Negara Dinilai Abaikan Pendidikan Madrasah

Pendidikan madrasah selama ini dinilai belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Ketua Fraksi PKB DPR RI Ida Fauziyah pun mempertanyakan kehadiran negara dalam memberdayakan madrasah.

Ia mencontohkan, madrasah di Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, itu umurnya sudah satu abad. Usia yang melebihi kemerdekaan bangsa Indonesia sendiri.

“Selama ini 94 persen pendidikan madrasah dikeola oleh masyarakat, maka negara sangat beruntung dimana upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara diambil-alih oleh masyarakat, tanpa bantuan negara,” kata Ida Fauziah, dalam sebuah diskusi, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (22/6).

Menurut Ida, pendidikan madrasah itu dalam kondisi memprihatinkan, atau tidak hidup tapi juga tidak mati. Karea itu, ia meminta pemerintah memberikan kepedulian lebih terhadapmadrasah, bukan hanya kepada sekolah kenvensional saja.

 

 

sumber: Republika Online

Nuzulul Quran Bukan Tanggal 17 Ramadan?

PADA bulan Ramadan banyak umat Islam yang menggelar acara peringatan Nuzulul Quran. Untuk itu perlu kiranya kali ini menyoroti masalah Nuzulul Quran, hukum memperingatinya dan fungsi utama diturunkannya Alquran.

Syekh Shofiyur Rohman Al-Mubarakfuriy (penulis sirah nabawiyah) menyatakan bahwa para ahli sejarah banyak berbeda pendapat tentang kapan waktu pertama kali diturunkannya Al-Qur’an, pada bulan apa dan tanggal berapa, paling tidak ada tiga pendapat:

Pertama : Pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Quran itu ada pada bulan Rabiul Awwal,
Kedua : Pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Quran itu pada bulan Rajab,
Ketiga : Pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Quran itu pada bulan Ramadan.

Yang berpendapat pada bulan Rabiul Awwal pecah menjadi tiga, ada yang mengatakan awal Rabiul Awwal, ada yang mengatakan tanggal 8 Rabiul Awwal dan ada pula yang mengatakan tanggal 18 Rabiul Awwal (yang terakhir ini diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallaahu anhu).

Kemudian yang berpendapat pada bulan Rajab terpecah menjadi dua. Ada yang mengatakan tanggal 17 dan ada yang mengatakan tanggal 27 Rajab (hal ini diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu-lihat Mukhtashar Siratir Rasul, Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdy, hal. 75-).

Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam Fathul Bari berkata bahwa: Imam Al-Baihaqi telah mengisahkan bahwa masa wahyu mimpi adalah 6 (enam) bulan.

Maka berdasarkan kisah ini permulaan kenabian dimulai dengan mimpi shalihah (yang benar) yang terjadi pada bulan kelahirannya yaitu bulan Rabiul Awwal ketika usia beliau genap 40 tahun. Kemudian permulaan wahyu yaqzhah (dalam keadaan terjaga) dimulai pada bulan Ramadhan.

Sesungguhnya kita menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an ada pada bulan Ramadhan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an” (QS Al-Baqarah: 185).

Dan Allah berfirman, artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan” (QS Al-Qadr: 1).

Seperti yang telah kita maklumi bahwa Lailatul Qadr itu ada pada bulan Ramadan yaitu malam yang dimaksudkan dalam firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan” (QS Ad-Dukhaan: 3).

Dan karena menyepinya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam di gua Hira’ adalah pada bulan Ramadan, dan kejadian turunnya Jibril adalah di dalam gua Hira’.

Jadi Nuzulul Quran ada pada bulan Ramadan, pada hari Senin, sebab semua ahli sejarah atau sebagian besar mereka sepakat bahwa diutusnya beliau menjadi Nabi adalah pada hari Senin.

Hal ini sangat kuat karena Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ketika ditanya tentang puasa Senin beliau menjawab: “Di dalamya aku dilahirkan dan di dalamnya diturunkan (wahyu) atasku” (HR. Muslim).

Dalam sebuah lafadz dikatakan: “Itu adalah hari dimana aku dilahirkan dan hari dimana aku diutus atau diturunkan (wahyu) atasku” (HR. Muslim, Ahmad, Baihaqi dan Al-Hakim).

Akan tetapi pendapat ketiga inipun pecah menjadi lima, ada yang mengatakan tanggal 7 (hari Senin), ada yang mengatakan tanggal 14 (hari Senin), ada yang mengatakan tanggal 17 (hari Kamis), ada yang mengatakan tanggal 21 (hari Senin) dan ada yang mengtakan tanggal 24 (hari Kamis).

Pendapat “17 Ramadhan” diriwayatkan dari sahabat Al-Bara’ bin Azib dan dipilih oleh Ibnu Ishaq, kemudian oleh Ustadz Muhammad Huzhari Bik. Pendapat “21 Ramadhan” dipilih oleh Syekh Al-Mubarakfuriy, karena Lailatul Qadr ada pada malam ganjil, sedangkan hari Senin pada tahun itu adalah tanggal 7, 14, 21 dan 28.

Sedangkan pendapat “24 Ramadhan” diriwayatkan dari Aisyah, Jabir dan Watsilah bin Asqo’, dan dipilih oleh Ibnu Hajar Al-Haitamiy, ia mengatakan: “Ini sangat kuat dari segi riwayat”.

Karena itu memperingati peristiwa turunnya Alquran pertama kali tidaklah penting, sebab di samping hal itu tidak dicontohkan oleh Rasulullah, para sahabatnya dan para tabi’in, Alquran diturunkan tidaklah untuk diperingati tetapi untuk memperingatkan kita.

Peristiwa Nuzulul Qur’an bukanlah diharapkan agar dijadikan sebagai hari raya oleh umat ini, yang dirayakan setiap tahun, karena Islam bukanlah agama perayaan sebagaimana halnya agama-agama lain.”

Islam tidak memerlukan polesan, tidak perlu dibungkus dengan perayaan-perayaan yang membuat orang-orang tertarik kepadanya. Karena itu pesta hari raya tahunan di dalam Islam hanya ada dua yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

Jadi turunnya Alquran bukan untuk diperingati setiap tahunnya, melainkan untuk memperingatkan kita setiap saat. Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan, artinya:

“Alif Lam Mim Shaad. Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir) dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman” (QS Al-A’raaf: 1-2).

[Abu Hamzah As-Sanuwi]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2304734/nuzulul-quran-bukan-tanggal-17-ramadan#sthash.eb25qQFO.dpuf

Tiga Golongan Manusia

Ikrimah bin Abu Jahal. Jika menyebutkan nasabnya, orang akan mengira jika ia adalah salah satu musuh Allah. Abu Jahal tak kurang perbuatan jahatnya dalam menghalangi Rasulullah SAW. Anak yang tumbuh dalam suasana kebencian terhadap Islam, bisa jadi terdampak dan memiliki kebencian yang sama. Itu yang terjadi pada sosok Ikrimah, pada mulanya.

Seperti halnya ayahnya, Ikrimah adalah penentang Islam ketika dakwah mulai merekah di Makkah. Cap musuh Allah disematkan kepadanya bersama sang ayah.Saat Fathul Makkah, semua kaum Quraisy Makkah menyerah tanpa syarat termasuk pemimpin mereka Abu Sufyan.

Namun tidak begitu dengan Ikrimah. Jiwa pemberontakannya begitu tinggi. Meski ia sadar kalah jumlah, ia terus mengobarkan perlawanan terhadap kaum Muslimin. Ia menyerang kavaleri pasukan Rasulullah. Ikrimah terdesak dan akhirnya kabur hingga Yaman. Saat penduduk Makkah terbuka hatinya menerima Islam, Ikrimah justru masih berkutat dengan kegelapan.

Hidayah, memang hanya milik Allah SWT. Maka sungguh sejatinya tak pantas bagi kita mencap seseorang adalah musuh abadi dakwah. Kita, manusia yang amat lemah ini, tak paham bagaimana skenario perjalanan hidup seseorang. Dan Ikrimah membuktikannya. Cahaya Islam merasuk ke dadanya, saat ia justru berada dalam puncak permusuhan terhadap Islam.

Ikrimah membuktikan imannya tak sekadar kedok untuk menyelamatkan nyawa. Ia, yang tadinya amat bernafsu membunuh kaum Muslimin, kini menjadi sosok yang rela terbunuh demi tegaknya Islam. Pengorbanan nyawa adalah pengorbanan yang amat tinggi.

Sosok kepahlawanannya muncul saat perang Yarmuk. Saat semua usai, tergeletaklah tiga sahabat yang terluka. Al-Harits bin Hisyam, Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan Ikrimah bin Abu Jahal. Ketiganya memerlukan air demi bertahan. Lalu seorang sahabat datang menawarkan air.

Ikrimah yang hendak diberi minum melihat Ayyasy lebih membutuhkan. Ia pun memerintahkan agar Ayyasy diberi minum terlebih dahulu. Saat Ayyasy hendak diberi minum, ia melihat Harits lebih membutuhkan. Maka sang pembawa air bergerak memberi minum. Belum sempat memberi minum Harits, ketiganya syahid tanpa ada setetes air yang singgah ke tubuh mereka.

Itulah itsar. Puncak tertinggi ukhuwah. Tidak ada basa-basi, yang ada hanya kejujuran. Sebuah kejujuran dalam pembuktian iman. Ikrimah, telah melesat dari seseorang yang berada dalam titik nadir, kini terbang mengangkasa menjemput janji bersama bidadari. Hanya iman yang jujur yang mampu menggerakkan pengorbanan setinggi itu. Dan bagi mereka yang diberikan hidayah, bukan tak mungkin Allah memberikan percepatan-percepatan iman.

Kita seharusnya iri terhadap mereka yang diberikan hidayah oleh Allah SWT. Mungkin mereka menerima Islam belakangan. Mungkin saat ini mereka masih mengeja huruf hijaiyah demi azzam bisa membaca Alquran. Mungkin saat ini shalat mereka masih belum sempurna. Mungkin secara kasat mata, mereka orang yang butuh pertolongan.

Namun bisa jadi, Allah hendak memuliakan mereka dengan pemahaman Islam yang amat sadar. Islam merasuk ke dalam dada mereka seiring dengan pemahaman yang kuat. Iman menancap di nurani mereka jauh lebih kokoh karena hasil dari sebuah pencarian panjang. Mungkin kita seharusnya pantas iri. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada seorang pun dapat memberinya petunjuk. Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak seorang pun dapat menyesatkannya….” (QS az-Zumar [39]: 36-37).

 

 

sumber: Republika Online

Hewan pun Berpuasa

Bukan hanya umat Muhammad yang berpuasa. Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Muhammad, umat Nabi yang lain diwajibkan berpuasa.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulan. Bahkan, nabi Adam alaihissalam diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu. “Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim”. (Al-Baqarah: 35).

Begitu pula Nabi Musa bersama kaumnya berpuasa empat puluh hari. Juga Nabi Isa. Dalam Surah Maryam dinyatakan Nabi Zakaria dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi Daud alaihissalamsehari berpuasa dan sehari berbuka setiap tahun. Nabi Muhammad saw.  sebelum diangkat menjadi Rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Malah masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura.

Begitu pula, binatang dan tumbuh-tumbuhan melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya.

Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Ular pun berpuasa. Bagi ular, untuk menjaga struktur kulit, ia harus puasa agar tetap keras agar tetap terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak, ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga.

Jika berpuasa merupakan sunnah thobi’iyyah (sunnah kehidupan) sebagai langkah untuk tetap survive, mengapa manusia tidak? Terlebih lagi jika kewajiban puasa diembankan kepada umat Islam, tentu saja memikili makna filosofis dan hikmah tersendiri.

Karena, ternyata puasa bukan hanya menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan merefleksikan diri untuk turut hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepa selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan. Rahasia-rahasia tersebut ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat 183 surah al-Baqarah.

Allah SWT memerintahkan:  “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah:183).

Allah SWT mengakhiri ayat tersebut dengan “agar kalian bertakwa”. Syekh Musthafa Shodiq al-Rafi’ie (w. 1356 H/1937 M) dalam bukunya wahy al-Qalam mentakwil kata “takwa” dengan ittiqa, yakni memproteksi diri dari segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama, dan menjaga humanisme dan kodrat manusia dari perilaku layaknya binatang. Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk yang merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang atau nanti. Generasi kini atau esok.Wallahu a’lam.

Oleh: Taufiq Munir

sumber: Republika Online

Puasa Meneguhkan dan Menguatkan Ketauhidan

“ISLAM dibangun di atas lima perkara: syahadat tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Keislaman seorang hamba tidaklah sempurna kecuali dengan melaksanakan semua asas, tiang, dan rukun islam yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadis ini. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam- mengumpamakan asas dan tiang ini dengan bangunan yang besar dan kokoh dimana tidaklah bangunan ini dapat berdiri tegak kecuali dengan adanya pondasi-pondasi, jika tidak ada pondasi-pondasi tersebut maka bangunan akan rubuh menimpa penghuninya.

Sedangkan amalan-amalan lainnya yang diwajibkan di dalam Islam adalah pelengkap dari pondasi tersebut sebagaimana bangunan memiliki pelengkap yang seorang hamba juga membutuhkan pelengkap tersebut. Dan empat rukun Islam lainnya yang disebutkan di dalam hadis di atas seluruhnya dibangun di atas pondasi syahadat karena Allah tidak akan menerima amal seseorang sedikitpun yang tidak dilandasi dengan pondasi syahadat.

Syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah merupakan pondasi islam yang paling agung. Karena dengan adanya pondasi tersebut terjaga darah dan harta. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam- bersabda (yang artinya):

“Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia sampai mereka mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukannya maka mereka telah menjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan alasan yang dibenarkan dalam Islam. Adapun perhitungan atas mereka itu adalah urusan Allah.” (HR. Muslim). Dengan adanya pondasi syahadat Allah menerima amal-amal ibadah kita dan dengan adanya pondasi syahadat seseorang masuk dapat ke dalam surga dan selamat dari api neraka. Allah Taala berfirman (yang artinya):

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri darinya maka tidak akan dibukakan untuk mereka pintu-pintu langit dan tidak akan masuk ke dalam surga sampai unta bisa masuk ke dalam lubang jarum” (QS. al-Araaf: 40). Dan dengan adanya pondasi syahadat dosa-dosa diampuni seberapa pun besarnya.

Makna syahadat laa ilaaha illallah adalah menerima dan tunduk serta patuh kepada Allah dengan melaksanakan peribadatan secara jujur dan berlepas diri dari peribadatan kepada segala sesuatu selain-Nya karena Dia adalah sesembahan yang haq dan segala sesembahan selain-Nya adalah bathil. Sedangkan makna syahadat muhammadur rasulullah adalah bersaksi bahwa beliau diutus dari sisi Allah, wajib mencintainya, mentaatinya dalam segala hal yang beliau perintahkan, dan tidak mendahulukan perkataan seorang pun dari perkataan beliau.

Kalimat tauhid berarti memberikan pemuliaan dan penghormatan terhadap syariat Allah. Allah berfirman (yang artinya): “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)” (QS. Al-Araaf: 3).

Dalam ayat lain Allah juga berfirman (yang artinya): “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu” (QS. Ar-Ruum: 30).

Kalimat tauhid berarti berlepas diri dari segala bentuk perbuatan-perbuatan jahiliyah. Allah berfirman (yang artinya): “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. al-Maaidah: 50).

Dan berlepas diri dari semua agama selain agama islam. Allah berfirman (yang artinya):”Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali-Imran: 85).

Dan sungguh Alquran dari awal hingga akhirnya, isinya menerangkan makna syahadat laa ilaaha illallah disertai dengan penafian terhadap kesyirikan dan derivat-derivatnya, dan menetapkan keikhlasan (kemurnian ibadah) serta syariat-syariatnya. Maka semua perkataan dan amalan saleh yang dicintai dan diridai oleh Allah semuanya adalah kandungan dari kalimat ikhlas. Karena penunjukan kalimat ikhlas atas agama ini seluruhnya bisa berupa penunjukan muthabiqah, penunjukan tadhammun, maupun penunjukan iltizam. Dan sesungguhnya Allah menamakan kalimat tauhid ini dengan kalimat takwa.

Takwa adalah engkau menjaga dirimu dari murka dan azab Allah dengan meninggalkan segala bentuk kesyirikan dan kemaksiatan, dan mengikhlaskan segala bentuk peribadatan hanya kepada Allah semata, serta mengikuti segala apa yang diperintahkan-Nya sebagaimana perkataan seorang tabiin Thalq bin Habib rahimahullah-, “(taqwa adalah) engkau melaksanakan ketaatan kepada Allah diatas cahaya petunjuk dari Allah karena mengharap pahala dari Allah, dan engkau meninggalkan perbuatan maksiat kepada Allah diatas cahaya petunjuk dari Allah karena takut terhadap azab Allah”.

Dan tauhid adalah makna dari syahadat laa ilaaha illallah yang berarti seseorang tidak beribadah melainkan hanya kepada Allah semata, tidak kepada malaikat yang didekatkan dan tidak pula kepada Nabi yang diutus, terlebih lagi kepada orang-orang selain mereka.

Dan Al-Ilaah (sesembahan) adalah sesuatu yang ditaati dan tidak bermaksiat kepadanya karena takut (yang disertai rasa hormat pent) kepadanya, memuliakannya, mencintainya, takut kepadanya, berharap kepadanya, bertawakkal kepadanya, meminta kepadanya, dan berdoa kepadanya. Semua perbuatan-perbuatan itu tidaklah pantas ditujukan melainkan hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Barangsiapa yang menujukan sedikit saja dari perbuatan-perbuatan di atas kepada makhluk dimana perbuatan-perbuatan tersebut hanya boleh ditujukan kepada Allah maka berarti telah timbul satu noda kesyirikan di dalam keikhlasannya terhadap syahadat laa ilaaha illallah, dan cacat di dalam ketauhidannya, serta ada unsur peribadatan kepada makhluk sesuai dengan besarnya perbuatan kesyirikan yang ada padanya. Itu semua termasuk dari cabang-cabang kesyirikan.

Allah Azza wa Jalla berfirman (yang artinya):”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. an-Nisaa: 48).

Maka Allah Taala mengabarkan bahwasanya Dia tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik, yaitu tidak mengampuni seorang hamba yang menemui-Nya di akhirat dalam keadaan dia membawa dosa syirik. Dan Allah mengampuni dosa-dosa selain syirik bagi hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki.

Tauhid ini adalah awal dan akhir dari ajaran agama, lahir dan batinya, dan tauhid ini adalah awal dan akhir dari dakwah para rasul. Tauhid ini adalah makna dari syahadat laa ilaaha illallah, karena sesunggunya al-Ilaah (sesembahan) adalah sesuatu yang disembah dan ditujukan peribadatan kepadanya berupa rasa cinta, takut, sikap pemuliaan, pengagungan, dan semua bentuk-bentuk peribadatan lainnya.

Tauhid merupakan asas yang paling agung yang dinyatakan dan dijelaskan oleh al-Quran dengan bukti-bukti yang nyata. Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah merupakan asas yang paling agung secara mutlak, asas yang paling sempurna, paling utama, dan paling wajib keberadaannya bagi kemaslahatan umat manusia. Untuk tujuan tauhid ini Allah menciptakan jin dan manusia, Allah menciptakan seluruh makhluk, dan menetapkan berbagai syariat demi tegaknya tauhid ini. Dan dengan adanya tauhid ini maka akan terwujud kemaslahatan dan dengan tidak adanya maka akan muncul keburukan dan kerusakan.

Maka penjelasan atas masalah ini adalah bahwa dosa syirik adalah dosa yang paling besar karena Allah Taala mengabarkan bahwa Dia tidak akan mengampuni dosa syirik kecuali dengan taubat. Adapun dosa-dosa selain syirik berada dibawah kehendak Allah, jika Allah berkehendak maka Dia akan mengampuninya tanpa taubat dan jika Allah berkendak maka Dia akan mengazabnya.

Wajib bagi seorang hamba untuk benar-benar takut dari terjerumus ke dalam dosa syirik karena begitu besarnya dosa ini di sisi Allah. Sesungguhnya demikian keadaannya karena syirik merupakan perbuatan keji yang paling keji dan bentuk kedzoliman yang paling dzolim sebab inti dari perbuatan syirik adalah mencacati Allah Rabb semesta alam dan memalingkan hak mengikhlaskan ibadah kepada selain-Nya, dan karena syirik bertentangan dengan tujuan diciptakannya jin dan manusia dan bertentangan dengan perintah untuk menafikan syirik.

Perbuatan syirik merupakan bentuk penentangan yang paling besar kepada Allah Rabb semesta alam dan bentuk kesombongan dari ketaatan kepada-Nya, dan bertentangan dengan sikap menghinakan diri dan ketundukan terhadap perintah-perintah-Nya.

Maka hakikat tauhid adalah kita beribadah hanya kepada Allah semata, dan tidak melihat kecuali kepada-Nya, tidak takut kecuali hanya kepada-Nya, tidak bertaqwa kecuali hanya kepada-Nya, tidak bertawakkal kecuali hanya kepada-Nya, tidak kepada seorang makhluk pun, dan tidak menjadikan malaikat dan para nabi sebagai Rabb selain-Nya.

Ketahuilah semoga Allah merahmatiku dan kalian- sesungguhnya suatu ibadah tidak sah dan tidak akan diterima oleh Allah kecuali dengan asas tauhid, maka tidak akan diterima puasa, sholat, zakat, dan haji, kecuali dari seorang hamba telah merealisasikan tauhid dan membentengi dirinya dari menjadikan segala sesuatu selain Allah sebagai tandingan dan dari berbuat syirik kepada Allah.

 

 

[Islam Mahmud Dirbalah]

– See more at: http://ramadhan.inilah.com/read/detail/2303906/puasa-meneguhkan-dan-menguatkan-ketauhidan#sthash.wO5ZRfaN.dpuf

Ini Cara Ulama Khatam Alquran

RAMADAN disebut juga sebagai syahrul Quran (bulan Alquran). Sebab nuzulul Quran terjadi di bulan Ramadan, Rasulullah murajaah bersama Jibril di bulan Ramadan, dan umat Islam lebih banyak membaca Alquran di bulan Ramadan.

Banyak umat Islam mencanangkan khatam tilawah lebih banyak di bulan Ramadan. Ada yang dua kali khatam, bahkan mungkin ada yang ingin khatam setiap pekan.

Para ulama membuat syiar “famii bi syauqin” dalam rangka mengkhatamkan Alquran setiap pekan. Arti kalimat tersebut adalah “lisanku selalu rindu Al Quran”

Bagaimana praktiknya? Ahmad Sahal Hasan menerangkan bahwa metode “famii bi syauqin” menunjukkan awal surat yang dibaca setiap harinya sesuai huruf-huruf dalam syiar “famii bi syauqin” tersebut.

  • Hari pertama dimulai membaca surat al Fatihah sampai dengan surat an Nisa.
  •  Hari kedua dimulai membaca surat al Maidah sampai dengan surat at Taubah.
  • Hari ketiga dimulai membaca surat Yunus sampai dengan surat an Nahl.
  • Hari keempat dimulai dari surat Bani Israil (surat al Isra) sampai dengan surat al Furqan.
  • Hari kelima dimulai dari membaca surat asy Syuara sampai dengan surat Yasin.
  • Hari keenam dimulai dari membaca surat ash Shaffat sampai dengan surat al Hujurat.
  • Hari ketujuh dimulai dari membaca surat Qaf sampai dengan surat an Nas.Allahu alam

[Bersamadakwah]

 

 

– See more at: http://ramadhan.inilah.com/read/detail/2303908/ini-cara-ulama-khatam-alquran#sthash.IBULXOrS.dpuf

Akhlak Antikorupsi

Nabi Muhammad SAW bersabda, La yaqbalu sholatan bighoiri tohurin wa la shodaqotan min ghululin, (Allah tidak menerima salat seseorang tanpa bersuci dan sedekah (harta) dari hasil korupsi). (HR Muslim).

Tidak ada kebaikan yang diterima Allah SWT yang dibangun dengan material kejahatan dan kezhaliman. Ibadah shalat yang dikerjakan, sedekah yang ditunaikan, haji yang dikerjakan atau kebaikan lain yang dilakukan tidak bermakna ibadah sama sekali di sisi Allah SWT, bila seorang Muslim masih Melakukan praktik korupsi dalam hidupnya, menumpuk kekayaan, dan memberikan nafkah kepada keluarganya dari hasil korupsi.

Rasullulah SAW sangat membenci perilaku ghulul atau di Indonesia kita kenal sebagai korupsi atau perilaku maling yakni mengambil hak orang lain atau hak publik, atau menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi atau kelompok, memperkaya diri dengan cara yang haram, serta abai terhadap hak-hak orang banyak.

Nabi SAW sangat membenci korupsi. Kebencian Rasulullah SAW terhadap korupsi pernah ditunjukkan ketika ada salah satu sahabat yang gugur dalam Perang Khaibar.

Nabi SAW diajak untuk menshalati sahabat yang gugur tersebut. Namun Beliau dengan tegas menolak, dan mempersilahkan sahabat lain untuk menshalati sahabat yang gugur tersebut.

Sahabat yang lain bertanya mengapa Rasulullah SAW menolak menshalati sahabat yang gugur tersebut. Rasul menjawab, “Sahabat kita itu telah melakukan ghulul.

Setelah dicek, ternyata sahabat yang gugur tersebut masih menyimpan manik-manik hasil rampasan perang yang belum dibagikan, yang nilainya sekitar dua dirham.

Bila dikonversi dengan nilai Rupiah saat ini sekitar Rp 150 ribu. Hanya karena menggelapkan ghonimah senilai dua dirham, Nabi SAW menunjukkan ekspresi kebencian yang terang. Bagi para sahabat, hukuman yang diterapkan Rasulullah SAW tersebut sangat berat, baik secara sosial maupun secara spiritual.

Melalui peristiwa Perang Khaibar tersebut, Islam membangun konstruksi budaya antikorupsi yang sangat kuat. Betapa tindakan koruptif ditempatkan pada posisi yang bisa menggugurkan ibadah-ibadah lainnya, merobohkan susunan kebaikan yang sudah dan akan dilakukan seorang Muslim.

Bahkan sebagian ulama sampai pada satu kesimpulan bahwa tindakan koruptif adalah tindakan syirik. Mereka yang melakukan korupsi dinilai telah tunduk dan menuhankan uang atau materi, dan abai akan kehadiran Allah SWT. Padahal, dosa syirik tidak diampuni oleh Allah SWT.

Tindakan koruptif teramat sulit bertobatnya karena harus meminta maaf kepada seluruh rakyat yang dirugikan akibat praktik korupsi yang pernah dilakukan. Tindakan korupsi yang pernah dilakukan seseorang bisa jadi secara tidak langsung memberikan kesengsaraan bagi hidup orang banyak.

Maka, ketika korupsi masih tetap ramai dilakukan oleh sebagian besar pimpinan dan rakyat suatu bangsa dan negara, sejatinya mereka meninggalkan ajaran Islam, melupakan tauhid, dan mengabaikan budaya antikorupsi yang dibangun oleh Islam melalui perintah Allah SWT dan sunah Rasullulah.

Meninggalkan perilaku koruptif dan membangun budaya antokorupsi dengan menghadirkan nilai-nilai kejujuran adalah budaya sejati Islam. Islam tidak bisa tegak tanpa menghadirkan nilai-nilai akhlak yang baik. Islam adalah husn khuluq (akhlak yang baik). Akhlak yang baik itu adalah akhlak yang antikorupsi.

 

Oleh: Dahnil Anzar Simanjuntak

sumber: republika Online

‘Ajari Anak Baca Alquran Sejak Usia 4 Tahun’

Ketua MPR Zulkifli Hasan menceritakan sedikit tentang masa kecilnya kepada para pelajar Pesantren Albidayah di Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Sabtu (18/6). Ia bercerita soal cara pengajaran orang tuanya di masa kecil.

Ketika masih berusia 4 tahun, Zulkifli sudah diajari baca Alquran oleh ibunya. “Kemudian saya bisa khatam baca Alquran. Dan usia 6 tahun, di SD (Sekolah Dasar), saya sudah bisa ngajari teman baca Alquran,” kata dia di hadapan para santri Pesantren Albidayah.

Menurut Zulkifli, agar seorang anak itu cerdas di waktu besar, para orang tua harus sudah mengajarkan putra-putrinya bagaimana caramembaca Alquran. “Ajari baca Alquran kepada putra-putri kita sejak usia 4 tahun. Insya Allah cerdas,” kata dia.

Jika itu dilakukan, lanjut Zulkifli, anak tersebut akan menjadi pintar, dan lidahnya lancar sehingga pandai berkomunikasi, serta mulia akhlaknya. “Ngomongnya lancar, otaknya cerdas, besarnya pintar. Kalau bagi rapor, juara umum,” ujar dia.

Karena itu, Zulkifli meminta kepada seluruh orang tua untuk mengajarkan anak cara membaca Alquran sejak dini. “Ajari baca Alquran sejak dini. Itu namanya Pancasila,” ucap dia.

Dalam kesempatan itu, ia juga meminta agar seluruh pelajar yang bersekolah di madrasah untuk tidak merasa minder dengan pelajar yang menempuh pendidikan di sekolah umum. Bagi dia, pelajar dari madrasah mampu mencapai kesuksesan seperti anak sekolah umum lainnya.

Banyak lulusan madrasah yang sukses di pemerintahan. Ia mencontohkan Mantan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Syarif Hasan dan Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Kedua mantan menteri ini, lanjut dia, adalah lulusan madrasah aliyah yang sukses. “Jadi tidak usah minder,” ucap dia.

 

sumber: Republika Online

Usaid bin Hudhair, Sahabat Nabi yang Tilawahnya Dikagumi Malaikat

Novelis Habiburrahman El Shirazy mendukung perlombaan penghafal Alquran untuk anak-anak. Dia menilai, hal tersebut bisa mendekatkan anak kepada Alquran dan menjadi pemulia bagi orangtuanya.

Kecintaan terhadap Alquran juga menurut Habiburrahman sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. “Dulu ada bagaimana Alquran sangat mempengaruhi juga tercemin dari kisahnya sahabat Nabi yaitu Usaid bin Hudhair,” kata Habiburrahman di Bogor, Sabtu (18/6).

Kang Abik, begitu ia biasa disapa merawikan, Usaid merupakan pemuda dari kaum Anshar yang sering membaca Alquran. Ketia ia membaca, selalu kuda peliharaannya meronta-meronta tidak bisa diam.

“Dia khawatir suara berisik kuda mengganggu tidur anaknya. Akhirnya setiap kali berhenti membaca Alquran, kudanya baru tenang,” ungkap Habiburrahman.

Saat dia berhenti membaca Alquran, kata Kang Abik, Usaid seperti melihat sinar yang naik turun. Selanjutnya pada pagi hari, dia menceritakan apa yang ia lihat kepada Nabi Muhammad SAW.

“Kata Nabi (Muhammad SAW), itu adalah malaikat yang turun ke bumi untuk mendengar suara Usaid saat melantunkan ayat Alquran. Kudanya meronta-ronta karena melihat malaikat,” tutur Habiburrahman.

Dari kisah tersebut, Habiburrahman mengungkapkan jika malaikat sangat suka mendengarkan lantunan ayat Alquran. Untuk itu, menurutnya Alquran selalu membawa kebaikan apalagi jika sejak anak-anak sudah didekatkan kepada kitab suci umat Islam tersebut.

Lomba tahfidz yang diselenggarakan oleh DKM Abdulrahman Fakhroo diikuti anak-anak dari SD hingga SMP. Lomba yang disponsori Syekh Abdulrahman Fakhroo dari Qatar dan Republika Media Mandiri tersebut akan dinilai pengajar dari Sekolah Tahfiz Abdulrahman Fakhroo.

 

 

sumber: Republika Online

3 Tahapan Sejarah Nuzulul Quran

MENURUT Jumhur Ulama arti Nuzulul Quran itu secara hakiki tidak cocok untuk Alquran sebagai kalam Allah yang berada pada dzat-Nya. Sebab, dengan memakai ungkapan “diturunkan” menghendaki adanya materi kalimat atau lafal atau tulisan huruf yang riil yang harus diturunkan.

Karena itu harus menggunakan arti majazi, yaitu menetapkan / memantapkan / memberitahukan /menyampaikan Alquran, baik di sampaikan Alquran itu ke Lauhil Mahfudz atau ke Baitul Izzah di langit dunia, maupun kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.

Yang dimaksud dengan “tahap-tahap turunnya Alquran” ialah tertib dari fase-fase disampaikan kitab suci Alquran, mulai dari sisi Allah hingga langsung kepada Rasulullah, kitab suci ini tidak seperti kitab-kitab suci sebelumnya. Sebab kitab suci ini diturunkan secara bertahap, sehingga betul-betul menunjukkan kemukjizatannya.

Allah Ta’ala telah memberikan penghormatan kepada Alquran dengan membuat turunnya tiga tahap;

1. Tahap Pertama Turun Di Lauh Mahfudz

“Bahkan yang di dustakan itu ialah Alquran yang mulia, yang tersimpan di Lauhul Mahfudz.” (QS Al-Buruj 21)

Wujudnya Alquran di Lauhu Mahfudz adalah dalam suatu cara dan tempat yang tidak bisa diketahui kecuali oleh Allah sendiri. Dalam Lauhul Mahfudz Alquran berupa kumpulan lengkap tidak terpisah-pisah.

Hikmah dari Tanazul tahap pertama ini adalah seperti hikmah dari eksistensi Lauhul Mahfudz itu sendiri dan fungsinya sebagai tempat catatan umum dari segala hal yang ditentukan dan diputuskan Allah dari segala makhluq alam dan semua kejadian. Dan membuktikan kebesaran kekuasaan Allah dan keluasaan ilmunya serta kekuatan kehendak dan kebijaksanaa-Nya

2. Tahap Kedua Di Baitul Izzah

Yaitu tempat mulia di langit yaitu langit pertama, atau langit yang terdekat dengan bumi. Berdasarkan firman Allah:

“Sesungguhanya kami menurunkannya (alquran) pada suatu malam yang diberkahi.” (QS Ad-Dukhan: 3)

Ayat tersebut menunjukkan turunnya Alquran tahap kedua ini dan cara turunnya, yaitu secara sekaligus turun seluruh isi alquran dari lauhul mahfudz ke baitul izzah, sebelum di sampaikan ke Rasulullah.

3. Tahap Ketiga

Alquran turun dari dari Baitul Izzah di langit dunia langsung kepada Rasulullah. Artinya, AlQuran disampaikan langsung kepada Rasulullah, baik melalui perantara Malaikat Jibril ataupun secara langsung ke dalam hati sanubari Rasulullah, maupun dari balik tabir.

Dalilnya ayat Alquran antara lain:

“Dan sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas.” (QS Al-Baqarah: 99)

“Ia (alquran) dibawa turun oleh Ar-Ruhul Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan.” (QS Asy-Syuara: 193-194)

[tongkronganislami]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2303539/3-tahapan-sejarah-nuzulul-quran#sthash.v5r3W5l3.dpuf