Isra Miraj dan Penjelasan Teori Relativitas

Sejarah Islam mencatat peristiwa unik dan sulit dicerna akal, Isra dan Miraj. Secara istilah, Isra berjalan di waktu malam hari, sedangkan Miraj adalah alat (tangga) untuk naik. Isra mempunyai pengertian perjalanan Nabi Muhammad saw pada waktu malam hari dari Malsjid Al Haram Mekkah ke Masjid Al Aqsha Palestina. Miraj adalah kelanjutan perjalanan Nabi Muhammad saw dari Masjid Al Aqsha ke langit sampai di Sidratul Muntaha dan langit tertinggi tenpat Nabi Muhammad saw bertemu dengan Allah swt. Isra’ Miraj adalah kisah perjalanan Nabi Muhammad ke langit ke tujuh dalam waktu semalam. Prosesi sejarah perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad termaktub dalam QS. 17.Al-Isra’ :1 yang berbunyi

“Maha suci Allah yang menjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Majidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebahagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS. 17.Al-Isra’ :1)

Dan tentang mi’raj Allah menjelaskan dalam QS. An-Najm:13-18:

“Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm:13-18)

Rasulullah SAW melihat secara langsung.

Allah ingin memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Rasulullah SAW. Pada Al Qur’an surat An Najm ayat 13 diatas, terdapat kata “Yaro” dalam bahasa Arab yang artinya “menyaksikan langsung”. Berbeda dengan kata “Syahida”, yang berarti menyaksikan tapi tidak musti secara langsung. Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung.

Mengenai pemahaman tentang Isra’ Mi’raj banyak kaum muslim yang masih memiliki perbedaan pandangan secara mendasar, yang terbagi dalam:

  • Pemahaman dgn beranggapan peristiwa isra’ Mi’raj hanyalah sekedar perjalanan ruh, spiritual atau metaphor journey Nabi Muhammad SAW tidak dengan jasad fisik. Pemahaman ini berpegang kepada surah Al Quran :

QS. 17 Al-Isra’ : 60 “…Tidak lain mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu adalah sebagai ujian bagi manusia…”

  • Sebaliknya ada yang berpendapat, bahwa isra’ dari Mekah ke Bait’l-Maqdis itu dengan jasad atau physical journey. Sedang mi’raj ke langit adalah dengan ruh atau metaphor journey.
  • Pemahaman lain menyatakan bahwa Isra’ Mi’raj adalah perjalanan dengan jasad (fisik) dan dapat dijelaskan dalam ilmu yang dipahami manusia karena merupakan peristiwa nyata.

Pemahaman secara fisik (physical journey).

ISRA`MI`RAJ, sebagai sebuah peristiwa metafisika (gaib), barangkali bukan sesuatu yang istimewa. Kebenarannya bukanlah sesuatu yang luarbiasa. Kebenaran metafisika adalah kebenaran naqliyah (: dogmatis) yang tidak harus dibuktikan secara akal, namun lebih bersifat imani. Valid tidaknya kebenaran peristiwa metafisika—secara akal, bukanlah soal selagi ia diimani.

Didalam pemahan secara fisika banyak orang mempertanyakan ke-shahih-an Isra` Mi`raj;  “ apakah mungkin manusia melakukan perjalanan sejauh itu hanya dalam waktu kurang dari semalam?” . Kaum kafirpun telah menantang Rasulullah seperti  diberitakan dalam Al Quran dalam surat  Al-Israa: 93.

“Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca”. Katakanlah: “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?”

Dan  didalam Hadith

“Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai saya (kata Nabi SAW), saya berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, saya dapatkan apa yang saya inginkan dan saya jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, saya memperhatikannya….” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).

dan banyak Hadith hadith lainnya.

Peristiwa perjalanan Isra’ Mi’raj dan  teori relativitas.

Diantara keduanya terdapat faktor persamaan dan perbedaan didalam proses kejadian,

persamaan kedua kisah antara lain:
•    Keduanya  membahas  perihal  perjalanan atau journey dari Bumi ke luar angkasa lalu kembali ke Bumi.
•    Keduanya  membahas  penggunaan  faktor “Speed” atau “kecepatan”  tinggi  didalam  pemberitaannya
•    Konsep mengenai perpisahan antara  dua manusia (atau lebih) digunakan sebagai bahan pokok  atau object pembahasan didalam kedua cerita.

Dalam Isra Miraj, Rasulullah meninggalkan kaumnya di bumi untuk bepergian ke ke Majidil Aqsha  lalu ke Langit ketujuh, dalam kasus teori relativitas menceritakan tentang dua saudara kembar A dan B, dimana saudara kembar B bepergian keluar angkasa.

Sampai disini dari hal hal tersebut diatas, kita  sudah dapat mengambil kesimpulan secara gamblang,  bahwa peristiwa Isra Miraj adalah benar. Bagaimana mungkin seorang  manusia  yang ummi  14 Abad yang silam dapat membuat sebuah cerita atau teori yang dapat dibuktikan didalam abad ke 20 dengan sedemikian detailnya. Dengan kata lain tidak mungkin Rasulullah  SAW mencontoh teori Albert Einstein yang lahir sesudahnya (?).

Teori Relativitas.

Theori Relativitas membahas mengenai Struktur Ruang dan Waktu serta mengenai hal hal yang berhubungan dengan Gravitasi. Theori relativtas terdiri dari dua teori fisika, relativitas umum dan relativitas khusus. Theori relativitas khusus menggambarkan perilaku ruang dan waktu dari perspektif pengamat yang bergerak relatif terhadap satu sama lain, dan fenomena terkait. Artikel ini hanya dibahas theori relativitas khusus dan Efek yg  disebut dilatasi waktu (dari bahasa Latin: dilatare “tersebar”, “delay”).

Einstein merumuskan teorinya dalam sebuah persamaan mathematik:
t’ = waktu benda yang bergerak

t = waktu benda yang diam

v = kecepatan benda

c = kecepatan cahaya

Diterangkan bahwa perbandingan nilai kecepatan suatu benda dengan kecepatan cahaya, akan berpengaruh pada keadaan benda tersebut. Semakin dekat nilai kecepatan suatu benda (v) dengan kecepatan cahaya (c), semakin besar pula efek yang dialaminya (t`): perlambatan waktu. Hingga ketika kecepatan benda menyamai kecepatan cahaya (v=c), benda itu pun sampai pada satu keadaan nol. Demikian, namun jika kecepatan benda dapat melampaui kecepatan cahaya (v>c), keadaan pun berubah. Efek yang dialami bukan lagi perlambatan waktu, namun sebaliknya waktu menjadi mundur (-t’).

Kisah perjalanan Si Kembar atau  dilatasi waktu.

Twin Paradox adalah suatu theori hasil pemikiran (Gedankenexperiment atau thought experiment) oleh Albert Einstein berbasis theori relativitas khusus yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan para pakar fisika. Theori tersebut secara keseluruhan menggambarkan kisah perjalanan dua saudara kembar yang berpisah. Salah seorang dari saudara kembar (A) tersebut tinggal di Bumi dan saudara kembar lainnya (si traveler(B)) terbang keluar angkasa kesebuah planet di tata surya yang jauh dengan kecepatan cahaya dan kembali kebumi dengan kecepatan yang sama. Setelah mereka bertemu kembali dibumi mereka menemukan fakta bahwa umur si kembar yang mengadakan perjalanan (si traveler) lebih muda daripada umur saudaranya (A) yang tetap tinggal dibumi, disebabkan si traveler mengalami phenomenon time dilation atau fenomena dilatasi waktu  dalam perjalanannya.
Time dilation (dilatasi waktu) adalah fenomena, dimana seorang Observer disatu titik melihat, bahwa jam dari orang yang bergerak dengan cepat menjadi lebih lambat (atau cepat), sebenarnya hal tersebut tergantung dari frame of reference dimana dia berada. Time dilation dapat di ketahui hanya apabila kecepatan mengarah kepada kecepatan cahaya dan sudah dibuktin secara akurat dengan unstable subatomic particle dan precise timing of atomic clocks.

Pembuktian teori relativitas.

Studi tentang sinar kosmis merupakan satu pembuktian teori ini. Didapati bahwa di antara partikel-partikel yang dihasilkan dari persingungan partikel-partikel sinar kosmis yang utama dengan inti-inti atom Nitrogen dan Oksigen di lapisan Atmosfer atas, jauh ribuan meter di atas permukaan bumi, yaitu partikel Mu Meson (Muon), itu dapat mencapai permukaan bumi. Padahal partikel Muon ini mempunyai paruh waktu (half-life) sebesar dua mikro detik yang artinya dalam dua perjuta detik, setengah dari massa Muon tersebut akan meleleh menjadi elektron. Dan dalam jangka waktu dua perjuta detik, satu partikel yang bergerak dengan kecepatan cahaya (± 300.000 km/dt) sekalipun paling-paling hanya dapat mencapai jarak 600 m. padahal jarak ketinggian Atmosfer di mana Muon terbentuk, dari permukaan bumi, adalah 20.000 m yang mana dengan kecepatan cahaya hanya dapat dicapai dalam jangka minimal 66 mikro-detik. Lalu, bagaimana Muon dapat melewati kemustahilan itu? Ternyata, selama bergerak dengan kecepatannya yang tinggi—mendekati kecepatan cahaya, partikel Muon mengalami efek sebagaimana diterangkan teori Relativitas, yaitu perlambatan waktu.

Pembuktian selanjutnya terjadi pada tahun 1971,  perbedaan waktu (time dilation) di twin paradox theori tersebut telah dibuktikan melalui “Hafele-Keating-Experiment” dengan menggunakan 2 buah jam yang berketepatan tinggi (High precision Cesium Atom clocks) yang di set awal pada waktu yang sama.
Experiment tersebut menghasilkan perbedaan waktu pada kedua jam tersebut, antara jam yang diletakkan di pesawat Intercontinental yang bergerak terbang kearah timur / barat dengan jam referensi yang diletakkan di U.S. Naval Observatory di Washington, waktu jam di pesawat berkurang/bertambah tergantung dari arah penerbangan.

Twin paradox experiment
Relativ terhadap jam di Naval Observatory, jam dipesawat berkurang waktu 59+/-10 nanoseconds dalam penerbangan ketimur, dan mengalami pertambahan waktu 273+/-7 nanosecond pada penerbangan ke barat. Hasil empiris tersebut membuktikan theori twin paradox dalam tingkatan jam macroskopik.

Dengan adanya pembuktian pembukatian tersebut, berarti  Albert Einstein dengan teori relativitasnya secara langsung atau tidak langsung telah membuktikan bahwa kisah Al Quran tentang kisah  “perjalanan  Rasulullah SAW kelangit ketujuh dan kembali dalam satu malam” adalah benar.   Terutama dalam segi dimensi WAKTU,  dalam perhitungannya memungkinkan.

Pertanyaan selanjutnya bagaimana dengan Nabi Isa AS, ummat Islam mempercayai bahwa Nabi Isa, yang diakui sebagai Yesus oleh penganut Kristen, memang tidak dibunuh oleh orang-orang yang mengejarnya ketika itu. Bahkan beliau belum wafat. Nabi Isa akan kembali diakhir jaman, Apakah Nabi Isa juga mengalami perjalanan dan dilatasi waktu serupa? Wallahu ‘alam bish shawwab.

Applikasi Teori Relativitas.

Salah satu aplikasi teori tersebut adalah alat GPS – Global Postioning System di Handphone anda merupakan applikasi hasil dari  theory relativitas umum dan relativitas khusus. Dalam hal ini jam satellite di orbit di bandingkan dengan jam di darat sebagai faktor koreksi pengiriman signal.

Akhirul kalam, saya menganggap bahwa pengetahuan akan adanya dilatasi waktu antar galaksi adalah suatu fenomena menarik bagi kaum muslimin. Fenomena inipun banyak terjadi pada peristiwa sehari-hari dan bahkan dipelajari oleh ilmuwan barat untuk mempelajari peristiwa di alam raya. Dan mestinya bukanlah sesuatu yang dilarang atau berlebihan untuk lebih memahami fenomena di alam. Untuk selanjutnya yang kita tunggu adalah adanya kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan untuk dapat mengungkapkan desain dari black hole dan wormhole yang gabungan keduanya mirip bentuk teratai (Sidrah atau Sidratul, dan bentuk otak pada tubuh manusia. Sehingga semua ini mudah-mudahan dapat meningkatkan ketakwaan kita dihadapan sang Pencipta.

Pustaka:

Assalamulaikum warochmatullahi wabarokatu.

 

sumber: Bambies.wordpress.com

Hikmah dari Perjalanan Isra dan Mi’raj

Perjalanan isra dan mi’raj merupakan perjalanan yang penuh berkah yang menunjukkan betapa Maha Kuasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bagaimana seorang hamba –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bersama ruh dan jasadnya menempuh jarak ribuan bahkan jutaan kilometer hanya dalam satu malam saja. Dan dalam perjalanan yang sedemikian cepat tersebut, Allah kuasakan Nabi Muhammad mampu melihat keadaan sekitar yang beliau lewati, baik kejadian atau keadaan saat isra maupun mi’raj.

Imam as-Suyuthi adalah di antara ulama yang menjelaskan beberapa hikmah perjalanan isra mi’raj. Beliau mengatakan tentang hikmah perjalanan isra dilakukan di malam hari karena malam hari adalah waktu yang tenang menyendiri dan waktu yang khusus. Itulah waktu shalat yang diwajibkan atas Nabi, sebagaimana dalam firman-Nya, “Berdirilah shalat di malam hari” (QS. Al-Muzammil: 2) (as-Suyuthi, al-Khasha-is an-Nabawiyah al-Kubra, Hal: 391-392).

Abu Muhammad bin Abi Hamzah mengatakan, “Hikmah perjalanan isra menuju Baitul Maqdis sebelum naik ke langit adalah untuk menampakkan kebenaran terjadinya peristiwa ini dan membantah orang-orang yang ingin mendustakannya. Apabila perjalanan isra dari Mekah langsung menuju langit, maka sulit dilakukan penjelasan dan pembuktian kepada orang-orang yang mengingkari peristiwa ini. Ketika dikatakan bahwa Nabi Muhammad memulai perjalanan isra ke Baitul Maqdis, orang-orang yang hendak mengingkari pun bertanya tentang ciri-ciri Baitul Maqdis sebagaimana yang pernah mereka lihat, dan mereka pun tahu bahwa Nabi Muhammad belum pernah melihatnya. Saat Rasulullah mengabarkan ciri-cirinya, mereka sadar bahwa peristiwa isra di malam itu benar-benar terjadi. Kalau mereka membenarkan apa yang beliau katakan tentang isra konsekuensinya mereka juga harus membenarkan kabar-kabar yang datang sebelumnya (risalah kenabian). Peristiwa itu menambah iman orang-orang yang beriman dan membuat orang-orang yang celaka bertambah keras bantahannya (Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7: 200-201).

Dan termasuk hikmah perjalanan isra mi’raj Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah isyarat bagi umat Islam agar menjaga bumi al-Quds dari para penyusup dan orang-orang yang tidak senang terhadap Islam. Khususnya bagi kaum muslimin saat ini, agar tidak merasa rendah, takut, dan lemah dalam memperjuangkan al-Quds dari tangan orang-orang Yahudi (al-Buthi, Fiqh ash-Shirah an-Nabawiyah, Hal: 113)

Adapun hikmah dari peristiwa mi’raj dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih susu daripada khamr menunjukkan fitrah dan murninya ajaran Islam yang sesuai dengan tabiat manusia. Sedangkan peristiwa terbukanya pintu langit yang sebelumnya terkunci, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan, yang demikian agar alam semesta mengetahui bahwa sebelum kedatangan Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam hal ini belum pernah dilakukan. Sekiranya tidak demikian, mungkin orang akan menyangka bahwa pintu langit senantiasa terbuka. Dan Allah Ta’ala juga hendak mengabarkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dikenal oleh penduduk langit. Oleh karena itu, ketika pintu langit dibukakan, lalu Malaikat Jibril mengatakan kepada penjaga langit bahwa ia bersama Muhammad, malaikat penjaga tersebut bertanya, “Apakah dia telah diutus?” Bukan bertanya, “Siapa Muhammad?” (as-Suyuthi, al-Khasha-is an-Nabawiyah al-Kubra, 391-392).

As-Suyuthi melanjutkan, hikmah beliau dipertemukan dengan Nabi Adam ‘alaihissalam pada langit pertama karena Nabi Adam adalah nabi dan manusia pertama. Di langit kedua bertemu dengan Nabi Isa‘alaihissalam karena Nabi Isa adalah yang paling dekat masanya dengan Nabi Muhammad ‘alahima shalatu wa salam. Kemudian di langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf, karena umat Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam akan masuk ke dalam surga dengan penampilan serupawan Nabi Yusuf. Berikutnya Nabi Idris, dikatakan bahwa beliaulah yang pertama kali diangkat ke langit sebelum Nabi Isa dan Nabi Muhammad. Kemudian bertemu dengan Nabi Harun karena dia adalah saudara Nabi Musa yang mendapinginya dalam berjuang. Setelah itu berjumpa Nabi Musa karena keutamaan beliau pernah diajak berbicara oleh Allah. Dan terakhir adalah Nabi Ibrahim karena beliau adalah bapak pilihan yakni bapak para nabi.

Imam al-Qurthubi menyatakan, pengkhususkan Nabi Musa dalam peristiwa shalat. Ada yang mengatakan karena Nabi Musa adalah nabi yang paling dekat posisinya saat Nabi Muhmmad turun. Ada juga yang mengatakan umatnya lebih banyak dari umat nabi selainnya. Ada lagi yang berpendapat karena kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Musa adalah kitab yang paling mulia kedudukan dan hukum syariatnya sebelum Alquran diturunkan. Atau juga karena umat Nabi Musa dibebankan amalan shalat sebagaimana umat nabi lainnya, lalu mereka merasa berat dengan syariat tersebut, maka Nabi Musa kasihan dengan umat Nabi Muhammad. Pendapat terakhir ini dikuatkan dengan riwayat tentang perkataan Nabi Musa,

أنا أعلم بالناس منك

“Saya lebih mengetahui karakter manusia dibanding Anda.”

Tidak heran Alquran banyak sekali memuat kisah Nabi Musa, tujuannya adalah agar kita banyak-banyak mengambil hikmah dari perjalanan hidup beliau, perjalanan dakwahnya, dll.

Pengkhususan syariat shalat melalui perjalanan mi’raj karena ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mi’raj di malam itu, para malaikat sedang beribadah. Di antara mereka ada yang berdiri dan tidak duduk, ada yang terus rukuk dan tidak sujud, ada yang terus sujud dan tidak duduk, maka AllahSubhanahu wa Ta’ala mengumpulkan semua ibadah ini untuk umat Nabi Muhammad. Seorang hamba menggabungkan berdiri, rukuk, sujud, dan duduk dalam satu rakaat saja (Muhammad Amin bin Ahmad Janki, ash-Shirah an-Nabawiyah min al-Fathi al-Bari, 1: 239-240).

Dengan perjalanan isra mi’raj ini, Allah menginginkan agar hamba dan Rasul-Nya merasakan periode baru dalam berdakwah, sebagaimana Nabi Musa juga mengalami periode baru dengan berangkat langsung mendakwahi Firaun dan diangkatnya saudaranya Harun untuk mendampingi dakwahnya. Nabi Musa sebelum diperintahkan untuk menemui Firaun telah Allah siapkan dengan berbagai macam mukjizat dan keutamaan agar beliau siap. Allah berfirman kepada Nabi Musa,

لِنُرِيَكَ مِنْ آَيَاتِنَا الْكُبْرَى اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى

“untuk Kami perlihatkan kepadamu sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar, Pergilah kepada Fir´aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas.” (QS. Thaha: 23-24)

Sama halnya dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah persiapkan perjalanan dakwah beliau yang panjang dengan membawanya ke suatu fase dimana dipertemukan dengan Jibril, para nabi, surga dan neraka, agar kesabaran beliau kian tertempa dalam menghadapi lika-liku perjalanan dakwah. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad,

لَقَدْ رَأَى مِنْ آَيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى

“Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm: 18)

Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diistimewakan dengan mengimami para nabi dan dinaikkan menuju sidratul muntaha, suatu keistimewaan yang tidak didapat oleh seoranng pun selain beliau.

Dan sebesar-besar hikmah dari perjalanan isra mi’raj adalah disyariatkannya shalat. Dengan melaksanankan shalat wajib tersebut seorang hamba menegakkan sebuah kewajiban ubudiyah yang mampu meredam hawa nafsu, menanamkan akhlak-akhlak mulia di dalam hati, menyucikan jiwa dari sifat penakut, pelit, keluh kesah, dan putus asa. Dengan shalat kita bisa memohon pertolongan kepada Allah dari permasalahan yang kita hadapi. Allah Ta’ala berfiman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)

إِنَّ الإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا إِلاَّ الْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلاَتِهِمْ دَائِمُونَ

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” (QS. Al-Ma’arij: 19-23)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang senantiasa berdiri (shalat) bermunajat kepada Rabbnya, sampai-sampai beliau menemukan kenikmatan dalam mengerjakan shalat. Beliau bersabda,

وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاةِ

“Dan dijadikan penyejuk hatiku di dalam shalat.”

Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bersemangat dalam mengerjakan shalat dan tidak lalai dalam mengerjakannya. Semoga shalat menjadi penyejuk hati kita dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Rabb kita.

Amin.

 

 

Sumber: Islamstory.com

Oleh nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com

Dua Lelaki yang Dicintai Allah

Banyak cara agar kita dicinta oleh Sang Maha Pencinta dari segala cinta. Salah satu caranya adalah dengan meneguhkan ketakwaan kepada Allah. Bagaimana caranya agar ketakwaan itu teguh dan tidak goyah?

Tentu dengan menjaga ketaatan dan menanamkan rasa takut di dalam hati (hanya) kepada Allah saja. Sehingga, rasa takut dan sadar untuk taat itulah yang mendorong diri kita mampu beribadah dan mengerjakan amalan-amalanahlus sa’adah (ahli surga) dengan mudah dan dipermudah oleh-Nya. Hadits di bawah ini menggambarkan bahwa betapa Allah merasa sangat kagum dan berbahagia perihal dua orang hamba (lelakinya). Siapa sajakah mereka? Mari kita simak hadits di bawah ini:

Dari Ibnu Mas’ud ra, dari Rasulullah Saw bersabda, “Rabb kita Azza Wajalla sangat kagum terhadap dua orang laki-laki  yaitu seorang laki-laki yang meninggalkan tempat tidur, selimut dan keluarganya untuk melaksanakan shalat, lalu Rabb kita berfirman, wahai para Malaikat-Ku lihatlah hamba-Ku ini dia meninggalkan kasur dan selimutnya juga keluarganya untuk melaksanakan shalat karena mengharap balasan di sisi-Ku dn takut adzab di sisi-Ku.

Dan seorang yang berperang di jalan Allah Azza Wajalla lalu pasukannya mendapat kekalahan—yang meski dalam keadaan kalah, ia mengetahui besarnya dosa jika ia lari dari medan perang dan pahala yang ia peroleh jika ia kembali berperang. Lalu ia pun kembali ke medan perang hingga tumpah darahnya karena mengharap balasan di sisi-Ku dan takut adzab di sisi-Ku, lalu Allah Swt berfirman kepada para malaikat-Nya, ‘Lihatlah hamba-Ku ini dia kembali berperang karena mengharap balasan di sisi-Ku dan takut akan azab-Ku hingga ia tumpah darahnya (syahid),” (HR Ahmad)

Maha Suci Allah, dua lelaki di atas ialah lelaki yang dengan perbuatan mereka Allah kagum dan ridha. Tiada balasan atas perbuatan mereka kecuali rahmat Allah yang akan membawa mereka masuk ke dalam surga-Nya. Adapun rahasia yang telah membuat Allah kagum kepada mereka ialah ketaatan mereka kepada Allah dan rasa takut (khauf) yang kuat di dalam hati mereka. Rasa takut yang mendorong mereka untuk mau bersusah payah, berjuang melawan kantuk yang teramat kuat hanya untuk menghadap Allah (shalat) demi mengharap keridhaan-Nya.

Beberapa hadits telah menggambarkan keutamaan shalat malam, dikatakan utama karena Rasulullah senantiasa mengerjakannya. Dari Aisyah ra, berkata, bahwa Nabi Saw tidur di awal malam dan bangun di akhir malam kemudian shalat,” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits lain yang diriwayatkan dari Al-Aswad, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah tentang cara Nabi Saw melaksanakan shalat malam.” Aisyah ra menjawab, “Beliau tidur pada awal malam dan bangun pada akhir malam lalu shalat. Kemudian, beliau kembali ke tempat tidurnya. Bila muadzin sudah mengumandangkan adzan, maka beliau bergegas. Dan bila saat itu beliau punya hajat kepada isterinya, maka beliau mandi junub. Tetapi bila tidak, maka beliau hanya berwudhu lalu keluar rumah untuk shalat berjama’ah,” (HR Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 1, No Hadits 1146)

Satu lagi adalah lelaki yang kembali ke dalam medan peperangan sebab ia tahu besarnya dosa jika saja ia kabur atau lari dari peperangan. Hingga akhirnya ia kembali turut berperang (meski ia tahu pasukannya telah kalah), hingga akhirnya ia wafat di medan perang. Tiada balasan yang lebih baik selain surga untuk para syuhada yang berjuang di jalan Allah.

Demikian, Allahu a’lam

Oleh: Ina Salma Febriany

sumber: Republika Online

Bukan Ibadah yang Mengantar Kita ke Sorga

Hampir sebagian besar kita menduga bahwa, kita dapat memasuki surga-Nya lantaran amal baik yang setumpuk. Dengan meyakini Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa, mengakui Muhammad utusan-Nya, mendirikan shalat lima waktu sehari, berpuasa Ramadhan sebulan penuh, membayar zakat, dan melakukan ibadah haji ke Makkah jika kita mampu.

Bahkan, ada pula yang menambahkannya dengan berbagai amalan atau ibadah sunnah lainnya, dengan harapan bisa memenuhi target terbesar hidup kita, yakni masuk surga. Kita merasa bahwa sederet amal itu sebanding dengan harga surga. Dan, karenanya pantaslah bila kita kemudian dipersilakan memasukinya.

Namun, Ibn Atoilah, dalam hampir setiap aforismenya, mengatakan, manusia perlu waspada bila sudah mulai memuji dirinya, memuji amalnya, bahkan merasa kebenaran itu milik dirinya. Manusia patut menilik kembali keyakinan dalam hatinya, apakah ia benar-benar mengimani Allah dengan segenap keberserahan dirinya, atau hanya ingin menukar semua yang dilakukan dengan surga.

Jika seseorang percaya bahwa melalui tindakan ini mereka akan mendapatkan kebahagiaan mereka di akhirat, ia patut memberikan penilaian ulang terhadap dirinya.

Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Tidak akan ada di antara kalian yang masuk surga lantaran amal ibadah kalian.”Para sahabat bertanya, “Tidak ada, bahkan itu berlaku untukmu, Ya Rasulullah?”

Rasul menjawab, “Bahkan aku pun tidak, kecuali jika Allah meliputiku dengan kasih dan sayang-Nya.”

Cerita dalam hadis di atas bukan berarti kita harus berhenti melakukan kewajiban dan kemudian melakukan tindakan seenaknya tanpa melihat rambu-rambu-Nya. Hadis tersebut menunjukkan apalah artinya kita, yang bahkan sudah melakukan amal sedemikin banyak pun, jika dihitung, tak akan pernah mencukupi segala karunia-Nya.

Betapa sombongnya kita jika berusaha tawar menawar dan menghitung-hitung tiap detail yang kita lakukan guna ditukar dengan surga. Padahal, apa yang dilakukan tidak akan cukup untuk menunjukkan terima kasih kepada Allah atas segala kasih sayang-Nya yang diberikan tanpa henti.

Ada sebuah kisah, yang menceritakan tentang seorang pria petapa memilih hidup di pegunungan untuk menjauhi orang-orang. Hal ini ia lakukan dengan maksud agar tidak melakukan dosa pada makhluk yang lain.

Selama 500 tahun ia menghabiskan waktunya hanya untuk berdoa dan beribadah. Ia hanya makan buah delima yang tumbuh di sekitar tempat petapanya itu. Ia juga hanya meminum mata air di dekatnya, dan tidak melakukan kontak dengan siapa pun. Ia nyaris bebas dari dosa.

Ketika meninggal, Allah berkata kepadanya, “Masukkan ia ke dalam surga karena kasih sayang-Ku”. Pria itu berteriak dan berkata, “Dengan amalku, Tuhan”.

Ia mengira bahwa amalnya selama 500 tahun, dengan tanpa melakukan dosa sedikit pun mampu ditukar dengan surga, dan mendapatkan pahala yang paling besar.

Allah menjawab dengan mengatakan, “Benarkah kamu ingin diadili?” Kemudian Allah memerintahkan para malaikat, “Perlihatkan buku amalnya, dan hitunglah!”

Para malaikat segera rembukan, membahas setiap detail amal yang pernah dilakukan sang rahib tersebut. Usai menghitung, salah satu malaikat pun melaporkan dan menimbangnya dengan besarnya kasih sayang Allah. “500 tahun ibadah dengan tanpa dosa ditimbang dengan kasih sayang Robbul Izzat.” Ujar sang malaikat.

Pada titik ini, pria itu panik dan menangis seraya berkata, “Ya, Robb. Sungguh karena rahmat-Mu lah aku bisa memasuki surga.”

Ibn Atoilah menjelaskan sederet kisah di atas untuk membimbing kita, agar tidak merasa berhak atas reward sebagai akibat dari amal kita. Bahkan, Allah memberitahu kita dalam Quran bahwa semua yang kita lakukan sesungguhnya karena kita dipandu dan diarahkan Dia, sehingga kita mampu melakukan amal-amal yang baik.

Oleh karena itu, Ibn Atoilah menekankan pada kita akan pentingnya sikap keberserahan diri hanya pada-Nya. Harapan kita bisa berjumpa dengan Allah bukan karena kita melakukan amal ibadah. Melainkan, karena kita diperintahkan untuk melakukannya, dan kita akan terus melakukannya bahkan jika tidak ada surga atau neraka.

Jika pun merasa telah melakukan pelanggaran, yang sekiranya membuat Allah murka, maka bukankah Dia, sang maha pengasih (juga) maha pemaaf?

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang terus-menerus bertobat dan menyucikan diri.” (Qs. Al Baqarah: 222)

Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa ada tiga tipe alasan mengapa manusia menyembah Allah. Pertama, ketaatan para budak. Mereka beribadah dan menyembah Allah hanya karena takut hukuman-Nya, ia takut masuk neraka akibat perbuatannya.

Kedua, ketaatan para pedagang. Mereka beribadah dan menghitung-hitung setiap detail perbuatannya dan kemudian berusaha menimbang, seberapa banyak reward yang mereka dapatkan untuk setiap perbuatannya.

Kedua jenis tipe ketaatan ini banyak terdapat di tengah-tengah kita. Beberapa orang di antara mereka takut meninggalkan kewajiban hanya karena takut mendapat balasan neraka. Beberapa di antaranya lagi butuh motivasi yang dapat membuatnya semangat beribadah, kaitannya dengan besarnya nilai pahala. Jika pahalanya besar, maka ia akan bergegas segera melakukannya. Sebaliknya, jika pahalanya dinilai kecil, tak sungkan-sungkan ia pun berleha-leha terhadapnya.

Tidak ada yang salah dan buruk dari kedua tipe ketaatan ini. Namun, Rasul Saw. merekomendasikan tipe ibadah bentuk ketiga, dan ini merupakan bentuk ketaatan tingkat tertinggi seorang hamba Tuhan. Yakni, ketaatan para pecinta yang berdasarkan rasa syukur.

Segala hal yang dilakukan para pecinta ini diniatkan hanya karena alasan mencintai-Nya, dan karenanya ia ingin mendapatkan ridha-Nya. Mereka benar-benar percaya, apa pun yang dilakukannya didasarkan atas dasar keyakinannya akan Dia yang maha pengasih. Mereka tidak takut apakah yang dilakukan itu mengantarkannya ke surga, atau bahkan ke neraka. Ia hanya yakin bahwa hanya Allah lah yang memang layak untuk disembah.

Hal ini dicontohkan Muhammad Saw. Meski sudah dijamin masuk surga, dan bahkan Allah menjanjikan kenikmatan langsung berjumpa dengan Sang Maha Rahman, namun beliau tetap saja melakukan ibadah. Beliau tidak sekali pun meninggalkan kewajibannya sebagai Muslim. Beliau berdoa, shalat, bangun di tengah malam tahajud, hingga kakinya bengkak.

Ketika Aisyah ra bertanya mengapa dia shalat sunnah begitu banyak, padahal Rasul tahu bahwa Allah telah mengampuni masa lalu dan masa depannya, ia menjawab, “Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang bersyukur?”

Inilah yang dimaksud Ibn Atoilah, “Amal kita bukan alasan bagi keselamatan kita. Kasih dan sayang-Nya lah satu-satunya alasan mengapa kita mendapat keselamatan.”

Kita menyembah karena Allah memerintahkan kita untuk melakukannya dan Dia Maha Tinggi, sehingga memang layak disembah. Ketika kita berdosa atau lalai akan kewajiban di suatu waktu, maka bukankah kembali, bertaubat, merintih pada-Nya merupakan satu-satunya jalan yang amat mulia untuk menggapai rahmat-Nya?[ ]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2276216/bukan-ibadah-yang-mengantar-kita-ke-sorga#sthash.fxGUXDHX.dpuf

Hadits Ini Cukup Bagi Anda

RASULULLAH saw berkata, “Para malaikat merasa terganggu mendapati sesuatu yang manusia juga merasa terganggu dengan sesuatu itu.”

Hadits itu cukup bagi Anda. Jika Anda memahaminya dan berusaha menerapkannya, hadis ini cukup sebagai petunjuk Anda.

Rokok, misalnya, pasti mengganggu orang lain. Artinya, rokok juga mengganggu para malaikat. Seseorang yang meludah di jalan juga mengganggu orang banyak, begitu juga dengan para malaikat.

Inilah pemahaman baru yang menunjukkan dan mengarahkan kita. Kita bisa mengetahui apakah kita termasuk orang-orang yang beretika dalam berinteraksi dengan orang lain atau tidak. Etika ini penting; etika berhubungan dengan para malaikat! Betapa luar biasanya kepekaan emosi ini! Betapa hebatnya etika ini! Inilah ajaran Islam! [amru muhammad khalid]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2291907/hadits-ini-cukup-bagi-anda#sthash.jte4tjd8.dpuf

Bukan Kemiskinan yang Aku Khawatirkan atas Kalian

KETIKA kemenangan demi kemenangan dan penaklukkan demi penaklukkan berhasil diraih hingga akhirnya cinta dunia menguasai hati banyak kaum muslimin. Cinta dunia melalaikan mereka dari Allah dan dari jihad di jalan-Nya, sehingga akhirnya keadaan menjadi sangat menyedihkan dan sangat disayangkan.

Hal itu terjadi karena kebanyakan negeri Islam yang dahulu bendera Islam berkibar di sana dan dari menara-menara masjidnya dikumandangkan azan, sekarang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam dan kaum muslimin. Misalnya seperti Andalusia dan negeri-negeri lain yang pernah dikuasai oleh kaum muslimin.

Hal yang disayangkan juga bahwa musuh-musuh Islam berusaha dan merancang strategi untuk menyerbu negeri-negeri kaum muslimin atau mengendalikan pemerintahannya, sebagaimana kini terjadi di banyak belahan bumi.

Semua ini tidak terjadi kecuali karena cinta dunia. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda,

“Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian. Yang aku khawatirkan adalah kalau dunia dilimpahkan kepada orang-orang yang sebelum kalian sebagaimana dilimpahkan kepada orang-orang yang sebelum kalian, lalu kalian bersaing memperebutkannya sebagaimana mereka dahulu memperebutkannya, dan akhirnya dunia itu membuat kalian hancur sebagaimana telah membuat mereka hancur.” (HR Bukhari dan Muslim)

Marilah kita memperhatikan semua ini. Saya berdoa semoga Allah mengembalikan kejayaan Islam dan menjadikan kaum muslimin layak menerima kejayaan itu. [Syekh Thaha Al-Afifi]

 

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2291956/bukan-kemiskinan-yang-aku-khawatirkan-atas-kalian#sthash.pm1N2lb2.dpuf

Sahabat Kenang Kegigihan dan Kesederhanaan Ali Mustafa Yaqub

Ali Mustafa Yaqub telah meninggalkan dunia untuk selamanya. Namun, sosoknya masih terus melekat di benak sahabat dan rekan sejawat.

Ketua Dewan Syariah Yayasan Pendidikan Islam Al Azhar, Shobahussurur, mengaku sangat mengenal Ali Mustafa Yaqub sebagai sosok yang sangat gigih. Ia melihat kegigihan itu senantiasa ditunjukkan almarhum, baik dalam menjalani kehidupan maupun dalam memperjuangkan Islam.

“Beliau merupakan teladan tepat santri yang sukses menjadi seorang kiai,” kata Shobahussurur kepada Republika.co.id, Kamis (28/4).

Shobahussurur sendiri sudah mengenal Ali Mustafa Yaqub sejak lama, sedari almarhum masih mengontrak sebuah rumah di kompleks UIN Syarif Hidayatullah. Ia mengetahui persis perjuangan almarhum dalam merintis Pondok Pesantren Darus-Sunnah, yang dimulainya dari sebuah pengajian-pengajian kecil.

Ia pun merasa terhormat karena sempat ditunjuk menjadi sekretaris semasa Ali Mustafa Yaqub mendirikan sebuah lembaga Islam yang secara khusus mengkaji hadis. Menurut Shoba, lembaga itu dibuat karena komitmen dan keteguhan Ali menggabungkan Alquran dan sunah sebagai panduan hidup umat manusia.

Hebatnya, lanjut Shoba, sosok Ali Mustafa Yaqub tidak berubah meski sudah menjabat posisi penting bagi umat Islam di Indonesia, termasuk sebagai imam besar Masjid Istiqlal. Ia berpendapat, kesederhanaan itu dapat dilihat langsung dari cara Ali menjalani hidup, termasuk rumah dan mobil yang ia gunakan sehari-hari.

“Sangat bersahaja, dengan cara hidup yang penuh kesederhanaan,” ujar Shoba.

 

 

sumber: Republika Online

Melecut Kebangkitan Umat (Catatan Mengenang Kiai Ali Mustafa Yaqub)

Kamis, 28 April, bangsa ini mengharu biru. Kiai Ali Mustafa Yaqub tutup usia. Di tengah perpecahan dan sengkarut masalah umat, salah satu ulama besar Indonesia wafat.

Haji Pengabdi Setan, sebuah warisan pena dari sejumlah buku yang pernah ditulis beliau. Buku kumpulan tulisan Kiai Mustafa Yaqub di beberapa media itu memberi pencerahan bagi kita ihwal akidah, ibadah, dan muamalah.

Pesan kuat buku fenomenal itu, almarhum mengingatkan: betapa jauh lebih penting, lebih bermanfaat, dan lebih bernilai ibadah sosial dibanding ibadah individual.

Ibadah individu belum tentu membuat orang lain gembira, tapi ibadah sosial bisa dipastikan membuat orang lain dan tentu diri sendiri lebih bahagia. Hari-hari seperti ini, umat seperti terlena terhadap keasyikan ibadah individu.

Hingga tidak sedikit yang merasa sudah menjadi ahli ibadah, ahli beragama, tetapi lupa atau malah sengaja menutup mata pada masalah di sekitarnya. Lalai terhadap masalah keumatan yang semakin mengundang air mata. Warisan karya Haji Pengabdi Setandari almarhum sangat pas untuk kita renungi kembali.

Lihatlah sekeliling kita: bapak-bapak yang sudah pensiun ramai di masjid, ibu-ibu muda ramai di mal, sedang anak remajanya ramai di jalanan. Betapa mudah kita menyaksikan ABG berpacaran di jalan, di tempat-tempat umum, bercumbu tanpa malu.

 

Betapa mudah menemui anak perempuan bercelana pendek memamerkan auratnya. Betapa gampang menyaksikan anak-anak kecil di masjid dibentak pengurus masjid, dalam beberapa kasus diusir hanya karena berisik. Hai, mereka kan anak kecil. Wajar.

Kita semua pernah merasakan menjadi anak kecil. Entah mengapa terjadi perubahan sikap dan budaya pengurus masjid era dulu dan masa kini. Apakah pengurus itu tidak pernah menikmati kelezatan bermain di masjid ketika masa kanak-kanak dan remaja?

Anak-anak kecil yang berisik dibentak atau diusir. Dampak dari itu, lihatlah, ketika mereka besar lebih banyak ditemui di jalanan. Di tempat game online, di penyewaan Play Station, dalam beberapa kasus ada yang sudah merangsek di kantong-kantong kemaksiatan. Ramahlah pada anak. Bukalah masjid 24 jam. Jika memang ada kehilangan di masjid, itu tidak ada artinya dibandingkan kehilangan jamaah masjid.

Kawan berseloroh, masjid yang dikunci itu masjid atau kantor sih? Anak kecil kok dibentak atau diusir? Bagaimana mau menciptakan generasi yang akrab dengan masjid? Ketika anak tak betah di rumah, tak senang di sekolah, diusir dari masjidnya, mereka pun memilih jalanan dan kantong maksiat sebagai tempat nyamannya.

Saat menginjak usia remaja terjadi masalah, eh, disalahkan juga. Kasihan sekali mereka. Tengok sejumlah daerah, dari desa sampai kota. Rerata kerusakan sosial remaja: alkohol, narkoba, seks bebas, dan aborsi. Dalam kasus lain, depresi dan bunuh diri. Mau dikemanakan masa depan bangsa ini jika kerusakan generasi dibiarkan?

Ini diperparah dengan tayangan televisi yang semakin merusak. Jika pengurus masjid tidak mengubah sikap dengan tetap mengunci masjid, tidak ramah pada anak, tidak memaklumi, tetap represif ke anak-anak yang berisik; jangan heran jika kerusakan remaja tambah akut. Mari pekalah, lebih pedulilah pada ibadah-ibadah sosial.

Masjid adalah benteng umat. Fondasi awal menciptakan generasi, mengokohkan ukhuwah. Masjid adalah benteng pendidikan dan kebangkitan umat. Sekarang, betapa sulitnya kita mencari masjid yang ramah anak. Di Jakarta sampai Kalimantan, sama.

 

Kita telah kehilangan Kiai Mustafa Yaqub. Sebelumnya, kehilangan Habib Mundzir al-Musawa. Dengan jasa beliau, berdiri Majelis Rasulullah. Melalui dakwah lembutnya, almarhum Mundzir bisa menarik para remaja mengikuti pengajian.

Para remaja makin akrab dengan zikir dan shalawat. Majelis ini tersebar tak hanya di Jakarta, tetapi merangsek ke Jawa hingga Kaltim, bahkan juga di kota lainnya. Serupa dengan majelis itu, ada Majelis Nurul Mustafa.

Tiap malam berbondong-bondong orang mendatangi kedua majelis itu. Dari anak sampai orang tua. Terlepas dari kekurangan yang ada, kita patut bangga karena masih ada kelompok yang terus menyiarkan Islam melalui cara dan pola masing-masing.

Tetapi, sejak era Jokowi-Ahok, umat dikagetkan aturan pelarangan takbir keliling, sahur on the road, bahkan di Monas sempat dilarang tabligh akbar. Masya Allah. Padahal, budaya takbir keliling itu untuk syiar dan sudah ada sejak puluhan tahun lalu.

Betapa sakitnya hati umat. Betapa sabarnya kita. Pelbagai alasan konyol, syiar Islam makin dibatasi. Betul memang, masih banyak cara syiar lain. Namun, syiar pun tetap harus menggunakan strategi. Salah satunya menarik umat tanpa keluar dari syariat.

Takbir dan sahur keliling, Majelis Rasulullah, Nurul Mustafa, majelis serupa lainnya, program One Day One Juz atau ODOJ, Tahajud Berantai, Subuh keliling dan lain; membuktikan itu. Kita belajar dari Rasulullah, Sahabat, Wali Songo, dan lainnya.

Rasulullah selalu lembut tapi tegas. Keras terhadap kafir yang menyakiti umat. Rasulullah memaklumi pola sahabat berdakwah dan menyebarkan syiar. Ada yang keras seperti Khalifah Umar dan Abu Dzar, banyak yang lembut seperti Abu Bakar, dan lainnya. Ini perlu diteladani para pengurus masjid dan seluruh aktivis dakwah.

Tidak ada di antara mereka yang terus menyalahkan, apalagi mudah mengafirkan. Di akhir zaman ini makin gampang ditemui kelompok yang mudah mengafirkan saudara seakidahnya, namun diam terhadap kaum kafir yang sering menyakiti umat.

Umat lelah berpuluh tahun dihabiskan berdebat hanya berbeda rakaat tarawih, qunut atau tidak, dan semisalnya. Padahal, masing-masing memiliki dalil dan sandaran hukum. Alhamdulillah, perdebatan itu sudah tidak ada lagi.

Hal menggembirakan ketika ada jamaah Majelis Rasulullah dengan atribut jaket hitam khasnya mengikuti pengajian di Majelis Nurul Mustafa, dan sebaliknya. Tidak ada sekat kelompok. Mereka juga gabung mengikuti ODOJ, dan semisalnya.

Jika tiap kelompok Islam saling menghargai dan mendukung pola dakwah masing-masing kelompok Islam lainnya (asal tidak terbukti sesat sesuai Quran, sunah, dan ijma ulama), betapa indahnya. Jangan lagi mudah terpancing dengan isu memecah.

Saya membayangkan, tokoh bisa bersatu dan mendesak dicabutnya larangan takbir keliling dan sahur on the road sebagai satu syiar. Atau mengganti syiar lain, seperti zikir atau shalawat konvoi berkendara secara periodik.

Apa yang disenangi remaja ketika takbir dan sahur keliling? Mereka senang berkeliling di jalan, seperti hiburan tapi tanpa sadar akan tertanam semangat mensyiarkan Islam sejak dini. Budaya ini juga membuat sanksi moral bagi pelaku maksiat.

Amati saja, dulu ada konvoi takbir keliling lewat, pelaku maksiat jadi malu. Tanpa kekerasan, pelaku maksiat sadar diri sendiri karena menjadi tontonan dan malu mendengar takbir. Ketika syiar dilarang, mereka lari menjadi geng motor atau pacaran di jalanan.

 

Nah, misal kelak ada konvoi zikir atau shalawat berkendara, mereka bisa tertarik. Pengganti takbir keliling. Siapa tahu ketika konvoi itu lewat bisa membuat sanksi moral remaja yang pacaran di jalan, pelacur jalanan, tempat hiburan, dan semisalnya.

Logikanya: saat orang bermaksiat di hadapan orang banyak yang mengumandangkan kalimat thayyibah, pasti orang itu malu. Tidak perlu kekerasan atau pengusiran. Sisi lain, remaja konvoi bisa terbiasa melafazkan zikir dan shalawat setiap berkendara. Misal namakan Majelis Konvoi Dzikir Indonesia, atau apa saja. Kita perlu meneladani Rasul. Dakwah dengan cara cerdas, pas menempatkan porsi, memanusiakan manusia.

Berdakwah dengan persuasif dan memahami sarana atau hal yang digemari sasaran yang didakwahi. Tanpa keluar dari syariat, tanpa mengganggu sasaran dakwah dengan tetap menyisipkan nilai Islami dan membuat nilai-nilai itu menjadi kebiasaannya.

Momen titik nadir sengkarut republik saat ini, momentum pas bagi umat bersatu dan bangkit membela masalah keumatan dan kemaslahatan rakyat. Mari buang sekat kelompok. Singkirkan kepentingan sesaat. Prioritaskan kepentingan umat dan rakyat.

Telitilah: ketika anak dan remaja diusir dari masjidnya, mereka lari ke jalanan. Ketika tokoh Islam berseteru dan kelompok Islam mau diadu, umat ditarik kaum sekuler dan aliran sesat lain. Mereka memanfaatkan perpecahan umat. Diperparah siaran TV yang merusak, menjauhkan nilai Islami, mendidik hidup instan, dan permisif.

Semoga para kiai, ulama, dan tokoh umat tidak lagi tergiur ragam kepentingan, tetapi memprioritaskan masalah umat. Semoga syiar Islam terus berkembang dengan pelbagai pola menarik yang tak keluar syariat. Lalu, saling menghargai dan mendukung varian dakwah itu. Terus menambah jumlah media Islam.

Kerusakan sosial semakin akut. Perpecahan umat makin mengkhawatirkan. Kita butuh sosok seperti almarhum Kiai Yaqub dan Habib Mundzir. Kita butuh pemersatu. Jangan lagi mau diadu. Mari membumikan lagi ibadah sosial. Mari bangkitlah dan bersatu. Umat Islam Indonesia memiliki potensi menjadi penentu masa depan Nusantara dan dunia di masa kini dan selanjutnya. Yakinlah. Insya Allah. Bismillah ….

 

 

Oleh: Rudi Agung (Pemerhati Masalah Sosial)

sumber: Republika Online

KH Ali Mustafa Yaqub Bicara tentang Nikmatnya Belajar Hadis

Wafatnya Prof KH Ali Mustafa Yaqub menorehkan duka bagi umat Islam di Indonesia. Pakar hadis ini wafat di RS Hermina, Ciputat pada Kamis (27/4) pagi karena penyakit diabetes. Selain penulis produktif, mantan Imam Masjid Besar Istiqlal ini kerap menjadi narasumber untuk Harian Republika. Keahliannya di bidang hadis terasa perlu untuk dieksplorasi mengingat banyaknya hadis palsu sekaligus penafsiran hadis yang kurang tepat selama ini.

Menilik arsip Pusat Data Republika, Kiai Ali pernah diwawancarai secara khusus tentang keilmuwannya. Master lulusan Jurusan Tafsir Hadis Universitas King Saud, Riyad, Arab Saudi (1985) itu pun bercerita banyak perihal hadis. Termasuk bukunya yang bertajuk Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan.

Kiai Ali menyebutkan terjadi kekeliruan di tengah masyarakat Muslim Indonesia yang membagi Ramadhan menjadi tiga bagian. Padahal, tindakan Nabi Muhammad yang hanya membagi masa Ramadhan yang hanya menjadi dua, menurut hadis riwayat Aisyah. ”Pertama, 1-20, kemudian 21 sampai akhir Ramadhan. Satu sampai 20, Nabi masih biasa-biasa saja. Tapi ketika 21 sampai akhir, itu sudah tancap gas,” ujar lulusan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, itu.

Lantas, bagaimana Kiai Ali berbicara mengenai bidang yang digelutinya itu? Untuk mengetahui lebih jauh sosok almarhum,Republika.co.id menyajikan ulang wawancara dari bekas wartawan Republika, Burhanudin Bella yang sempat mewawancara almarhum pada 2006 silam.

Mengapa Anda mendalami ilmu hadis?

Alasannya karena di Indonesia langka orang yang mau mendalami ilmu hadis. Yang fikih banyak, yang tafsir juga. Ilmu hadis ini yang banyak orang tidak berminat. Makanya saya masuk situ sajalah. Ini masalahnya penting juga, sebagai sumber agama kok.

Ada dorongan lain?

Ada juga. Belajar hadis itu lebih nikmat dari pada belajar yang lain. Karena ketika kita mempelajari, seolah-seolah kita sedang berada dengan Nabi. Itu nikmatnya. Saya belajar juga fikih, yang lain-lain juga, tapi tidak senikmat belajar hadis. Selain karena kelangkaan dan kenikmatan, orang kalau belajar hadis akan sering mendapatkan nama Nabi Muhammad. Nah, ketika itu dia akan membaca shalawat. Banyak baca shalawat kan semakin banyak pahalanya.

Kalau di sini kurang ahli hadis, bagaimana Anda memperkaya pengetahuan itu?

Pertama saya pernah belajar secara formal. Kedua, saya masih punya guru di Saudi Arabia, dan saya selalu konsultasi, di samping saya membaca kitab. Kalau ada satu hal yang musykil bagi saya, baru konsultasi dengan guru saya.

 

Rujukan ilmu hadis kan susah?

Betul. Tapi saya katakan, sekarang lebih bagus dibandingkan dengan 20-30 tahun lalu. Dulu kita tahunya cuma Bukhari-Muslim saja. Yang lain sulit. Tapi sekarang mencari kitab-kitab seperti Abu Daud, Tarmidzi, an-Nasa’i, dan sebagainya sudah banyak. Jadi ada perkembangan ilmu hadis di Indonesia, cuma mungkin tidak laris.

Jika sudah banyak buku hadis, tapi mengapa masih banyak hadis keliru yang dipakai?

Orang nggak mau belajar ilmu hadis. Kedua, ada fanatisme. Ada orang yang memanfaatkan buku saya bukan main. Saya dapat laporan, ada yang sampai seluruh buku saya dia kumpulkan. Tapi ada juga yang ketika membaca buku saya, disebut ini hadis adalah palsu, dia bilang, ‘Kata guru saya nggak. Guru saya memakai hadis itu, ya saya ikuti. Di buku itu kan pengarangnya bukan guru saya’. Nah, ada yang seperti itu juga.

Apa reaksi Anda?

Biarlah seperti itu. Yang penting saya sudah menyampaikan untuk meluruskan hal-hal yang tidak tepat di masyarakat.

Ada yang mengecam Anda?

Mengecam ya, tidak. Tapi dalam pengertian mengoreksi biar lebih bagus, itu banyak sekali. Dan itu bagus, hingga terbitan berikutnya saya perbaiki. Salah kata, dan sebagainya.

Yang Anda tulis hadis keliru, tidak ada yang membantah?

Tidak ada. Sampai sekarang, saya justru kalau ada orang yang mau membantah, silakan. Itu ilmu bagi saya. Asal dia punya argumen yang kuat. Tapi kebanyakan tidak sampai situ.

Sengaja memilih media buku?

Bagi saya, ilmu yang disebarkan melalui tulisan itu lebih awet dan lebih efektif. Memang kadang-kadang perkembangannya lambat, tapi pasti. Lain dengan ilmu yang disampaikan melalui ceramah, seketika kayak bom, tapi hilang setelah itu. Yang menarik bagi saya, kenapa saya punya keinginan yang tinggi untuk menulis? Ketika saya menulis tesis MA, saya mendapatkan referensi yang orangnya tidak terkenal sama sekali. ”Ini orang sudah meninggal 10 abad lalu, masih dibaca bukunya di perpustakaan.” Kemudian ada syair yang menyebutkan, ”Karya tulis kekang sepanjang masa, sementara penulisnya hancur di bawah tanah. Ini berarti, orang punya buku meskipun sudah mati, itu mendapat ‘kiriman’ terus. Kenikmatannya seperti itu.

Sejak mahasiswa Anda sudah berniat menulis buku?

Justru ketika mahasiswa. Dulu saya belajar di Arab Saudi 9 tahun, S-1 dan S-2 di sana. Saya mencoba apakah tulisan saya dibaca orang atau tidak. Saya coba kirim dulu ke majalah Panji Masyarakat, 1977. Terus kirim ke Kiblat. Udah, setelah dimuat di Panji Masyarkat dimuat di Kiblat, saya tidak meneruskan menulis, tapi saya belajar dulu, biar lebih konsen. Tapi dengan dimuatnya tulisan saya itu, berarti tulisan saya sudah layak terbit. Itu jadi modal saya, saya kemudian belajar saja. Setelah selesai belajar, kemudian mulai menulis. Dan saya wariskan kepada santri-santri Darus-Sunnah, ‘kamu jangan mati sebelum menulis buku’. Alhamdulillah sudah banyak yang menulis buku. Bahkan ada yang lebih banyak dari saya.

Anda senang?

Saya merasa bersyukur. Berarti, ibarat saya menanam, tumbuh subur. Bukan saya merasa disaingi, saya bersyukur.

 

Banyak orang salah memahami hadis. Sebagai ahli hadis, apa yang Anda lakukan?

Di Indonesia, langka yang dapat disebut sebagai ahli hadis. Karena itu banyak ulama, terutama mubalig-mubalig, menyampaikan hadis ternyata hadisnya itu palsu. Untuk memperbaiki itu, perlu waktu. Saya merasa berkewajiban meluruskan. Saya tidak menyalahkan mereka, mungkin mereka tidak tahu. Ya, salah satu cara saya untuk memberikan pelurusan dalam hal ini, pertama saya menulis. Itu melalui tulisan, ceramah-ceramah, dan sebagainya. Baik di buku, di majalah, di koran.

Makanya terus terang, saya menulis buku tidak melihat royalti bagaimana. Yang penting menyebar ke masyarakat dan bermanfaat buat mereka. Itu yang penting. Kedua, untuk mengkader orang-orang yang ahli hadis, saya bikin pesantren (Darus-Sunnah, high institute for hadith science) tingkat S-1. (Bahasa pengantar di pesantren ini adalah Bahasa Arab). Itu mulai 1997 dan sudah wisuda empat kali, sudah mengeluarkan 66 sarjana ilmu hadis.

Salah satu buku Anda berjudul Haji Pengabdi Setan… Rasulullah punya kesempatan untuk haji tiga kali, mengapa haji cuma satu kali?

Rasulullah punya kesempatan umrah, ratusan bahkan ribuan kali. Tapi umrah yang sunah hanya dua kali, tiga kali dengan yang gagal. Apa sebabnya? Mestinya kita berpikir itu. Seandainya umroh berkali-kali, haji berkali-kali sesuatu hal yang afdal dari pada ibadah yang lain, mungkin Rasulullah sudah mengerjakan.

Saya mencoba mencari jawabannya, ternyata di Medinah saat itu banyak anak-anak yatim akibat perang. Banyak janda-janda yang memerlukan santunan, banyak mahasiswa yang tidak punya apa-apa, yang belajar rutin dengan nabi. Ini kan memerlukan santunan.

Uang Rasullullah dan para sahabat disalurkan untuk menyantuni mereka. Bukan untuk haji berkali-kali dan bukan untuk umrah berkali-kali. Itu adalah ibadah sosial, lebih utama dari pada ibadah individual. Dalam bahasa fiqihnya, ”Ibadah yang dirasakan manfaatnya oleh orang lain di samping oleh pelakunya lebih utama dari pada ibadah yang hanya dirasakan oleh pelakunya saja. Makanya Rasulullah lebih memprioritaskan ibadah-ibadah sosial.

Tapi kita tidak. Kita cenderung ingin haji tiap tahun, ingin umrah tiap bulan. Saya pikir, itu tuntunan dari siapa? Apakah Allah memberikan tuntunan, apakan nabi memberikan tuntunan, tidak. Lalu tuntutan dari siapa? Dari bisikan hawa nafsu melalui setan. Makanya saya bikin buku namanya Haji Pengabdi Setan. Jadi saya sampai heran ada masjid buat brosur, siapa yang mampu ke Makkah bulan Ramadhan supaya Anda harus pergi umrah. Ternyata setelah saya lihat, itu oh kong sungai (kali) kong dengan biro travel. Sudah tidak beres kalau begitu, sudah tidak benar lagi. Justru Rasulullah itu tidak pernah, apalagi mengirim jamaah untuk umrah Ramadhan. Umrah Ramadhan saja tidak pernah kok.

 

KH Ali Mustafa Yaqub dan Seruan ‘Berhaji Cukup Sekali, Infak Ribuan Kali’

Ratusan santri di Pondok Pesantren Darus-Sunnah, Tangerang Selatan, Banten, tak bisa membendung air mata saat mengantar jenazah mantan Imam Besar Masjid Istiqlal Kiai Ali Mustafa Yaqub ke pemakaman, Kamis siang (28/4/2016) tadi.  Kiai kelahiran Batang, Jawa Tengah, 2 Maret 1952 itu menghembuskan nafas terakhir pada Kamis pagi.

Kiai Ali Mustafa Yaqub dikenal sebagai ulama yang teduh dengan tutur kata lembut. Dia juga konsisten mengajarkan bahwa menunaikan ibadah haji cukup sekali, infak ribuan kali.

Pada Januari 2006 melalui sebuah kolom yang dimuat di Majalah Gatra, Kiai Ali Mustafa mengkritik kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar menunaikan ibadah haji lebih dari sekali. Menurut dia orang yang gemar naik haji berulang-ulang dengan niat tak tulus adalah ‘pengabdi setan’.

Menurut Ali Mustafa tak ada satu pun ayat yang menyuruh umat Islam melaksanakan haji berkali-kali, sementara masih banyak kewajiban agama yang harus dilakukan. Seperti menyantuni anak yatim dan memberi makan fakir miskin.

Kiai Ali Mustafa mengulangi lagi pendapatnya itu saat khutbah Arafah di tenda perkemahan jamaah haji Indonesia dalam pelaksanaan Wukuf di Padang Arafah, Arab Saudi, pada Kamis 26 November 2009 ba’da salat zuhur. Saat itu Kiai Ali mendapat amanah sebagai Naib Amirul Haj 1430 Hijriah.

Kepada para jemaah, Kiai Ali menjelaskan soal kewajiban haji bagi kaum muslimin. Ibadah haji dan umrah  diwajibkan kepada umat Islam pada tahun 6 Hijriah. Begitulah pendapat yang masyhur di kalangan ulama.

Pada tahun 6 Hijriah, Nabi Muhammad SAW bersama sejumlah sahabat bermaksud melakukan umrah ke Makkah, namun tidak berhasil memasuki kota itu karena masih dikuasai kaum musyrikin.  Berdasarkan perjanjian Hudaibiyah dengan kaum musyrikin, Muhammad diizinkan untuk melakukan umrah pada tahun ke 7 Hijriah.

Baru pada tanggal 12 Ramadhan 8 Hijriah, Muhamamd berhasil membebaskan kota Makkah melalui operasi damai Fath Makkah. Pada bulan Dzulqa’dah di tahun itu, Nabi melakukan ibadah umrah dari Ji’ranah, di luar kota Makkah. Dan selanjutnya pergi ke Madinah tanpa melakukan ibadah haji, padahal waktu itu kota Makkah sudah dikuasai umat Islam.

Nabi Muhammad SAW baru melakukan ibadah haji pada tahun 10 Hijriah. Setahun kemudian Nabi wafat. Walau Muhammad mempunyai kesempatan untuk beribadah haji sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 8, 9, 10 Hijriah, beliau melaksanakan ibadah haji hanya satu kali.

“Sahabat Anas bin Malik menuturkan, bahwa Nabi SAW melakukan ibadah haji hanya satu kali saja, dan melakukan ibadah umrah empat kali, semuanya dilakukan pada bulan Dzulqa’dah, kecuali umrah yang bersama ibadah haji,” kata Kiai Ali Mustafa dalam kotbahnya di Padang Arafah.

Pertanyaan yang muncul sekarang, lanjut Ali, mengapa Muhammad beribadah haji hanya satu kali saja, padahal beliau mempunyai kesempatan untuk beribadah haji tiga kali? Bandingkan dengan selera kaum muslimin sekarang yang, tentu yang punya dana, ingin beribadah haji setiap tahun. Nampaknya, selera seperti ini sudah menjadi gejala bagi sebagian besar umat Islam di mana saja mereka berada.

Ali mengungkapkan ada tiga hal yang menyebabkan Nabi Muhammad SAW tidak melakukan haji berulang-ulang. Pertama, saat itu Muhammad masih melakukan jihad fi sabilillah melawan kaum musyrikin. Kedua, lebih memperhatikan untuk menyantuni anak yatim dan janda akibat peperangan dengan kaum musyrikin. Bahkan Muhammad menegaskan; penyantun janda dan orang miskin (pahalanya) seperti berjihad fi sabilillah atau seperti orang yang berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari (Hadis Bukhari dan Muslim).

Selebihnya, Muhammad lebih mementingkan syiar Islam kepada para pemuda pengikutnya, serta menjamin makanannya selama belajar. Dari ketiga hal penting itulah yang menyebabkan Muhammad tidak mendahulukan ibadah-ibadah sunnah individual (ibadah qashirah), tetapi justru beliau memprioritaskan ibadah-ibadah sosial (ibadah muta’addiyah).

Karenanya, Muhammad tidak pernah walau sekali beribadah haji sunnah dan tidak pernah beribadah umrah pada bulan Ramadhan. Sementara sebagian umatnya sekarang ingin beribadah haji setiap tahun, ingin beribadah umrah setiap bulan atau setiap minggu. Padahal rata-rata keadaan umat Islam saat ini di segala penjuru dunia sangat memprihatinkan.

“Dalam keadaan umat Islam seperti ini, pantaskah seorang muslim yang kaya setiap tahun pergi ke Makkah untuk melakukan sesuatu yang tidak wajib? Pantaskah mereka bolak-balik umrah ke Makkah? Siapakah gerangan yang menyuruh mereka begitu? Ayat al-Qur’an manakah yang menyuruh agar kita beribadah haji berulang-ulang, sedangkan kondisi umat Islam sedang terpuruk? Hadis manakah yang menyuruh kita bolak-balik umrah, sementara kaum muslimin sedang kelaparan?” tanya Ali lantang.

Ali menegaskan, semua itu tidak ditemukan dalam ayat Al Quran maupun hadis yang menyuruh umat Islam untuk melakukan hal itu. Bila demikian, maka tidak ada lain, yang menyuruh mereka untuk melakukan hal seperti itu adalah hawa nafsu atas bisikan setan.

“Maka haji seperti itu layak disebut sebagai haji pengabdi setan, bukan haji yang mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan ternyata perilaku Nabi Muhammad adalah berhaji cukup sekali, berinfak ribuan kali. Atau dengan kata lain, Nabi Muhammad lebih mengutamakan ibadah sosial daripada ibadah individual,” pungkasnya.

Kamis siang tadi ratusan santri mengantar kepergian sang kiai ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Selamat jalan Kiai Haji Ali Mustafa Yaqub.

 

sumber: Detik.com