Peliharalah Shalat Ashar-mu

“Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha (Ashar).” (QS al-Baqarah [2]: 238).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada kita untuk selalu menjaga shalat wustha atau yang kita ketahui adalah shalat Ashar. Begitu istimewanya shalat Ashar sehingga Allah mencantumkannya dalam Alquran.

Selain dalam Alquran, Rasulullah pernah bersabda bahwa malaikat datang untuk mencatat amal hamba-hambanya dan pergi pada waktu shalat Subuh dan shalat Ashar. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika pada waktu datang dan perginya malaikat tersebut kita mendirikan shalat.

Waktu Ashar terletak di ujung sore. Ktika itu, tenaga, pikiran, dan jiwa kita sedang berada di ambang batas. Energi kita nyaris habis. Belum lagi, masih harus menyelesaikan setumpuk amanah yang belum selesai. Tugas kantor, tugas kuliah, ataupun tugas kita sebagai hamba Allah.

Maka, di waktu ini banyak dari kita yang lalai sehingga terpedaya oleh setan. Muaranya, banyak dari kita yang terjerumus dalam lubang kebinasaan lantaran mengabaikan waktu Ashar ini. Hal ini sebagaimana terjadi pada sebagian kaum Quraisy yang sering mengabiskan waktu Ashar untuk bercerita tanpa arah yang jelas.

Cerita mereka bermuatan gunjingan, celaan, dan hinaan kepada sesamanya. Ujungnya, mereka mencela waktu Ashar sebagai waktu yang celaka.

Hal ini sebagaimana diungkap oleh HAMKA dalam menafsirkan surah al-Ashr ayat 1. Ashar banyak menyimpan keutamaan. Pertama, shalat Ashar adalah shalat yang disaksikan oleh malaikat bersamaan dengan shalat Subuh. Kedua, amalan yang mengantarkan ke surga,

“Barangsiapa yang mengerjakan shalat bardain (yaitu shalat Subuh dan Ashar) maka dia akan masuk surga.” (HR Bukhari no 574 dan Muslim no 635). Dalam beberapa riwayat lain, Rasulullah juga menyebutkan tentang konsekuensi negatif bagi siapa saja yang meninggalkan atau melewatkan waktu Ashar dengan sengaja.

Bahkan, mereka yang kehilangan shalat di waktu Ashar, dikatakan oleh Rasulullah, kehilangan harta, keluarga, dan semua amal salehhnya. Dari Abdullah bin Umar RA, Rasulullah bersabda, “Orang yang kehilangan shalat Ashar bagaikan orang yang kehilangan keluarga dan harta kekayaannya.” (HR Bukhari no 552).

Dalam riwayat lain juga disebutkan, “Dari Buraidah, bahwa dia mengatakan kepada kaum Muslimin ketika cuaca berawan, karena Nabi SAW pernah bersabda, ‘Orang yang meninggalkan shalat Ashar hilanglah semua amal baiknya.'” (HR Bukhari no 553).

Tidaklah heran jika Rasulullah memerintahkan seluruh umatnya untuk mengisi waktu Ashar dengan memperbanyak doa dan zikir. Keduanya merupakan sarana yang sengaja Allah ciptakan agar kita senantiasa terbentengi dari kejahatan setan yang terus-menerus menabuh genderang perangnya.

Agar kita tetap bersiap siaga ketika waktu Ashar, meski ketika itu fisik dan pikiran kita berada dalam keadaan lelah lantaran seharian bekerja. Semoga.

 

sumber: Republika Online

Deklarasi Perubahan Iklim Islam Inspirasikan 1,6 Miliar Muslim?

Para pemimpin Islam dari seluruh dunia akan menyampaikan sebuah deklarasi, yang menyerukan 1,6 miliar umat Islam untuk merangkul tindakan perubahan iklim sebagai bagian dari kewajiban agama mereka.

Dilansir eenews.net, Selasa (18/8), para aktivis berkumpul di Istanbul dalam acara menyerukan perubahan iklim. Dari pertemuan itu diharapkan ulama Islam dapat menginspirasi masyarakat Muslim untuk membuat masalah itu sebagai prioritas.

“Islam sangat kuat pada perlindungan lingkungan,” kata Wael Hmaidan, Direktur Jaringan Aksi Iklim Internasional, yang membantu untuk mengatur deklarasi tersebut.

“Dari Alquran sampai hadist, benar-benar mengatakan jika itu adalah tanggung jawab manusia, bahwa kita bertugas melindungi penciptaan dan itu adalah bagian dari tugas kita sebagai Muslim,” tambah Wael.

Para pemimpin Muslim akan melahirkan pesan ketika Deklarasi Perubahan Iklim Isla  secara resmi diluncurkan pada akhir simposium selama dua hari. Acara ini diselenggarakan oleh Islamic Relief Worldwide, Yayasan Islam untuk Ekologi dan Ilmu Lingkungan dan juga GreenFaith.

 

sumber: Republika Online

Tak Sesuai Syariah

Bulan lalu saya membesuk anak seorang teman yang tengah menjalani opname di sebuah rumah sakit di Tulungagung, Jawa Timur. Selama empat hari anak itu dirawat karena gangguan lambung dan pencernaan.

Ibu dari anak itu seorang diri membesarkan empat putra-putrinya. Suaminya sudah meninggal sekitar 10 tahun lalu karena kecelakaan. Semula saya menduga, dia akan sedikit mengalami masalah saat harus membayar biaya perawatan sang anak.

Dugaan saya ternyata meleset. Dia justru merasa bersyukur lantaran kali ini tak mengeluarkan sepeser pun dana untuk kebutuhan perawatan sang anak. Keikutsertaan dia dalam program BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan telah menyelesaikan urusan dana yang harus ditanggungnya.

Berkali-kali teman saya itu mengucapkan rasa syukur karena telah memilih untuk mengikuti BPJS Kesehatan. Dia merasa terbantu dan memuji program pemerintah ini.

Ada pula cerita tentang seorang teman yang harus menjalani operasi karena mengidap kanker stadium dini. Operasi di sebuah rumah sakit di Surabaya yang biayanya mencapai lebih dari Rp 200 juta itu tak membuat teman saya menngalami kesulitan. Ya, lagi-lagi kepesertaannya dalam program BPJS Kesehatan telah membantunya.

Di balik itu, tentu masih banyak kasus yang berbeda, yakni adanya masyarakat yang mengalami pelbagai kendala saat akan menggunakan jasa BPJS. Ini tak menutupi fakta adanya keterbatasan dalam pelayanan BPJS Kesehatan.

Di tengah suasana seperti ini, mendadak Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan BPJS Kesehatan sebagai suatu hal yang tak sesuai syariah. Sudah pasti banyak masyarakat yang terkejut bukan kepalang.

Hal yang dianggap tak sesuai syariah oleh MUI adalah unsur gharar (tipuan), maysir (untung-untungan), dan riba (bunga). Unsur tipuan itu terjadi karena ada peserta BPJS Kesehatan yang terlambat membayar iuran lalu terkena denda 2 persen. Selain itu, akibat keterlambatan membayar iuran itu, pasien tersebut tak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Unsur untung-untungan dapat diuraikan berdasarkan prinsip asuransi. Dengan membayar iuran yang belum seberapa atau masih sedikit, seseorang bisa mendapatkan biaya pengobatan yang nilainya berlipat ganda.

Adapun unsur riba adalah pemanfaatan iuran bulanan atau premi. Banyak yang mendapat informasi, bahwa dana yang terkumpul dari mobilisasi uang rakyat itu dipergunakan untuk kegiatan yang mendapatkan untung dari hasil rente. Oleh sebab, itu MUI menganggap hal ini haram.

Sebagian kalangan menyetujui pandangan MUI tersebut. Lantaran itu, pemerintah diminta untuk memenuhi apa yang menjadi ‘fatwa’ ulama tersebut dan menggantikannya dengan produk sejenis yang memenuhi unsur syariah.

Suara penentangan tentu juga ada. Bahkan, mereka yang tak setuju dengan pandangan MUI itu sepertinya jauh lebih banyak. Mereka heran saat MUI menyebut BPJS Kesehatan sebagai sesuatu yang tak sesuai syariah. Menurut mereka, sejak awal BPJS Kesehatan memang bukan produk ekonomi syariah, lalu mengapa diharuskan memenuhi unsur syariah?

Sangat banyak produk milik oleh negara yang sejak awal memang didesain bukan merupakan aktivitas berbasis syariah. Sebut saja perbankan, asuransi, modal ventura, maupun produk lain nonkeuangan yang jumlahnya bejibun.

Jika masalah pemenuhan unsur syar’i (sesuai kaidah syariah) atau tidak, ada hal lain yang menurut saya juga perlu mendapat perhatian MUI. Dana haji yang terkumpul dan dibayarkan oleh jutaan calon jamaah haji bisa mencapai puluhan atau bahkan ratusan triliun rupiah. Mereka telah membayar dana haji sekitar Rp 25 juta kontan, padahal keberangkatan mereka masih beberapa tahun lagi.

Malahan ada yang baru terjadwal berangkat atau menunggu hingga 20 tahun ke depan. Jika dalam satu tahun musim haji saja tak kurang dari 200.000 jamaah dari Indonesia yang berangkat, maka jika dikalikan 10 saja (ada yang menunggu sampai 20 tahun) akan dana dua juta calon jamaah yang telah membayar biaya haji ke pemerintah. Bagaimana pula dengan peruntukan dana yang mengendap lama itu?

Apakah calon jamaah haji juga mendapat penjelasan detail tentang hal itu? Rasanya tak pernah ada. Apalagi faktanya, dana haji ini pun telah dikorupsi oleh pejabat Kementerian Agama. Hal seperti ini yang mestinya juga menjadi sorotan MUI karena langsung terkait aktivitas umat.

Syukurlah, Ketua Umum MUI Pusat, Din Syamsuddin, meredakan ketegangan itu. Din seolah menjadi penengah antara pengelola BPJS Kesehatan dan MUI. Ia lalu menyatakan, bahwa tak ada fatwa haram tentang BPJS Kesehatan. MUI hanya ingin memberi masukan agar BPJS Kesehatan lebih disempurnakan.

Penjelasan Din ini tentu lebih bisa diterima masyarakat luas. Suatu hal yang pasti, konsep dan mungkin pelaksanaan BPJS Kesehatan memerlukan penyempurnaan. Oleh karena itu, perbaikan atas program tersebut perlu terus mendapat perhatian pemerintah.

Masyarakat perlu terus mendorong upaya pemerintah untuk meningkatkan layanan di bidang kesehatan, termasuk program BPJS Kesehatan. Program perbaikan atau penyempurnaan layanan itu bisa jadi akan berlangsung terus-menerus, seiring dengan tuntutan dan perkembangan kehidupan masyarakat yang juga tak henti bergerak dinamis.

Secara bertahap, pemerintah harus mengupayakan untuk meningkatkan anggaran di bidang kesehatan. Model mobilisasi dana kesehatan semacam BPJS bukan tak mungkin kelak harus diubah. Dana iuran BJPS Kesehatan sebaiknya hanya diwajibkan untuk mereka yang berasal dari keluarga mampu. Sedangkan mereka yang berasal dari keluarga tak mampu, sudah semestinya bila pemerintah yang menanggung biayanya.

Malahan saat ini pun ada beberapa kalangan yang tak sependapat dengan penggalanngan dana iuran BPJS Kesehatan. Mereka menuding ini bagian dari manipulasi dana masyarakat. Pemerintah wajib terus meningkatkan anggaran kesehatan bagi masyarakat.

Saat ini anggaran kesehatan di Indonesia mencapai Rp 24,2 triliun. Angka ini merupakan 1,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Persentase anggaran kesehatan dibanding PDB ini termasuk 10 besar terendah di dunia.

 

Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika

Wow….Kemenag Rancang Aplikasi Umrah Online

Kementerian agama sedang merancang aplikasi umrah online. Direktur pembinaan Haji dan Umrah, Muhajirin Yanis mengatakan pembuatan aplikasi ini dimaksudkan untuk memudahkan Kementerian Agama dalam melakukan pemantauan atau monitoring terhadap jamaah umrah.

“Itu pelaporan sistem online untuk provider visa. Kami merencanakan setiap provider visa akan melaporkan pengeluaran visanya melalui sistem aplikasi pelaporan online,” ujar Muhajirin kepada Republika, Jumat (14/8).

Ia menjelaskan,  salah satu bagian paling penting dalam penyelenggaraan ibadah umrah yakni provider visa. Provider visa-lah yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan visa jamaah.

Nantinya, melalui aplikasi ini setiap provider visa akan memasukan nama travel, nama calon jamaah, nomor visa jamaah, rencana keberangkatan, kedatangan di Arab Saudi dan lain  sebagainya.

Ia melanjutkan, sebagai pihak yang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ibadah umrah, Kemenag membutuhkan berapa data riil jumlah jamaah umrah. Untuk itu Kemenag merancang aplikasi umrah online ini. “Harapannya agar kami dapat memonitor jumlah jamaah dan pemberangkatan . Dan mendapat data yang riil berapa jumlah jamah umrah,” katanya.

Rencananya, aplikasi ini akan diluncurkan pada musim umrah tahun mendatang.

 

 

sumber:Republika Online

Islam dan Kemerdekaan (Kebebasan)

“Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia…” Penggalan kalimat proklamasi ini diucapkan Soekarno, di dampingi Hatta, di hadapan masyarakat dunia, tanggal 17 Agustus 1945. Meski singkat, tetapi kalimat ini memiliki makna yang sangat luar biasa bagi rakyat Indonesia. Begitu selesai dibacakan, pekik kemerdekaan : Merdeka ! Merdeka!, terdengar membahana di mana-mana dengan ekspresi kegembiraan yang meluap-luap, berhamburan di pelosok-pelosok seluruh negeri Indonesia. Tetabuhan berdentam-dentam. Dunia kemanusiaan menyambut dengan sukacita. Hari bersejarah itu kemudian dirayakan dengan situasi kegembiraan yang sama setiap tahun oleh seluruh rakyat Indonesia sebaggai hari Lahirnya Negara Indonesia. Bendera merah putih berkibar-kibar dengan gagah di setiap rumah dan setiap tempat diiringi nyanyian kegembiraan dan kegagahan yang mengharukan.

Makna Kemerdekaan.

Kemerdekaan dalam bahasa Arab disebut „al-Istiqlal“. Hari Kemerdekaan disebut Id al-Istiqlal. Ia ditafsirkan sebagai:

التحرر والخلاص من القيد والسيطرة الاجنبية

”al-Taharrur wa al-Khalash min ayy Qaydin wa Saytharah Ajnabiyyah” (bebas dan lepas dari segala bentuk ikatan dan penguasaan pihak lain). Atau

القدرة على تنفيذ مع عدم القسر والعنف من الخارج

“al-Qudrah ‘ala al-Tanfidz ma’a In‘idam Kulli Qasr wa ‘Unf min al-Kharij” (Kemampuan melaktualisasikan diri tanpa adanya segala bentuk pemaksaan dan kekerasan dari luar dirinya).

Dengan kata lain kemerdekaan adalah bebas dari segala bentuk penindasan bangsa lain. Kata lain untuk makna ini adalah “Al-Hurriyyah“. Kata ini biasa diterjemahkan sebagai kebebasan. Dari kata ini terbentuk kata al-Tahrir yang berarti pembebasan. Tahrir al-Mar‘ah berarti pembebasan perempuan. Orang yang bebas/merdeka disebut al-hurr lawan dari al-“abd“ (budak). Penggunaan kata kebebasan dalam konteks kaum muslimin hari ini tampaknya kurang menyenangkan. Sebagian mereka memandangnya dengan sinis. Ini boleh jadi karena kebebasan menjadi milik khas Barat. Padahal al-Qur‘an selalu menyebutkan kata ini, dan bukan kata al-Istiqlal. Dalam teks-teks klasik al-Hurriyyah, kebebasan, amatlah populer dan terpuji.

Akan tetapi makna-makna sebagaimana disebutkan di atas masih amatlah sederhana dan formalistic, masih semi merdeka (Syibh al-Hurriyyah/Istiqlal). Kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17/08/45 barulah gerbang dan pintu yang terbuka.

Kemerdekaan atau Kebebasan dalam maknanya yang sejati dan luas adalah situasi batin yang terlepas dari segala rasa yang menghimpit, yang menekan dan yang menderitakan jiwa, pikiran dan gerak manusia baik yang datang dari dalam diri sendiri maupun dari luar. Kemerdekaan/Kebebasan adalah suasana hati yang damai, yang tenang terbukanya kehendak-kehendak dan harapan-harapan yang manis manusia. Kemerdekaan adalah suasana di mana semua potensi kemanusiaan : energi tubuh, akal-intelek, budi, jiwa dan hati, memperoleh tempat dan jalan menuju harapan-harapannya.

Kemerdekaan adalah sesuatu yang asasi dan yang melekat dalam diri setiap manusia, apapun latarbelakang sosial, budaya, politik, jenis kelamin, agama, keyakinan, warna kulit, kebangsaannya dan seterusnya. Kemerdekaan adalah essensi kemanusiaan itu sendiri. Karena itu ia tidak dapat dan tidak boleh dirampas atau dicabut oleh siapapun. Ia adalah anugerah Tuhan kepada manusia, makhluk-Nya yang paling dihormati. Oleh sebab itu, segala bentuk kebudayaan, peradaban dan setiap sistem kehidupan yang menghalangi, membatasi, yang memenjarakan, dan memperbudak manusia harus dihapuskan dan dilenyapkan dari muka bumi, karena tidak sesuai dengan hakikat manusia.

Islam dan Kemerdekaan

Manusia menurut Islam adalah makhluk yang merdeka/bebas sejak ia ada. Ini di satu sisi. Pada sisi lain ia adalah hamba-Nya, karena dia diciptakan dan Dialah Penciptanya. Manusia adalah makhluk merdeka ketika ia berhadapan dengan sesamanya dan adalah hamba ketika berada di hadapan Tuhan, Penciptanya. Dalam bahasa agama manusia disebut Abd Allah. Jadi, manusia tidak bisa dan tidak boleh menjadi budak bagi manusia yang lain. Perbudakan manusia atas manusia sama artinya dengan melanggar hak Tuhan. Manusia yang memperbudak manusia lain sama dengan memosisikan dirinya sebagai Tuhan Yang Maha Esa.

Nabi Muhammad dan para Nabi yang lain adalah para utusan Tuhan. Mereka ditugaskan membawa misi Tauhid ini, yang tidak lain hanya bermakna memerdekakan dan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan manusia atas manusia yang lain. Al-Qur’an menegaskan: “(Inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang-benderang dengan izin Tuhan mereka”. (Q.S. Ibrahim, [14:1].

Mengeluarkan adalah membebaskan. Kegelapan di sini bermakna, kekafiran, kezaliman, kesesatan dan kebodohan. Cahaya adalah keimanan kepada Tuhan, keadilan, jalan lurus dan Ilmu pengetahuan. Ini semjua merupakan ajaran paling inti dari Islam dan setiap agama yang dibawa para nabi, utusan Tuhan dan para pembawa misi kemanusian yang lain. Karena ia merupakan refleksi dan aksi dari pernyataan Ke-Maha-Esa-an Tuhan.

Kemerdekaan manusia dalam Islam telah diperoleh sejak ia dilahirkan ibunya dan oleh karena itu tidak seorangpun dibenarkan memperbudaknya atas dasar kekuasaan apapun. Keyakinan Islam ini dipraktikkan Nabi melalui perintah-perintahnya kepada manusia untuk membebaskan sistem perbudakan melalui segala cara yang mungkin. Diinspirasi oleh tindakan Nabi ini, Umar bin Khattab, khalifah kaum muslim ke dua, kemudian mengembangkannya melalui tindakan pembebasan penzaliman manusia atas manusia yang lain. Ketika Abdullah, anak Amr bin Ash, Gubernur Mesir, menganiaya seorang petani desa yang miskin, Umar bin Khattab segera memanggil anak sang Gubernur tersebut. Kepadanya Umar mengatakan: “sejak kapan kamu memperbudak orang, padahal ia dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka“. Umar lalu mempersilakan si petani miskin tersebut mengambil haknya yang diperlukan terhadap anak pejabat tinggi negara itu.

Sikap Umar ini memperlihatkan kebijakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin. Dia memperlakukan semua orang yang berada dalam kekuasaannya. Umar ingin menunjukkan bahwa di depan hukum, setiap orang mempunyai hak untuk tidak dihakimi dan dizalimi hanya karena kedudukan sosialnya yang dianggap rendah. Perbedaan status sosial-ekonomi, dalam pandangannya tidak boleh membuat orang yang tak beruntung tidak memperoleh haknya. Sebaliknya orang dengan status sosial beruntung, tidak boleh dibiarkan merampas hak orang lain seenaknya dan dibebaskan dari tindakan hukum. Hal yang terkhir ini pernah disampaikan Nabi: “Andaikata Fatimah, anakku, mencuri, aku pasti akan menghukumnya”.

Kemerdekaan adalah Bertindak Etis

Kemerdekaan manusia meliputi hak untuk menjadi ada dan dihargai, beragama dan berkepercayaan, berpikir dan mengekspresikannya, dan beraktualisasi diri, berproduksi dan bereproduksi, hak untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan, kemerdekaan untuk tidak dirampas, diselewengkan, disalahgunakan dan dihambur-hamburkan, baik hak miliknya sendiri maupun hak miliki bersama. Manusia juga tidak boleh diperbudak oleh aturan dan kekuasaan apapun. Sebaliknya aturan dan kekuasaan diperlukan sebagai cara manusia memperoleh rasa aman, damai, keadilan dan kesejahteraan. Semua hak yang disebutkan ini adalah hak-hak fundamental manusia dan bersifat universal.

Tetapi tentu segera harus dikemukakan bahwa berbagai kemerdekaan manusia ini tidak berarti bahwa dia boleh bertindak semau-maunya. Ini adalah hal yang tak mungkin. Karena setiap manusia berada dalam batas-batas ruang, waktu dan orang lain yang juga memiliki kemerdekaan. Atas dasar inilah maka tidak seorangpun berhak memaksakan kehendaknya atas orang lain. Karena yang lain juga punya kehendak yang sama. Pemaksaan kehendak, apalagi dengan cara-cara kekerasan, pembatasan dan perendahan martabat adalah melanggar prinsip kemanusiaan itu sendiri. Kemerdekaan seseorang selalu membawa konsekuensi pertanggungjawaban atas seluruh tindakan dan pikirannya. Kemerdekaan dan tanggungjawab bagai dua sisi mata uang. Maka setiap orang dituntut secara etis untuk saling memberikan perlindungan, rasa aman dan penghormatan atas martabatnya. Dari sini tampak logis bahwa kemerdekaan memiliki korelasi tak terpisahkan dengan kesetaraan antar manusia dan penghargaan satu atas yang lain. Dengan begitu, kemerdekaan adalah berpikir dan bertindak etis. Yakni berpikir dan bertindak untuk memperoleh kebaikan bagi diri dan orang lain dalam sistem atau institusi yang adil. Karena inilah tujuan kehidupan bersama manusia.

Cirebon, 17-8-2011

 

sumber: HuseinMuhammad.net

Cegah Kepanasan di Tanah Suci, Alat Semprot Air Dibagikan Buat Calon Haji

Kementerian Agama Kantor Wilayah Sumatra Barat (Kemenag Sumbar) melalui panitia penyelenggara ibadah haji, akan membagikan alat semprot air untuk perlengkapan beribadah calon jamaah haji (calhaj) ketika berada di Tanah Suci.

Kepala Bidang Penyelenggara Haji dan Umrah Kemenag Sumbar,Syamsuir menuturkan, pemberian alat semprot merupakan kerjasama antara pemerintah dengan BRI sebagai upaya untuk memberikan pelayanan dan persiapan kepada calhaj.

“(Perlengkapan) termasuk nanti dibagikan alat semprot air,” kata dia di Padang, Jumat (15/8).

Ia mengatakan, berdasarkan hasil komunikasi terakhir dengan direktur luar negeri, suhu di Tanah Suci mencapai 46 derajat Celsius.

Sehingga, menurutnya alat semprot air sangat berguna mengantisipasi kondisi cuaca yang akan dihadapi calhaj. Serta untuk mengantisipasi kondisi dehidrasi sampai heat stroke akibat suhu udara yang tinggi.

“Jadi semua jamaah diberi alat semprot, diisi air, jalan ke masjid bisa sambil semprot-semprot,” ujar Syamsuir.

Sebelumnya, melalui program pembinaan kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI terus memantau kondisi kesehatan jamaah calon haji (calhaj) agar mereka benar-benar siap diberangkatkan ke Tanah Suci.

Kepala Pusat Kesehatan Haji Kemenkes Fidiansjah menjelaskan, para calhaj juga akan diberi pelatihan untuk menghadapi kondisi cuaca dan lingkungan di Tanah Suci.

Misalnya, berlatih membiasakan diri minum air dua liter sehari, membiasakan terpapar panas matahari karena suhu di Tanah Suci saat musim haji nanti diprediksi di atas 40 derajat Celsius, serta membiasakan diri memakai masker.

Hal ini penting karena mereka akan berinteraksi dengan jamaah dari berbagai negara, termasuk jamaah dari sejumlah negara tertentu yang dinilai rentan menularkan virus berbahaya, seperti ebola dan virus korona yang menyebabkan sindroma pernapasan Timur Tengah (MERS).

 

sumber: Republika Online

Arti Kemerdekaan Bagi Buya Hamka dan Kita

Oleh : Beggy R
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Memutar kembali waktu, membuka kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa kita, maka kita akan menemukan jejak islam di setiap lembar sejarah bangsa Indonesia. Bahkan perjuangan kemerdekaan sejatinya telah ada bahkan jauh sebelum terbayang sebuah komunitas bernama Indonesia.

Perjuangan kemerdekaan bangsa ini berurat dan berakar kepada perjuangan Islam. Perjuangan para pendahulu kita untuk merdeka bertolak dari agama Islam yang menentang penindasan. Yang mengagungkan nama Islam. Merentang dari barat hingga timur nusantara. Untuk menegakkan hukum Allah. Semangat jihad rakyat aceh yang seringkali disebut perang sabil menghujam dalam dada rakyat aceh.

Maka kita dapat melihat meleburnya jihad ke dalam budaya masyarakat aceh, sehingga didengungkanlah syair-syair hikayat perang sabil dalam kehidupan rakyat. Hikayat Perang Sabil sering dibacakan ditengah masyarakat.Di dengarkan turun temurun.Maka tak heran Aceh mampu menghadapi perang dengan penjajah hingga 40 tahun lamanya. Bahkan ketika kesultanan Aceh runtuh, rakyat aceh tak pernah benar-benar berhenti berperang.

Penulis Belanda, Zentgraaf, mencatat wanita-wanita aceh adalah wanita-wanita paling pemberani dalam kancah peperangan. “Vrouwen als deze waren er bij honderden, wellicht duizenden (wanita aceh yang seperti ini ada ratusan, mungkin ribuan).” Di lain kesempatan Zentgraaff mengatakan, “en dat de vrouwen van dit volk alle andere overtreffen in moed en doodsverachting,” yang dalam terjemahan bebasnya berarti; wanita bangsa ini melampaui orang lain dalam keberanian dan berani mati[1].

Keberanian para pejuang aceh ini juga dapat kita temukan pada perlawanan kaum paderi melawan kolonial Belanda. Kaum Paderi tak lain ingin menjadikan wilayah mereka sesuai dengan ajaran agama. Pun ketika Akhirnya harus menempuh jalan peperangan dengan penjajah maka Islamlah yang menjadi daya dorong para kaum paderi di Sumatera Barat.

Steyn Parve, salah seorang mantan residen Padangsche Bovenlanden, memberikan kesaksiannya mengenai Kaum paderi.

“Tetapi sekte Paderi tidak muncul sebentar saja. Sebaliknya, sekte ini laksana cahaya yang muncul dan bertahan lama, terus menerus memperlihatkan sinarnya kepada kita.”[2]

Hal yang sama kita temukan di Jawa. Pangeran Diponegoro yang ingin menegakkan Islam di tanah Jawa, mendapat dukungan dari kaum ulama seperti Kiyai Mojo. Sang Pangeran memiliki kehendak merdeka, dan melawan penjajahan dan mengembalikan kemuliaan Islam di tanah Jawa.[3]

Di Makassar, Sultan Alauddinberdiri tegak mempertahankan kesultanannya.Ketika VOC untuk meminta Makassar untuk menghentikan perdagangannya ke kepulauan Maluku, dijawab oleh Sultan dengan sangat mengesankan.

“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, (dan telah) membagikan bumi di antara manusia, (begitu pun) Dia memberi lautan sebagai milik bersama. Tidak pernah kami mendengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jika engkau melakukan larangan itu, berarti engkau seolah-olah mengambil roti dari mulut orang (lain).”[4]

Jawaban ini tentu saja memicu peperangan bertahun-tahun. Meskipun akhirnya Makassar menderita kekalahan, namun sejarah tetap mengenangnya sebagai peperangan umat Islam melawan orang kafir, seperti terekam dalam Syair Perang Mengkasar, yang di tulis oleh Enci’ Amin, seorang juru tulis Sultan Hasanuddin.

Lima tahun lamanya perang
Sedikit pun tidak hatinya bimbang
Sukacita hati segala hulubalang
Melihat musuh hendak berperang.

Mengkasar sedikit tidak gentar
Ia berperang dengan si Kuffar
Jikalau tidak ra’yatnya lapar
Tambahi lagi Welanda kuffar.[5]

Berbagai peperangan telah mewarnai perjuangan kemerdekaan bangsa kita. Bertumpuk-tumpuk badan menjadi syahid. Bersahut-sahut takbir memanggil. Panggilan yang oleh M. Natsir disebut Panggilan Allahu Akbar. Seperti tercatat dalam Syair Perang Menteng melawan penjajah di Palembang.

Haji berteriak Allahu Akbar
Datang mengamuk tak lagi sabar
Dengan tolong Tuhan Malik Al-Jabbar
Serdadu Menteng habislah bubar[6]

Semua perjuangan itu adalah kehendak untuk merdeka, bebas dari segala penindasan. Bagi para pemimpin kita,segala perjuangan diatas, menjadi inspirasi untuk meneruskan perjuangan. Pun ketika perjuangan beralih ke zaman modern, Islam tetap menjadi sumbu dari berputarnya usaha-usaha menuju kemerdekaan.

Sarekat Islam adalah contoh nyata bagaimana Islam dapat menyatukan bangsa ini. Organisasi keagaman seperti Nadhlatul Ulama, diwakili para kiyai telah mendambakan kemerdekaan sebagai jalan untuk kemaslahatan umat Islam. KH Wahab Hasbullah ketika ditanya mengenai kemerdekaan, sehari sebelum NU berdiri tahun 1926, menjawab, ”Tentu, itu syarat nomor satu, umat Islam menuju ke jalan itu, umat Islam kita tidak leluasa sebelum Negara kita merdeka.”[7]

Menurut M. Natsir, ajaran Islamlah yang menyebabkan dorongan-dorongan untuk merdeka. Ia menyatakan:

“Pada hakikatnya, ajaran Islam itu merupakan suatu revolusi, yaitu revolusi dalam menghapuskan dan menentang tiap-tiap eksploitasi. Apakah eksploitasi itu bernama, kapitalisme, imperialism, kolonialisme komunisme atau fascism, terserah kepada yang hendak memberikan.
Demikianlah semangan kemerdekaan yang hidup dan dibakar dalam jiwa kaum muslimin di Indonesia. Semenjak berabad-abad semangat itu menjadi sumber kekuatan bangsa kita dan semangat itu pulalah yang menghebat dan mendorong kita memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1945 itu.”
[8]

Maka tak mengherankan jika para ulama dan tokoh Islam, ketika memiliki kesempatan untuk mewarnai lahirnya Republik Indonesia, mereka memanfaatkannya dengan memperjuangkan Islam sebagai pondasi negara. Melalui Piagam Jakarta (Jakarta Charter), umat Islam dapat menyalurkan citanya untuk menjadikan Indonesia negara merdeka yang bertauhid.

Menurut Buya Hamka, tidak mungkin tauhid dilepaskan dalam perjuangan bernegara. Sebab pangkal pokok pandangan Islam adalah dua kalimat syahadat. Menurut beliau:

“Akibat dua kalimat syahadat itu bagi kehidupan Islam sangat besar dan sangat jauh. Karena kalimat itu, tidaklah ada yang mereka sembah, melainkan Allah. Tidak ada peraturan yang mereka akui, atau undang-undang yang mereka junjung tinggi, melainkan peraturan dan undang-undang dari Allah.”[9]

Namun sayang. Piagam Jakarta tak terlaksana hingga saat ini.Kalimat“Dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” malah dihapuskan. Buya Hamka, sangat menyesalkan peristiwa ini.

“Pendeknya, sesudah sehari maksud berhasil (maksudnya proklamasi kemerdekaan-pen), partner ditinggalkan, dan orang mulai jalan sendiri. Pihak Islam dibujuk dengan janji-janji bahwa kepentingannya akan dijamin. Bersama dengan tujuh kalimat itu, dihapuskkan pulalah kata yang diatas sekali, kata pembukaan yang termasuk kalimat sakti dalam jiwa orang yang hidup dalam Islam, yaitu kalimat, ‘Dengan Nama Allah Tuhan Yang Rahman dan Rahim. Sampai begitunya!”,sesal Buya Hamka.[10]

Kita, generasi saat ini memang patut menyesalkan peristiwa ini. Padahal, dengan kalimat Allahu Akbar-lah, para syuhada merelakan jiwanya untuk melawan penjajah. Kalimat Allahu Akbar-lah ucapan terakhir para pahlawan kita, sebelum nyawa mereka bercerai dari badannya. Dengan kalimat takbirlah, mereka mempertanggungjawabkan jihad mereka dihadapan Allah.

Hingga kini, piagam Jakarta yang disebut undang-undang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan satu kesatuan dengan konstitusi nyatanya hanyalah teks belaka tanpa realisasi nyata. Atas perkara ini, Buya Hamka melemparkan pertanyaan menohok bagi kita.

“Sekarang Indonesia telah merdeka. Merdeka Buat apa?”
“Bagi kita kaum muslimin adalah merdeka buat melakukan syariat Islam, dalam pengakuan dan pangkuan negara, bagi penduduknya yang memeluk Islam.
Sebab menjalankan syariat Allah dan Rasul bagi kita kaum Muslimin adalah bagian dari iman. Sebab dalam ajaran Islam, Islam itu bukanlah semata-mata hubungan dengan Allah, tetapi hubungan juga dengan masyarakat.
Bukan semata-mata ibadat, tetapi mencakup juga bernegara dan bermasyarakat.Percuma jadi orang Islam, percuma mendirikan partai-partai Islam, kalau dengan iman terpotong-potong kita hendak tampil ke muka.
Negara kita berdasar Pancasila; dalam negara berdasar Pancasila itu, kita kaum muslimin wajib mengisinya dengan cinta yang telah kita terima dari langsung dari Allah dan Rasul.
Namun tidak!-demi Tuhanmu-tidaklah mereka beriman, sebelum engkau jadikan hakim, pada barang yang mereka perselisihkan diantara mereka, kemudian itu tidak mereka dapati dalam diri mereka sendiri rasa keberatan pada apa yang engkau putuskan, dan mereka menyerah sebenar-benar menyerah.
Itulah dia iman, dan itulah dia hidup.
Kalau tidak, sama dengan artinya mati, walaupun nafas masih turun naik.”[11]

Lantas jika begini, apakah arti kemerdekaan bagi kita? Agaknya penulis sepakat, sekali lagi, dengan [12]Buya Hamka,

“Mari kita berpahit-pahit, kaum muslimin belum pernah merasa puas dalam kemerdekaan negeri ini kalau kewajiban menjalankan syariat Islam dalam kalangan pemeluknya seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 belum menjadi kenyataan.”

Sumber:
[1] Talsya, T. Alibasjah. (1982). Cut Nyak Meutia, Srikandi yang Gugur di Medan Perang Aceh. Jakarta: Mutiara
[2] Amran,Rusli. (1981). Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
[3] Carey, Peter. (2011). Kuasa Ramalan.Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
[4] Sewang, Ahmad M. 2005.Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai abad XVII. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
[5] Amin, Enci’. (2008). Syair Perang Mengkasar, C. Skinner (ed). Makassar: Ininnawa.
[6] Alfian, Ibrahim. (1992). Sastra Perang. Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikayat Perang Sabil. Jakarta: Balai Pustaka.
[7] Feillard, Andree. (1999). NU Vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna.Yogyakarta : LKiS.
[8] Natsir, M. (2008). Revolusi Indonesia dalam Capita Selecta Jilid 2. Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Capita Selecta.
[9] Hamka. (2002). Mengapa Mereka Masih Ribut?dalamHati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas.
[10] Ibid
[11] Hamka. (2002). Cintakan Rasul SAW dalam Hati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas.
[12] Hamka. (2002). Mengapa Mereka Masih Ribut?dalamHati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas.

 

sumber: IslamPos.com

Kemerdekaan yang Hakiki

Hari ini, bangsa Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaannya yang ke 70. Kesemarakan menyambut hari bersejarah itu sudah nampak dari jauh-jauh hari. Spanduk, lampu hias, bendera, sampai baliho-baliho besar bertuliskan ucapan “Dirgahayu Kemerdekaan” menghiasi jalan-jalan raya. Iklan-iklan ucapan selamat hari kemerdekaan dan acara spesial kemerdekaan dimedia massa pun bertebaran menambah gegap gempita menyambut hari bersejarah itu.

Namun dibalik kesemarakan itu masih terselip pertanyaan dibenak kita; benarkah kita sudah merdeka? Pasalnya kita banyak melihat disana-sini fenomena yang menunjukkan hal sebaliknya. Dalam aspek ekonomi, sosial, politik, hukum, maupun budaya kita banyak mendapatkan kenyataan bahwa masyarakat kita masih jauh dari kemerdekaan. Begitu juga dengan perilaku individunya, banyak yang masih membebek kepada kehidupan yang tidak sesuai dengan akhlak Islam. Padahal Indonesia adalah negri Muslim terbesar di dunia. Dan The Pounding Father kita mengakui dengan jujur dalam mukaddimah undang-undang dasar 1945, bahwa kemerdekaan ini diraih atas berkat rahmat Allah swt. Artinya dalam mengisi kemerdekaan ini hendaknya kita tidak boleh melupakan Tuhan yang telah memberi kita nikmat kemerdekaan ini.

Kemerdekaan yang Menyeluruh

Suatu Negara bisa dikatakan merdeka secara hakiki apabila kemerdekaan tersebut terjadi secara menyeluruh dalam semua pilar-pilarnya. Kemerdekaan tersebut bukan hanya dalam konteks Negara semata tetapi juga individu dan masyarakat yang menjadi pengisi sebuah Negara. Dalam konteks individu kemerdekaan berarti terbebasnya seseorang dari tekanan hawa nafsunya dalam melakukan segala aktifitasnya. Menurut DR. Ing. Fahmi Amhar (Arti Kemerdekaan Hakiki dalam Perspektif Islam,  2001), individu yang merdeka ialah seorang yang ketika ia bersikap dan berperilaku akan selalu di dasarkan kepada pertimbangan rasional. Dan bagi orang yang beriman pertimbangan rasionalnya adalah ketika ia menyandarkan segala perbuatannya kepada aturan Allah swt.  Imam Ali ra.  mengibaratkan hal tersebut dalam satu ungkapan; ”Seorang budak beramal karena takut hukuman, pedagang beramal karena menginginkan keuntungan, dan orang merdeka beramal karena mengharap keridhaan dari Allah swt.”

Maka jika ada seorang manusia dalam kehidupannya senantiasa dikendalikan hawa nafsu maka berarti dia belum menjadi orang merdeka yang sebenarnya. Meskipun ia bukan seorang budak dan hidup di sebuah masyarakat dan Negara merdeka. Karena ia terbelenggu oleh hawa nafsunya yang senantia memaksanya untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan akal sehatnya. Kehidupannya selalu terjajah oleh hawa nafsunya sendiri sehingga mengakibatkan terjerumusnya ia kejurang kebinasaan baik di dunia maupun di akhirat. Allah swt. berfirman:

79:37
79:38
79:39

Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). (QS. An-Naazi’aat:37-39).

Dalam Tafsir Fathul Qadir Imam As-Syaukani mengatakan; orang yang melampaui batas adalah yang melampaui batas dalam kekufuran dan maksiat kepada Allah. Lebih mendahulukan dunia ketimbang akhirat. Sedangkan Imam Al-Baidhawi menyatakan, maksud ayat di atas adalah; adapun orang yang melampaui batas hingga dia kufur serta memilih kehidupan dunia dan tidak mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat dan membersihkan diri dari hawa nafsu maka tempat kembalinya adalah neraka.

Sedangkan dalam konteks masyarakat, kemerdekaan adalah ketika mereka tidak lagi menjadi pengekor pola pikir, budaya dan bahkan agama para penjajah. Masyarkat yang merdeka memiliki pola pikir, budaya dan agama yang khas yang membedakan mereka dari masyarakat lain (Fahmi Amhar, 2001). Kita bisa menjadikan masyarakat Madinah sebagai contoh masyarakat yang merdeka secara hakiki. Setelah Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, beliau mulai menata masyarakat di sana dengan kehidupan yang Islami yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Semula persatuan masyarakat dibangun di atas landasan kesukuan yang sangat rapuh dan sering memunculkan pertikaian di sana-sini, maka kemudian dirubah menjadi berlandaskan agama yang kokoh dan memunculkan ketentraman dan kedamaian. Budaya yang semula mengikuti budaya jahiliyah warisan nenek moyang yang dipenuhi takhayyul dan khurafat diganti menjadi budaya yang Islami yang rasional dan bernilai luhur.

Adakah masyarakat kita saat ini memiliki pola pikir dan budaya yang terlepas dari pola pikir dan budaya para penjajah? Jawabannya bisa kita dapatkan di sekeliling kita. Mulai dari cara berbusana, makan, bergaul, bertetangga dan lainnya masyarakat kita sangat jauh dari ciri khas masyarakat Islam. Walaupun busana yang dipakai oleh masyarkat kita hasil rancangan para desainer  dalam negri, kain yang digunakannya adalah batik buatan dalam negri tetapi modenya jelas mengikuti tren mode dunia yang dikendalikan Negara-negara penjajah. Pergaulan yang membudaya di tengah masyarakat kita tidak bebas dari tren pergaulan dunia. Mulai dari anak remajanya sampai kepada orang dewasa. Semua merasa malu jika tidak mengikuti gaya hidup kaum penjajah yang dikemas dengan rapi dan menarik. Mereka tidak sadar bahwa mereka sedang berada di bawah kendali para penjajah. Akhlak mereka tengah dihancurkan secara sistematis.

Ternyata kita baru terlepas dari belenggu penjajahan secara fisik saja. Sementara pola kehidupan masyarakat kita tidak berbeda dengan kondisi saat dijajah. Maka tidak heran walapun negri ini sudah 63 tahun lepas dari cengkeraman penjajah tetapi tidak pernah mengalami kebangkitan yang ada malah kebangkrutan. Mengapa ini terjadi? Karena racun yang ditinggalkan oleh para penjajah terus kita minum setiap hari. Bahkan kita telah ketagihan meminum racun tersebut. Sehingga kalau habis maka kita pun merengek-rengek minta diracun lagi. Racun itu bernama pemikiran dan budaya para penjajah. Kebebasan berekspresi, pornografi dan pornoaksi, pergaulan bebas, sikap individualistik, hedonisme, dugem, dan sejenisnya adalah sederet pemikiran penjajah yang masih membudaya dan bahkan seperti telah menjadi ciri khas masyarakat kita. Padahal masyarakat kita adalah masyarakat religius, memiliki budaya yang luhur yang berlandaskan kepada agamanya yaitu Islam. Tetapi semua itu digerus oleh badai budaya asing penjajah sehingga kita tidak lagi memiliki identitas yang unik sebagai sebuah masyarakat yang berlandaskan agama.

Sedangkan Negara yang merdeka adalah yang terbebas dari penjajahan baik secara fisik, politik, ekonomi juga budaya. Negara tersebut bebas menerapkan aturannya dalam melindungi rakyatnya. Tidak lagi ada tekanan dari Negara yang pernah menjajahnya atau lainnya. Dan bagi umat Islam tentu saja Negara tersebut haruslah sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah saw.  yaitu sebuah Negara yang menerapkan aturan Allah dalam berbagai kebijakannya. Karena umat Islam yakin hanya dengan menjalankan aturan Allah saja-lah mereka akan menjadi umat yang maju yang tidak akan bisa dijajah oleh Negara mana pun. Hal tersebut telah dibuktikan oleh kaum Muslimin dimasa lalu.   Inilah kemajuan dan kebangkitan umat yang dijanjikan Allah di dalamAl-Qur’an:

24:55

…dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur:55)

Ibnu Katsir mengatakan; ayat ini adalah janji dari Allah kepada Rasulullah saw. bahwa Dia akan menjadikan umatnya sebagai penguasa di muka bumi. Yakni umat Islam akan menjadi pemimpin atas bangsa-bangsa lain. Saat itulah seluruh negri  akan mendapatkan kesejahteraan dan semua manusia tunduk kepada mereka. Tidak ada lagi ketakutan seperti yang selama ini menerpa kaum Muslimin.

Namun semua itu akan terjadi jika kaum Muslimin benar-benar memegang teguh keimanannya dan mengamalkan agamanya secara konsekuen dalam seluruh kehidupannya. Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh: Adam Cholil (Pengajar di HSG Khoiru Ummah Gresik)

 

 

sumber: Era Muslim

Kisah Inspiratif, Kakek Loper Koran di Depok Bisa Berangkat Haji

Seorang kakek loper koran akhirnya bisa menunaikan ibadah hajidengan uang tabungan yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun. Kakek asal Kampung Pulo, Beji, Depok, Jawa Barat itu gigih bekerja agar bisa menyisihkan uang dari hasil jualan korannya untuk menunaikan rukun Islam ke-5.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Selasa (2/9/2014), kakek bernama Sadino ini setiap pagi selalu berkeliling kawasan Beji, Depok untuk mengirim koran kepada para pelanggannya.

Kakek 70 tahun itu selalu bersemangat mengayuh sepedanya. Apalagi setelah mengetahui impiannya menunaikan ibadah haji selama bertahun-tahun akhirnya terkabul. Ia selalu bersemangat bekerja sebagai wujud syukurnya.

Sadino bersama ribuan umat muslim di Depok akan bertolak ke Tanah Suci Mekkah. Sadino sendiri berangkat melalui Yayasan Ibnu Hasan dan PT Safaroh Ziarah Haramain.

Pria paruh baya itu mengaku tak kuasa menahan haru ketika mengetahui dirinya akan memenuhi panggilan Ilahi menuju Tanah Suci. Untuk mewujudkan cita-cita mulianya ini, sejak tahun 1985 Sadino sudah mulai menyisihkan 10% hasil jerih payahnya menjadi loper koran.

Bagi Sadino, dengan berhemat maka dirinya tak akan berutang dan tak menyusahkan orang lain. Apalagi untuk keperluan ibadah. Sadino membuktikan bahwa jika seseorang memiliki niat tulus, maka apa pun yang dijalani akan terasa mudah.

Sadino termasuk calon jemaah kloter pertama yang berangkat dari Kota Depok. Rencananya Sadino akan berangkat pada Rabu 10 September mendatang. (Ado)

 

sumber: Liputan6.com

Pertama Kalinya Muslim Israel Naik Haji Pakai Pesawat

By , 07 Sep 2014

Musim haji telah dimulai. Umat muslim dari berbagai pelosok dunia bakal berdatangan memenuhi Kota Suci. Tak terkecuali muslim asal Negeri Zionis.

Ini adalah tahun pertama muslim Israel bisa melaksanakan haji dengan menaiki pesawat terbang. Selama ini mereka hanya bisa mengujungi Mekah lewat perjalanan darat via Yordania.

Kelompok awal yang bakal diterbangkan ini terdiri dari 766 penumpang. Mereka akan diberangkatkan pada akhir September 2014 ini.

Perusahaan Milad Aviation of Ramle yang mengatur penerbangan para muslim Israel itu akan mencarter pesawat dari Royal Jordanian Airlines dan anak perusahaannya, Royal Wings. Tarif untuk pulang pergi sekitar US$ 600 atau Rp 7.055.400 (kurs Rp 11,759 untuk setiap 1 US$).

“Untuk mengatur perjalanan haji perdana menggunakan pesawat ini dibutuhkan kontak dengan pihak berwenang Yordania dan Israel berlangsung selama sekitar 3 tahun,” kata Ibrahim Milad, pemilik sekaligus CEO Milad Aviation, seperti dikutip dari laman Haaretz, Minggu (7/9/2014).

“Selama kurun waktu itu, saya mengunjungi Yordania sekitar 100 kali untuk mendapatkan persetujuan yang diperlukan,” imbuh dia.

Ke depan, perusahaan ini berencana untuk mengatur penerbangan haji ini sepanjang tahun. Menurut Milad, ada sekitar 4 ribu muslim Israel yang berangkat ke Saudi Arabia setiap tahunnya.

Pemerintah Yordania telah berusaha untuk meningkatkan kapasitas penerbangan antara Tel Aviv (Israel) dan Amman (Yordania), dari 1.500 menjadi 1.700 setiap pekannya. Tapi pihak Israel menolak permintaan tersebut.

Padahal tak cuma haji, banyak warga Israel yang telah menggunakan maskapai Royal Jordanian lewat Amman untuk bepergian ke seluruh bagian dunia. Setelah pecahnya ketegangan antara Israel dan Hamas serta sekutunya di Gaza Juli 2014 lalu, Royal Yordania sempat ditangguhkan layanannya. (Yus)

 

sumber: Liputan6.com