Urus Sertifikat Tanah Wakaf Gratis Selama Ramadhan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan menyatakan selama  Ramadhan 1437 Hijriyah, warga di wilayah Jawa Barat bisa mengurus pembuatan sertifikat tanah wakaf, khususnya untuk masjid dan mushola, secara gratis.

“Kanwil Jabar (BPN) Jabar, dua minggu lalu bilang ke saya pak kami akan memulai (mengurus sertifikat tanah wakaf gratis). Dan juga kita memang sudah mulai mengurus tanah wakaf di mulai dengan NU. Sebanyak 1.290 sertifikat tanah wakaf kita selesaikan,” kata Ferry Mursyidan Baldan, di Bandung, Kamis (2/5).

Ditemui usai meresmikan Kantor Berjalan BPN Kota Bandung, ia mengatakan untuk mengeluarkan sertifikat tanah wakaf tersebut, pihaknya telah bekerjasama dengan berbagai pihak seperti ormas (NU) di Jawa Timur, HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) terkait gereja dan lain-lain.

“Sebenarnya pemberian kemudahan mengurus sertifikat tanah ibadah itu sudah sejak lama. Seperti NU itu sudah dilakukan sejak tahun lalu,” kata dia.

Selain itu, menurut dia, pemberian kemudahan mengurus sertifikat tanah wakaf juga dilakukan karena Kementerian Agraria Tata Ruang/BPN juga tidak ingin melihat kasus-kasus rumah ibadah yang digusur atau dieksekusi karena tidak memiliki sertifikat tanah yang lengkap.

“Kalau misalnya hak atas tanah untuk rumah ibadah terancam, maka negeri ini mau seperti apa. Bayangkan orang punya masjid atau gereja tiba-tiba digusur karena tidak punya surat-surat. Mau jadi apa negeri ini,” katanya.

Karena itu, pihaknya berharap keberadaan Kantor Berjalan BPN Kota Bandung dan Kantor Layanan Pertanahan Bersamaan di Jalan Ir H Djuanda Kota Bandung yang diresmikan hari ini olehnya bisa mempermudah warga dalam mengurus sertifikat tanah wakaf.

Perhatikan Ini Bila Maag Lebih dari Seminggu Saat Puasa

Dokter spesialis penyakit dalam dari Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan mengingatkan agar segera menghubungi dokter jika mengalami maag yang berkepanjangaan saat berpuasa di bulan Ramadhan.

“Menurut penelitian, orang yang mengalami maag di bulan puasa maksimal hanya satu minggu. Lebih dari itu periksakan ke dokter,” kata dr Maulana Suryamin S.PD-KGEH dalam seminar menyambut Ramadhan di RSUP Persahabatan, Jakarta, Kamis (2/6).

Maulana menjelaskan rasa nyeri maag yang dirasakan saat awal-awal berpuasa merupakan adaptasi tubuh, terutama lambung, dari perubahan jadwal makan. Dia menjelaskan bahwa apabila lambung tidak diisi makanan dalam waktu 6-8 jam akan memicu berbagai gejala seperti kembung, pedih, nyeri dikarenakan asam lambung yang meningkat dan ditambah udara yang masuk dari mulut.

Sedangkan saat berpuasa lambung seseorang akan kosong selama 13-14 jam dalam sehari yang bisa menimbulkan berbagai gejala tersebut. Rasa perih, mual, kembung karena maag di awal puasa dikarenakan adaptasi tubuh yang paling lama membutuhkan waktu tujuh hari.

“Kalau adaptasinya bagus, ada yang dua hari juga sudah enak lambungnya. Ada tiga hari, empat hari, tapi paling lama seminggu,” kata Maulana.

Jika maag tidak hilang lebih dari seminggu di bulan puasa, lanjut dia, diperkirakan karena ada kelainan atau luka dalam lambung tersebut. Terlebih apabila dalam kurun waktu tersebut sakit maagmalah terasa tambah parah dan tidak berkurang. Maulana menyarankan untuk tidak berpuasa dan lebih baik mengobati penyakit lebih dulu.

Apabila hanya merasa mual atau nyeri ringan, puasa tetap bisa dilanjutkan, dikutip Antaranews.

 

sumber: republikaONline

Menunda Mandi Haid Hingga Terbit Fajar Ketika Puasa

Pertanyaan:

Ada seorang wanita yang haidnya telah berhenti sebelum fajar tetapi dia baru mandi setelah terbit fajar, bagaimana hukum puasanya?

Jawaban:

Puasanya sah jika dia yakin telah suci sebelum terbit fajar. Yang penting dia yakin bahwa dirinya suci, karena sebagian mengira bahwa dirinya telah suci tapi ternyata belum. Maka dari itu, ada seorang wanita datang kepada Aisyah dengan membawa kapas, lalu memperlihatkan kepadanya tanda-tanda kesucian. Aisyah berkata kepadanya, “Janganlah tergesa-gesa hingga kamu melihat kapas itu putih.” Maka, wanita itu harus berhati-hati hingga dia yakin bahwa dia telah suci. Jika dia telah suci, maka dia boleh berniat puasa walaupun belum mandi, kecuali setelah terbit fajar. Tetapi dia juga harus memperhatikan shalat, sehingga dia segera mandi dan mengerjakan shalat Subuh pada waktunya.

Kami pernah mendengar, ada sebagian wanita yang telah suci setelah terbit fajar atau sebelumnya, tetapi dia tidak segera mandi hingga setelah matahari terbit dengan alasan bahwa dia ingin mandi dengan sempurna, lebih bersih dan lebih suci. Cara semacam ini salah, baik di bulan Ramadhan, maupun di luar Ramadhan, karena yang wajib dilakukannya adalah segera mandi dan shalat pada waktunya. Dia harus segera mandi wajib agar bisa melaksankan shalat. Jika dia ingin lebih bertambah suci dan bersih setelah matahari terbit, maka dia bisa mandi lagi setelah itu.

Seperti wanita haid ini, jika ada wanita junub dan belum mandi kecuali setelah terbit fajar, maka tidak apa-apa dan puasanya sah. Begitu juga seorang laki-laki yang junub dan belum mandi kecuali setelah terbit fajar dan dia puasa, maka hukumnya boleh, karena dijelaskan dalam sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwas beliau menemui waktu fajar dalam keadaan junub karena menggauli isterinya, lalu beliau puasa dan mandi setelah terbit fajar (HR. al-Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam.

 

Read more https://konsultasisyariah.com/5810-puasa-wanita-haid.html

Inilah Hikmah Mengapa Wanita yang Sedang Haid Haram Berpuasa

Apakah ada di antara kaum wanita yang tetap nekat ikutan puasa meskipun sedang datang bulan? Ikutan makan sahur dan baru makan minum lagi ketika adzan Maghrib?  Waduh, hati-hati yah Sahabat Ummi karena hukum puasa bagi wanita yang sedang haid justru haram loh!

Ijma’ ulama sampai kepada hukum dosa bagi wanita yang secara sengaja melakukan puasa dengan niat ibadah pada hari-hari haidnya, bayangkan Sahabat Ummi… bukan saja dilarang, tapi juga membuahkan dosa jika mengerjakannya!

Jangan salah sangka bahwa hukum tersebut menandakan Islam menajiskan wanita yang sedang haid, karena sama sekali tidak demikian!

Keharaman tersebut berlandasan kepada hadits Rasulllah SAW, hadits ini juga menujukkan bahwa para wanita shahabiyah di masa Rasulllah SAW sudah mengerti dan tahu pasti bahwa wanita yang sedang haid itu diharamkan shalat dan berpuasa. Semua tercermin dalam dialog mereka dengan Rasulullah SAW berikut ini.

عن أبي سعيد الخضري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال للنساء: أليس شهادة المرأة مثل نصف شهادة الرجل ؟ قلن بلى. قال فذلكن من نقصان عقلها. أليس إذا حاضت لم تصل ولم تصم؟ قلن: بلى. قال فذلكن من نقصان عقلها – رواه البخاري

Dari Abi Said Al-Khudhri ra. bahwa Nabi SAW bersabda kepada para wanita… “Bukankah para wanita bila mendapat haidh tidak boleh shalat dan puasa? Para wanita itu menjawab, Benar. Itulah yang dimaksud dengan kurangnya agama mereka.”

Nah, bagi Sahabat Ummi yang ingin tahu mengapa hukumnya demikian, mari kita telisik dari segi kesehatan! Karena hal ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam menajiskan wanita haid sehingga tidak boleh beribadah shalat ataupun puasa, Islam melarang hal tersebut justru karena memahami kebutuhan wanita yang sedang haid.

Ketika seorang wanita haid, maka ia akan kehilangan banyak darah, termasuk sel darah putih, yang menyebabkan imunitasnya berkurang, belum lagi hormon dalam tubuhnya yang mengalami perubahan, sehingga dianjurkan untuk menjaga asupan gizi agar menjaga kesehatan.

Kehilangan Banyak Darah membuat wanita haid gampang lelah, memiliki kadar emosi yang naik turun, serta rentan terkena anemia. Oleh sebab itu, para medis menganjurkan agar ketika dalam keadaan haid, wanita banyak beristirahat dan mengkonsumsi makanan yang bergizi. Agar darah dan logam (magnesium, zat besi) dalam tubuh yang berharga tidak terbuang percuma.

Bisa terbayang jika Islam tetap mewajibkan wanita haid berpuasa? Maka, meskipun kita sanggup berpuasa, janganlah melakukannya! Minumlah dan makanlah banyak asupan gizi  di siang hari, agar tubuh tetap sehat dan prima.

 

Sumber: Ummi-online.com

Tips Puasa Bagi Penderita Diabetes dan Ibu Hamil

Bagi penderita diabetes, jenis pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah tes gula darah puasa, gula darah dua jam pascapuasa dan HbA1c. Sebelum bulan Ramadhan, bagi ibu hamil bisa memeriksajan ultrasonografi untuk melhat kondisi ibu dan janin yang dikandung.

Dalam keterangannya, dr. IGN Adhiartha, SpPD-KEMD memaparkan, pengelolaan diabetes melitus selama Ramadhan secara umum dalam keadaan terkendali bak dan sedang tidak menderita penyakit lain, diabetisi termasuk orang yang cukup sehat.

Karena itu, perlu dilakukannya pengelolaan diabetes melitus bagi para diabetisi dengan mengubah gaya hidup, terapi gizi medis, olahraga, dan pemanfaatan gula darah mandiri. “Selama bulan Ramadhan, diabetisi diperbolehkan berpuasa dengan syarat diabetes terkendali dan diabetes tidak komplikasi berat,” kata Adhiartha.

Dia menyatakan, para diabetisi yang melakukan puasa diharuskan mengatur makanan selama puasa. Hal itu dikarenakan dapat mencegah hipoglikemi, hiperglikemi, dehidrasi, menormalkan berat badan, dan dapat beraktivitas seperti biasa.

“Dengan mengatur makanan selama puasa diharapkan diakhir bulan Ramadhan kadar gula darah tekanan darah, kolesterol, dan berat badan menjadi terkendali dan mengurangi risiko komplikasi,” kata Adhiartha.

Dr Atik Purwitaningrum,SpoG menjelaskan tips berpuasa yang sehat dan aman bagi ibu hamil selama bulan Ramadhan. “Ibu hamil boleh berpuasa penuh selama bulan Ramadhan apabila kondisi kesehatan ibu dan janin baik,” katanyauasa sehat

Pada prinsipnya, kata Atik, kebutuhan asupan ibu hamil adalah 2.200-2.300 kalori per hari. Selama kebutuhan tersebut terpenuhi, tidak ada kendala yang berarti. Sebelum berpuasa, ada baiknya ibu hamil berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter untuk memastikan kondisi kesehatannya.

Kedua dokter itu berbicara dalam diskusi media bertema tema ‘Berpuasa Sehat untuk Penderita Diabetes Melitus dan Ibu Hamil’. Seminar digelar untuk memperingati Hari Diabetes Nasional setiap tanggal 12 Juli dan menyambut bulan Ramadhan, Siloam Hospitals Lippo Cikarang, kemarin.

 

 

sumber: Republika Online

 

Menyegerakan Amal

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghazali menukil ungkapan Al-Mandzir, “Aku mendengar Malik bin Dinar berkata kepada dirinya, ‘Celakalah kamu. Bersegeralah sebelum urusan datang kepadamu. Celakalah kamu. Bersegeralah sebelum urusan datang kepadamu.’ Sehingga, ia mengulangi yang demikian itu sampai 60 kali yang aku dengarnya dan ia tidak melihatku.”

Tindakan Malik bin Dinar tentu didorong oleh pemahaman yang kuat terhadap perintah Allah Ta’ala agar bersegera dalam beramal (QS Ali Imran: 133-134 dan QS al-Hadid: 21). Kata “segera” berarti tidak bisa dipisahkan dari waktu.  

Ibn Al-Jauzi dalam bukunya Shaid Al-Khatir mengatakan, “Seorang manusia mesti mengetahui nilai dan kedudukan waktu agar ia tak menyia-nyiakan sesaat pun darinya untuk sesuatu yang tak bisa mendekatkan diri kepada Allah.” 

Pemahaman mendalam terhadap nilai dan kedudukan waktu menjadikan ulama terdahulu amat selektif dalam memanfaatkan nikmat yang menurut Rasulullah kebanyakan manusia tertipu, yakni waktu. Fudhail bin Iyadh berkata, “Aku kenal orang yang menghitung perkataannya dari minggu ke minggu.”

Kemudian ada Dawud al-Tha’i, meski sedang membuat adonan roti, lisannya tak pernah kering dari ayat-ayat Alquran. “Antara membuat adonan dan makan roti aku telah berhasil membaca 50 ayat.”

Suatu hari seseorang berkata kepada Amir bin Abd Qais (55 H), murid dari Abu Musa al-Asy’ari, “Berhentilah, aku ingin berbicara kepada Anda!” Amir bin Abd Qais pun menjawab, “Coba hentikan matahari.”

Sikap Amir bin Abd Qais itu menunjukkan bahwa dirinya telah menetapkan beragam amal di setiap pergantian waktu sehingga menjadi tidak mungkin dirinya meluangkan waktu kepada orang yang secara tiba-tiba memintanya untuk berhenti tanpa niat dan tujuan yang jelas.

Kebanyakan manusia memang cukup longgar dalam menggunakan waktu, terutama pada malam hari. Kebanyakan menghabiskan waktu dengan mengobrol yang kurang, bahkan tidak berguna sehingga tidur sangat larut yang menjadikan sebagian waktu siang habis untuk tidur atau berfoya-foya di keramaian. Dirinya seakan lupa bahwa kematian bisa datang kapan saja.

Seorang pemuda yang gagah dan memiliki warisan harta melimpah tetapi tidak pernah bersegera dalam amal saleh justru tenggelam dalam beragam jenis kemaksiatan dan terus asyik menunda-nunda tobat. Sangat mungkin mengalami kebinasaan bersebab ajal yang datang tiba-tiba.

Oleh karena itu, Islam mengutuk kebiasaan menunda-nunda suatu pekerjaan ataupun menghafal, mempelajari, memahami dan menguasai ilmu. Sebab, waktu akan habis bila ditunda-tunda dan tidak ada lagi cita-cita, kecuali tinggal cerita. Benarlah pepatah Arab yang mengatakan, “Waktu itu bagaikan pedang, jika kau tak memanfaatkannya, ia akan menebasmu.”

Lantas, jenis amal yang mana yang mesti disegerakan? Mengacu pada ayat 134 surah Ali Imran, amalan tersebut meliputi: menafkahkan harta baik dalam kondisi lapang maupun sempit, menahan amarah, dan memaafkan kesalahan orang.

Dalam soal menafkahkan harta di jalan Allah, Sayyidah Aisyah RA sangat patut kita teladani. Suatu waktu Ibn Zubari memberikan uang sebesar 100 ribu dirham. Aisyah menerima uang itu dan langsung membagi-bagikannya kepada fakir miskin. Sampai-sampai, Ummu Dzarrah berkata, “Wahai Ummul Mukminin, tidak bisakah engkau membelikan kami sepotong daging satu dirham saja?”

Aisyah menjawab, “Jangan keras-keras kepadaku. Andai engkau mengingatkan aku, niscaya aku akan membelinya.” Aisyah RA benar-benar tidak mau ketinggalan momentum sehingga jika ada kesempatan bersedekah, hal itu akan dilakukan tidak saja dengan bersegera, tetapi juga seluruhnya disedekahkan.

Karena itu, terhadap amal saleh bersegeralah. Pesan Nabi, “Ambillah kesempatan lima sebelum lima, yaitu mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, kekosonganmu sebelum kesibukanmu, dan hidupmu sebelum matimu” (HR Ibn Abi al-Dunya). Insya Allah surga seluas langit dan bumi sedang berhias menanti penuh cinta kehadiran kita. Wallahu a’lam.

 Oleh Imam Nawawi

Pemberi Utang

Permasalahan dan kesulitan ekonomitak jarang membuat seseorang merasa buntu dan kehilangan arah untuk menemukan jalan keluar. Hingga pada sampai di titik kesulitan materi yang teramat sangat, akhirnya banyak diantara kita yang memilih untuk berutang kepada sesama. Tidak salah memang.

Berhutang diperbolehkkan dalam Islam, bahkan karena tak menghendaki adanya orang yang dirugikan karena praktik hutang piutang, Allah merumuskan adab-adab berutang yang tertuang dalam penghujung surah al-Baqarah ayat 282 bahwa setiap praktik hutang piutang harus dicatat dan disaksikan.

Pencatatan dan persaksian atas transaksi utang piutang dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan dan permusuhan yang akan sangat mungkin terjadi. Dengan pencatatan dan persaksian pula, pengutang ingat kembali jumlah utang yang harus ia bayar jika suatu waktu ia lupa. Namun bagaimana, jika yang berutang tidak mampu atau bahkan fenomena yang sering terjadi adalah justeru yang berhutang lebih kasar dan kejam daripada si pemberi hutang?

Karenanya, diperlukan kelapangan hati dan jiwa ketika kita memutuskan untuk memberikan pinjaman kepada orang lain.Pemberi utang juga harus mengetahui betul apakah yang diutangi betul-betul belum mampu membayar, pura-pura tidak mampu atau bahkan tak ada niat untuk melunasi utangnya. Terkait menghadapi orang yang tidak mampu membayar, maka Alquran menganjurkan kita untuk memberi kelapangan.

“Dan jika dia (penghutang) memiliki kesukaran maka berilah penangguhan sampai waktu lapang (mampu membayarnya), dan apabila kalian menyedekahkannya maka itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui,” (Qs Al-Baqarah: 280)

Begitu santunnya anjuran Alquran dalam memberikan pedoman utang-piutang. Selain si pemberi utang dianjurkan untuk memberikan kelapangan (maysarah—kelonggaran waktu atau kesempatan untuk membayar), pemberi hutang juga harus siap jika pada akhirnya harus menyedekahkan uang yang dipinjamnya ketika yang berhutang, akhirnya tidak sanggup membayarnya.

Pertanyaannya; sudah sanggupkah kita mengikuti tuntunan Alquran? Andai saja kita memiliki uang 10 juta lalu dipinjamkan kepada 10 orang dan kesemuanya itu tidak mampu membayar utangnya, mampukah kita ikhlas?

Ketika Hudzaifah dan Abu Mas’ud ra sedang berkumpul, Hudzaifah ra berkata, “Ada seorang laki-laki yang meninggal dan menemui Tuhannya, maka Tuhannya berkata kepadanya, “Apa yang telah kamu perbuat?” Dia menjawab, “Aku belum pernah berbuat kebaikan, melainkan dahulu aku adalah seseorang yang memiliki harta benda. Dengan harta yang kupunya itulah aku biasa memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkan, lalu aku sering memberikan kemudahan dalam pembayaran. Apabila seseorang tidak mampu membayarnya, maka aku membebaskan hutang tersebut,” Maka Allah Swt berfirman, “Berilah kelapangan kepadanya,” Abu Mas’ud berkata, seperti itulah aku mendengar Rasulullah Saw bersabda,” (HR Muslim, Shahih Muslim, Juz 3, No Hadits 1560)

Demikianlah, tidak ada satu perbuatanpun yang luput dari penjagaan Allah. Berapapun nominal yang telah kita keluarkan (pinjamkan) dengan ikhlas, semua itu pasti akan terbalas. Cukup balasan di akhirat sajalah segala amal kebaikan orang-orang baik itu diberikan.

Allahu a’lam

Oleh: Ina Salma Febriany

sumber: Republika Online

Tips Buya Hamka Menyelamatkan Diri dari Ganasnya Siksaan Penjara

Tips Buya Hamka Menyelamatkan Diri dari Ganasnya Siksaan Penjara. Cukuplah Allah sebagai Pelindung!!

 

Betapapun beratnya ujian hidup, seorang muslim harus tetap bertauhid kepada Allah Ta’ala. Sadisnya siksaan penjara dan ganasnya intimidasi rezim yang mengancam nyawa sekalipun, tak boleh membuat para aktivis, pejuang dan mujahid Islam mengorbankan aqidahnya. Dalam kondisi nyawa terancam diujung bedil maupun setrum, harus diteguhkan dalam jiwa bahwa “Cukuplah Allah sebagai Pelindung!!”

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ وَيُخَوِّفُونَكَ بِالَّذِينَ مِنْ دُونِهِ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ

“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya. Dan mereka mempertakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah? Dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak seorangpun pemberi petunjuk baginya” (Qs Az-Zumar 36).

Kekuatan aqidah seperti itu ditulis Buya Prof Dr Yuhanar Ilyas dalam rubrik Khazanah REPUBLIKA, berikut ikhtisarnya:

Saat menulis Tafsir Al-Azhar Surah Az-Zumar ayat 36 Buya Hamka memasukkan beberapa pengalamannya saat berada di penjara.

“Bukankah Allah cukup sebagai Pelindung hamba-Nya…” Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi hamba Allah yang beriman dan Allah jadi pelindung sejati. Hamka menceritakan pengalaman beliau dalam tahanan di Sukabumi, akhir Maret 1964, sebagai berikut:

…Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di tahanan, Buya Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Hamka tetap dengan pendirian, bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya…

“Inspektur polisi yang memeriksa sambil memaksa agar saya mengakui suatu kesalahan yang difitnahkan ke atas diri, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas lalu saya menyangka bahwa itu adalah sebuah tape recorder buat menyadap pengakuan saya.

Dia masuk dengan muka garang sebagai kebiasaan selama ini. Dan, saya menunggu dengan penuh tawakal kepada Tuhan dan memohon kekuatan kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang garang itu melihat saya dan saya sambut dengan sikap tenang pula, tiba-tiba kegarangan itu mulai menurun.

Setelah menanyakan apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan lain tentang penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya dan dia berkata, “Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah dahulu malam ini,” ujarnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali.

Setelah dia agak jauh, masuklah polisi muda (agen polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang usianya baru kira-kira 25 tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan. Setelah jelas tidak ada orang yang melihat, dia bersalam dengan saya sambil menangis, diciumnya tangan saya, lalu dia berkata, “Alhamdulillah bapak selamat! Alhamdulillah!”

“Mengapa,” tanya saya.

“Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur M itu adalah setrum. Kalau dikontakkan ke badan Bapak, Bapak bisa pingsan dan kalau sampai maksimum bisa mati,” jawabnya dengan berlinang air mata.

“Bapak sangka tape recorder,” jawabku sedikit tersirap, tetapi saya bertambah ingat kepada Tuhan.

“Moga-moga Allah memelihara diri Bapak. Ah! Bapak orang baik,” kata anak itu.

Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di tahanan, Buya Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Termasuk ketika Inspektur M datang membawa bungkusan malam itu, Hamka tetap dengan pendirian. Bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya. [AW/Infaq Dakwah Center]

 

sumber:Panji Mas

Waspadai Hadis Palsu Jelang Ramadhan

Menjelang Ramadhan, bermunculan kembali berbagai hadis untuk menyemangati umat Islam menyambut bulan suci tersebut. Namun umat Muslim harus berhati-hati, sebab banyak hadis palsu tentang Ramadhan yang beredar di masyarakat. Bahkan hadis-hadis yang tak bisa dipertanggungjawabkan keshahihannya itu tak jarang sangat populer hingga menjadi dalil.

Salah satu hadis yang perlu ditinjau kembali keshahihannya adalah hadis yang menjelaskan tiap-tiap bagian Ramadhan memiliki ‘nilai’nya sendiri-sendiri. Tidak asing, mendengar atau membaca hadis yang memaparkan awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahan bulan Ramadhan maghfirah, sedangkan di akhir bulan suci tersebut merupakan pembebasan Muslim dari api neraka. 

Arti dari hadis tersebut adalah: “Permulaan bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya maghfirah, dan penghujungnya merupakan pembebasan dari neraka.”

Mantan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta yang juga pakar hadis, Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA dalam bukunya berjudul ‘Hadis-hadis Bermasalah’ menjelaskan, hadis tersebut diriwayatkan beberapa orang. Di antaranya oleh Al-Uqaili dalam kitab ‘Al-Dhuafa’ dan Ibn ‘Ady Al-Khatib Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad.

Prof Ali Yaqub menjelaskan, menurut Imam al-Suyuti, hadis ini nilainya dha’if (lemah), dan menurut ahli hadis masa kini, Syeikh Muhammad Nashir Al-Din Al-Albani hadis ini adalah munkar. Pernyataan Al-Albani ini tidak berlawanan dengan pernyataan Al-Suyuti, karena hadis munkar adalah bagian dari hadis dhaif.

Hadis tersebut dianggap lemah karena adanya dua periwayat hadis atau rawi yang diketahui meriwayatkan hadis munkar dan palsu. Mereka adalah Sallam bin Sawwar, yang dikenal hadis-hadis riwayatnya adalah munkar atau tidak sesuai dengan apa yang pernah difirmankan oleh Allah SWT. Kemudian, rawi lainnya yang meriwayatkan hadis tersebut adalah Maslamah bin Al-Shalt. Al-Shalt dikenal sebagai periwayat hadis semi palsu, atau matruk.

Adanya kedua nama rawi tersebut sebagai periwayat hadis ini mengisyaratkan apa yang menjadi kelemahan shahihnya hadis yang membagi Ramahdan menjadi tiga bagian tersebut. Karena ada Sawwar dan Al-Shalt, bisa dikategorikan hadis itu munkar atau palsu.

sumber: Republika ONline

Hakikat Zuhud Rasulullah

Rasulullah SAW bersabda, “Melakukan zuhud dalam kehidupan dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula dengan memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia itu ialah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada apa yang ada pada Allah. Dan hendaknya engkau bergembira memperoleh pahala musibah yang sedang menimpamu walaupun musibah itu akan tetap menimpamu.” (HR. Ahmad). 

Menurut Imam Ali ra, zuhud adalah amal yang lebih utama setelah mengenal Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah SAW bersabda, “Zuhudlah kamu di dunia, niscaya Allah mencintaimu.” 

Zuhud terhadap dunia bukan berarti terlarang memiliki harta dunia dan kekayaan lainnya. Zuhud berarti lebih yakin dengan yang ada di tangan Allah daripada yang ada di tangan makhluk. Bagi orang zuhud, ketentraman tidak ditentukan banyaknya harta. Baginya, ketentraman adalah keyakinan akan janji dan jaminan Allah. Allah Mahatahu akan segala kebutuhan makhluk-Nya. 

Suatu ketika ada seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW Dia menceritakan keadaan suaminya, yang jika malam hari ia tidak pernah tidur karena ingin beribadah. Hampir tiap hari dia juga selalu shaum. Rasul SAW kemudian memanggil sang suami dan mengklarifikasi hal itu. Sang suami menjawab: “Ya Rasulullah saya melakukan semua itu karena merasa bahwa ibadah saya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan ibadahmu”. 

Rasulullah SAW menimpali perkataan laki-laki itu, “Ketahuilah, bahwa saya ini adalah orang yang paling takwa di antara kamu sekalian. Tapi di malam hari, saya ada waktu untuk tidur dan ada pula untuk ibadah. Di siang hari, saya ada waktu buka dan ada waktu shaum”. Dari Hadis di atas, kita lihat bahwa zuhud tidak berarti meninggalkan dunia sama sekali. Dunia tetap dicari, tapi tidak sampai terbuai olehnya. Seorang sufi mengatakan, orang zuhud adalah orang yang menyikapi dunia hanya sebatas tangannya saja. Maka dari itu, dia akan lebih berhati-hati, cermat dan tidak sampai diperbudak oleh dunia.