Daulah Abbasiyah: Al-Makmun, Khalifah Pengembang Sains

Abdullah Al-Makmun bin Harun Ar-Rasyid (813-833 M) mulai memerintah Bani Abbasiyah pada 198-218 H/813-833 M. Ia adalah khalifah ketujuh Bani Abbasiyah yang melanjutkan kepemimpinan saudaranya, Al-Amin.

Untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, Khalifah Al-Makmun memperluas Baitul Hikmah (Darul Hikmah) yang didirikan ayahnya, Harun Ar-Rasyid, sebagai Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia. Baitul Hikmah diperluas menjadi lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, dan tempat penelitian. Lembaga ini memiliki ribuan buku ilmu pengetahuan.

Lembaga lain yang didirikan pada masa Al-Makmun adalah Majalis Al-Munazharah sebagai lembaga pengkajian keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah, masjid-masjid, dan istana khalifah. Lembaga ini menjadi tanda kekuatan penuh kebangkitan Timur, di mana Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan dan puncak keemasan Islam.

Sayangnya, pemerintahan Al-Makmun sedikit tercemar lantaran ia melibatkan diri sepenuhnya dalam pemikiran-pemikiran teologi liberal, yaitu Muktazilah. Akibatnya, paham ini mendapat tempat dan berkembang cukup pesat di kalangan masyarakat.

Kemauan Al-Makmun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tidak mengenal lelah. Ia ingin menunjukkan kemauan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat tradisi Yunani. Ia menyediakan biaya dan dorongan yang kuat untuk mencapai kemajuan besar di bidang ilmu. Salah satunya adalah gerakan penerjemahan karya-karya kuno dari Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti ilmu kedokteran, astronomi, matematika, dan filsafat alam secara umum.

Ahli-ahli penerjemah yang diberi tugas Khalifah Al-Makmun diberi imbalan yang layak. Para penerjemah tersebut antara lain Yahya bin Abi Manshur, Qusta bin Luqa, Sabian bin Tsabit bin Qura, dan Hunain bin Ishaq yang digelari Abu Zaid Al-Ibadi.

Hunain bin Ishaq adalah ilmuwan Nasrani yang mendapat kehormatan dari Al-Makmun untuk menerjemahkan buku-buku Plato dan Aristoteles. Al-Makmun juga pernah mengirim utusan kepada Raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani Kuno yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Selain para pakar ilmu pengetahuan dan politik, pada Khalifah Al-Makmun muncul pula sarjana Muslim di bidang musik, yaitu Al-Kindi. Khalifah Al-Makmun menjadikan Baghdad sebagai kota metropolis dunia Islam sekaligus pusat ilmu pengetahuan, pusat kebudayaan, peradaban Islam, dan pusat perdagangan terbesar di dunia selama berabad-abad lamanya.

Namun demikian, selain pemikiran Muktazilah, Khalifah Al-Makmun juga tercemari oleh paham yang menganggap Al-Qur’an itu makhluk. Paham ini melekat dan menjadi prinsip pemerintah. Orang yang tidak setuju dengan pendapat ini akan dihukum. Inilah yang menimpa beberapa ulama yang istiqamah seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Sajjadat, Al-Qawariri, dan Muhammad Nuh.

Namun belakangan Imam Sajjadat dan Al-Qawariri mengakui juga Al-Qur’an sebagai makhluk. Ketika ditelusuri, keduanya mengaku karena terpaksa. Mereka berpendapat, dalam agama, kondisi terpaksa membolehkan seseorang untuk mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keimanannya.

Kendati demikian, Imam Ahmad dan Muhammad Nuh tetap tidak mau mengakui bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Sejarah mencatat ungkapan Imam Ahmad kala itu, “Saya tidak mau pengakuan saya menjadi dalil orang-orang setelahku.” Ia juga pernah diminta oleh pamannya, Ishaq bin Hanbal untuk melakukan taqiyyah (pura-pura), namun Imam Ahmad tidak mau.

Kedua tokoh itu segera dikirim kepada Khalifah Al-Makmun yang sedang berada di medan pertempuran di Asia Kecil. Dalam perjalanan dan ketika tiba di benteng Rakka, mereka mendapat kabar bahwa sang Khalifah wafat. Jenazahnya dibawa ke Tarsus dan dimakamkan di tempat itu.

Gubernur benteng Rakka segera mengembalikan Imam Ahmad dan Muhammad Nuh ke Baghdad. Dalam perjalanan, Muhammad Nuh sakit lalu meninggal dunia. Sedangkan Imam Ahmad dibawa ke Baghdad.

Sumber : Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni / Republika Online

Jadilah Muslim Berkepribadian Konsisten (2)

Sesungguhnya kepribadian Muslim selalu cenderung untuk mengatakan kebenaran, hanya karena Allah.

 

MERUPAKAN ciri khas yang seyogyanya ada pada pribadi Muslim untuk senantiasa memberi kesaksian dan pernyataan yang benar. Ia tidak akan berubah meski menjadi syahid. AllahSubhanahu Wa Ta’ala telah menegaskan,

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak keadilan, dan menjadi saksi bagi Allah, kendati terhadap diri kalian sendiri, dua orang tua, dan para kerabat dekat.” (an-Nisaa’: 135).

Sesungguhnya kepribadian Muslim selalu cenderung untuk mengatakan kebenaran, hanya karena Allah. Maka di dalam hatinya tidak ada seberkas pun rasa takut. Demikian ini pulalah yang telah ditanamkan Rasululah Shalallaahu ‘Alahi Wasallamterhadap orang-orang salaf.

‘Ubadah Ibn Shamid mengisahkan dari ayahnya, ia mengatakan: Ayahku telah bercerita kepadaku,

“Kami pernah berjanji setia kepada Rasulullah untuk mendengarkan dan menaatinya baik dalam kesulitan maupun kemudahan dan untuk mengatakan kebenaran di mana pun berada dan tak gentar terhadap cacian orang yang suka mencaci, ketika kami berjuang di jalan Allah.” (Muslim).

Rasulullah memperingatkan agar menegakkan kebenaran, serta tak menganggapnya sesuatu yang remeh. Namun itu bukan karena takut kepada manusia atau beberapa orang tertentu yang mengendalikan kekuasaan. Nabi menyatakan,

“Janganlah sekali-kali rasa takut salah seorang dari kalian mencegahnya mengatakan kebenaran, jika ia melihatnya.” (Ahmad).

Demikianlah, Islam mengukuhkan sifat pemberani karena benar di dalam jiwa para pengikutnya. Islam juga menyerukan kepada mereka untuk senantiasa mengikuti serta merealisasikan kebenaran itu, sehingga kebenaran dan keadilan menjadi kenyataan.

Sesungguhnya sikap konsisten terhadap kebenaran merupakan kekuatan yang tak terkalahkan, jika seorang Muslim senantiasa berpegang teguh kepada tali Allah, kitab-Nya, serta mengikuti segala petunjuk-Nya. Petunjuk Allah itu akan menguatkan orang-orang beriman, sehingga tak menyimpang dari jalan kebenaran, dalam keadaan apa pun.

Allah telah menegaskan,

Katakanlah: Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan aI-Qur’an itu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) serta memberikan petunjuk dan kabar gembira bagi orang-orang Islam.” (an-Nahl: 102).

Jika ketegaran suatu pribadi adalah karena berlandaskan akidah yang benar, maka seseorang yang akidahnya tidak kuat, niscaya terombang-ambing dalam kehidupan. Selalu berubah mengikuti perubahan dunia. Ia tidak menetap dalam satu keadaan.

Tatkala mendapatkan karunia, ia merasa tenang. Namun manakala musibah dan petaka silih berganti menimpanya, ia berubah, berbalik, berlawanan dengan orang beriman yang sehat akidahnya. Dalam situasi dan keadaan apa pun, orang beriman tetap kukuh dan tegar akidahnya. Dalam hal ini Allah menjelaskan,

Ada di antara manusia yang menyembah Allah dengan tidak sungguh-sungguh. Jika mendapat kebaikan, ia merasa tenang. Tatkala mendapatkan fitnah, wajahnya berbalik, ia merugi di dunia dan akhirat. Dia adalah benar-benar orang yang rugi.” (al-Hajj: 11).

 

DR. Ahmad Umar Hasyim, dari bukunya Menjadi Muslim Kaffah.

 

sumber: Hidayatullah.com

Sahabat Nabi SAW Tidak Bermadzhab, Benarkah?

Beberapa muslim belakangan atau memang sejak lama banyak yang menolak untuk mengikuti madzhab dan bahkan memaksa orang lain untuk pula tidak bermadzhab.

Salah satu alasannya karena memang sahabat Nabi SAW. yang hidup di generasi terbaik umat Islam ini tidak bermadzhb dan memang tidak ada madzhab. Memang iya, para sahabat Nabi SAW. tidak bermadzhab.

Akan tetapi tidak sesimpel itu untuk kita akhirnya menolak madzhab fiqih dengan alasan yang sangat rapuh seperti itu. Coba teliti lagi apa fungsi dan manfaat madzhab fiqih itu sendiri.

 

Kenapa Bermadzhab?

Madzhab fiqih itu ada sebagai jalan untuk kita memahami al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.  Dia ibarat peta yang menuntun kita agar tidak tersesat dalam memahami teks-teks syariah. Sebagai tangga yang menyampaikan kita kepada pemahaman al-Qur’an dan sunnah yang memang tinggi, yang tidak mungkin kita mencapainya dengan badan sendiri.

Semua itu karena memang memahami al-Qur’an dan sunnah itu tidak semudah dan tidak sesimpel yang dibayangkan. Bukan hanya karena paham bahasa Arab lalu bisa menggali hukum dari 2 sumber utama tersebut.

Kalau memang memahami kedua sumber mulia itu hanya dengan bermodal bahasa Arab, tentu semua orang di negara-negara berbahasa Arab itu menjadi mujtahid semua. Tapi nyatanya tidak.

Selain bahasa Arab, masih banyak ilmu-ilmu yang harus dikuasai sampai akhirnya bisa menduduki bangku mujtahid yang mana layak untuk menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah. Karena itulah kita membutuhkan tangga sebagai wasilah mencapai tujuan; yakni al-Qur’an dan Sunnah.

Kata ulama ushul; “lil-Wasa’il hukumul-maqashid”, yang artinya “wasilah itu hukumnya sama dengan hukum tujuannya”. Merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah itu wajib, akan tetapi sulit untuk mencapai itu kecuali ada petanya dan tangganya. Maka mendapatkan tangga itu menjadi wajib, karena tujuannya itu wajib. Dengan kesadaran diri atas ketidak mampuan dan kehati-hatian dalam beragama akan jatuh pada kekliruan, maka bermadzhab itu menjadi sebuah keharusan.

Kalau menolak bermadzhab dan kembali langsung kepada al-Qur’an dan sunnah, akan tetapi masih memahami makna teka al-Qur’an dari Quran terjemah yang dikeluarkan Departemen Agama atau penerbit lain; itu namanya bukan kembali ke al-Qur’an, itu namanya mengikuti Departemen Agama atau penerbit jadi penerjemah al-Qur’an tersebut. Karena kalau memang mampu, harusnya jauhkan semua media-media itu, langsung saja maknai teks-teks al-Qur’an itu sendiri, tanpa alat.

Lalu kalau menolak bermadzhab dan menghukumi sesuatu denga hadits yang ada pada kita shahih al-Bukhari atau ulama hadits lainnya. Itu namanya bukan kembali ke al-Qur’an dan sunnah, itu namanya mengikuti Imam al-Bukhari. Kalau memang mampu menggali hukum tanpa perantara madzhab, harus juga mempu menstatusi hadits sendiri tanpa rujuakan manusia lain. Tidak al-Bukhari, tapi al-Albani, itu juga sama, mengikuti manusia namanya, bukan mengikuti al-Qur’an dan Sunnah.

Sahabat Nabi SAW Bermadzhab!

Nah, para sahabat Nabi s.a.w. tidak bermadzhab, kenapa? Karena sumber syariah sudah ada di depan mata mereka, hidup bersama mereka, berdialog langsung dengan mereka. Lalu dimana kegunaan madzhab jika sumber itu sendiri sudah jelas depan mata? toh karena memang madzhab itu ada disebabkan rentan waktu yang berjarak ke masa Nabi s.a.w. dan kesulitan memahami teks-teks syariah yang ada. Zaman sahabat, mereka semua tianggal bertanya langsung kepada sumbernya.

Akan tetapi coba lihat bagaimana keadaan para sahabat setelah Nabi SAW wafat, apakah semua mereka jadi ulama dan mujtahid? Tidak! Diantara mereka ada orang awamnya juga yang kemudian mereka itu bertanya tentang masalah-masalah agama yang bagi mereka masih membingungkan kepada tokoh-tokoh sahabat yang memang dikenal sebagai orang ‘Alim dan dianggap paling mengerti terhadap wahyu juga maksud sabda Nabi SAW.

Ketika tokoh-tokoh sahabat (seperti 4 Khulafa al-Rasyidin, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Abdullah bin Zaid, Zaid bin Tsabit dll) itu ditanya tentang suatu masalah oleh Awam Sahabat, mereka langsung menjawab pertanyaan itu. Mereka tidak menolak pertanyaan tersebut dengan mengatakan: “anda kan sahabat Nabi, hidup bersama dan mendengarkan wahyu, kalau begitu ijtihad saja sendiri!”. Tidak! Tidak ada jawaban seperti itu.

Itu artinya memang awam-awam sahabat pun beragama dan beribadah melalui pemahaman tokoh-tokoh sahabat ‘alim tersbut; karena memang sang awam sadar diri bahwa mereka tidak mengerti dan mereka juga punya tuntutan untuk menjaga ajaran agama ini dengan tidak sok-sok-an langsung berhukum tanpa merujuk kepada para tokoh-tokoh sahabat itu.

Dengan kata lain, tokoh-tokoh itulah jalan (madzhab) para awam. Dan apa yang dilakukan oleh awam sahabat tersebut, sama seperti yang kita lakukan saat ini ketika beribadah dengan jalan (madzhab) ulama-ulama dan imam-imam madzhab mulia tersebut.

Dan karena memang mereka mengambil jalan beribadah itu melalui para tokoh-tokoh sahabat tersebut, sudah barang tentu perbedaan menjadi sesuatu yang niscaya terjadi. Dan itu yang kita saksikan, bahwa di kalangan sahabatpun ada perbedaan.

Tapi dahsyatnya, perbedaan itu tidak membuat sahabat satu sama lain saling menuding dan menunjuk hidung sahabat lain bahwa kesalahan ada pada tertunjuk. Tidak! semua aman dan mesra. Dan itu juga yang akhirnya diwariskan kepada ulama-ulama madzhab yang ada, sehingga tidak pernah kita saksikan ada permusuhan antara ulama madzhab walaupun ada perbedaan diantara mereka.

 

Jika Awam Boleh Ijtihad

Sebagai tambahan; bahwa kalau saja seandainya kita tidak perlu bermadzhab atau tidak pelu melewati jalan dan tangga yang valid, dan kita yang awam ini diminta untuk menggali hukum langsung dari al-Quran dan sunnah, artinya berijtihad.

Tentu ijtihadnya awam-awam di generasi terbaik, apalagi sahabat, ijtihad itu yang mestinya sangat layak kita jalankan. Dan apakah kita akan menjalankan ijtihad salah seorang sahabat Nabi yang tidak memberika keringanan bagi orang junub yang sakit untuk harus mandi janabah sehingga salah seorang diantaranya wafat karena harus mandi janabah.

Ataukah kita bertayammum dengan berguling-guling tanah sebagaimana itu dilakukan oleh sahabat yang junub namun tidak menemukan air. Begitukah?

Wallahu a’lam.

 

Ahmad Zarkasih, Lc

sumber: Rumah Fiqih Indonesia

Jadilah Muslim Berkepribadian Konsisten (1)

SEORANG Muslim mempunyai kepribadian konsisten, tak pernah goyah karena badai kehidupan. Berlandaskan akidah yang benar, ia tak mudah goyah karena bencana dan kejadian apa pun. Akidahnya tetap, karena kekuatan, konsistensi, serta keyakinannya yang tidak goyah. Karena itulah, kita melihat seorang Muslim yang benar akidahnya, dalam setiap keadaan, pekerjaan, serta perkataannya, selalu konsisten.

Dalam keadaan gembira, sedih, ditimpa kesulitan, atau mengalami berbagai kemudahan, ia tak berubah, selalu konsisten. Konsistensinya dalam setiap keadaan itu disebabkan akidahnya. Dalam banyak kesempatan kita bisa melihat seorang Muslim yang berakidah benar, semua sikap dan perilakunya tak pernah berubah.

Selain ketaatan serta ibadahnya yang tetap, ruang batinnya pun tak berbeda dengan apa yang dinyatakannya. Ia beribadah bukan agar dilihat manusia. Ia taat bukan sekadar pura-pura. Sebab suka mengelabuhi manusia adalah termasuk ciri orang munafik, sebagaimana diterangkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

Sesungguhnya orang-orang munafik itu bermaksud menipu Allah, tetapi Allahlah yang menipu mereka. Jika mendirikan shalat, mereka melakukannya dengan malas dan agar dilihat manusia. Mereka tak menyebut Allah, kecuali sedikit.” (An Nisaa’: 142).

Selain bekerja, berusaha, dan berpendirian tetap, seorang Muslim tidak bermalas-malasan, apalagi meremehkan pekerjaan. Ia memegang standar kelayakan dalam bekerja. Jika menjadi tuan, ia tak berbuat aniaya terhadap orang-orang yang berbuat aniaya kepadanya. Jika menjadi pekerja, ia ikhlas dalam bekerja. Menyelesaikan pekerjaannya sampai tuntas, konsisten dalam kebenaran dan keadilan, serta tidak menipu apalagi curang. Ia pun tak menyakiti orang lain dalam setiap keadaan.

Allah telah menegaskan,

Dan mereka yang menyakiti orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, padahal mereka tak melakukan apa-apa, maka mereka benar-benar telah melakukan dusta dan dosa yang nyata.”

Dalam hadist, Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam, menjelaskan,

“Siapa yang mendustakan kami, maka bukan masuk golongan kami.” (Muslim).

Ketika sikap konsisten itu melekat pada kepribadian Muslim, maka jika berjanji ia akan setia menepatinya. Ia tak akan mengingkari janjinya. Allah telah menegaskan,

Tepatilah oleh kalian janji itu. Sesungguhnya janji itu harus dipertanggungjawabkan.” (al-Isra’: 34)

Sementara itu, orang-orang yang tidak menepati janji, mereka adalah kaum munafik. Rasulullah menerangkan,

“Tanda-tanda orang munafik ada tiga; jika berbicara ia berdusta; jika berjanji ia mengingkari; dan jika dipercaya ia berkhianat.” (Bukhari dan Muslim).

Sementara tanda-tanda orang beriman telah disebutkan Al-Qur’anul Karim,

Dan orang-orang yang senantiasa menjaga janji serta amanah.” (al-Mu’minun: 8).

Kemudian, ciri-ciri yang jelas bagi kepribadian islami adalah kesediaan berjuang di jalan Allah, mempertahankan kebenaran, serta menguatkan barisan. Allah telah menegaskan,

Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertemu dengan sekelompok musuh, maka menetaplah, dan ingatlah Allah selalu, agar kalian beruntung.” (al-Anfal: 45).

Lebih jauh lagi Al-Qur’anul Karim menegaskan seruannya untuk bersabar, dan menguatkan kesabaran itu diiringi dengan selalu bertakwa kepada Allah,

Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian, dan kuatkanlah kesabaran itu, disertai kesiapsiagaan. Dan bertakwalah kalian kepada Allah agar kalian beruntung.” (Ali-Imran: 200).

Konsistensi dalam bersikap merupakan unsur terpenting dalam pembentukan kepribadian Islami, di samping berkata serta bertindak secara benar. Rasulullah merupakan contoh yang utama dalam hal sikap konsisten.

Dalam menyiarkan Islam, misalnya, manakala menghadapi orang-orang musyrik, beliau tetap konsisten dalam sikapnya, kendati menerima respon yang kurang mengenakkan dari orang-orang kafir. Bahkan mereka mengancam, menakut-nakuti dengan berbagai sarana. Di antara pemimpin orang kafir adalah paman beliau sendiri yang tak mempercayai kenabiannya. Toh sikap Nabi tidak berubah. Tetap konsisten.

Dengan nada yang tak menyimpan ketakutan, beliau menyatakan kepada pamannya,

“Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini, aku tak akan berhenti sampai Allah menampakkan kebenaran atau mereka binasa.”

Begitulah beliau, sebagai contoh dari sosok yang konsisten dalam bersikap. Tetap berdakwah, sampai Allah memenangkan agama-Nya.

Benar apa yang telah difirmankan-Nya,

Sungguh telah ada dalam diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kalian, yang menaruh harapan kepada Allah dan hari kiamat dan ia memperbanyak mengingat Allah.“*

/DR. Ahmad Umar Hasyim, dari bukunya Menjadi Muslim Kaffah.

 

 

sumber: Hidayatullah.com

Tolak Hari Valentine dengan Tagar #PalestineDay

Beragam cara dilakukan untuk menolak hari Valentine, seperti yang terjadi di Palestina. Alih-alih ikut arus dan merayakan hari Valentine, sejumlah orang beramai-ramai memilih untuk menyuarakan kampanyenya mendukung Palestina lewat tagar #HappyPalestineDay di Twitter.

Lewat tagar #HappyPalestineDay, para netizen mengatakan, hal itu adalah sebuah cara untuk menunjukkan solidaritas mereka dengan rakyat Palestina yang hidup di bawah pendudukan brutal Israel.

Pembangunan permukiman Israel dan blokade yang dilakukan sekitar delapan tahun terhadap warga Gaza membuat miris sebagian orang di seluruh dunia.

Sastrawan terbesar Amerika dan aktivis anti rasisme, Maya Angelou pernah berkata, “Cinta tidak mengenal hambatan, melawan rintangan, melompati pagar, menembus dinding untuk tiba di tempat tujuan yang penuh harapan.”

“Dengan tembok pemisah yang sangat besar yang didirikan Israel di tanah Palestina dan pagar kawat berduri yang menghalangi warga Palestina tampaknya hampir mustahil untuk menemukan harapan di tengah-tengah semua ini,” lanjutnya, seperti dikutip IMEMC, Ahad (15/2). Tapi, rakyat Palestina terus melakukan itu demi terwujudnya sebuah harapan, lanjutnya.

Angelou menambahkan bahwa baru-baru ini ia bertemu dengan seorang pemuda Palestina bernama Ziad yang tinggal di Betlehem di sisi dinding pembatas Israel. Menurut dia, Ziad menjalin komunikasi dengan kekasihnya yang tinggal di sisi berlawanan dinding melalui surat yang dikirim lewat lubang-lubang yang ada di dinding tersebut.

Dia menambahkan, cinta tidak mengenal hambatan sesulit apapun itu termasuk tembok pemisah yang didirikan Israel. Angelou melanjutnya, di Twitter pada hari yang dikenal orang sebagai hari Valentine ini ada sebuah kampanye dengan tagar #HappyPalestineDayatau hanya #PalestineDay.

 

 

sumber: Republika Online

Bolehkah Menerima Hadiah Coklat Valentine?

Perayaan valentine jelas bukan perayaan muslim. Itu hanyalah budaya latah dari barat yang diimpor ke negeri ini. Biasanya yang dijadikan hadiah dalam perayaan tersebut adalah coklat. Seandainya kita yang diberi coklat oleh rekan kita, bolehkah kita menerimanya?

Ini Alasannya Kenapa Valentine Identik dengan Coklat

Ternyata, coklat mengandung phenylethylamine yang berfungsi membantu penyerapan dalam otak dan menghasilkan dopamine yang akan menyebabkan perasaan gembira, meningkatkan rasa tertarik dan dapat menimbulkan perasaan jatuh cinta. Tidak heranlah coklat menjadi pilihan hadiah tanda cinta. Disebabkan oleh teksturnya yang lembut dan mudah larut secara perlahan memberikan kesan sensual bagi orang yang menikmatinya. Selain itu,coklat dapat memberikan kesan nyaman, rileks dan dapat meningkatkan gairah seksual.

Berarti ada tujuan tidak baik di balik coklat, apalagi jika dilihat pasangan yang diberi masih belum halal karena belum ada akad nikah? Lihat saja, meningkatkan gairah seksual. Apa maksudnya? Apa ingin menghalalkan zina dengan hadiah coklat tersebut? Wallahul musta’an.

Masalah Merayakan Valentine

Intinya, merayakan valentina atau hari kasih sayang, ada beberapa sisi kerusakan:

1- Merayakan perayaan non muslim

Jelas banget, hari valentine bukanlah perayaan muslim. Perayaan atau hari besar kaum muslimin hanyalah dua, tidak ada yang lainnya. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)” (HR. An Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

Kita pun dilarang tasyabbuh dengan non muslim, yaitu dilarang meniru non muslim dalam perayaan mereka. Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا

Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Kenapa sampai kita dilarang meniru-niru orang kafir secara lahiriyah? Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ

“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 154).

Imam Adz Dzahabi juga berkata,

فإذا كان للنصارى عيد ، ولليهود عيد ، كانوا مختصين به ، فلا يشركهم فيه مسلم ، كما لا يشاركهم في شرعتهم ولا قبلتهم

“Orang Nashrani punya perayaan, demikian pula orang Yahudi, di mana mereka mengistimewakan hari tersebut. Maka janganlah seorang muslim meniru mereka dalam perayaan tersebut. Sebagaimana kita dilarang meniru syari’at dan tidak mengikuti kiblat mereka.” (Tasyabbuh Al Khosis bi Ahlil Khomis, dinukil dalam Majalah Al Hikmah 4: 193)

Jelas sekali, merayakan valentine termasuk dalam meniru orang kafir. Karena perayaan tersebut sama sekali bukanlah perayaan muslim, namun diimpor dari barat. Sejarah valentine bermula dari:

– Valentine’s Day berasal dari upacara keagamaan Romawi Kuno yang penuh dengan paganisme dan kesyirikan.

– Upacara Romawi Kuno di atas akhirnya dirubah menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day atas inisiatif Paus Gelasius I. Jadi acara valentine menjadi ritual agama Nashrani yang dirubah peringatannya menjadi tanggal 14 Februari, bertepatan dengan matinya St. Valentine.

– Hari valentine juga adalah hari penghormatan kepada tokoh nashrani yang dianggap sebagai pejuang dan pembela cinta.

– Pada perkembangannya di zaman modern saat ini, perayaan valentine disamarkan dengan dihiasi nama “hari kasih sayang”.

Jadi pemuda yang merayakannya saat ini hanyalah latah mengikuti budaya barat.

2- Cinta kasih yang tidak halal

Yang ada di hari kasih sayang atau valentine day adalah cinta kasih yang tidak halal. Karena yang merayakannya adalah muda-mudi dengan saling memberi hadiah, kencan berdua, bergandengan tangan, bahkan mejeng di kegelapan demi menyatakan cinta di hari tersebut. Ini tentu saja cinta kasih yang tidak halal. Cinta kasih yang halal dalam Islam hanyalah dinyatakan lewat nikah. Cinta kasih bukan dinyatakan lewat pesan singkat, telepon, jalan berdua, berdua-duaan, kencan dinner, dinyatakan dengan pemberian coklat, bahkan ada yang membuktikannya dengan zina. Cinta sejati dibuktikan dengan menikah karena itulah yang halal bahkan berpahala di sisi Allah.

Inilah manfaat nikah. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,  ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نِصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي

Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)

Al Ghozali rahimahullah (sebagaimana dinukil dalam kitab Mirqotul Mafatih) berkata, “Umumnya yang merusak agama seseorang ada dua hal yaitu kemaluan dan perutnya. Menikah berarti telah menjaga diri dari salah satunya. Dengan nikah berarti seseorang membentengi diri dari godaan syaithon, membentengi diri dari syahwat (yang menggejolak) dan lebih menundukkan pandangan.”

Jadi dengan menikah berarti menjaga agama. Sebaliknya, menyalurkan cinta lewat pacaran malah merusak agama seseorang.

3- Berzina atau melakukan hal-hal yang merupakan perantara menuju zina

Inilah yang nyata saat merayakan valentine, setiap pasangan akan menyatakan cinta pada yang lain. Bahkan ada yang membuktikan dengan cara yang parah sampai berzina. Padahal mendekati zina saja tidak boleh apalagi sampai berzina,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra’: 32). Kata Al Qurthubi, ayat ini sangat bagus dan lebih menunjukkan larangan daripada perkataan “Janganlah melakukan zina“. Maksudnya, larangan tersebut untuk mendekati, tentu saja jika sampai terjerumus, jelas terlarangnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا

Dan orang-orang yang tidak menyembah Rabb yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” (QS. Al Furqon: 68). Artinya, orang yang melakukan salah satu dosa yang disebutkan dalam ayat ini akan mendapatkan siksa dari perbuatan dosa yang ia lakukan.

4- Menghambur-hamburkan uang

Memberi coklat dan hadiah pada pasangan pada hari valentine juga termasuk tabdzir atau menghambur-hamburkan uang. Karena yang disebut tabdzir adalah menyalurkan harta pada suatu yang haram dan sia-sia.

Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5: 68).

Menghambur-hamburkan harta dalam hal yang sia-sia ini termasuk temannya setan sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27).

Bolehkah Menerima Hadiah Coklat Valentine?

Sama halnya dengan acara perayaan yang tidak ada tuntunan lainnya -seperti ulang tahun-, maka menerima hadiah dari coklat di hari valentine mesti menimbang maslahat dan mudhorot.

Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah berkata mengenai hukum menerima kado ulang tahun, “Menerima hadiah dari acara yang tidak ada tuntunan tidak dibolehkan karena hal itu termasuk menyokong acara tersebut tetap laris manis. Maka hendaklah menolak hadiah tersebut dengan cara yang halus. Namun jika khawatir merusak hubungan dengan rekan kita, maka jelaskan padanya bahwa kita menerima hadiah karena itu hadiah saja bukan maksud mendukung acara yang tidak ada tuntunan tersebut. Dengan menambahkan keterangan bahwa kita tidak lagi akan menerima kado seperti itu di masa akan datang. Juga tidak perlu membalas memberikan hadiah di hari ulang tahunnya.” (Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 146449). Menerima hadiah di hari valentine seperti itu pula, timbang-timbanglah maslahat dan bahayanya.

Wallahu waliyyut taufiq.

Valentine, Benarkah Hari Kasih Sayang?

Apa benar hari valentine yang diperingati setiap 14 Februari adalah hari kasih sayang?

Cinta Semu di Hari Valentine

Yang kami nilai, cinta di hari valentine adalah cinta semu. Karena konsekuensi dari cinta adalah cinta karena iman. Semakin orang lain itu beriman, maka semakin ia dicintai. Semakin ia gemar dalam maksiat, semakin berkurang kecintaan padanya. Cinta pada hari valentine tidaklah demikian.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika ada dalam diri seseorang kebaikan dan kejelekan, dosa dan ketaatan, maksiat, sunnah dan bid’ah, maka kecintaan padanya tergantung pada kebaikan yang ia miliki. Ia pantas untuk dibenci karena kejelekan yang ada padanya. Bisa jadi ada dalam diri seseorang kemuliaan dan kehinaan, bersatu di dalamnya seperti itu. Contohnya, ada pencuri yang miskin. Ia berhak dihukumi potong tangan. Di samping itu ia juga berhak mendapat harta dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhannya.” (Majmu’ Al Fatawa, 28: 209).

Yang Ada, Cinta Karena Hawa Nafsu

Kecintaan di hari valentine sejatinya adalah cinta didasarkan hawa nafsu. Kenyataannya, kasih sayang yang ada bukanlah dari pasangan yang legal. Namun timbul dari pasangan yang belum ada status yang sah. Jadinya, yang adalah cinta berdasarkan hawa nafsu. Cinta tersebut pun adalah perantara menuju zina yang termasuk dosa besar. Padahal Allah telah memeringatkan,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’: 32).

Islam Sebenarnya Sudah Mengajarkan Kasih Sayang

Di masa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, saling menyayangi ini sudah diajarkan.

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al Fath: 29).

Bentuk kasih sayang yang diajarkan dalam Islam adalah dengan menolong satu dan lainnya.

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah: 71).

Bahkan seorang mukmin dituntut untuk mewujudkan cintanya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Salah seorang di antara kalian tidaklah dikatakan beriman hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan pada kalian suatu amalan yang jika kalian melakukannya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)

Kasih sayang dalam Islam diajarkan setiap waktu, bukan di hari Valentine saja, bukan 14 Februari saja.

Say no to Valentine

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

 

 

sumber: Rumaysho

6 Kerusakan Hari Valentine

Banyak kalangan pasti sudah mengenal hari valentine (bahasa Inggris: Valentine’s Day). Hari tersebut dirayakan sebagai suatu perwujudan cinta kasih seseorang. Perwujudan yang bukan hanya untuk sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta. Namun, hari tersebut memiliki makna yang lebih luas lagi. Di antaranya kasih sayang antara sesama, pasangan suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik dan lainnya. Sehingga valentine’s day biasa disebut pula dengan hari kasih sayang.

Cikal Bakal Hari Valentine

Sebenarnya ada banyak versi yang tersebar berkenaan dengan asal-usul Valentine’s Day. Namun, pada umumnya kebanyakan orang mengetahui tentang peristiwa sejarah yang dimulai ketika dahulu kala bangsa Romawi memperingati suatu hari besar setiap tanggal 15 Februari yang dinamakan Lupercalia. Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama–nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan dijadikan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Ketika agama Kristen Katolik menjadi agama negara di Roma, penguasa Romawi dan para tokoh agama katolik Roma mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Book Encyclopedia 1998).

Kaitan Hari Kasih Sayang dengan Valentine

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” yang dimaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan Tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan daripada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (The World Book Encyclopedia, 1998).

Versi lainnya menceritakan bahwa sore hari sebelum Santo Valentinus akan gugur sebagai martir (mati sebagai pahlawan karena memperjuangkan kepercayaan), ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis “Dari Valentinusmu”. (Sumber pembahasan di atas: http://id.wikipedia.org/ dan lain-lain)

Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:

  1. Valentine’s Day berasal dari upacara keagamaan Romawi Kuno yang penuh dengan paganisme dan kesyirikan.
  2. Upacara Romawi Kuno di atas akhirnya dirubah menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day atas inisiatif Paus Gelasius I. Jadi acara valentine menjadi ritual agama Nashrani yang dirubah peringatannya menjadi tanggal 14 Februari, bertepatan dengan matinya St. Valentine.
  3. Hari valentine juga adalah hari penghormatan kepada tokoh nashrani yang dianggap sebagai pejuang dan pembela cinta.
  4. Pada perkembangannya di zaman modern saat ini, perayaan valentine disamarkan dengan dihiasi nama “hari kasih sayang”.

Sungguh ironis memang kondisi umat Islam saat ini. Sebagian orang mungkin sudah mengetahui kenyataan sejarah di atas. Seolah-olah mereka menutup mata dan menyatakan boleh-boleh saja merayakan hari valentine yang cikal bakal sebenarnya adalah ritual paganisme. Sudah sepatutnya kaum muslimin berpikir, tidak sepantasnya mereka merayakan hari tersebut setelah jelas-jelas nyata bahwa ritual valentine adalah ritual non muslim bahkan bermula dari ritual paganisme.

Selanjutnya kita akan melihat berbagai kerusakan yang ada di hari Valentine.

Kerusakan Pertama: Merayakan Valentine Berarti Meniru-niru Orang Kafir

Agama Islam telah melarang kita meniru-niru orang kafir (baca: tasyabbuh). Larangan ini terdapat dalam berbagai ayat, juga dapat ditemukan dalam beberapa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hal ini juga merupakan kesepakatan para ulama (baca: ijma’). Inilah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim (Ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim Al ‘Aql, terbitan Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani. Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ ، فَخَالِفُوهُمْ

“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani tidak mau merubah uban, maka selisihlah mereka.” (HR. Bukhari no. 3462 dan Muslim no. 2103) Hadits ini menunjukkan kepada kita agar menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani secara umum dan di antara bentuk menyelisihi mereka adalah dalam masalah uban. (Iqtidho’, 1/185)

Dalam hadits lain, Rasulullah menjelaskan secara umum supaya kita tidak meniru-niru orang kafir. Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [hal. 1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman dalam Irwa’ul Gholil no. 1269). Telah jelas di muka bahwa hari Valentine adalah perayaan paganisme, lalu diadopsi menjadi ritual agama Nashrani. Merayakannya berarti telah meniru-niru mereka.

Kerusakan Kedua: Menghadiri Perayaan Orang Kafir Bukan Ciri Orang Beriman

Allah Ta’ala sendiri telah mencirikan sifat orang-orang beriman. Mereka adalah orang-orang yang tidak menghadiri ritual atau perayaan orang-orang musyrik dan ini berarti tidak boleh umat Islam merayakan perayaan agama lain semacam valentine. Semoga ayat berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon [25]: 72)

Ibnul Jauziy dalam Zaadul Masir mengatakan bahwa ada 8 pendapat mengenai makna kalimat “tidak menyaksikan perbuatan zur”, pendapat yang ada ini tidaklah saling bertentangan karena pendapat-pendapat tersebut hanya menyampaikan macam-macam perbuatan zur. Di antara pendapat yang ada mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas.

Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, maka ini berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib (Lihat Iqtidho’, 1/483). Jadi, merayakan Valentine’s Day bukanlah ciri orang beriman karena jelas-jelas hari tersebut bukanlah hari raya umat Islam.

Kerusakan Ketiga: Mengagungkan Sang Pejuang Cinta Akan Berkumpul Bersamanya di Hari Kiamat Nanti

Jika orang mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan keutamaan berikut ini.

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَتَّى السَّاعَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ

“Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

مَا أَعْدَدْتَ لَهَا

“Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”

Orang tersebut menjawab,

مَا أَعْدَدْتُ لَهَا مِنْ كَثِيرِ صَلاَةٍ وَلاَ صَوْمٍ وَلاَ صَدَقَةٍ ، وَلَكِنِّى أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain di Shohih Bukhari, Anas mengatakan,

فَمَا فَرِحْنَا بِشَىْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – « أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ » . قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

“Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”

Anas pun mengatakan,

فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

“Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”

Bandingkan, bagaimana jika yang dicintai dan diagungkan adalah seorang tokoh Nashrani yang dianggap sebagai pembela dan pejuang cinta di saat raja melarang menikahkan para pemuda. Valentine-lah sebagai pahlawan dan pejuang ketika itu. Lihatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Kalau begitu engkau bersama dengan orang yang engkau cintai”. Jika Anda seorang muslim, manakah yang Anda pilih, dikumpulkan bersama orang-orang sholeh ataukah bersama tokoh Nashrani yang jelas-jelas kafir?

Siapa yang mau dikumpulkan di hari kiamat bersama dengan orang-orang kafir[?] Semoga menjadi bahan renungan bagi Anda, wahai para pengagum Valentine!

Kerusakan Keempat: Ucapan Selamat Berakibat Terjerumus Dalam Kesyirikan dan Maksiat

“Valentine” sebenarnya berasal dari bahasa Latin yang berarti: “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. (Dari berbagai sumber)

Oleh karena itu disadari atau tidak, jika kita meminta orang menjadi “To be my valentine (Jadilah valentineku)”, berarti sama dengan kita meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”. Jelas perbuatan ini merupakan kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala.

Kami pun telah kemukakan di awal bahwa hari valentine jelas-jelas adalah perayaan nashrani, bahkan semula adalah ritual paganisme. Oleh karena itu, mengucapkan selamat hari kasih sayang atau ucapan selamat dalam hari raya orang kafir lainnya adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnyaAhkamu Ahlidz Dzimmah (1/441, Asy Syamilah). Beliau rahimahullah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal atau selamat hari valentine, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.”

Kerusakan Kelima: Hari Kasih Sayang Menjadi Hari Semangat Berzina

Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih.

Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang. Na’udzu billah min dzalik.

Padahal mendekati zina saja haram, apalagi melakukannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’ [17]: 32)

Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang.

Kerusakan Keenam: Meniru Perbuatan Setan

Menjelang hari Valentine-lah berbagai ragam coklat, bunga, hadiah, kado dan souvenir laku keras. Berapa banyak duit yang dihambur-hamburkan ketika itu. Padahal sebenarnya harta tersebut masih bisa dibelanjakan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat atau malah bisa disedekahkan pada orang yang membutuhkan agar berbuah pahala. Namun, hawa nafsu berkehendak lain. Perbuatan setan lebih senang untuk diikuti daripada hal lainnya. Itulah pemborosan yang dilakukan ketika itu mungkin bisa bermilyar-milyar rupiah dihabiskan ketika itu oleh seluruh penduduk Indonesia, hanya demi merayakan hari Valentine. Tidakkah mereka memperhatikan firman Allah,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’ [17]: 26-27). Maksudnya adalah mereka menyerupai setan dalam hal ini. Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu pada jalan yang keliru.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim)

Penutup

Itulah sebagian kerusakan yang ada di hari valentine, mulai dari paganisme, kesyirikan, ritual Nashrani, perzinaan dan pemborosan. Sebenarnya, cinta dan kasih sayang yang diagung-agungkan di hari tersebut adalah sesuatu yang semu yang akan merusak akhlak dan norma-norma agama. Perlu diketahui pula bahwa Valentine’s Day bukan hanya diingkari oleh pemuka Islam melainkan juga oleh agama lainnya. Sebagaimana berita yang kami peroleh dari internet bahwa hari Valentine juga diingkari di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Alasannya, karena hari valentine dapat merusak tatanan nilai dan norma kehidupan bermasyarakat. Kami katakan: “Hanya orang yang tertutup hatinya dan mempertuhankan hawa nafsu saja yang enggan menerima kebenaran.”

Oleh karena itu, kami ingatkan agar kaum muslimin tidak ikut-ikutan merayakan hari Valentine, tidak boleh mengucapkan selamat hari Valentine, juga tidak boleh membantu menyemarakkan acara ini dengan jual beli, mengirim kartu, mencetak, dan mensponsori acara tersebut karena ini termasuk tolong menolong dalam dosa dan kemaksiatan. Ingatlah, Setiap orang haruslah takut pada kemurkaan Allah Ta’ala. Semoga tulisan ini dapat tersebar pada kaum muslimin yang lainnya yang belum mengetahui. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada kita semua.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

 

 

sumber: Rumaysho

Merayakan Hari Valentine Dalam Pandangan Islam

Valentine day merupakan istilah yang sangat akrab dan suatu momentum yang sangat dinanti-nantikan oleh para remaja dan pemuda-pemudi untuk mengekspresikan hasrat kasih sayang mereka. Hari yang diabadikan setiap empat belas Februari ini, senantiasa disambut dan dirayakan oleh kawula muda sebagai bagian dari bentuk manifestasi rasa cinta dan kasih sayang.

Padahal, kalau dilacak atau ditelusuri akar historis valentine day ini, maka akan tanpak secara jelas, betapa gelar dan hari yang diabadikan sebagai simbol keagungan dan kesucian cinta ini, sangat paradoks dalam pemaknaan cinta yang sesungguhnya.

Terlebih lagi itu kalau dihubungkan dengan konsep ajaran Islam. Sulit memang untuk kita bayangkan, jika bangsa yang berpenduduk mayoritas umat Islam ini, kalau kemudian Valentine day ini begitu semarak dirayakan, khususnya oleh kalangan remaja-remaja kita, baik secara terbuka (terang-terangan) maupun secara terselubung.

Jika saja mereka yang merayakannya, adalah yang belum mengenal atau mengetahui tentang bagaimana akar sejarah Valentine day ini, sedikit masih dapat ditolerir akan kekeliruannya yang membuatnya berdosa dengan turut merayakannya.

Meskipun itu tidak seharusnya dilakukan karena Islam sangat menegur bagi orang-orang yang melaksanakan suatu tindakan yang belum tahu dasar hukumnya secara jelas. Tetapi yang paling sangat ironis, jika para remaja-pemuda muslim yang turut serta merayakannya padahal ia sudah tahu secara jelas, tentang bagaimana asal-usul pengabdian fragmen sejarah Valentine day ini.

Sebagai seorang remaja dan pemuda Muslim yang tumbuh dengan baik, sejatinya harus benar-benar melihat, mencermati da menyeleksi secara ketat tentang sesuatu hal yang dapat menghambat, menghalangi apalagi mencelakakan dari proses pembentukan jati dirinya.

Tulisan yang sederhana ini, ingin mengajak kita semua untuk turut berperan serta dalam melacak akar sejarah Valentine day dan bagaimana hukum merayakannya dalam kaca mata (perspektif) Islam.

 Sepintas Asal-Usul Hari Valentine Day

Uskup Valentin adalah seorang yang dianggap Santo (orang yang dianggap suci untuk agama Katolik) yang menggantikan seorang dewa yang bernama Lupercus sebagai dewa kesuburan, padang rumput dan hewan ternak serta penyayang. Penyembahan dewa Lupercus sudah menjadi bagian tradisi upacara keagamaan Romawi pada masa itu.

Yang paling aneh dari tradisi upacara keagamaan itu diselingi penarikan undian dalam rangka mencari pasangan yang namanya sudah tertulis dalam sebuah kotak undian.

Setelah penarikan undian, maka mereka bebas untuk melakukan hubungan seksual dalam waktu yang sudah ditentukan. Setelah mereka bosan dan sudah terpenuhi kebutuhan nafsu syahwatnya. Mereka pun kembali menarik undian untuk mencari pasangan yang baru lagi, yang kemudian diperlakukan dengan perbuatan yang sama bejatnya. Begitulah tradisi keagamaan ini berlangsung selama berabad-abad.

Setelah Dewa Lupercus meninggal, maka Santo Valentin lah yang menggantikannya sebagai dewa kasih sayang. Tetapi, suatu ketika kekaisaran Romawi memerlukan sejumlah besar tentara yang dipersiapkan untuk berperang.

Oleh karena itu, Kaisan memerintahkan untuk tidak melakukan perkawinan, karena menurut Kaisar dengan melakukan perkawinan para tentara perang dikhawatirkan akan mudah lemah dan tidak bersemangat. Namun, apa yang terjadi! Ternyata Santo Valentin merestui perkawinan terselubung seorang muda-mudi yang telah saling mengikat hubungan cinta. Akan tetapi, restu Santo Valentin dari praktek perkawinan terselubung ini, ternyata diketahui oleh Kaisar.

Akibat dari tindakan Santo ini, akhirnya Kaisar menghukum mati Santo Valentin dengan memancung atau memenggal kepalanya di Roma pada tahun 270 M dan mayatnya dikuburkan di tepi jalan Flamenia.

Baru pada masa Kaisar Constantin (280-337) upacara tersebut kembali didesain dan dimodifikasi dengan penambahan pesan-pesan cinta yang disampaikan oleh para gadis, diletakkan dalam jambangan kemudian diambil para pemudanya.

Kemudian mereka berpasangan dan berdansa yang diakhiri dengan tidur bersama alias zina. Oleh Paus Galasium I seorang pimpinan dewan gereja, pada tahun 494 M mengubah upacara tersebut dengan bentuk rutinitas seremoni porofikasi (pembersihan dosa) dan juga mengubah upacara Lupercalia yang biasanya tanggal 15 Februari menjadi 14 Februari yang secara resmi ditetapkan pada tahun 496 M sebagai Valentin day.

Valentine Day Dalam Perspektif Islam

Setidaknya ada dua dasar pikiran atau pijakan kita dalam melihat dan menentukan, apakah Valentine day dapat diterima dalam ajaran dan tradisi Islam. Dasar pikiran yang pertama, dengan melihat dari segi akar sejarahnya. Dari uraian diatas, jelas bahwa Valentine day bukanlah warisan ajaran peninggalan sejarah para Nabi dan Rasul, melainkan ajaran sejarah Dewa Luparcelia, yang kemudian diteruskan oleh Uskup Santo Valentine salah seorang rahib dalam tradisi agama Katolik pada saat itu.

Sementara dalam perspektif ajaran Islam atau agama-agama hanif (mulai dari Adam sampai dengan Muhammad SAW), bahwa sesuatu pesan baru dianggap sebagai bagian dari ajaran agama ketika pesan ajaran itu disampaikan oleh para Rasul yang kemudian diabadikan oleh wahyu Tuhan.

Di luar dari ketentuan diatas, maka sesuatu perbuatan (apalagi menjadi sebuah momen perayaan) tersebut dianggap menyesatkan dan bisa jatuh kepada hukum syrik.

Dalam hadis Rasul ditegaskan, “Siapa yang menyerupai sesuatu perbuatan kaum, maka ia bagian dari kaum itu”. (HR. Bukhori Muslim) hadis ini merupakan, salah satu pernyataan Rasulullah SAW, yang sangat populer dan sering kita dengarkan yang menuntut kehati-hatian kita dalam melaksanakan suatu sistem ajaran, karena kita akan menjadi bagian dari golongan tersebut.

Firman Allah: “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya”. (QS. Al Isra’: 36).

Yang kedua, sistem tata nilai yang terkandung dalam Valentine day jelas sangat bertentangan dengan sistem tata nilai dalam ajaran Islam. Dalam Islam, tidak ditemukan atau diperbolehkan bahkan sangat dilarang keras untuk membangun sebuah pola pergaulan antara pria dan wanita secara bebas.

Karena perbuatan yang demikian telah msuk kedalam kategori zina, yang dalam Islam sangat disuruh menjauhinya. Firman Allah: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan”. (QS. Al Isra’: 32). Bahkan seorang lelaki dan wanita yang berkhalawat (berdua-duaan) saja, disuruh untuk menjauhinya, karena syetan laknatullah alaih akan menjadi pihak ketiga dari mereka. Keadaan yang demikian akan menjadi peluang bagi mereka untuk melakukan perbuatan keji (zina).

Sangat tidak bisa diterima akal, jika Valentine day diabadikan sebagai simbolisasi keagungan sebuah cinta, namun dalam realitasnya mereka justru mengangkangi dan menodai makna kesucian cinta.

Coba kita bayangkan, dihari itu para pemuda-pemuda larut dalam hura-hura, pergi ketempat-tempat hiburan, saling bermesraan bahkan tak jarang diantara mereka terjerumus untuk melakukan hubungan seksual secara bebas, tanpa adanya sebuah ikatan yang syah menurut ajaran agama.

Dengan mengatas namakan cinta, banyak kemudian para kawula muda justru tidak lagi memiliki masa depan yang ceria dalam kehidupannya. Karena tidak jarang diantara mereka menjadi korban cinta, ditinggalkan oleh mantan kekasihnya, akibat pergaulan bebas yang kadung sudah terlakukan.

Dari dua dasar pikiran diatas, maka jelaslah merayakan Valentine day dalam kaca mata Islam adalah haram. Dengan demikian diharapkan kepada generasi muda Islam untuk tidak terlibat dalam acara atau kegiatan yang menyesatkan ini.

Islam yang sangat kaya akan konsepsi-aplikatif, sangat banyak memberikan aturan-aturan tentang prilaku kehidupan yang bertujuan dalam menempatkan manusia, pada tempat-tempat yang sebaik-baiknya dan semulia-mulianya. Islam sebagai rahmatan lil alamin sudah dijamin oleh Sang Pemilik Alam ini, akan konsepsi ajarannya sebagai ajaran yang mengandung nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan hidup kita di dunia dan akhirat.

Konsep kasih sayang misalnya, Islam sangat begitu jelas, elegan, humanis, egalitarian, indah dan menyejukkan. Lima belas abad yang lalu Rasulullah SAW, telah menyatakan bahwa: “Tidak beriman seseorang itu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR Bukhori Muslim.

Budaya barat tidak sedikitpun lebih aplikabel dari sistem ajaran Islam. Valentine day tidak akan dapat menandingi konsep kasih sayang dan pemaknaan cinta dari pada Islam, karena Islam menempatkan rasa kasih sayang dan cinta tidak hanya berdimensi kemanusiaan yang bersifat temporal-temporal, melainkan didorong atas dimensi ilhiah yang bersifat universal-universal.

Penutup

Sebagai generasi muda Islam yang baik, tidak seharusnya kita terjebak dengan budaya-budaya barat yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang luhur. Valentine day merupakan salah satu bentuk budaya asing, yang asal-usulnya tidak memiliki hubungan dengan akar sejarah para Rasul-rasul dan sistem ajaran agama-agama hanif (Islam). Jika demikian halnya, sudah sepantasnya kita, tidak ikut-ikutan apalagi sampai berlarut untuk turut merayakannya.

sumber: Hidayatullah

14 Februari: ‘Sejarah Kelam’ Hari Valentine

Hari Valentine atau Valentine’s Day dirayakan setiap tanggal 14 Februari. Sejumlah orang memaknainya sebagai perayaan kasih sayang, lainnya menuding sebagai ‘peringatan yang sengaja diadakan’ untuk mendongkrak penjualan kartu, cokelat, bunga, dan barang-barang lain yang dianggap mewakili ungkapan cinta.

Apapun pendapat seseorang tentang Valentine, ada sejarah yang melatarbelakalangi hari itu.

Dari asal usul namanya, Gereja Katolik mengakui ada 3 santo atau orang suci bernama Valentine atau Valentinus. “Dan ketiganya adalah martir,” demikian Liputan6.com kutip dari situs Guardian, Jumat 13 Februari 2015. Ketiga pria dari masa 200-an Masehi tersebut tewas secara mengenaskan.

Salah satu kisah menyebut, alkisah Kaisar Romawi Claudius II melarang para tentara muda menikah, agar mereka tak ‘melempem’ di medan tempur.

Namun,”Uskup Valentine melanggar perintah itu dan menikahkan salah satu pasangan secara diam-diam. Ia dieksekusi mati saat sang penguasa mengetahui pernikahan rahasia itu.”

Saat ia dipenjara, legenda menyebut bahwa pria asal Genoa itu lantas jatuh cinta dengan putri orang yang memenjarakannya. Sebelum dieksekusi secara sadis, ia membuat surat cinta pada sang kekasih. Yang ditutup dengan kata, ‘Dari Valentine-mu’.

Valentine yang lain adalah seorang pemuka agama di Kekaisaran Romawi yang membantu orang-orang Kristen yang dianiaya pada masa pemerintahan Claudius II. Saat dipenjara, ia mengembalikan penglihatan seorang gadis yang buta — yang kemudian jatuh cinta padanya. Valentine yang itu dieksekusi penggal pada 14 Februari.

Yang ketiga adalah uskup yang saleh dari Terni, yang juga disiksa dan diekselusi selama pemerintahan Claudius II, juga tanggal 14 Februari — di tahun yang berbeda.

Lepas dari legenda, keterkaitan Santo Valentine dan cinta baru muncul lama kemudian. Dalam puisi Geoffrey Chaucer, penyair Inggris dan penulis buku terkenal, ‘The Canterbury Tales’.  Demikian menurut Andy Kelly, seorang ahli bahasa Inggris  dari University of California, Los Angeles, yang menulis buku ‘Chaucer dan Cult of St Valentine’.

Chaucer, menulis sebuah puisi berjudul Parliament of Fowls (1382), untuk merayakan pertunangan Raja Richard II.

Dalam puisi itu, Hari Valentine dirayakan pada 3 Mei, bukan 14 Februari . “Itu adalah hari di mana semua burung memilih pasangannya dalam setahun,” kata Kelly. “Tak lama setelahnya, dalam satu generasi, orang-orang mengambil ide untuk merayakan Valentine sebagai hari kasih sayang.”

Valentine yang menjadi referensi Chaucer mungkin adalah Santo Valentine dari Genoa yang meninggal pada 3 Mei. Tetapi orang-orang pada saat itu tidak begitu akrab dengan sosok itu.

Mereka lebih akrab dengan kisah Valentine dari Roma dan Terni yang dieksekusi pada 14 Februari — yang lantas dikaitkan dengan cinta.

Kisah Hari Valentine juga bisa ditelusuri dari era Romawi Kuno, terkait kepercayaan paganisme. Tiap tanggal 13-15 Februari, warga Romawi kuno merayakan Lupercalia. Upacara dimulai dengan pengorbanan dua ekor kambing jantan dan seekor anjing.

Kemudian, pria setengah telanjang berlarian di jalanan, mencambuk para gadis muda dengan tali yang terbuat dari kulit kambing yang baru dikorbankan. Walaupun mungkin terdengar seperti semacam ritual sesat sadomasokis, itu dilakukan orang-orang Romawi lakukan sampai tahun 496 Masehi. Sebagai ritus pemurnian dan kesuburan.

“Upacara diyakini bisa membuat perempuan lebih subur,” kata  Noel Lenski, sejawaran dari University of Colorado, Boulder, seperti dimuat USA Today.

Puncak Lupercalia pada 15 Februari, di kaki Bukit Palatine, di samping gua — yang diyakini menjadi tempat serigala betina menyusui Romulus and Remus — pendiri kota Roma dalam mitologi Romawi.

Pada tahun 496, Paus Gelasius I melarang Lupercalia dan menyatakan 14 Februari sebagai Hari Santo Valentine.

 

Komersialisasi Perayaan Cinta?

Valentine identik dengan bunga, coklat, kartu, bahkan Cupid — dewa cinta Romawi yang digambarkan sebagai anak kecil bersayap yang nakal dan montok. Bagaimana asal usulnya?

Kartu Valentine tertua dibuat oleh seorang bangsawan, Duke Charles of Orleans. Dipenjara di Tower of London atau Menara London setelah ditangkap Inggris pada 1415, Charles menulis sebuah surat cinta berima untuk istrinya, Bonne d’Armagnac — yang kini disimpan di British Library, London.

Puisi itu terdiri dari 2 baris, dalam Bahasa Prancis. Malangnya, sang istri meninggal sebelum Charles kembali ke Prancis pada tahun 1440.

Namun, ahli Bahasa Inggris dari SUNY-Buffalo State, Ann C. Colley mengatakan, pemberian kartu Valentine baru populer di Inggris pada pertengahan Abad ke-19.

Ada dua pendukung saat itu: layanan pos pertama Inggris, Penny Post didirikan — membuat mengirimkan surat makin murah dan tersedia bagi setiap orang.

Faktor kedua, untuk kali pertamanya, kartu Valentine diproduksi massal. Mesin pencetak kala itu mampu mengaplikasikan sejumlah metode pencetakan, seperti cetak timbul, desain renda, atau kartu 3 dimensi. Demikian ujar dosen sejarah Amerika dan budaya populer di George Mason University.

Meski budaya memberikan kartu Valentine berawal dari Inggris, pengaruhnya menyebar hingga Amerika Serikat pada tahun 1840-an.

Uniknya, di Inggris, kartu tak hanya diberikan pada orang yang ditaksir, tapi juga pada mereka yang tak disukai.

Cokelat Valentine

Cokelat telah lama dianggap sebagai afrodisiak, pembangkit gairah. Dimulai oada Abad ke-17, saat biji cokelat kali pertama dibawa ke Eropa dari Meksiko dan Amerika Tengah, bangsa Eropa mengaitkannya dengan kisah tentang Montezuma dan istri-istrinya.

Abad ke-19 adalah masa di mana permen dan kudapan manis lebih terjangkau untuk kelas menengah, seiring produksi massal cokelat.

Pada tahun 1868, Richard Cadbury mengeluarkan cokelat Hari Valentine pertama.  “Ada gagasan afrodisiak yang membuat cokelat sesuai untuk Hari Valentine,” kata Alexandra Leaf, ahli kuliner sekaligus pendiri  Chocolate Tours of New York City.

Cupid

Pada Abad ke-5, Eros (inspirasi untuk kata ‘erotis’), versi Yunani dari Cupid, digambarkan sebagai sosok pemuda tinggi, atletis, heroik, dan memiliki sayap. Demikian ujar Angeline Chiu, profesor dari University of Vermont kepada USA Today.

Lho, mengapa kini bentuknya mirip bayi?

Menurut Chiu, transformasi Cupid, dari pemuda gagah jadi bayi lucu berasal dari seni era Renaissance.

“Maestro Raphael dan para seniman lain melukis bayi kecil montok di mana-mana,” kata Chiu. “Mereka tak bermaksud melukis Cupid. Mungkin untuk menggambarkan cinta secara umum,” tambah dia.

Namun, imej Cupid sebagai bayi lucu bertahan hingga saat ini.

Mawar Merah

Pada abad ke-18, Charles II dari Swedia memperkenalkan ide bahwa bunga melambangkan emosi atau pesan tersirat. Demikian menurut ProFlowers.com.

“Saat ini, mawar merah berasosiasi dengan gairah cinta, mawar merah muda untuk persahabatan, putih untuk kemurnian, dan merah-putih adalah persatuan,” kata Jennifer Sparks, juru bicara Society of American Florists.

Namun, ia menyarankan, pemberi bunga tak usah pusing memikirkan soal makna. Fokuslah pada bunga yang disukai oleh penerima. (Ein/Riz)

 

sumber: Liputan6