Islam akan Menjadi Agama Mayoritas Pada 2050

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang sekaligus Ketua Majelis Syura Persatuan Umat Islam (PUI) menegaskan umat Islam harus bersyukur atas anugerah iman yang diberikan oleh Allah swt. Karena janji Allah seperti yang disabdakan Rasulullah SAW. akan segera terjadi.

Dalam kesempatan Tabligh Akbar yang diselenggarakan DPP PUI pada Rabu (16/12) malam di Masjid Al Inabah,Pancoran Barat, Jakarta dia menyebutkan salah satu hadis Nabi SAW sudah menampakkan tanda-tandanya. Kemudian dia menyebutkan hadis tersebut, yaitu HR. Imam Ibnu Hibban yang diriwayatkan di dalam kitab Shahih-nya (1631, 1632).

“Sungguh agama ini akan sampai ke seluruh pelosok dunia, yang di pelosok tersebut terdapat persitiwa siang dan malam…,” tuturnya dalam acara tersebut, Rabu (16/12).

Dia menjelaskan, hadis tersebut akan segera terwujud karena sudah ada perkiraan peneliti di dunia bahwa pada tahun 2050 Islam akan menjadi agama mayoritas di muka bumi. Perkiraan tersebut kemudian diperkuat dengan adanya bukti-bukti yang terjadi saat ini. Salah satu buktinya adalah meningkatnya penduduk Muslim di Amerika Serikat.

“Selain karena fakta selalu bertambahnya pendudukMuslim di dunia karena faktor keturunan juga meningkatnya muallaf, itu fakta di dunia. Seperti yang disebutkan Imam Shamsibahwa di Amerika terdapat sekitar 20-40 ribu masyarakat Amerika masuk Islam tiap tahunnya,” ujarnya usai acara.

Demi mewujudkan perkiraan tersebut, politisi dari Partai Keadilan Sejahtera meminta seluruh umat Islam menampilkan akhlak Islam yang ramah dan cinta damai.

 

sumber: Republika Online

Riyadhat An-Nafs, Puncak Olah Spiritual (3)

Butuh kesabaran
Jalan penempaan diri itu, katanya, juga bukan perkara mudah. Penuh lika-liku dan membutuhkan kesabaran. Karena itu, Allah memberikan apresiasi bagi mereka yang mau bermujahadah.

Golongan yang menghabiskan waktu untuk berolah spiritual dan menguasai dirinya sendiri adalah hamba pilihan Allah.

×Powered By CapricornusBila Sang Khalik tidak memilih dan memberikan cahaya makrifat-Nya, maka rasanya sulit tahapan demi tahapan mujahadah itu akan terlalui dengan baik.

Ibarat perlawanan, ada pertarungan antara dimensi kebaikan dan kejahatan. Basis pertahanan itu berada di hati. Apabila energi positif mampu bercokol, menguasai nafsu, serta menyelamatkan kebersihan hati, maka selamatlah seluruh anggota tubuh dari tindak maksiat.

Demikian sebaliknya. Jika hati telah dikangkangi nafsu angkara murka, maka hati tersebut akan keras, pintu makrifat tertutup. Akibatnya, terbukalah pintu kemaksiatan di hadapannya.

Tahapan puncak olah spiritual, menurut sosok yang dibesarkan oleh iklim intelektualitas nan majemuk di Khurasan kala itu, ialah makrifat. Ia mengibaratkan dalam perdagangan, makrifat seperti uang pangkal atau modal.

Sedangkan, aktivitas mujahadah disebutnya ialah jual beli itu sendiri. Kemudian, keridaan Allah, ia sebut-sebut sebagai keuntungan. Bila perilaku baik telah terkumpul pada diri seseorang maka ia akan menjadi pribadi yang matang.

Hal ini karena ada tujuh sifat manusiawi manusia, yaitu lupa (ghaflah), ragu (syak), syirik (syirik), keinginan (raghbah), ketakutan (rahbah), syahwat, dan marah (ghadab). Satu per satu, perangai buruk itu akan hilang tatkala hidayah datang dan menghadirkan makrifat. Semakin makrifat bertambah, maka hatinya akan tercerahkan dan terhindar dari ketujuh perangai tersebut.

 

sumber: Republika Online

Riyadhat An-Nafs, Puncak Olah Spiritual (4-habis)

Penempaan Diri
Seperti apakah visualisasi olah spiritual tersebut? Sederhananya, bagaimana gambaran pertempuran antara dimensi kebaikan dan kejahatan dalam diri seorang hamba?

Menurut Al-Hakim yang pernah terusir dari Tirmidz lalu pindah keBalkh lantaran menulis kitab yang dianggap kontroversial (Khatmul Awliya’ dan ‘Ilal Asy-Syari’at) itu, jika jiwa seseorang telah terbiasa dengan kenikmatan dan syahwat atau bermain-main dengan nafsu, maka ia akan sulit meninggalkannya. Sebelum segalanya terjadi, maka segeralah merapat kepada-Nya.

Lihat saja bagaimana seekor binatang liar dipelihara dan diasuh menjadi hewan peliharaan di rumah. Sebelumnya, hewan itu tumbuh dan berkembang di dunia luar yang tak teratur. Begitu pindah ke rumah, ia mendapat perhatian yang cukup, terurus, dan berubah menjadi penurut. Menuruti apa yang diinginkan oleh majikannya.

Ambil contoh pula dengan balita yang gemar menyusu. Begitu dipaksa berhenti menyusu, ia akan menangis. Lain halnya jika kebiasaan itu dialihkan dengan memberikan alternatif yang lebih baik. Bukan tidak mungkin, ia akan dengan mudah berhenti menyusu dan melupakan air susu ibunya.

Para ahli mujahadah akan menyikapi kenikmatan dan kelezatan duniawi itu secukupnya. Mengambil apa yang ia perlukan, baik dalam hal makan, minum, mencari nafkah, maupun soal pangkat dan jabatan.

Selebihnya, ia berusaha untuk tidak bergelimang dan terjerumus. Inilah esensi takwa batin. Sedangkan ketakwaan dari segi fisik ialah menjaga segenap anggota tubuh dari berbuat maksiat.

Bagaimana kiat sederhana olah spiritual itu? Jalankan shalat tepat waktu, sambangilah makam untuk mengingat kematian, datangi lokasi yang ada api membara, bayangkanlah bahwa kematian, panasnya api neraka ada di depan Anda. “Tak jauh, cuma sejengkal kaki dan sejauh mata anda memandang,” tulis tokoh yang terinspirasi dari sang ayah, Syekh Ali, tersebut.

 

sumber: Republika Onlinekitab-ilustrasi-_120516193921-752

Tirulah Lebah Jika Ingin Jadi Muslim yang Baik

Menjadi manusia mulai tentunya merupakan impian bagi setiap Muslim di dunia. Namun terkadang keinginan itu jarang sekali sejalan dengan usaha dan kenyataan.

Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnain mengatakan bila ingin berusaha untuk lebih baik sebagai Muslim, contohlah kehidupan seekor lebah. Tengku menilai orang mukmin itu ibarat lebah seperti dalam sabda Rasulullah SAW.

“Perumpamaan orang beriman itu bagaikan lebah, ia makan makanan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap di tempat yang bersih. Dan tidak mematahkan tempat yang dihinggapinya,” (HR. Ahmad, Hakim dan Al-Bazzar).

Lebah hanya hinggap di tempat-tempat pilihan, seperti bunga-bunga atau buah-buahan yang mengandung bahan madu atau nektar. “Mestinya orang mukmin juga seperti itu, hanya mendatangi tempat-tempat pilihan, seperti majelis-majelis ta’lim, masjid atau tempat-tempat lain yang mendatangkan ke-ridhaan Allah,” kata Tengkukepada ROL, Sabtu (7/2).

 

sumber: Republika Online

‘Mukmin Bukan Orang yang Melakukan Kerusakan’

Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Tengku Zulkarnain meminta umat Muslim meniru sifat lebah yang tidak merusak atau mematahkan ranting yang dihinggapi, meskipun ranting itu rapuh sekalipun.

Ia berpendapat, orang mukmin bukanlah orang yang membuat kerusakan di muka bumi, seperti melakukan aksi bom bunuh diri atas nama jihad, bukan di medan perang, dan mereka membenarkan aksinya itu.

“Yang menjadi korban orang-orang yang tidak berdosa seperti, anak-anak, wanita, orang-orang tua. Padahal dalam perang sekalipun mereka itu dilarang untuk dibunuh. Membunuh seorang manusia tanpa hak dosanya seperti membunuh manusia sedunia,” ujarTengku kepada ROL, Sabtu (7/2).

Tengku menjelaskan, lebah mengeluarkan sesuatu juga yang baik, yakni madu. Madu memiliki khasiat yang baik untuk kesehatan manusia.

Alquran dan hadist juga telah menjelaskan bahwa madu itu sangat besar  manfaatnya sebagai obat. “Dan ilmu kedokteran juga telah membuktikannya,” kata dia.

Tengku berharap umatMuslim dapat belajar dari manfaat seekor lebah yang diciptakan oleh Allah di muka bumi ini. Kerena, manusia yang beriman lebih mulia dan sempurna dibanding makhluk-makhluk lain, seperti malaikat dan hewan,
“Namun ketika jauh dari agama, maka bisa lebih hina dari binatang dan jika benar taat dan tunduk pada agama maka kedudukan bisa lebih mulia dari malaikat,” katanya mengakhiri.

 

sumber: Republiak Online

Riyadhat An-Nafs, Puncak Olah Spiritual (2)

Allah menciptakan rasa kasih sayang dan mengondisikan harmonisasi alam, lahirlah manusia yang memiliki anggota tubuh yang saling melengkapi.

Mereka diberikan mata untuk melihat, telinga agar mampu mendengar, lidah untuk berbicara, tangan supaya dapat berkarya, dan kaki agar sanggup berjalan.

Di dalam tubuhnya, Allah memberikannya hati (kalbu). Disebut kalbu, karena gumpalan darah—bila dilihat dari segi fisik disebut fuad—tersebut berada di genggaman Allah yang sangat mudah dibalikkan sesuai kehendak-Nya.

Di bagian lain dari kitabnya tersebut, Al-Hakim yang hidup hingga 320 H itu menggambarkan bagaimana nafsu itu muncul dan menguasai seorang hamba.

Pada dasarnya, nafsu keluar dari energi panas. Energi itu kemungkinan bertemu dengan dua hal, yaitu keindahan dan kesenangan. Pertemuan ini lantas memicu denyut nadi untuk terus memompa jantung dan menguasai hati serta pikiran seseorang.

Pada titik ini, timbullah syahwat dan rasa kepuasan. Bila syahwat telah menguasai hati, maka jadilah ia penguasa seluruh anggota tubuh. Misalnya, hati yang telah terkooptasi oleh nafsu dan syahwat ialah hati para orang yang tidak beriman,

“Tetapi hati orang-orang kafir itu dalam kesesatan dari (memahami kenyataan) ini.”(QS. Al Mukminuun [23]: 63). Dan titik komando makrifat ada dalam hati, pemahaman ada di jiwa, dan rasionalitas letaknya di akal. Rasa mawaslah yang menjaga setiap elemen berharga itu.

Berdasarkan fakta tersebut, menurut ulama yang belajar hadis diNisaphur pada 285 H itu, manusia dituntut gigih mengelola potensi positif dan negatif yang dimiliki. Proses manajemen diri itu pun bukan perkara mudah, butuh keseriusan (mujahadah). “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj [22]: 78).

 

sumber: Republika Online

Riyadhat An-Nafs, Puncak Olah Spiritual (1)

Satu lagi karya dari seorang ulama yang hidup di abad ke-3 Hijriah, Al-Hakim At Tirmidzi. Jangan salah, dia bukan pakar hadis, Imam Al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmidzi.

Lewat karyanya, Riyadhat An-Nafs, Al-Hakim At-Tirmidzi, yang terjun di dunia tasawuf sejak umur 27 tahun, berbagi pengalaman selama mendalami olah spiritual, menempa diri dan jiwa guna meraih keridhaan-Nya.

Dalam kitab ini, ulama bernama lengkap Abu Abdullah Muhammadbin Ali bin Al Husain bin Basyar Al-Hakim At -Tirmidzi itu membuat catatan-catatan penting perihal eksperimennya menaklukkan hati dan jiwa.

Buku ini mengupas tentang tata cara menempa diri dan jiwa menuju ketatatan yang penuh terhadap Sang Pencipta, bagaimana berinteraksi dengan manusia, termasuk mengetuk hati mereka agar berpaling ke jalan-Nya.

Kitab yang terdiri atas 14 bab ini juga memaparkan kebahagiaan sejati seorang Muslim, klasifikasi para ahli tasawuf, dan bagaimana menempatkan secara proporsional logika akal dan bahasa intuisi bagi sufi. Tak lupa, Al-Hakim juga memberikan tips sederhana untuk mendidik jiwa Muslim dan menggiringnya ke arah ketakwaan.

Kitab ini bisa dibilang sederhana. Tidak terdapat catatan pinggir (hawasyi) atau pun aksesori lainnya yang lazim dipakai dalam karya-karya klasik. Tetapi, di balik kesederhanaan itu, didapati ketajaman dan kedalaman analisis.

Hal ini sama seperti karya Al-Hakim lainnya, seperti Al-Manhiyyat, Ilal Al-Ubudiyyah, Syarh As Shalat wa Maqashiduha, Al-Hajju wa Asraruhu, dan tentunya mahakaryanya yang terkenal, Khatmul Awliya’.

Makrifat taklukkan hati
Mengawali uraiannya, tokoh yang berasal dari Tirmidz—sebuah daerah yang kini berada di wilayah Uzbekistan dan sebagian barat Kazakhstan—itu menegaskan satu hal mendasar mengenai filosofi eksistensi manusia selama hidup di dunia.

Keberadaan mereka sejatinya ialah untuk menghamba kepada Allah. Dan segala apa yang ada di bumi, Allah peruntukkan untuk membantu keberlangsungan hidup anak Adam. “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.” (QS. Al-Jaatsiyah [45]: 13).

 

sumber: Republika Online

Riyadhat an-Nafs, Kebahagiaan Sejati Muslim

Satu lagi karya dari seorang ulama yang hidup pada abad ke-3 Hijriah, al- Hakim at-Tirmidzi. Jangan salah, dia bukan pakar hadis yang terkenal dengan kitab Sunan-nya, yaitu Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmidzi.

Lewat karyanya, Riyadhat an-Nafs, al-Hakim at-Tirmidzi, yang terjun di dunia tasawuf sejak umur 27 tahun, berbagi pengalaman selama mendalami olah spiritual, menempa diri dan jiwa guna meraih keridhaan-Nya.

Dalam kitab ini, ulama bernama lengkap Abu Abdullah Muhammadbin Ali bin al-Husain bin Basyar al-Hakim at-Tirmidzi itu membuat catatan-catatan penting perihal eksperimennya menaklukkan hati dan jiwa. Buku ini mengupas tentang tata cara menempa diri dan jiwa menuju ketaatan yang penuh terhadap Sang Pencipta, bagaimana berinteraksi dengan manusia, termasuk mengetuk hati mereka agar berpaling ke jalan-Nya.

Kitab yang terdiri atas 14 bab ini juga memaparkan kebahagiaan sejati seorang Muslim, klasifikasi para ahli tasawuf, dan bagaimana menempatkan secara proporsional logika akal dan bahasa intuisi bagi sufi. Tak lupa, al- Hakim juga memberikan tips sederhana untuk mendidik jiwa Muslim dan menggiringnya ke arah ketakwaan.

Kitab ini bisa dibilang sederhana. Tidak terdapat catatan pinggir (hawasyi) ataupun aksesori lainnya yang lazim dipakai dalam karya-karya klasik. Tetapi, di balik kesederhanaan itu, didapati ketajaman dan kedalaman analisis. Hal ini sama seperti karya al-Hakim lainnya, yakni al-Manhiyyat, Ilal al-Ubudiyyah, Syarh as-Shalat wa Maqashiduha, alhajju wa Asraruhu, dan tentunya mahakaryanya yang terkenal, Khatm al-Awliya’.

 

sumber: Republika Online

Setiap Muslim Dituntut Gigih Kelola Potensi Positif dan Negatif

Mengawali uraiannya pada kitabRiyadhat An-Nafs, tokoh yang berasal dari Tirmidz–sebuah daerah yang kini berada di wilayah Uzbekistan dan sebagian barat Kazakhstan–itu menegaskan satu hal mendasar mengenai filosofi eksistensi manusia selama hidup di dunia. Keberadaan mereka sejatinya ialah untuk menghamba kepada Allah.

Dan, segala apa yang ada di bumi, Allah peruntukkan untuk membantu keberlangsungan hidup anak Adam. “Dan, Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di Bumisemuanya, (sebagai rahmat) daripada- Nya.” (QS al-Jaatsiyah [45]:13)

(Baca: Riyadhat An-Nafs, Kebahagian Sejati Muslim)

Allah menciptakan rasa kasih sayang dan mengondisikan harmonisasi alam, lahirlah manusia yang memiliki anggota tubuh yang saling melengkapi. Mereka diberikan mata untuk melihat, telinga agar mampu mendengar, lidah untuk berbicara, tangan supaya dapat berkarya, dan kaki agar sanggup berjalan.

Di dalam tubuhnya, Allah memberikannya hati (kalbu). Disebut kalbu, karena gumpalan darah–bila dilihat dari segi fisik disebut fuad–tersebut berada di genggaman Allah yang sangat mudah dibalikkan sesuai kehendak-Nya.

Di bagian lain dari kitabnya tersebut, al-Hakim yang hidup hingga 320 H itu menggambarkan bagaimana nafsu itu muncul dan menguasai seorang hamba. Pada dasarnya, nafsu keluar dari energi panas. Energi itu kemungkinan bertemu dengan dua hal, yaitu keindahan dan kesenangan. Pertemuan ini lantas memicu denyut nadi untuk terus memompa jantung dan menguasai hati serta pikiran seseorang.

Pada titik ini, timbullah syahwat dan rasa kepuasan. Bila syahwat telah menguasai hati, jadilah ia penguasa seluruh anggota tubuh. Misalnya, hati yang telah terkooptasi oleh nafsu dan syahwat ialah hati para orang yang tidak beriman, “Tetapi hati orang-orang kafir itu dalam kesesatan dari (memahami kenyataan) ini.” (QS al-Mu’minuun [23]:63). Dan, titik komando makrifat ada dalam hati, pemahaman ada di jiwa, dan rasionalitas letaknya di akal. Rasa mawaslah yang menjaga setiap elemen berharga itu.

Berdasarkan fakta tersebut, menurut ulama yang belajar hadis diNisaphur pada 285 H itu, manusia dituntut gigih mengelola potensi positif dan negatif yang dimiliki. Proses manajemen diri itu pun bukan perkara mudah, butuh keseriusan (mujahadah). “Dan, berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS Al Hajj [22]:78).

 

 

sumber: Republika Online

Nikmat Dan Pahala Bagi yang Bekerja

Allah SWT menciptakan alam semesta untuk kesejahteraan ummat manusia sebagai wujud sifat Pengasih dan Penyayang kepada hamba-hambanya. Allah SWT memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada ummat manusia untuk mengambil manfaat dari alam raya dan nikmat yang diambil berupa harta benda yang tidak bernilai harganya.

Namun demikian haruslah diingat bahwa Allah juga menciptakan rambu-rambu atau larangan kepada ummatnya agar harta benda yang telah diperoleh tidak membawa dampak negatif atau bahkan mudharat bagi para pemiliknya.

“Apa yang ada disisimu akan lenyap dan apa yang disisi Allah SWT adalah kekal. dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An Nahl 96).

Memenuhi Kebutuhan Hidup Manusia.

Manusia dalam memenuhi akan kebutuhan hidup, tidak akan pernah lepas atau puas. Untuk itu manusia harus bekerja dengan keras melalui berbagai profesinya masing-masing.

Meskipun Rasulullah telah mendapat jaminan dari Allah SWT, namun beliau tetap bekerja keras sebagaimana ummat Islamlainnya, yaitu untuk memberi contoh dan suri tauladan.

Rasulullah sebagai figur panutan, mendorong ummat Islam untuk bekerja lebih giat, bekerja keras agar dapat menciptakan kesejahteraan bagi kehidupan keluarganya.

Pada suatu ketika beliau bersabda bahwa :” Sungguh, seorang yang (bekerja) mencari kayu bakar lalu memikulnya itu, jauh lebih baik daripada orang yang mendatangi orang lain untuk meminta-minta kepada orang yang telah diberi karunia Allah SWT.”

Sahabat Nabi memberitahukan kepada rasul bahwa setiap pagi ada seorang pemuda gagah dan tegap keluar rumah untuk bekerja, padahal kalau pemuda itu memanfaatkan kepemudaan, kegagahan dan ketegapan nya untuk kepentingan Allah akan lebih baik.

Rasulullah segera menegur sahabat dengan sabdanya : ” Kalian jangan berkata begitu, sebab kalau pemuda itu keluar untuk bekerja demi istri dan anak-anaknya yang kecil, maka ia berada dijalan Allahdan apabila ia keluar bekerja demi harga dirinya, ia juga berada dijalan Allah.”

Berdasarkan Hadist tersebut diatas, jelaslah bahwa Rasulullahsangat memberi motivasi bagi yang bekerja, dengan mengarahkan ummatnya untuk giat bekerja melalui cara-cara yang baik, halal dan bermanfaat serta untuk tujuan yang baik. Sebaliknya Rasulullah sangat murka, tidak menyukai ummat yang pemalas, tidak mau bekerja secara maksimal dan bergantung kepada belas kasihan orang lain, yaitu sebagai peminta-minta atau pengemis.

Berkaitan dengan kegiatan kerja tersebut, manusia terbagi kedalam tiga golongan, yaitu :

  • Orang yang bekerja sebatas kebutuhan hidupnya saja. Dan tidak mau mencari tambahan lagi. Dia bekerja didasari dengan niat yang baik, ikhlas dan terpuji, tidak terjebak nafsu untuk menumpuk harta kekayaan. Dan orang itu menggunakan waktu sisanya untuk beribadah kepada Allah. Maka orang tersebut terpuji menurut agama sebagaimana dinyatakan dalam QS An Nahl ayat 96.
  • Orang yang mencari kebutuhan hidup, namun hanya sekedarnya sehingga tidak mencukupi. Mungkin saja orang ini tergolong pemalas dan kemalasannya ini tidak dapat dibenarkan oleh agama. Misalnya terlalu pasrah, tidak berusaha semaksimal mungkin dan tidak mencari jalan lain yang dapat ditempuh. Ada sahabat Rasulullah berangkat haji bersama teman mereka, Dan temannya itu tiada henti beribadah, yaitu sholat sunnah, berzikir dan lain-lainnya. Kemudian Rasulullah bertanya kepada sahabat, siapa yang memberi makan padanya ?, Kita semua ya Rasulullah. Rasul bersabda, ” Kalian lebih baik dari nya.”
  • Orang yang bekerja, namun tidak puas sebelum dapat mengumpulkan harta kekayaan yang sebanyak-banyaknya, agar dapat mewariskan kekayaan kepada anak keturunannya. Kegiatan itu tidak dibenarkan oleh agama, kecuali dilatar belakangi oleh keinginan yang mulia, yaitu menggunakan harta bendanya dijalan Allah, untuk perjuangan dan pengembangan agama Islam. Seperti membuat Masjid, membuka pendidikan agama dan lain sebagainya.

Kiranya sudah sepantasnya jika para tokoh agama, mubaligh, alim ulama, dai dan khotib senantiasa berwasiat, menekankan pentingnya bekerja dan beribadah sebagaimana semboyan yang sangat termasyur yaitu : ” Bekerjalah dengan keras seolah-olah engkau hidup seribu tahun lagi dan beribadahlah seolah-olah engkau besok pagi akan meninggal dunia.”

Dampak negatif dari harta benda.

Kerja keras untuk mendapatkan harta benda memang wajib dilakukan, namun harus dibarengi dengan norma-norma agama yang benar, yaitu tetap beribadah terus agar terhindar dari perbuatan yang merugikan diri sendiri, orang lain ataupun negara.

Dalam QS Al Munafiquun ayat 9, QS Al Alaq aya 6-7, Al Hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, menyatakan bahwa :

” Harta kekayaan yang diperoleh janganlah melalaikan untuk mengingat Allah, bermegah karena harta tersebut hanyalah merupakan cobaan belaka dan pada hakekatnya manusia benar-benar melampaui batas jika mereka melihat dirinya serba berkecukupan. Mereka akan merugi manakala menghamba kepada Dinar dan merugi orang yang menghamba kepada Dirham.”

Berkaitan dengan beberapa ayat Al Qur’an tersebut diatas, harta kekayaan dapat mengandung potensi negatif, diantaranya :

  1. Kekurangan atau kelebihan harta benda dapat mengakibatkan manusia menjadi lalai dengan Tuhannya.
  2. Kekurangan atau kelebihan harta benda pada hakekatnya merupakan ujian dari Allah SWT.
  3. Kondisi serba berkecukupan dapat menjadikan seseorang melampaui batas.
  4. Harta benda dapat mengundang atau mengakibatkan materialistik.
  5. Harta benda dapat memperbudak tuannya.

Kelima potensi negatif tersebut sangat berbahaya dan merugikan, oleh karena itu harus waspada dan menjaga jangan sampai harta benda tersebut mencelakakan diri baik dunia maupun akherat kelak.
.

Kerja keras itu untuk dunia dan akherat.

Rasulullah memerintahkan kepada ummatnya agar bekerja sekuat-kuatnya tanpa merugikan diri sendiri, orang lain dan negara. Dan tidak meninggalkan ibadah kepada Allah SWT agar mendapatkan pahala yang besar, baik dunia dan akherat kelak.

Dan jadilah orang yang berusaha dengan berencana dan bekerja keras, apalagi bekerja keras sebagai rasa bersyukur kepada Allah SWT karena selalu diberikan kesempatan berusaha. Hal itu sudah dicontohkan oleh Rasulullah untuk menjadi orang yang berbahagia dengan cara memperbanyak bersyukur.

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa shalat malam hingga kakinya bengkak. ‘Aisyah pun lalu bertanya, mengapa engkau melakukan ini wahai Rasulullah? Bukankah Allah telah mengampuni dosamu baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Beliau menjawab: ‘Bukankah aku akan bahagia jika menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?’” (HR. Bukhari 4837, Muslim 2820).

Wallahu ‘Alam Bishawab.

 

sumber: Sulitnih.com

 

Baca juga: Empat Prinsip Etos Kerja