai bujukan agar mereka lulus ujian.

Kebutuhan untuk melindungi anak-anak kita dari penyalahgunaan gadget ini dan dari sudut gelap web memang tidak bisa terlalu ditekankan. Membiarkan mereka tanpa mengontrol aksesnya ke internet berarti memberi mereka undangan terbuka terhadap perbuatan keji dan tak tahu malu. Hal ini juga merupakan ancaman utama bagi keimanan mereka karena internet, selain memiliki beberapa informasi yang dapat diandalkan, juga mengandung sejumlah besar komponen yang melukiskan gambaran yang sangat negatif dari Islām dan syariah. Kita harus memahami bahwa anak-anak belum siap untuk membedakan antara Haqq (kebenaran) dan Bathil (kepalsuan).

Facebook, di samping situs sosial lainnya, adalah tempat yang menakutkan bagi anak-anak kita dan mereka tidak boleh diizinkan untuk mengunjunginya. Mereka dapat dengan mudah tertarik berinteraksi dengan lawan jenis, sebuah tindakan yang dilarang dalam Islam.

Bahkan orang Barat yang berpikiran liberal, kini mempertimbangkan tentang dampak perangkat ini jika dimiliki anak-anak. Berikut ringkasan dari salah satu penulis Barat yang berpikir tentang efek negatif perangkat ini bagi anak :

10 Alasan agar Anda tidak Memberikan Anak Anda Sebuah Smartphone

Teknologi telah banyak membuat hidup kita lebih mudah dan lebih efisien. Namun sebagai orang tua, Anda harusnya khawatir tentang dampak perangkat seperti smartphone yang anak Anda miliki. Ketika memiliki perangkat mobile sendiri bagi anak-anak dianggap sesuatu yang biasa, tidakkah seharusnya Anda khawatir tentang dampak negatif apa yang akan ditimbulkan smartphone pada pertumbuhan anak Anda?

  1. Mengubah hubungan antara orangtua dan
  2. Membatasi pikiran kreatif mereka.
  3. Menyebabkan mereka kurang tidur.
  4. Tidak memberikan waktu bagi anak-anak untuk merenung atau belajar tentang konsekuensi dari tindakan mereka.
  5. Menghambat kemampuan mereka untuk belajar.
  6. Menyebabkan kecanduan.
  7. Memiliki dampak negatif pada kesehatan mental anak Anda.
  8. Menyebabkan obesitas secara tidak langsung.
  9. Menyebabkan masalah perilaku.
  10. Menyebabkan sensitifitas anak untuk melakukan

Melalui smartphone, anak-anak terkena dampak kekerasan dalam game dan melaluicyberbullying di situs chat. Ini menyebabkan sensitifitas anak-anak dan mendorong mereka untuk menerima bahwa perilaku kekerasan hanyalah sebuah cara biasa untuk memecahkan masalah.

Bukankah kita umat Islam seharusnya lebih sensitif berkaitan dengan masalah ini?

Wallahu’alam.

(fauziya/muslimahzone.com)

Puasa Saat Safar, Bolehkah?

Bolehkah puasa saat safar, baik puasa wajib (Ramadhan) ataukah puasa sunnah?

Dalam Majmu’ah Al Fatawa, Syaikhul Islam ditanya mengenai safar ketika puasa Ramadhan, bolehkah untuk mengqashar shalat dan bolehkah tidak berpuasa saat itu?

Ibnu Taimiyah menjawab, “Mengenai masalah ini ada beda pendapat di antara para ulama. Yang tepat, boleh baginya mengqashar shalat saat safar dan tidak berpuasa di hari Ramadhan saat bersafar. Sebagaimana penduduk Makkah mengqashar shalat ketika bermakmum di balakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat berada di Arafah dan Muzdalifah. Padahal Arafah ke Masjidil Haram berjarak yang disebut barid. Penyebutan safar sendiri adalah selama disebut safar secara mutkak, itulah yang dimaksud dalam Al Qur’an dan Hadits.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 16).

Manakah yang lebih afdhal bagi musafir, apakah berpuasa ataukah tidak?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menjawab, “Yang lebih afdhal adalah yang paling mudah baginya. Jika dalam puasa terdapat bahaya, maka puasa dihukumi haram. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa’: 29). Ayat ini menunjukkan bahwa jika ada bahaya, maka terlarang untuk melakukannya. (Syarhul Mumthi’, 6: 328)

Baca artikel Rumaysho.Com: Puasanya Musafir

Wallahu waliyyut taufiq.

 

Referensi:

Majmu’ah Al Fatawa, Ahmad bin Taimiyah Al Haroni (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah), terbitan Darul Wafa’, cetakan keempat, tahun 1432 H.

Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1424 H.

Disusun di Panggang, Gunungkidul, 8 Rajab 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: Rumaysho.Com

Yang Mendapatkan Keringanan Tidak Berpuasa

Ada di antara beberapa orang yang mendapatkan keringanan tidak berpuasa. Siapakah mereka?

1- Orang yang sakit

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Orang sakit yang boleh tidak puasa adalah jika mendapatkan mudarat dengan puasanya.[1]

2- Orang yang bersafar

Dalil seorang musafir boleh tidak berpuasa adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).

Musafir punya pilihan boleh tidak puasa ataukah tetap berpuasa.[2] Dari Abu Sa’id Al Khudri dan Jabir bin ‘Abdillah, mereka berkata,

سَافَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَيَصُومُ الصَّائِمُ وَيُفْطِرُ الْمُفْطِرُ فَلاَ يَعِيبُ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ

Kami pernah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ada yang tetap berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Namun mereka tidak saling mencela satu dan lainnya.“[3]

Namun manakah yang lebih utama baginya, apakah berpuasa ataukah tidak? Di sini bisa dilihat pada tiga kondisi:

a- jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.

b- jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa. Alasannya karena lebih cepat terlepasnya beban kewajiban dan lebih mudah berpuasa dengan orang banyak daripada sendirian.

c- jika tetap berpuasa malah membinasakan diri sendiri, maka wajib tidak puasa.[4]

3- Orang yang sudah tua renta (sepuh)

Selain berlaku bagi orang tua renta (sepuh) yang tidak mampu puasa, juga berlaku untuk orang yang sakit yang tidak bisa sembuh sakit lagi dari sakitnya (tidak bisa diharapkan sembuhnya).

Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184).

Begitu pula yang mendukungnya adalah riwayat berikut,

عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ) . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca firman Allah Ta’ala (yang artinya), “ Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin “. Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat itu tidaklah mansukh (dihapus). Ayat itu berlaku untuk orang yang sudah sepuh dan wanita yang sudah sepuh yang tidak mampu menjalankan puasa. Maka hendaklah keduanya menunaikan fidyah, yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa.”[5]

4- Wanita hamil dan menyusui

Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.“[6]

Asy Syairozi -salah seorang ulama Syafi’i- berkata, “Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak puasa dan punya kewajiban qadha’ tanpa ada kafarah. Keadaan mereka seperti orang sakit. Jika keduanya khawatir pada anaknya, maka keduanya tetap menunaikan qadha’, namun dalam hal kafarah ada tiga pendapat.”[7]

Imam Nawawi berkata, “Wanita hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa karena khawatir pada keadaan dirinya, maka keduanya boleh tidak puasa dan punya kewajiban qadha’. Tidak ada fidyah ketika itu seperti halnya orang yang sakit. Permasalahan ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Begitu pula jika khawatir pada kondisi anak saat berpuasa, bukan pada kondisi dirinya, maka boleh tidak puasa, namun tetap ada qadha’. Yang ini pun tidak ada khilaf. Namun untuk fidyah diwajibkan menurut madzhab Syafi’i.”[8]

Sedangkan mewajibkan hanya menunaikan fidyah saja bagi wanita hamil dan menyusui tidaklah tepat. Ibnu Qudamah berkata, “Wanita hamil dan menyusui adalah orang yang masih mampu mengqadha’ puasa (tidak sama seperti orang yang sepuh). Maka qadha’ tetap wajib sebagaimana wanita yang mengalami haidh dan nifas. Sedangkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 menunjukkan kewajiban fidyah, namun itu tidak menafikan adanya qadha’ puasa karena pertimbangan dalil yang lain.  … Imam Ahmad sampai berkata, “Aku lebih cenderung memegang hadits Abu Hurairah dan tidak berpendapat dengan pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar yang berpendapat tidak wajibnya qadha’.”[9]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, “Lebih tepat wanita hamil dan menyusui dimisalkan seperti orang sakit dan musafir yang punya kewajiban qadha’ saja (tanpa fidyah). Adapun diamnya Ibnu ‘Abbas tanpa menyebut qadha’ karena sudah dimaklumi bahwa qadha’ itu ada.”[10] Kewajiban qadha’ saja yang menjadi pendapat ‘Atho’ bin Abi Robbah dan Imam Abu Hanifah.[11]

Sehingga wanita hamil dan menyusui masih terkena ayat,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

 [Tulisan di atas dicuplik dari Buku Panduan Ramadhan cetakan keenam tahun 2014 karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal yang dibagikan gratis kepada kaum muslimin, diterbitkan oleh Pustaka Muslim Yogyakarta. Bagi yang ingin mendownload buku tersebut silakan buka di sini]

 

[1] Lihat Al Majmu’, 6: 174, juga Manhajus Salikin, hal. 112.

[2] Idem.

[3] HR. Muslim no. 1117.

[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 120-121.

Adapun hadits-hadits yang membicarakan keutamaan tidak berpuasa saat bersafar, maka itu dimaksudkan untuk orang yang mendapatkan mudarat jika tetap berpuasa. (Lihat Al Majmu’ karya Imam Nawawi, 6: 175).

[5] HR. Bukhari no. 4505.

[6] HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[7] Al Majmu’, 6: 177.

[8] Idem.

[9] Al Mughni, 4: 395.

[10] Syarhul Mumthi’, 6: 350. Lihat pula pendapat Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dalam Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15: 225 dan Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin Jibrin dalam Syarh ‘Umdatul Fiqh, 1: 576-577.

[11] Para ulama dalam masalah qadha’ dan fidyah bagi wanita hamil dan menyusui memiliki empat pendapat. [Pendapat pertama] Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Sa’id bin Jubair berpendapat bahwa boleh keduanya tidak puasa dan ada kewajiban fidyah, namun tidak ada qadha’ bagi keduanya. [Pendapat kedua] ‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan, Adh Dhohak, An Nakho’i, Az Zuhri, Robi’ah, Al Awza’i, Abu Hanifah, Ats Tsauri, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, dan ulama Zhahiri berpendapat bahwa keduanya boleh tidak puasa namun harus mengqadha’, tanpa ada fidyah. Keadaannya dimisalkan seperti orang sakit. [Pendapat ketiga] Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa keduanya boleh tidak puasa, namun wajib menunaikan qadha’ dan fidyah sekaligus. Pendapat ini juga dipilih oleh Mujahid. [Pendapat keempat] Imam Malik berpendapat bahwa wanita hamil boleh tidak puasa, namun harus mengqadha’ tanpa ada fidyah. Namun untuk wanita menyusui, ia boleh tidak puasa, namun harus mengqadha’ sekaligus menunaikan fidyah. Ibnul Mundzir setelah menyebutkan pendapat-pendapat ini, ia lebih cenderung pada pendapat ‘Atho’ yang menyatakan ada kewajiban qadha’, tanpa fidyah. (Lihat Al Majmu’, 6: 178).

29 Rajab 1435 H, Pesantren Darush Sholihin

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

5 Amalan Pelebur Dosa di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh ampunan. Sampai-sampai dikatakan oleh para ulama, kalau tidak di bulan Ramadhan mendapatkan ampunan lantas di bulan mana lagi?

Berikut disebutkan beberapa amalan yang bisa melebur dosa di bulan Ramadhan.

1- Shalat lima waktu, bertemu dengan hari Jumat dan bertemu dengan Ramadhan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Antara shalat yang lima waktu, antara jum’at yang satu dan jum’at berikutnya, antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)

2- Amalan puasa Ramadhan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)

Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ

Keluarga, harta, dan anak dapat menjerumuskan seseorang dalam maksiat (fitnah). Namun fitnah itu akan terhapus dengan shalat, shaum, shadaqah, amar ma’ruf (mengajak pada kebaikan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran).” (HR. Bukhari no. 3586 dan Muslim no. 144)

3- Qiyam Ramadhan (shalat Tarawih)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759)

4- Menghidupkan shalat malam pada Lailatul Qadar

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melaksanakan shalat pada lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menerangkan bahwa pengampunan dosa pada lailatul qadar adalah apabila seseorang mendapatkan malam tersebut, sedangkan pengampunan dosa pada puasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) adalah apabila bulan Ramadhan telah usai. (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 365-366)

5- Zakat fitrah

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari kata-kata yang sia-sia dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan pada orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Zakat fitrah di penghujung Ramadhan, itu juga adalah sebab mendapatkan ampunan Allah. Karena zakat fitrah akan menutupi kesalahan berupa kata-kata kotor dan sia-sia. Ulama-ulama terdahulu mengatakan bahwa zakat fitrah adalah bagaikan sujud sahwi (sujud yang dilakukan ketika lupa, pen.) dalam shalat, yaitu untuk menutupi kekurangan yang ada. (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 377)

Kalau banyak ampunan seperti itu di bulan Ramadhan, seharusnya setiap yang keluar dari bulan Ramadhan keadaannya sebagaimana disebutkan oleh Muwarriq Al-‘Ijliy,

يَرْجِعُ هَذَا اليَوْمَ قَوْمٌ كَمَا وَلدَتْهُمْ أُمَّهَاتُهُمْ

“Hari ini kembali suatu kaum sebagaimana mereka baru dilahirkan oleh ibu-ibu mereka.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 366). Artinya, mereka kembali bersih dari dosa.

Sungguh sangat disayangkan jika keluar dari bulan Ramadhan tidak membawa ampunan apa-apa.

Qatadah rahimahullah mengatakan,

مَنْ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فِي رَمَضَانَ فَلَنْ يُغْفَرَ لَهُ فِيْمَا سِوَاهُ

“Siapa saja yang tidak diampuni di bulan Ramadhan, maka sungguh di hari lain (di luar Ramadhan), ia pun akan sulit diampuni.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 371)

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan,

فَلَمَّا كَثُرَتْ أَسْبَابُ المغْفِرَةِ فِي رَمَضَانَ كَانَ الَّذِي تَفُوْتُهُ المغْفِرَةُ فِيْهِ مَحْرُوْمًا غَايَةَ الحِرْمَانِ

“Tatkala semakin banyak sebab mendapatkan pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapatkan pengampunan tersebut, sungguh dia benar-benar telah bernasib buruk.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 371)

Semoga bermanfaat sebelum mengawali bulan Ramadhan.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Selesai disusun @ Darush Sholihin Panggang, Gunungkidul, menjelang Isya, 26 Sya’ban 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

 

sumber: Rumaysho.Com

Tiga Waktu Terkabulnya Doa di Bulan Ramadhan

Ada tiga waktu terkabulnya doa di bulan Ramadhan. Raihlah keutamaan tersebut dengan terus memperbanyak doa.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa masalah ini disebutkan di sela-sela penyebutan hukum puasa. Ini menunjukkan mengenai anjuran memperbanyak do’a ketika bulan itu sempurna, bahkan diperintahkan memperbanyak do’a tersebut di setiap kali berbuka puasa. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2: 66).

Pernyataan yang dikatakan oleh Ibnu Katsir menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah salah waktu terkabulnya do’a. Namun do’a itu mudah dikabulkan jika seseorang punya keimanan yang benar.

Ibnu Taimiyah berkata, “Terkabulnya do’a itu dikarenakan benarnya i’tiqod, kesempurnaan ketaatan karena di akhir ayat disebutkan, ‘dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran’.” (Majmu’ah Al Fatawa, 14: 33-34).

Perihal Ramadhan adalah bulan do’a dikuatkan lagi dengan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ

Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan, dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a, akan dikabulkan.” (HR. Al Bazaar. Al Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10: 14 mengatakan bahwa perowinya tsiqoh -terpercaya-. Lihat Jami’ul Ahadits, 9: 224)

Ada tiga waktu utama terkabulnya do’a di bulan Ramadhan:

1- Waktu sahur

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Allah berfirman, “Siapa saja yang berdo’a kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari, no. 1145 dan Muslim, no. 758). Ibnu Hajar juga menjelaskan hadits di atas dengan berkata, “Do’a dan istighfar di waktu sahur mudah dikabulkan.” (Fath Al-Bari, 3: 32).

2- Saat berpuasa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizalimi.” (HR. Ahmad 2: 305. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan berbagai jalan dan penguatnya)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan orang yang berpuasa untuk memperbanyak do’a demi urusan akhirat dan dunianya, juga ia boleh berdo’a untuk hajat yang ia inginkan, begitu pula jangan lupakan do’a kebaikan untuk kaum muslimin secara umum.” (Al-Majmu’, 6: 273)

3- Ketika berbuka puasa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terzalimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526, 3598 dan Ibnu Majah no. 1752. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Dalam Tuhfah Al-Ahwadzi (7: 278) disebutkan bahwa kenapa do’a mudah dikabulkan ketika berbuka puasa yaitu karena saat itu, orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri.

Moga Allah memperkenankan setiap do’a kita di bulan Ramadhan.

@ Amaris Hotel Tebet, 20 Sya’ban 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: Rumaysho.Com

7 Alasan Banyak Sedekah di Bulan Ramadhan

Ada 7 alasan kenapa kita diperintah banyak sedekah di bulan Ramadhan. Suri teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan kepada kita untuk banyak bersedekah dan berderma di bulan Ramadhan. Bahkan ada berbagai faedah jika seseorang bertambah semangat bersedekah ketika berpuasa di bulan penuh berkah tersebut.

Dalam shahihain, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدَ النَّاسِ ، وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – يَلْقَاهُ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling gemar bersedekah. Semangat beliau dalam bersedekah lebih membara lagi ketika bulan Ramadhan tatkala itu Jibril menemui beliau. Jibril menemui beliau setiap malamnya di bulan Ramadhan. Jibril mengajarkan Al-Qur’an kala itu. Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling semangat dalam melakukan kebaikan bagai angin yang bertiup.” (HR. Bukhari no. 3554 dan Muslim no. 2307)

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Al juud berarti rajin dan banyak memberi (berderma)” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 291). Jadi maksud hadits adalah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– rajin memberi sedekah pada orang lain di bulan Ramadhan.

Ibnu Rajab juga menyebutkan, “Pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkumpul berbagai macam sifat dermawan. Beliau gemar berderma dengan ilmu dan harta beliau. Beliau juga mengorbankan jiwa untuk memperjuangkan agamanya. Beliau juga memberikan manfaat pada umat dengan menempuh berbagai macam cara. Bentuk kemanfaatan yang beliau berikan adalah dengan memberi makan pada orang yang lapar, menasihati orang yang bodoh, memenuhi hajat dan mengangkat kesulitan orang yang butuh.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 293).

Di halaman lainnya dari kitab Lathaif Al-Ma’arif (hlm. 295), semangat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berderma lebih besar lagi di bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan lainnya.

Apa yang mendorong beliau lebih bersemangat seperti itu?

1- Bulan Ramadhan adalah waktu yang mulia dan pahala berlipat ganda pada bulan tersebut.

2- Rajin berderma pada bulan Ramadhan berarti membantu orang yang berpuasa, orang yang melakukan shalat malam dan orang yang berdzikir supaya mereka mudah dalam beramal. Orang yang membantu di sini akan mendapatkan pahala seperti pahala mereka yang beramal. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenyebutkan keutamaan orang yang memberi makan buka puasa,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5: 192, dari Zaid bin Khalid Al-Juhani. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

3- Di bulan Ramadhan, Allah juga berderma dengan memberikan rahmat, ampunan dan pembebasan dari api neraka, lebih-lebih lagi di malam Lailatul Qadar.

4- Menggabungkan antara puasa dan sedekah adalah sebab seseorang dimudahkan masuk surga. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut,

عَنْ عَلِىٍّ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ فِى الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا ». فَقَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ »

Dari ‘Ali, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di surga ada kamar yang luarnya bisa dilihat dari dalamnya dan dalamnya bisa dilihat dari luarnya.” Lantas orang Arab Badui ketika mendengar hal itu langsung berdiri dan berkata, “Untuk siapa keistimewaan-keistimewaan tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Itu disediakan bagi orang yang berkata yang baik, memberi makan (kepada orang yang butuh), rajin berpuasa, dan melakukan shalat di malam hari ketika manusia terlelap tidur.” (HR. Tirmidzi no. 1984 dan Ahmad 1: 155. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Kata Ibnu Rajab Al Hambali, sifat-sifat yang disebutkan di atas semuanya terkumpul di bulan Ramadhan. Karena orang beriman akan mengumpulkan pada dirinya amalan puasa, shalat malam, sedekah dan berkata yang baik di mana ketika berpuasa dilarang berkata kotor dan sia-sia. Lihat Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 298.

5- Menggabungkan antara sedekah dan puasa adalah sebab kemudahan meraih ampunan dosa dan selamat dari siksa neraka. Lebih-lebih jika kedua amalan tersebut ditambah dengan amalan shalat malam.

Disebutkan bahwa puasa adalah tameng (pelindung) dari siksa neraka,

الصِّيَامُ جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنَ الْقِتَالِ

Puasa adalah pelindung dari neraka seperti tameng salah seorang dari kalian ketika ingin berlindung dari pembunuhan.” (HR. Ibnu Majah no. 1639 dan An Nasai no. 2232. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Mengenai sedekah dan shalat malam disebutkan dalam hadits,

وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ وَصَلاَةُ الرَّجُلِ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ

Sedekah itu memadamkan dosa sebagaimana api dapat dipadamkan dengan air, begitu pula shalat seseorang selepas tengah malam.” (HR. Tirmidzi no. 2616 dan Ibnu Majah no. 3973. Abu Isa At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

6- Dalam puasa pasti ada cacat dan kekurangan, sedekah itulah yang menutupi kekurangan tersebut. Oleh karenanya di akhir Ramadhan, kaum muslimin disyari’atkan menunaikan zakat fitrah. Tujuannya adalah menyucikan orang yang berpuasa. Disebutkan dalam hadits, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari kata-kata yang sia-sia dan dari kata-kata kotor, juga untuk memberi makan kepada orang miskin.” (HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

7- Disyari’atkan banyak berderma ketika puasa seperti saat memberi makan buka puasa adalah supaya orang kaya dapat merasakan orang yang biasa menderita lapar sehingga mereka pun dapat membantu orang yang sedang kelaparan. Oleh karenanya sebagian ulama teladan di masa silam ditanya, “Kenapa kita diperintahkan untuk berpuasa?” Jawab mereka, “Supaya yang kaya dapat merasakan penderitaan orang yang lapar. Itu supaya ia tidak melupakan deritanya orang yang lapar.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 300)

Yang dicontohkan oleh para ulama di antaranya ‘Abdullah bin Al-Mubarak dan Al-Hasan Al-Bashri, mereka biasa memberi makan pada orang lain, padahal sedang berpuasa (sunnah).

Demikian tujuh faedah yang disampaikan oleh Ibnu Rajab yang mendorong kita supaya rajin membantu, memberi dan berderma di bulan Ramadhan. Sehingga itulah mengapa bulan Ramadhan disebut bulanmuwasaah, yaitu bulan yang diperintahkan banyak berderma.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, “Siapa yang tidak bisa menggapai derajat itsar (mendahulukan orang lain dari diri sendiri, pen.), maka jangan sampai ia tidak mencapai derajat orang yang rajin membantu orang lain (muwasah).” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 300)

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku sangat senang ketika melihat ada yang bertambah semangat mengulurkan tangan membantu orang lain di bulan Ramadhan karena meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga karena manusia saat puasa sangat-sangat membutuhkan bantuan di mana mereka telah tersibukkan dengan puasa dan shalat sehingga sulit untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Contoh ulama yang seperti itu adalah Al-Qadhi Abu Ya’la dan ulama Hambali lainnya.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 301)

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah untuk rajin berbuat kebajikan di bulan Ramadhan.

 

Referensi:

Lathaif Al-Ma’arif fii Maa Limawasim Al-‘Aam min Al-Wazhoif. Cetakan pertama tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al Hambali. Penerbit Al-Maktab Al-Islami.

@ Darush Sholihin Panggang, Gunungkidul, 22 Sya’ban 1436 H di pagi hari

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: Rumaysho.Com

Dari Masjid Kita Selamatkan Anak-anak Kita!

Tentu kita prihatin, hari ini banyak masjid yang kurang berfungsi, kecuali hanya untuk sholat semata. Padahal, masjid bisa menjadi tempat sosialisasi yang terbaik bagi anak-anak.

“ANAK-ANAK kaum Muslimin berada dalam bahaya,” ucap seorang ibu dalam sebuah perbincangan ringan usai acara talk show di Depok Jawa Barat.

Seorang ibu yang lainnya pun penasaran, “Bahaya gimana bu?” Ibu yang memulai pembicaraan itu pun menjawab, “Lihat saja anak sekarang, baca Qur’an kurang, sholat masih sulit ditegakkan, ke masjid apalagi. Akhirnya, habis maghrib anak-anak pada asyik nonton TV,” jelasnya dengan mimik serius.*

***

Kegelisahan ibu tadi memang layak kita renungkan. Terlebih jika melihat perkembangan zaman yang kian kurang kondusif bagi terpeliharanya iman pada anak-anak kita.

Selama ini, banyak ulasan tentang mendidik anak sebatas pada teori, metode dan tips bagaimana menjadikan pribadi anak sholeh. Belum ada yang mengurai bagaimana membangun lingkungan anak yang mengantarkan mereka menjadi sholeh dan sholehah.

Padahal, sekuat apa pun keluarga mendidik putra-putrinya dengan bekal iman yang mantap tetapi mereka tidak didukung dengan lingkungan yang positif, kemungkinan tergelincir juga tidak kecil. Hal ini bisa dilihat dari alumnus pondok pesantren yang kemudian hijrah ke kota. Sebagian ada yang telah meninggalkan tradisi penting yang bertahun-tahun dibangun selama di pesantren.

Akan tetapi, kita tidak perlu berdebat pada soal mana yang lebih menentukan, keluarga atau lingkungan. Karena secara fakta pendidkan keluarga yang baik akan semakin bagus jika didukung dengan lingkungan yang baik.

Untuk itu, perlu kiranya para orangtua saat ini untuk bersama-sama berpikir bagaimana membangun lingkungan yang kondusif bagi keimanan dan ketakwaan buah hati kita bersama.

Memakmurkan Masjid

Memakmurkan masjid adalah perkara penting. Mari perhatikan firman Allah ini;

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. 9: 18).

Jadi, tidak mengherankan, jika pertama kali bangunan yang didirikan Rasulullah adalah masjid. Dari masjid itulah segenap kegiatan keumatan dijalankan. Mulai dari pendidikan, sosial hingga militer. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga Muslim harus bahu membahu memakmurkan masjid.

Dalam konteks pendidikan anak, keluarga Muslim harus memiliki kepedulian dengan masjid sehingga masjid tidak saja menjadi tanggug jawab pengurus dalam hal pemakmurannya. Tetapi semua keluarga di sekitar masjid ikut andil memakmurkannya. Apalagi, secara lingkungan, semua orangtua butuh anak-anaknya cinta ibadah. Jika masjid tidak dimakmurkan, bagaimana hal itu bisa diwujudkan?

Program yang Menarik

Tentu kita prihatin, hari ini banyak masjid yang kurang berfungsi, kecuali hanya untuk sholat semata. Padahal, masjid bisa menjadi tempat sosialisasi yang terbaik bagi anak-anak, tempat pendidikan yang terbaik bagi mereka, bahkan tempat yang paling menyenangkan untuk buah hati kita semua.

Lantas bagaimana jika ternyata masjid tidak menarik bagi kebanyakan anak-anak Muslim di negeri ini? Di sinilah tugas orangtua. Harus ada komunikasi yang baik antar orangtua dan pengurus masjid untuk membuat anak-anak tertarik dengan masjid.

Misalnya dengan mengadakan program dengar kisah Nabi dan Rasul yang dipercayakan kepada orang yang memiliki kemampuan bercerita yang menarik. Atau belajar Al-Qur’an Hadits, Shirah dan semua pelajaran dan pengetahuan  sesuai dengan minat anak-anak masa kini.

Jadi, bukan saja anak-anak yang datang ke masjid, sekali waktu perlu ada acara pengajian keluarga dimana anak-anak juga ikut di dalamnya.

Program semacam ini sangat penting bagi keluarga Muslim Indonesia, utamanya untuk mencegah anak-anak salah pergaulan. Di samping juga aman dari berbagai gangguan program-program tidak mendidik dari televisi.

Sungguh keindahan luar biasa jika suatu kampung atau RT yang setiap maghrib sampai isya’ seluruh anak-anak dan orangtuanya asyik mengaji di masjid. Jika itu terjadi, maka secara otomatis anak-anak kita akan mencintai dan memakmurkan masjid. Jika demikian, maka insya Allah hidayah akan tertanam kuat di dalam hati mereka.

Sinergi dengan Sekolah  

Para orangtua juga harus melakukan komunikasi strategis dengan pihak sekolah. Di sekolah biasanya ada musholla atau masjid. Tetapi, sepertinya hal itu sebatas pajangan. Saatnyalah para orang mengusulkan kepada sekolah agar masjid bisa difungsikan. Utamanya untuk sholat berjama’ah, pelajaran agama atau pun dalam proses belajar mengajar itu sendiri.

Dengan demikian, insya Allah kenakalan remaja akan sedikit teredam dan lama kelamaan akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan. Sekolah harus membuat masjid dan lingkungan sekitarnya indah dan menarik serta representatif untuk kegiatan belajar mengajar bagi para siswa.

Jam pelajaran pun harus menghormati waktu sholat. Para orangtua harus usul kepada sekolah agar setiap kali adzan dikumandangkan, jam pelajaran bisa dihentikan sementara untuk bersegera sholat berjama’ah. Dengan demikian, religiusitas para siswa bisa tetap terpelihara.

Jadi, mari kta bangun perhatian dan kecintaan kita terhadap masjid. Memakmurkan masjid adalah tanggung jawab setiap Muslim secara ilahiyah. Tetapi itu adalah suatu kebutuhan bagi pendidikan generasi masa depan. Semakin makmur masjid, akan semakin banyak orang ke masjid. Dengan demikian maka secara lingkungan, anak-anak kita akan terjaga iman dan takwanya.

Jadi tunggu apalagi, demi masa depan bangsa dan negara, mari kita bangun lingkungan pendidikan iman dan takwa yang bagus dengan gerakan kembali ke masjid.

Seperti nasehat Sunan Kalijogo dalam satu syair populer yang pernah digubahnya, “Wong kang Sholeh Kumpulono” yang artinya, berkumpullah dengan orang-orang sholeh. Dimana lagi kalau bukan di masjid?*

(esqiel/hidayatullah/muslimahzone.com)

 

sumber: Muslimah Zone

Kembalikan iPad, Kejujuran Sopir Taksi Berbalas Umrah

Safdirzon mungkin hanya menjalankan SOP yang ada di perusahaannya dan panggilan jiwanya untuk selalu bertindak jujur,”

Dream – Sopir taksi Blue Bird, Safdirzon tak pernah menyangka bisa berangkat umrah. Kebaikannya mengembalikan iPad penumpang yang tertinggal membawanya ke Tanah Suci.

Kejutan yang diperoleh Safdirzon ini bermula ketika dirinya mengantarkan dua orang penumpang. Terburu-buru cek in mengejar pesawat di Bandara Halim Perdanakusuma, sebuah iPad tertinggal dalam taksinya.

Kedua penumpang ini ternyata Direktur Utama Hannien Tour, Farid Rosyidin dan Direktur Humas, Arief Munandar. Keduanya tengah menumpang taksi Safdirzon dari Cibinong menuju Bandara Halim Perdanakusuma.

“Safdirzon mungkin hanya menjalankan SOP yang ada di perusahaannya dan panggilan jiwanya untuk selalu bertindak jujur,” kata Arief Munandar dalam keterangan tertulis yang diperoleh Dream, Selasa, 16 Juni 2015.

Menyadari ada barang penumpang yang tertinggal, Safdirzon segera kembali memutar taksinya ke Bandara Halim Perdanakusuma. Dengan tergesar dia mencoba menghubungi petugas bandara agar bisa masuk ke ruang cek in guna memberitahukan adanya barang yang tertinggal.

“Singkat cerita Safdirzon berhasil mengembalikan iPad Dirut Hannien Tour yang tertinggal di mobilnya,” katanya Arief.

Dia menambahkan, aksi Safdirzon bagi perusahaan travel umrah di Cibonong Bogor ini terbilang luar biasa.

“Kejujuran adalah kesederhanaan yang mewah saat ini. Kami berharap Piagam Kejujuran dan hadiah umrah ini akan membuka mata kita dan para pemimpin negeri ini, bahwa budaya kejujuran ini masih hidup di tengah masyarakat kita.” ungkap Arief

 

sumber: Dream.co.id/ Foto: detik.com