Kemenag: Layanan Calon Jamaah Haji Sudah Siap

Pemberangkatan calon jamaah haji akan dimulai sejak 9 Agustus 2016. Kementerian Agama (Kemenag) selaku pihak penyelenggara mengklaim layanan untuk calon jamaah haji sudah siap.

Direktur Jenderal Penyelenggara Haji dan Umroh, Abdul Jamil mengatakan, persiapan dilakukan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Di dalam negeri seperti embarkasi, kata Jamil sudah siap.

“Semua ok, visa juga ok,” ujar Jamil, di sela-sela mengecek kesiapan Garuda Indonesia untuk mengangkut calon jamaah haji Indonesia, di Hangar 4 GMF AeroAsia, Cengkareng Jakarta, Kamis (4/8).

Untuk kesiapan di tanah suci, menurut Jamil juga sudah siap. Mulai dari hotel untuk jamaah haji. Kemenag telah mengkontrak 119 hotel.

Begitupun dengan transportasi jamaah yang sudah dikontrak oleh Kemenag. “Kesiapan katering juga sudah dikontrak, sudah siap,” kata Jamil.

Pemberangkatan calon jamaah haji dibagi dua gelombang. Gelombang pertama akan diberangkatkan dari Indonesia langsung Madinah.

Sementara untuk gelombang kedua calon jamaah akan diberangkatkan dari Indonesia menuju Jeddah. Tahun ini Kemenag memberangkatkan calon jamaah haji 168.800 orang yang dibagi 155.200 jamaah haji regular dan 13.600 jamaah haji khusus.

 

 

Sumber: Republika ONline

Bersiaplah Bila Putaran Tawaf Semakin Panjang

Tanpa terasa renovasi Masjidil Haram yang dimulai pada tahun 90-an akan segera rampung. Masjidil Haram yang beberapa tahun belakangan disesaki bangunan crane, kini terasa semakin lapang. Crane yang pada bulan haji 2015 beberapa diantaranya sempat roboh kini sudah mulai disingkirkan. Pada awal Mei lalu wajah Masjidil Haram terlihat makin segar dan tak begitu ‘kusut’ lagi.

Bahkan, pada bulan Ramadhan lalu bentuk perluasan mataf (pelataran tawaf) sudah bisa dikatakan hampir rampung. Bagian bangunan berbentuk kerucut putih peninggalan Kesultanan Otoman tidak tak banyak terlihat lagi. Satu persatu pilar, atap, dan tembok banguan yang berdiri pada tahun 1920-an dirobohkan.

‘’Rencananya satu sisi tempat mataf pengerjaan pembongkaran memakan waktu satu pekan. Jadi kalau ada delapan sisi, maka proses pembongkaran ini akan selesai dalam waktu dua bulan. Jadi nanti menjelang Ramadhan perluasan tempat tawaf telah rampung dan siap digunakan,’’ kata mantan Kadaker Makkah yang kini menjabat sebagai staf Kantor Urusan Haji (KUH) RI di Arab Saudi, Arsyad Hidayat, di Makkah awal Mei silam.

Saat itu, berbarengan penggusuran bangunan atap berbentuk kubus putih itu, tempat tawaf sementara ‘knock down’ juga ikut dibongkar. Satu persatu besi penyangganya dicopoti. Pagi, siang, malam, ratusan pekerja sibuk melakukan pembongkaran. Pekerjaan hanya berhenti ketika waktu shalat tiba.

Maka hingga saat ini bila melakukan tawaf di lantai dasar atau berada di tempat tawaf yang di seputaran Ka’bah terasa sesak. Ini karena di beberapa sudutnya terpaksa sedikit disekat karena ada proyek pembongkaran itu. Jamaah yang memakai kursi roda pun dilarang keras melakukan tawaf di ‘mataf’. Mereka diminta bertawaf di lantai dua Masjidil Haram yang pembangunannya juga sudah hampir usai itu.

Sebagai akibat kian selesainya perluasan Masjidil Haram, maka bangunan ini pun akan segera semakin luas. Pengerjaan pembangunan masjid baru yang berada di samping belakang Masjidil Haram yang pada bulan Mei llau sudah memasuki masa finishing,  kini dipastikan sudah disambungkan. Saat itu tinggal beberapa pengerjaan fasilitas masjid  yang tengah dilakukan seperti pembuatan jembatan, pemasangan lantai, dan pengerjaan berbagai panel listrik, pendingin udara, dan lainnya.

Bagi jamaah umrah atau jamaah haji yang sehat memang akan segera melihat suasana masjid yang megah dan lapang. Luas lantai tawaf (maaf) menjadi berlipat-lipat luasnya. Suasana berdesakan akan bisa terurai terutama di masa akhir Ramadhan dan puncak haji.

Namun, pihak jamaah yang nanti akan terkena beban berat sebagai imbas perluasan masjid ini adalah jamaah lanjut usia atau yang berhaji menggunakan berkursi roda saat mereka harus melakukan tawaf di lantai dua Masjidil Haram. Jarak tempuh tawafmenjadi sangat panjang. Setiap satu putarannya akan mencapai sekitar  satu kilo meter. Jadi kalau jumlah putaran tawaf mencapai tujuh putaran, maka nanti jamaah lansia dan mengenakan kursi roda tersebut, harus menempuh perjaanan hingga lebih dari tujuh kilo meter.

Tentu saja, setelah tawaf untuk menuntaskan ibadah haji atau umrah sebelum diperbolehkan melakukan ‘tahalul’, para jamaah harus melakukan sa’i. Prosesi untuk mengenang gerak Siti Hajar yang harus berjalan dan berlari kecil sebanyak tujuh kali antara buit Safa dan Marwah ketika kebingungan mencari air, harus membutuhkan tenaga ekstra untuk berjalan. Bila satu jalur jaraknya mencapai 500 m, maka untuk tujuh kali jalan tersebut jamaah pun harus berjalan hingga 3,5 kilo meter.

Alhasil bila ditotal, untuk menyelesaikan prosesi tawaf dan sa’i seorang jamaah haji dan umrah harus menempuh perjalanan sekitar 11 kilo meter. Sebuah jarak yang lumayan jauh.

Untuk menjawab soal berapa lamanya waktu untuk menuntaskan proses ibadah tawaf dan sa’i pada rangkaian ibadah umrah atau haji, maka jawabnya: Relatif…!

Mengapa demikian? Ini karena tergantung dari kemampuan jasmani, kesempatan waktu, suasana kepadatan area  tawaf yang ada di Masjidil Haram. Pada hari ketika tidak ada jamaah umrah (yakni setelah Idul Fitri sampai datangnya rombongan pertama jamaah haji), suasana arena tawaf sangat lenggang. Orang tawaf memang masih tetap ada sepanjang waktu, cuma jumlahnya tak terlalu banyak. Bahkan antrean untuk mencium Hajar Aswad hanya sekitar sepulu orang saja.

Nah, pada saat itu orang yang berada di Masjidil Haram dapat mencium Hajar Aswad sepuasnya. Waktu untuk tawaf pun sangat singkat, tak lebih hanya 10 menit untuk tujuh putaran. Saking longgarnya pada saat itu bisa shalat sunat di Hijir Ismail sepuasnya atau berulangkali.

Tapi suasana ini sontak berbalik ketika jamaah haji sudah mulai berdatangan atau pada bulan-bulan biasa ketika kesempatan umrah dibuka. Area tawaf menjad hiruk-pikuk. Mencium Hajar Aswad dan shalat di Hijir Ismail atau berdoa persis di depan Multazam menjadi barang langka. Nah, dalam suasana padat itu maka tawaf di lantai dua bersama para lansia dan jamaah yang memakai kursi roda jadi pilihan.

Akibatnya, karena memakai area tawaf di lantai dua itu, waktu tawaf menjadi panjang yang awalnya tak lebih dari 10 menit itu. Berangkat dari pengalaman melakukan umrah pada awal Mei ini, bila melakukan tawaf di lantai dua sembari mendorong kursi roda, dan dilakukan pada hari yang padat yakni pada malam Jumat, maka proses tawaf ini tampaknya bisa memakan waktu hingga 3,5 jam. Dan total jendral, bila disertai dengan Sa’i ditambah istirahat serta mengerjaan berbagai shalat sunat, proses ini akan memakan waktu sekitar 5 jam. Ini dijalani dalam suasana hari umrah biasa, bukan pada masa puncak haji atau akhir Ramadhan.

‘’Dengan semakin luasnya area tawaf, maka proses tawaf akan memakan jarak yang lama. Memang kalau memakai tempat tawaf di lantai dua dan sealigus menyelesaikan sa’i maka setiap jamaah harus menempuh perjalanan sepanjang 11 kiometer. Maka para calon jamaah haji harus menyiapkan kebugaran jasmani yang baik. Ingat ibadah haji itu lebih banyak merupakan ibadah fisik,’’ kata Arsyad Hidayat.

 

sumber: Republika Online

Meski Dijajah, Minat Berhaji Muslim Nusantara tetap Tinggi

Setelah dibukanya Terusan Suez di Mesir pada 1869, M.C. Ricklefs, seorang Sejawaran modern Indonesia mencatat jumlah jamaah haji dari Nusantara meningkat tajam. Hal tersebut, berbarengan dengan pengalihan jalur-jalur pelayaran utama Asia Tenggara-Eropa ke Laut Merah.

Pada 1850-1860an jumlah orang dari kepulauan Nusantara yang naik haji setiap tahunnya menyentuh angka rata-rata sekitar 1.600an orang. Sekitar satu dekade berikutnya, jumlah ini naik menjadi 2.600 orang, dan terus meningkat pada 1.880an menjadi 4.600an orang. Hingga akhir abad ke 19 jumlah jamaah haji dari kepulauan Nusantara tercatat lebih dari 7.000an orang.

Ini menunjukkan di tengah berbagai masalah di daerah jajahan kolonial Belanda di Nusantara, animo masyarakat Muslim untuk menunaikan ibadah haji tidak surut.  Apalagi sejak Terusan Suez dibuka pada 1869,  jumlah jamaah asal Nusantara terus meningkat. Pada 1880-1885 misalnya, jamaah haji asal wilayah Hindia Belanda mencapai sekitar 15 persen dari total jamaah haji di Makkah.

Hal ini juga dipicu semakin murahnya ongkos tiket dengan menggunakan kapal khusus. Dalam Koloniaal Verslag 1870 diungkapkan bahwa harga tiket dengan kapal khusus itu jauh lebih murah. Jamaah dari Jakarta dikenakan ongkos 60 dolar AS. Sedangkan dari Padang ongkosnya 50 dolar AS. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan kapal dagang yang mematok 150 gulden.

Menurut data 1872, jumlah jamaah haji Nusantara di Jeddah mencapai 4.688 orang. Dari jumlah tersebut, ada 997 jemaah yang tidak memiliki pas haji. Hingga akhir abad ke 19 masih banyak dijumpai jamaah haji yang tak memiliki pas jalan. Berapa biaya haji kala itu? Merujuk data Koloniaal Verslag 1881 dan 1882, tarif biaya haji pergi-pulang mencapai 282,99 gulden atau sekitar 125 dolar AS.

Namun, jika calon jamaah membeli tiket pergi saja, harganya malah mencapai 322,99 gulden atau sekitar 150 dolar AS. Bagi jemaah haji yang berangkat dari Singapura, cukup membayar 227,54 gulden atau sekitar 110 dolar AS. Biaya itu termasuk biaya tiket ke pelabuhan di Nusantara sebesar 32,5 gulden dan makan 36 hari selama pelayaran senilai 10,80 gulden.

Uniknya, jamaah haji yang berangkat dari Singapura bisa menikmati tarif Syekh yang lebih murah, hanya 8,75 gulden dibandingkan dari Nusantara, yakni 17,50 gulden. Dilihat dari perekonomian Nusantara saat itu, biaya haji bisa dikatakan masih sangat murah. Dalam Koloniaal Verslag 1888 dan 1889 dilaporkan bahwa harga cengkeh satu kilogram tercatat 50 gulden.

Dengan demikian petani cengkeh saat itu, yang ingin naik haji cukup menjual 5,5 kilogram. Perekonomian yang membaik mendorong semakin banyak warga Indonesia yang menunaikan ibadah haji. Pada 1889 misalnya, jumlah jemaah haji naik menjadi 3.100 orang. Bahkan setahun berikutnya, jumlah jemaah haji melonjak lebih dari 5000 orang. Bahkan pada 1896, jumlah jemaah haji menembus angka 11.700 orang.

 

Jurnal Haji

Cara Belanda Agar Muslim Nusantara tak Pergi Haji

Setelah berbagai upaya menghambat pemberangkatan dan mengawasi perhajian Muslim dari Nusantara, Pemerintah Belanda akhirnya sadar cara ini tidak efektif. Bahwa pengawasan yang ketat dan ujian bagi jemaah haji yang baru kembali dari Makkah ternyata tidak menyurutkan Muslim di Nusantara terus menunaikan ibadah haji.

Pemerintah Hindia Belanda lalu mengubah strategi, berupaya seolah mendukung umat Islam menunaikan ibadah haji. Peraturan yang menetapkan bahwa setiap berhaji harus mensyaratkatkan uang sejumlah 500 gulden pada 1859 pun diganti. Pada 1902, aturan tersebut dihapuskan, termasuk aturan ujian khusus bagi bupati pribumi yang telah menunaikan ibadah haji.

Perubahan persepsi terkait haji ini, mulai terjadi ketika C. Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda, pada 1889 bekerja sebagai staf pemerintah Hindia Belanda dan dipercaya menangani bidang agama dan politik Islam. Dalam melaksanakan tugasnya, Hurgronje dibantu oleh instansi terkait yang menyokong ide-idenya yang dikenal dengan Kantoor voor Inlandsche zaken.

Kantor voor Inlandsche zaken merupakan sayap dari advisieur, seperti badan penasihat. Salah satu tugas advisieur, sesuai dengan instruksi pemerintah Hindia Belanda pada 1931 adalah memprioritaskan perhatian naik haji ke Makkah. Menurut Hurgronje, para haji yang baru kembali dari Makkah tidak berbahaya bagi kedudukan pemerintah Hindia Belanda. Sehingga mereka tidak perlu diterapkan aturan birokrasi yang ketat.

Untuk itu, lanjut Hurgronje, pemerintah Hindia Belanda harus lebih meningkatkan pelayanan kemudahan berhaji. Karena haji merupakan wilayah netral, semata-mata karena kepentingan ibadah. Toleransi terhadap masalah ini merupakan kewajiban yang tidak boleh dianggap remeh, demi terciptanya ketenangan dan stabilitas umat Islam di Nusantara.

Jika tidak dijaga stabilitas ini, menurut Hurgronje, justru akan menimbulkan masalah baru bagi pemerintah Hindia Belanda. Kendati demikian, pemerintah Hindia Belanda tetap saja mengawasi secara ketat, penyelenggaraan ibadah haji dan muslim Nusantara yang kembali dari Tanah Suci.

 

Jurnal Haji 

Lembaga Badal Haji Dibutuhkan Agar tak Seperti Mafia

Ketua Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia Provinsi Kepulauan Riau, Zubad A Hadi Muttakin mengatakan perlu ada lembaga di Arab Saudi yang mewadahi orang yang akan diminta menjadi badal haji. Dia mencontohkan, mahasiswa di Arab Saudi yang diminta untuk menjadi badal.

“Sehingga nanti tidak ada kesan seperti mafia,” ujar Zubad kepadaRepublika.co.id usai Mudzakarah Perhajian Nasional tentang Badal Haji, di Hotel Aryaduta Jakarta Pusat, Rabu (3/8).Kemudian menurut Zubad badal perlu untuk diarahkan kepada petugas. Namun, Zubad meminta biaya yang diminta tidak besar.

Dia menjelaskan, petugas badal sudah mendapatkan gaji. Zubad juga mengharapkan tidak boleh satu orang membadalkan lebih dari satu orang. Jika hal tersebut terjadi, Zubad menilai terkesan lebih kepada tujuan komersial saja. Padahal ibadah bersifat keikhlasan.“Maka ya kita kembalikan pada asasnya itu,” kata Zubad.

Persoalan tersebut, menurut Zubad, juga menjadi pembahasan dalam mudzakarah. Terkait dam diarahkan untuk mudzakarah perhajian tahun berikutnya. Zubad menjelaskan, mudzakarah dilakukan untuk menguatkan siapa yang berhak menjadi badal. Secara fikhiyyah dikuatkan kembali mengenai hukum badal.”Ini adalah penyempurnaan dari apa yang sudah diundang-undangkan,” Zubad menuturkan.

Zubad mengatakan, banyak pembahasan yang dilakukan dalam mudzakarah tersebut. Berbagai pendapat bermunculan dalam mudzakarah tersebut. Misalnya, apakah perlu dibadalkan orang yang sudah meninggal sebelum keberangkatan namun sudah melunasi ongkos naik haji. Mengenai hal ini akan dikuatkan pada mudzakarah selanjutnya. 

sumber: Republika Online

KPHI: Badal Haji Belum Ada Tuntunannya

Kementerian Agama (Kemenag) menggelar mudzakarah badal haji. Sejumlah ulama, pakar dan pemerhati haji fokus membahas tentang persoalan badal haji.

Komisioner Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Syamsul Ma’arif mengatakan, mudzakarah seperti merupakan harapannya selama ini. Pasalnya KPHI mengusulkan agar pemerintah membuat regulasi badal haji.

“Karena pada prakteknya beberapa jamaah yang meninggal maupun sakit tapi mekanisme secara hukum belum ada tuntunannya,” ujar Syamsul kepada republika.co.id, di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (2/8).

Syamsul menilai badal haji masih banyak persoalan dilapangan. Misalnya, apakah dalam membadalkan apakah harus dengan umrah.

Jika menggunakan haji tamattu’, kata Syamsul, pun harus membayar dam. Pembayaran dam tersebut, menurut Syamsul perlu dicarikan solusi.

“Jadi tata cara yang diberikan Kemenag belum menjadi tata cara baku hasil musyawarah,” Syamsul menegaskan.

Ke depan, lanjut Syamsul, pemerintah juga perlu memikirkan regulasi badal haji untuk mengatasi antrean yang sangat panjang. Termasuk membadalkan haji untuk orang yang sudah meninggal juga perlu dibahas.

Kemenag mengkhawatirkan jamaah haji Indonesia hanya menjadi objek masyarakat yang menetap di Arab Saudi untuk kepentingan ekonomi saja. Sementara seluruh badal haji tidak dilakukan secara benar.

“Saya melihat ada indikasi kesitu. Misalnya orang-orang yang tinggal di sana cari objek. Karena bisa jadi orang satu membadali banyak orang,” kata Syamsul.

Karena itu, menurut Syamsul penting dibahas terkait upah membadalkan haji. Upah yang diberikan harus pantas.

Syamsul mengharapkan dengan adanya regulasi tentang badal haji maka pemerintah bisa mempersiapkan petugad badal jauh sebelum pelaksanaan. “Jadi tidak tiba-tiba begitu pelaksanaan mencari cari, tidak tersistem,” ucap Syamsul.

 

Republika Online

Pemerintah Dinilai Perlu Atur Panduan dan Biaya Badal Haji

Direktur Pembinaan Haji dan Umrah Kementerian Agama  Muhajirin Yanis, badal haji perlu panduan agar masyarakat dalam melaksanakan badal memiliki dasar yang diambil.

Mudzakarah tersebut, kata Muhajirin, menghasilkan beberapa dasar fikhiyyah tentang badal haji. Dari rumusan fikhiyyah tersebut akan ditetapkan dalam bentuk regulasi. “Jadi jelas aturannya, menjadi panduan,” kata Muhajirin kepada Republika.co.id, di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Rabu (3/8).

Muhajirin mencontohkan yang berkembang di masyarakat yaitu ketika anak ingin menghajikan orang tuanya yang sudah meninggal. Namun sejauh ini, Muhajirin menuturkan, belum terdapat panduan yang mengatur pelaksanaannya.

Sebab itu, Muhajirin menegaskan, nantinya akan dibuatkan panduan mengenai hal tersebut. Misalnya siapa yang harus dibadalkan dan siapa yang harus membadalkan. Muhajirin menambahkan, pemerintah juga perlu untuk memikirkan terkait biaya. Sehingga terdapat patokan dam dan petugas secara serius melaksanakan badal sesuai dengan ketentuan syar’i.

 

“Dua kesimpulan besar itu nanti akan ada tim perumusan akhir. Nanti kita tindaklanjuti dengan penyusunan regulasi,” ucapnya.Muhajirin menambahkan, pemerintah menginginkan badal yang dilakukan masyarakat umum sama dengan haji reguler. Hingga saat ini badal oleh masyarakat umum belum ada peraturan dari segi perspektif perundang-undangan. 

Dia mengatakan, mudzakarah tersebut untuk men-tashihkembali regulasi yang ada tentang badal haji. Apakah dari sisi fikih regulasi yang ada perlu disempurnakan.”Alhamdulillah hasilnya regulasi yang sudah kita laksanakan sudah baik. Nanti akan terus kita perbaiki,” ujar Muhajirin.

sumber: RepublikaOnline

6 Hal yang Perlu Diperhatikan Soal Badal Haji

Assalamualaikum Wr Wb,

Ustaz apa sebenarnya yang dimaksud badal haji itu? Apakah ajaran Islam membolehkannya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan?

Hamba Allah
Bandung, Jawa Barat

Jawab:

Waalaikumussalam Wr Wb

Badal artinya “menggantikan” maknanya adalah seseorang yang menggantikan haji dari orang yang seharusnya menunaikan ibadah haji disebabkan oleh faktor halangan, usia lanjut atau telah meninggal dunia.

Badal haji sering menjadi bahan perdebatan, masuk dalam kategori khilafiyah antara yang membolehkan dan yang tidak. Masing masing beragumen pada dalil masing-masing. Para ulama yang tidak membolehkan berangkat dari dasar fikiran dan nash bahwa seseorang tidak bisa menggantikan amal orang lain, tanggungjawab itu bersifat pribadi.
Kalau orang yang tidak bisa haji karena berbagai faktor maka itu artinya ia memang tidak istithoah maka ia terbebas dari kewajibannya. Bagi kelompok yang berpendapat seperti ini jika ada hadits pun yang sanad nya shahih tentang adanya badal haji, namun dari sisi matan maka hadits tersebut masih perlu dipertanyakan.

Dalil pokok dan ayat-ayat yang sejenis, yaitu : “(Yaitu) bahwasanya tidak memikul tanggungjawab perbuatan orang lain. Dan bahwasanya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang diusahakannya” (QS An Najm 38-39). Begitu juga dengan hadits putus amal orang meninggal kecuali shadaqah, ilmu, dan doa anak sholih “illa min shadaqotin jaariyatin aw ilmin yunfa’u bihi aw waladin shoolihin yad’uu lahu” (HR Muslim, Nasaa’i, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).

Bagi yang membolehkan bersandar pada hadits-hadits yang meriwatkan peristiwa peristiwa yang terjadi, seperti anak yang menghajikan orang tua yang sudah tua renta di mana Rosulullah SAW bersabda “fahujji anhu” (maka hajikanlah dia olehmu)”. (HR Muslim).

Lalu ada pula orang yang menghajikan saudara atau kerabatnya yang bernama Syubrumah, Rasul bertanya apakah ia sudah haji dan ketika jawabannya belum, maka Nabi bersabda “Berhajilah untuk dirimu, kemudian hajikan Subromah” (HR Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Bani dan Al A’zami. Al Baihaqi mengatakan tidak ada yang lebih shahih dalam bab ini daripada hadits ini).

Dalam mendelegasikan ibadah haji (al istinaabah fiel hajj) hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:

Pertama, yang menghajikan harus sudah haji. Kedua, niat untuk membadali harus untuk orang yang dibadali sebagaimana niat “Labbaika ‘an Syubrumah”.

Ketiga, diniatkan untuk membayar utang bukan menggantikan amal. Keempat, seseorang hanya dapat membadali untuk satu orang, karena ihram itu untuk sekali haji dan menyebut nama satu orang. Kelima, pelaksanaan badal oleh naib (anak atau saudara) harus sukarela bukan terpaksa. Keenam, biaya badal hajidari kekayaan orang yang membadali, kecuali anak atau saudara sukarela membiayai.

Yang perlu diperhatikan bersama adalah komersialisasi badal haji, suatu hal yang sesungguhnya terlarang. Banyak yang berangkat haji mencari-cari orang yang mau membadalkan haji kepadanya, sehingga yang awalnya tak terfikirkan oleh seseorang, karena bujuk rayunya, maka akhirnya ia pun mempercayakan orang itu untuk membadalkan orangtua atau kerabatnya.

Ternyata sudah banyak yang terdaftar dibadalkan melaluinya. Sang kolektor melakukan sendiri atau membagikan lagi kepada anggota timnya.

Ibnu Taimiyah dalam “Majmu’at al Fatawa” menyoroti hal ini dengan menyatakan: ”Hendaknya seseorang mencari uang untuk berangkat haji, bukan berangkat haji untuk mencari uang. Barangsiapa berhaji untuk mencari uang, maka tidak ada bagian di hari kiamat nanti”.

Wallahu a’lam bissawab.

Ustaz HM Rizal Fadillah

 

sumber: Republika ONline

Badal Haji untuk Orang Meninggal, Bolehkah?

Kementerian Agama bersama Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umroh menggelar acara Muzakaroh Perhajian Nasional bertema “Dinamika Pelaksaan Badal Haji di Indonesia,’ di Jakarta, Senin malam, 1 Agustus 2016.

Mengenai badal haji itu, menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, salah satu hal yang banyak menjadi pertanyaan yakni apakah seseorang yang sudah meninggal dunia puluhan tahun, tanpa memberikan wasiat atau ada ahli waris, tetap bisa dibadal haji.

“Secara fikih tentu pandangannya tidak tunggal. Ada yang mengatakan memungkinkan dan ada juga yang menyatakan tidak perlu karena seseorang yang sudah meninggal telah gugur segala kewajibannya,” ujar Lukman saat memberikan sambutan di acara tersebut.

Namun, Lukman menambahkan, ada juga yang mengatakan badal haji merupakan perbuatan baik. “Setidaknya, muzakarah ini ingin mendapatkan pandangan yang lebih tegas, jelas, bagaimana, dalam kondisi seperti apa,” kata Lukman.

Lukman menambahkan, “Kalau haji reguler seperti itu dalam kondisi meninggal dunia karena sudah membayar haji, tapi belum saatnya wukuf di arafah dia sudah meninggal dunia, maka dia wajib dibadalhajikan atau sakit karena kondisi sakit atau hilang ingatan.”

Menurut ‎Lukman, mengenai badal haji itu kini semakin ramai diperbincangkan. Sebab, banyak mukmin yang telah menetap di Arab Saudi menawarkan dan mengiming-imingi fasilitas badal haji ke masyakarat di Indonesia dan hal ini tidak melalui pemerintah.

Iming-iming ini, lanjut dia, tanpa adanya aturan dan pedoman dari Kementerian Agama (Kemenag). Menurut Lukman, penawaran badal haji itu sengaja dilakukan ‎sejumlah orang untuk mendapatkan keuntungan.

Oleh karena itu, Kementerian Agama sekaligus penyelenggara haji nasional beserta alim ulama, kiai, akademisi di bidang agama Islam melakukan muzakaroh. Hal tersebut untuk membentuk pedoman dan aturan terkait badal haji yang lebih detail agar masyakarat mengetahui dengan baik dan benar.

“Kemenag ingin ‎regulasi secara syar’i ini bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu tujuannya ini adalah untuk melakukan uji nilai regulasi-regulasi terkait badal haji yang sudah kami miliki itu bisa dibenarkan secara syar’i,” ujar Lukman. (ase)

 

sumber: Viva

Badal Haji dan Umrah Serta Hukum Melaksanakan Umrah Berkali-Kali Bagi Jama’ah Haji Saat Berada Di Mekkah

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

  1. Satu bulan sebelum keberangkatan haji, orang tua meninggal, apakah boleh dibadalkan? Kapan dan siapa yang sebaiknya membadalkan?
  2. Jika umrah hukumnya sunnah, apakah ada membadalkan umrah?
  3. Berapa lama waktu antara umrah keumrah berikutnya? Bagaimana dengan jamaah haji yang melakukan umrah beberapa kali saat di Makkah?

Sigit Bachtiar

NBM 977.029, SMK  Muhammadiyah02

Tangerang selatan- Banten

(disidangkan pada hari Jum’at, 25 Syawal 1432 H / 23 September 2011 M)

Jawaban:

Terima kasih kami ucapkan kepada  bapak Sigit Bachtiar di Tangerang Selatan-Banten atas pertanyaan yang disampaikan kepada kami. Beberapa pertanyaan yang  bapak ajukan tersebut sebenarnya sudah dijelaskan secara panjang lebar di dalam  buku Tuntunan Manasik Haji Menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Berikut ini jawaban dari pertanyaan bapak:

 

  1. Hukum badal haji, waktu, dan orang yang membadalkan.

Badal haji adalah ibadah haji yang dilaksanakan oleh seseorang atas nama orang lain yang telah memiliki kewajiban  untuk menunaikan ibadah haji, namun karena orang tersebut uzur(berhalangan) sehingga tidak dapat melaksanakannya sendiri, maka pelaksanaan ibadah tersebut didelegasikan kepada orang lain.

Badal haji ini menjadi masalah mengingat ada beberapa ayat Al-Qur’an yang dapat difahami bahwa seseorang hanya akan mendapatkan pahala dari hasil usahanya sendiri. Artinya, seseorang tidak dapat melakukan suatu peribadatan untuk orang lain, pahala dari peribadatan itu tetap bagi orang yang melakukannya bukan bagi orang lain. Disamping itu ada juga Hadits Nabi saw yang menerangkan babwa seorang anak dapat melaksanakan ibadah haji untuk orang tuanya atau seseorang melaksanakan haji untuk saudaranya yang  telah uzar baik karena sakit, usia tua atau telah meninggal dunia, padahal ia sudah berkewajiban untuk menunaikan ibadah haji.

Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang  dimaksud antara lain:

a. Surat Al-Baqarah ayat 286:

Artinya “…ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan la mendapat siksa (dari kejahatan) yang di kerjakannya …”(Qs. Al-Baqarah [2]: 286)

b. Surat Yasin ayat 54:

Artinya:”Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.”(Qs. Yasin [36]: 54)

c. Surat An-Najm ayat 38 dan 39:

Art nya: “(yaitu) bahwasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang telah diusahakannya.(Qs. An-Najm [53]: 38-39)

Adapun Hadits-Hadits yang dapat dijadikan acuan atau memberi petunjuk dibolehkannya seorang anak menunaikan ibadah haji atas nama orang tuanya dan seseorang melaksanakan haji untuk saudaranya diantaranyaadalah:

Arti nya:”Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi saw,lalu berkata : Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk berhaji, lalu la meninggal dunia sebelum ia melaksanakan haji, apakah saya harus menghajikannya? Nabi saw bersabda: Ya hajikanlah untuknya, bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki tanggungan hutang, apakah kamu akan melunasinya? la menjawab: Ya. Lalu Rasulullah saw bersabda: Tunaikanlah hutang (janji) kepada Allah, karena sesungguhnya hutang kepada Allah lebih berhak untuk dipenuhi.”[HR. al-Bukhari]

 

Art nya:”Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal; shadagah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya.”[HR. Muslim]

 

Artinya:”Bahwasanya seorang wanita dari Khas’am berkata kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah sesungguhnya ayahku telah tua renta, baginya ada kewajiban Allah dalam berhaji, dan dia tidak bisa duduk tegak di atas punggung onta. Lalu Nabi saw bersabda: Hajikanlah dia.” [ H R. Muslim dan jamaah ahli Hadits]

Artinya: “Seorang taki-laki dari bani Khas’am menghadap kepada Rasulullah saw, la berkata: Sesungguhnya ayahku masuk islam pada waktu la telah tua, dia tidak dapat naik kendaraan untuk haji yang diwajibkan, bolehkan aku menghajikannya? Nabi saw bersabda: A pakah kamu anak tertua? Orang itu menjawab: Ya. Nabi saw bersabda: Bagaimana pendapatmu jika ayahmu mempunyai hutang, lalu Engkau membayar hutang itu untuknya, apakah itu cukup sebagai gantinya? Orang itu menjawab: Ya. Maka Nabi saw bersabda: Hajikaniah dia.”(HR Ahmad)

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits tersebut di atas. Ada yang berpendapat bahwa Hadits-Hadits tersebut bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an Oleh karena itu, Hadits-Hadits tersebut tidak dapat diamalkan. Hadits-Hadits itu zhanni sedangkan ayat Al-Qur’an gath’i. Pendapat ini didukung oleh ulama Hanafiyah. Ulama’ lain seperti Ibnu Hazm berpendapat bahwa Hadits Ahad mempunyai kekuatan gath’I sehingga dapat mengecualikan atau mengkhususkan ayat Al-Qur’an. Pendapat ketiga dikemukakan oleh ulama Mutakallimin khususnya ulama Syafi’iyah yang mengatakan bahwa Hadits Ahad apalagi Hadits Mutawatir dapat mentakhsis atau mengecualikan ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh karena itu, menurut mereka anak bahkan orang lain pun dapat melaksanakan haji atas nama orang tuanya atau orang lain. Pelaksanaan haji yang demikian ini disebut “badal haji” atau “haji amanat”.

Sejauh yang dapat difahami dari pendapat di kalangan ulama Tarjih Muhammadiyah, Hadits Ahad dapat mentakhsi ayat Al-Qur’an, yakni sebagal bayan (penjelas). Contohnya dalam masalah wakaf, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menetapkan bahwa orang yang berwakaf  akan tetap mengalir pahalanya sekalipun la telah meninggal dunia berdasarkan Hadits riwayat Muslim yang menyatakan bahwa apabila manusia meninggal dunia putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak  shalih yang selalu mendoakan kedua orangtuanya, sebagaimana dikutip di atas.

Hadits ini secara lahiriyah tampak bertentangan dengan ayat-ayat Ai-Qur’an tersebut di atas, namun Hadits ini juga dapat diartikan sebagai takhsis (pengkhususan) atau bayan (penjelas) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.

Dengan memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits serta keterangan di atas, maka haji bagi seseorang yang telah memenuhi kewajiban haji tetapi tidak dapat melakukannya karena udzuratau karena sudah meninggal dunia padahal la sudah berniat atau bemazar untuk menunaikan ibadah haji, hanya dapat dilakukan oleh anak dan saudaranya (ahli warisnya) pada asyhuri al-hafj(musim haji), hanya saja pengganti harus telah berhaji terlebih dahulu, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits berikutini:

 

Artin ya  .. diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwasanya Nabi saw mendengar seseorang berkata labbaik (aku dating memenuhi panggilanmu) dari (untuk) Syubrumah. Rasulullah saw bertanya; Siapakah Syubrumah itu, ia menjawab; saudaraku atau kerabatku, lalu Rasulullah bertanya; Apakah kamu sudah berhaji untuk dirimu? la menjawab; Belum. Lalu Rasulullah saw bersabda; Berhajilah untuk diri- mu (terlebih dahulu) kemudian kamu berhaji untuk Syubrumah.”( H R Abu Dawud dan Ibnu Majah)

 

  1. Badal Umrah

Para ulama sepakat bahwa umrah hukumnya sunnah, sehingga tidak ada kewajiban bagi seseorang atau ahli waris untuk mengumrahkan orang tuanya yang sudah udzur atau meninggal dunia. Kecuali jika orang tuanya pernah bernazar untuk melaksanakan umrah, maka anaknya (ahli warisnya) yang memiliki kemampuan harus menunaikan nazar kedua orang tuanya. Hal tersebut didasarkan pada Hadits-Hadits tersebut di atas dan Hadits berkut ini:

Art nya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra., dari Nabi saw bersabda: Barangsiapa  yang bernazar untuk mentaati Allah maka  hendaknya ditaati (ditunaikan), dan barangsiapa bernazar untuk bermaksiat ke pada Allah maka janganlah la (tunaikan  nazarnya) untuk berbuat maksiat.” ( H R . al-Bukhari dan jamaah ahli Hadits)

 

  1. Waktu antara umrah ke umrah berikut  nya dan hukum bagi jamaah haji yang melakukan umrah beberapa kali saat di Makkah ?

Waktu pelaksanaan umrah tidak ditentukan secara khusus. Umrah dapat dilakukan kapan saja, baik pada musim haji maupun di luar asyhur al-haj/(bulan-bulan haji). Sehingga bagi orang yang memiliki kemampuan baik secara finansial, fisik maupun transportasi dapat melakukannya”kapan saja” dengan memperhatikan kewajiban-kewajiban yang lain baik kepada  keluarga, kerabat maupun lingkungan sosiainya, sehingga ia tidak hanya mementingkan dirinya sendiri namun juga orang lain. Jika ia sudah berkali-kali melaksana kan umrah dengan kemampuan materi yang dimilikinya, hendaknya la mengajak atau memberikan kesempatan (bantuan) kepada orang untuk melaksanakannya, dan hal tersebut tidak akan mengurangi pahala dan kebaikan yang akan didapatkannya. Sedangkan bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan seputar pelaksanaan umrah terutama menjelang melaksanakan haji.

Sebelum menjawab substansi pertanyaan yang ketiga, perlu difahami terlebih dahulu pengertian umrah berkali-kali bagi jama’ah haji tersebut. Bahwa yang dimaksud dengan umrah berkali-kaii menjelang ibadah haji di sini adalah umrah yang dilaksanakan berkali-kali oleh jamaah haji setelah mereka melakukan umrah dalam melakukan haji tamattu’. Umrah ini dilaksanakan dalam rangkaian ibadah haji guna mengisi waktu senggang sebelum melaksanakan ibadah haji pada tanggai 8 Dzulhijjah. Umrah seperti ini juga disebut dengan umrah Makkiyah, yakni umrah yang dilaksanakan oleh jamaah haji dari luar Makkah yang sedang berada di kota Makkah. Mereka keluar dari Tanah Haram seperti Tan’im dan Ji’ranah, Ialu melakukan ihram untuk umrah dari tempat tersebut.

Jamaah haji yang melakukan umrah dari Tan’im atau Ji’ranah tersebut berlandaskan pada adanya izin dari Nabi saw kepada ‘Aisyah untuk meiakukan umrah dengan diantar oieh saudaranya yang bernama Abdurrahman bin Abi Bakar. Pada saat itu Nabi saw beserta para sahabat akan meninggalkan Makkah menuju Madinah seusai melaksanakan ibadah haji. Saat itu ‘Aisyah gelisah karena pada waktu tiba di Makkah ia tidak dapat menyempurnakan umrahnya dengan thawaf, karena haid. Ke gelisahan ini kemudian disampaikan kepada Rasulullah saw, dengan mengatakan bahwa orang lain bisa melakukan ibadah haji dan umrah dengan sempuma, sedangkan la hanya ibadah haji saja. Mendengar keluhan ‘Aisyah ini, kemudian Nabi saw menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakar mengantarkannya ke Tan’im melakukan Umrah

Artinya: “… ( Aisyah ra) berkata: Aku sendiri termasuk orang yang berniat ihram untuk umrah dan kita semua meninggalkan Madinah sampai dating di Makkah. Pada saat datangnya hari atau waktu Arafah saya haid, sehingga saya tidak dapat tahallul untuk umrahku. Aku mengadu kepada Nabi saw, lalu Nabi bersabda: Tinggalkan umrahmu dan lepaskan rambutmu dan bersisirlah kemudian niatlah ihram untuk haji. Selanjutnya Aisyah berkata: Akupun  mengerjakannya, dan setelah sampai malam Hasabah  sesudah hari tasyrig)  dan setelah kami selesai ibadah haji,  Nabi saw menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakar memboncengkan aku keluar ke Tan’im dan akupun ihram untuk umrah dan selesai. Maka Allah telah menentukan selesai haji dan umrah kami. Dalam hal ini tidak diperlukan membayar dam (menyembelih hewan), membayar sadagah ataupun berpuasa.” ( H R Muslim)

Berdasarkan Hadits di atas, jelas bahwa umrah tersebut dilakukan sesudah selesai haji dan dalam rangka menyempurnakan umrah sebelumnya. Nabi saw tidak memberikan tuntunan dan tidak menyuruh para sahabat untuk melakukan umrah berkali-kali dalam musim haji sebelum waktu wukuf di Arafah. Oleh karena itu, umrah seperti itu tidak perlu dilaksanakan. Amalan-amalan yang dianjurkan kepada jama’ah haji adalah tadarrus al-Qu’an, memperbanyak do’a atau thawaf di masjidil haram. Adapun melaksanakan umrah selesai ibadah haji boleh saja dilakukan. Wallahu a’alam.

 

Suara Muhammadiyah