Inilah Kiat Istiqomah di Jalan Allah

DALAM kehidupan yang semakin modern dan berkembang ini, kita dihadapkan pada gejala fakta fatamorgana, dimana sesuatu yang baik dan benar dianggap asing dan dipandang miring. Maka kewajiban setiap muslim beristiqamah untuk menjaga amalan-amalan sunnah maupun wajib.

Melaksanakan semua perintah Allah Swt dan Rasul-Nya serta menjauhi segala larangannya sejauh-jauhnya. Karena kita tahu bahwasannya maut menjemput bisa dimana saja dan kapan saja. Lantas apakah kita mau mati dengan suul khotimah? Sebagai seorang muslim pastilah husnul khotimah sebagai impian tertinggi pada kehidupan yang fana ini.

Istiqomah adalah upaya seseorang untuk menempuh ajaran agama Islam yang benar dengan tidak berpaling ke kanan maupun ke kiri. Istiqomah ini mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan kepada Allah lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya.

Ada beberapa kiat untuk senantiasa istiqomah dalam beribadah maupun muamalah.

– Niat ikhlas beraktivitas sesuai ajaran Allah Swt dan Rasul-Nya.

Ini sebagai upaya utama kita tatkala aktivitas di setiap masa. Sebagai tolok ukur pertama dalam beribadah dan bermuamalah. Sebagai dasar pijakan untuk melakukan amalan-amalan yang telah diajarkan. Dengan niat yang lurus nan tulus, di iringi ikhlas tanpa memelas sebagai seorang muslim ingin berjumpa pada yang Maha Pencipta dalam keadaan bahagia.

Memperbaiki niat kita supaya tidak terlewat karena godaan kanan kiri yang memikat. Satukan hati dan pikiran hanya pada-Nya kita berdzikir sehingga sifat-sifat tercela tak akan terpikir. Dengan niat yang baik dan benar akan diperoleh kebaikan dan balasan yang telah dijanjikan, hanya kepada Allah Swt, niat tulus kita haturkan untuk mendapatkan kenikmatan dalam segala kesibukan.

“Maka tetaplah engkau (Muhammad) di jalan yang benar, sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Hud : 112)

Hendaknya seorang muslim membersihkan hatinya dari sifat ingin dipuji atau tujuan duniawi saat melakukan amalan-amalan ketaatan kepada-Nya. Dalam suatu hadist disebutkan :

“Sesungguhnya ada salah seorang di antara kalian yang ia beramal dengan amalan penduduk surga sampai-sampai jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal satu jengkal, akan tetapi taqdir telah mendahuluinya sehingga iapun beramal dengan amalan penduduk neraka, akhirnya iapun masuk ke dalam neraka.” (HR. Muslim no 4781)

– Memperbanyak doa kepada Allah Swt agar senantiasa diberikan keistiqamahan

Doa adalah senjata setiap muslim yang paling mutakhir. Tanpa rasa lelah kita memohon kepada Allah Swt untuk senantiasa tetap pada jalur istiqamah yang murni, yang setiap amalan kita tidak ada yang terbuang sia-sia karena sikap riya sekecil biji sawi pun. Kita berdoa agar senantiasa dijauhkan dari hati berbisik kepada kejelekan dan kemungkaran. Oleh karena itu sepantasnya seorang muslim berdoa agar dikokohkan hati pada ketaqwaan dan keimanan. Doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah :

Doa agar kita tetap istiqomah dalam memegang teguh agama islam yang sesuai dengan syariat yang benar.

Artinya: “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu.” [HR.Tirmidzi 3522, Ahmad 4/302, al-Hakim 1/525, Lihat Shohih Sunan Tirmidzi III no.2792]

Artinya: “Wahai Dzat yg membolak-balikan hati teguhkanlah hatiku diatas ketaatan kepadamu” [HR. Muslim (no. 2654)]

Artinya: “Ya Allah yang mengarahkan hati, arahkanlah hati-hati kami untuk taat kepadamu.” (HR. Muslim)

Artinya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 7)

– Memantapkan keteguhan hati untuk berusaha mengingat-ingat kemuliaan orang yang beristiqomah.

Perjuangan dalam kebaikan dan ketaqwaan sangat besar, tentunya suatu pengorbanan akan disertai balasan yang menggiurkan, meskipun balasan tersebut jauh dari mata memandang, jauh dari pikiran yang menerawang, namun kita sebagai seorang muslim harus teguh pendirian, kuat dalam keimanan, hingga Allah Swt memberikan balasan yang mulia sebab keistiqomahan kita.

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka tetap istiqamah, tidak ada rasa khawatir pada mereka dan mereka tidak (pula) bersedih hati. Mereka itulah para penghuni surga, kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al Ahqaf : 13-14)

– Mendapatkan teman yang mengajak kebaikan

Kita bisa melihat sikap seseorang dari faktor siapa teman dia, jika seorang teman mengajak kebaikan, itu sebagai modal awal dan dasar kita untuk teguh dalam istiqomah, dia akan selalu mengingatkan dan mengorbankan waktu demi kebaikan dalam amalan-amalan, namun sebaliknya jika kita memilih teman yang mengajak kejelekan, niscaya kita akan dapatkan pada jalur kemungkaran sehingga kita mudak terperosok pada jurang kemaksiatan.

Sudah sering kita mendengar hadits yang masyhur dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang gambaran teman yang baik dan teman yang buruk, dimana beliau shallallahu alaihi wa sallam mengumpamakan teman yang baik sebagai penjual minyak wangi dan teman yang buruk sebagai tukang pandai besi. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda

” Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Tentang si penjual minyak wangi, kalau engkau tidak membeli minyak wanginya maka engkau akan medapatkan bau wanginya. Adapun tentang si tukang pandau besi, kalau engkau atau bajumu tidak terbakar maka engaku akan mendapatkan bau yang tidak enak.” (HR. Bukhori, no 1959).

– Membaca siroh Nabawiyah menambah pengalaman dalam beristiqomah

Dunia fana penuh tokoh yang dijadikan idola, dalam realita seseorang akan mengikuti gaya dan model kepada yang ia idolakan. Sehingga kebanyakan orang membanggakan idola mereka meskipun itu bersifat tercela. Dan sifat mereka akan mempengaruhi setiap amalan-amalan yang mereka lakukan bahkan telah kerasukan virus artisme yang memandang hidup ini penuh kemewahan dan bersenang-senang.

Lantas, siapakah tauladan kita yang seharusnya patut dan pantas dicontoh oleh setiap muslim? Rasulullah SAW telah diutus oleh Allah Swt untuk menyempurnakan akhlaq, dari kejelekan menuju kebaikan, dari kemaksiatan beralih pada ketaqwaan, dari kemungkaran berubaha keistiqomahan.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzaab: 21)

Memperbanyak bacaan para sahabat yang sangat keras dalam memperjuangkan islam dapat menumbuhkan sikap optimis kita dalam beramal, mengobarkan sikap gigih kita dalam keistiqomahan dan memberikan makna kebahagiaan dalam kehidupan kita.

Dalam beramal tak hanya mengandalkan jiwa dan pikiran, lebih dari itu hati yang tulus menjadi pondasi setiap amalan menggapai keistiqomahan. Hingga suatu saat balasan dari kemuliaan kita dapatkan dari Allah Yang Maha Penyayang. Amin. [bersamadakwah]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2336553/inilah-kiat-istiqomah-di-jalan-allah#sthash.mYVySk9O.dpuf

Pentingnya Tabayyun

DI tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi dewasa ini, satu persoalan yang sering menjadi biang munculnya berbagai persoalan umat manusia dewasa ini adalah terkait dengan bagaimana menerima dan mengeluarkan informasi. Perkembangan teknologi informasi membuat setiap informasi menyebar ke seluruh penjuru dunia dalam hitungan detik, dengan berbagai latar belakang dan tujuan pihak yang menyampaikannya.

Di sini, kita menyaksikan banyak konflik muncul karena manajemen menerima dan memberi informasi ini tidak dikelola secara baik oleh umat Islam, sesuai ajaran Islam. Baik dari di kalangan masyarakat awam, dari pelosok desa hingga kaum terdidik di perkotaan. Maka di tengah berbagai persoalan dan konflik di masyarakat Muslim dan dunia dewasa ini, kebutuhan bagi kita untuk kembali berperilaku sesuai dengan ajaran Islam adalah sebuah keniscayaan sehingga cahaya Islam betul-betul muncul dari masyarakat Muslim, bukan justru tertutupi.

Oleh sebab itu, tugas kita adalah memastikan setiap informasi yang kita keluarkan atau informasi yang kita terima telah memenuhi kriteria “penyampaian-penerimaan” informasi yang ditegaskan Islam. Islam adalah agama yang secara jelas memiliki orientasi untuk menciptakan kedamaian dan kenyamanan bagi masyarakat, karena sebuah dunia yang damai akan lahir dari masyarakat yang damai pula. Sementara tatanan masyarakat yang damai lahir dari individu-individu yang berhati dan memiliki visi damai pula.

Komunikasi ideal
Oleh sebab itu banyak ayat-ayat dan hadis yang menyinggung tentang pola komunikasi yang ideal yang harus diperagakan umat Islam. Bahkan, secara jelas Islam memberikan rumus-rumus menuju kehidupan yang tenteram, aman dan penuh dengan nuansa baik sangka (husnudhan). Misalnya, firman Allah Swt yang menyeru kita untuk tabayyun: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujarat: 6)

video_syiar_islam

Ayat tersebut menjelaskan tentang rumus dalam menerima suatu informasi, agar informasi itu baik bagi kita dan masyarakat, di dunia hingga akhirat, baik informasi mengenai benda atau orang, mengenai agama, ilmu maupun perisitiwa yang dibutuhkan oleh seseorang untuk menentukan sikapnya.

Oleh sebab itu, karena mengingat begitu esensinya sebuah informasi bagi seseorang, maka hendaknya jangan sampai informasi tersebut salah, palsu, kurang akurat, tidak valid agar penerima informasi ini (publik) tidak salah dalam mengambil sikap dan keputusan. Informasi yang tidak valid, salah, tidak akurat sesungguhnya adalah menggunjing.

Lalu bagaimana Islam memandang perbuatan menggunjing ini? Mari perhatikan ayat Allah Swt dalam Alquran: “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujarat: 12).

Terhadap menggunjing ini, diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan menggunjing?” Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Dikatakan, “Bagaimana pendapatmu apabila apa yang aku katakan memang ada pada dirinya?” Beliau menjawab: “Apabila apa yang kamu katakan itu memang ada pada dirinya berarti engkau telah menggunjingnya dan apabila apa yang katakan itu tidak benar berarti kamu telah memfitnahnya.” (HR. Muslim).

Dari Abu Hurairah ra berkata: “Rasulullah saw bersabda: Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat agar mengucapkan yang baik-baik atau diam.” (HR. Bukhari).

Dalam hadis di atas, Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk berbicara hal-hal yang baik saja. Dan jika tidak mampu mengucapkan hal-hal yang baik, maka Rasulullah mengajarkan kita agar diam saja, karena diam dalam konteks ini dianggap lebih baik baginya. Maksudnya, diam lebih baik daripada ucapan itu tidak bermanfaat apalagi mengandung fitnah. Fitnah lebih berbahaya dari pada membunuh karena dengan fitnah jumlah orang yang terbunuh tak terhingga, sedangkan pembunuhan itu sendiri hanya terjadi terhadap satu orang atau beberapa orang yang dapat diketahui jumlahnya.

Allah Swt juga menjelaskan tentang fondasi sebuah masyarakat yang aman dan damai, dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah sesuatu puak (dari kaum lelaki) mencemuh dan merendah-rendahkan puak lelaki yang lain, (karena) harus puak yang dicemuhkan itu lebih baik daripada mereka; dan janganlah pula sesuatu puak dari kaum perempuan mencemuh dan merendah-rendahkan puak perempuan yang lain, (karena) harus puak yang dicemuhkan itu lebih baik daripada mereka; dan janganlah setengah kamu menyatakan keaiban setengahnya yang lain; dan janganlah pula kamu panggil-memanggil antara satu dengan yang lain dengan gelaran yang buruk. (Larangan-larangan yang tersebut menyebabkan orang yang melakukannya menjadi fasik, maka) amatlah buruknya sebutan nama fasik (kepada seseorang) sesudah ia beriman. Dan (ingatlah), sesiapa yang tidak bertaubat (dari pada perbuatan fasiknya) maka merekalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujarat: 11)

Fondasi persatuan
Kita yakin, bahwa apabila ayat-ayat tersebut di atas mampu diamalkan oleh umat Islam, maka Islam akan kembali berjaya, karena memang syarat kejayaan Islam adalah adanya fondasi persatuan yang kuat di kalangan umat Islam.

Lalu bagaimana cara menentukan suatu informasi benar dan akurat? Jika merujuk kepada cara periwayatan hadis, maka kategori hadis yang paling shahih adalah jika pihak yang meriwayatkan hadis itu memenuhi lima ciri yaitu bersambung sanad-nya (jalur penyampaiannya), kuat ingatan atau catatannya, adil, tidak ada cacat dan tidak syaz (kontradiktif dengan riwayat yang lebih kuat dari padanya).

Dari lima ciri perawi hadis di atas, yang perlu dicermati adalah syarat adil. Yang dimaksud dengan adil adalah orang yang meriwayatkan hadis tersebut terpelihara agamanya secara sempurna, terhindar dari sifat fasik dan terpelihara dari sifat yang meruntuhkan marwah-nya. Yang dimaksud dengan fasik adalah orang yang melakukan maksiat dan menyimpang dari agamanya, seperti orang yang tidak terpelihara shalatnya.

Meninggalkan salah satu waktu shalat, apalagi meninggalkannya berulang kali sudah cukup untuk menggolongkannya sebagai orang fasik yang tidak boleh diterima hadis darinya. Di antara sifat orang fasik yang lain adalah berbohong. Sedangkan yang dimaksud dengan marwah adalah orang yang berakhlak mulia seperti jujur dalam ucapannya dan terpelihara dari sifat tercela seperti mencaci-maki.

Oleh sebab itu, satu cara terbaik dalam menciptakan tatanan masyarakat yang aman dan damai adalah mengikuti tuntunan ajaran Islam, sesuai dengan ayat yang telah disebutkan di atas, yaitu berhati-hati dalam menerima sebuah informasi dengan meneliti apakah orang yang menyampaikan informasi itu adil sesuai dengan definisi yang telah disebutkan.

Sementara itu, jika seseorang tidak memiliki kemampuan meneliti dan tidak mengenal sosok penyampai informasi, maka cara terbaik adalah tidak menyebarkan berita tersebut sampai ia memastikan bahwa pembawa informasi itu adalah orang yang adil. Dalam kondisi seperti itu diam lebih baik baginya dari pada berucap, namun tidak benar. Wallahu a’lam bishshawab.

* Drs. H. Ibnu Sa’dan, M.Pd., Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama Provinsi Aceh

 

sumber: Aceh TribunNews

Sikap Tabayyun Terhadap Informasi

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Al-Hujurat: 6)

Ayat ini –seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir- termasuk ayat yang agung karena mengandung sebuah pelajaran yang penting agar umat tidak mudah terpancing, atau mudah menerima begitu saja berita yang tidak jelas sumbernya, atau berita yang jelas sumbernya tetapi sumber itu dikenal sebagai media penyebar berita palsu, isu murahan atau berita yang menebar fitnah. Apalagi perintah Allah ini berada di dalam surah Al-Hujurat, surah yang sarat dengan pesan etika, moralitas dan prinsip-prinsip mu’amalah sehingga Sayyid Quthb mengkategorikannya sebagai surah yang sangat agung lagi padat (surat jalilah dhakhmah), karena memang komitmen seorang muslim dengan adab dan etika agama dalam kehidupannya menunjukkan kualitas akalnya (adabul abdi unwanu aqlihi).

Peringatan dan pesan Allah dalam ayat ini tentu bukan tanpa sebab atau peristiwa yang melatarbelakangi. Terdapat beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini yang pada kesimpulannya turun karena peristiwa berita bohong yang harus diteliti kebenarannya dari seorang Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith tatkala ia diutus oleh Rasulullah untuk mengambil dana zakat dari Suku Bani Al-Musththaliq yang dipimpin waktu itu oleh Al-Harits bin Dhirar seperti dalam riwayat Imam Ahmad. Al-Walid malah menyampaikan laporan kepada Rasulullah bahwa mereka enggan membayar zakat, bahkan berniat membunuhnya, padahal ia tidak pernah sampai ke perkampungan Bani Musththaliq. Kontan Rasulullah murka dengan berita tersebut dan mengutus Khalid untuk mengklarifikasi kebenarannya, sehingga turunlah ayat ini mengingatkan bahaya berita palsu yang coba disebarkan oleh orang fasik yang hampir berakibat terjadinya permusuhan antar sesama umat Islam saat itu. Yang menjadi catatan disini bahwa peristiwa ini justru terjadi di zaman Rasulullah yang masih sangat kental dan dominan dengan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran. Lantas bagaimana dengan zaman sekarang yang semakin sukar mencari sosok yang jujur dan senantiasa beri’tikad baik dalam setiap berita dan informasi yang disampaikan?.

Secara bahasa, kata fasiq dan naba’ yang menjadi kata kunci dalam ayat di atas disebut dalam bentuk nakirah (indifinitive) sehingga menunjukkan seseorang yang dikenal dengan kefasikannya serta menunjukkan segala bentuk berita dan informasi secara umum; berita yang besar atau kecil, yang terkait dengan masalah pribadi atau sosial, apalagi berita yang besar yang melibatkan segolongan kaum atau komunitas tertentu yang berdampak sosial yang buruk.

Sayyid Thanthawi mengemukakan analisa redaksional bahwa kata “in” yang berarti “jika” dalam ayat “jika datang kepadamu orang fasik membawa berita” menunjukkan suatu keraguan sehingga secara prinsip seorang mu’min semestinya bersikap ragu dan berhati-hati terlebih dahulu terhadap segala informasi dari seorang yang fasik untuk kemudian melakukan pengecekan akan kebenaran berita tersebut sehingga tidak menerima berita itu begitu saja atas dasar kebodohan (jahalah) yang akan berujung kepada kerugian dan penyesalan. Maka berdasarkan acuan ini, sebagian ulama hadits melarang dan tidak menerima berita dari seseorang yang majhul (tidak diketahui kepribadiannya) karena kemungkinan fasiknya sangat jelas.

Berdasarkan hukumnya, As-Sa’di membagikan sumber (media) berita kepada tiga klasifikasi:
Pertama, berita dari seorang yang jujur yang secara hukum harus diterima.
Kedua, berita dari seorang pendusta yang harus ditolak.
Ketiga, berita dari seorang yang fasik yang membutuhkan klarifikasi, cek dan ricek akan kebenarannya.

video_syiar_islam

Disini, yang harus diwaspadai adalah berita dari seorang yang fasik, seorang yang masih suka melakukan kemaksiatan, tidak komit dengan nilai-nilai Islam dan cenderung mengabaikan aturannya. Lantas bagaimana jika sumber berita itu datang dari media yang cenderung memusuhi Islam dan ingin menyebar benih permusuhan dan perpecahan di tengah umat, tentu lebih prioritas untuk mendapatkan kewaspadaan dan kehati-hatian.

Selain sikap waspada dan tidak mudah percaya begitu saja terhadap sebuah informasi yang datang dari seorang fasik, Allah juga mengingatkan agar tidak menyebarkan berita yang tidak jelas sumbernya tersebut sebelum jelas kedudukannya. Allah swt berfirman, “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Qaaf: 18).

Sehingga sikap yang terbaik dari seorang mukmin seperti yang pernah dicontohkan oleh para sahabat yang dipelihara oleh Allah saat tersebarnya isu yang mencemarkan nama baik Aisyah ra adalah mereka tetap berbaik sangka terhadap sesama mukmin dan senantiasa berwaspada terhadap orang yang fasik, apalagi terhadap musuh Allah yang jelas memang menginginkan perpecahan dan perselisihan di tubuh umat Islam.

“Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” (An-Nur: 16).

Dalam sebuah riwayat dari Qatadah disebutkan, “At-Tabayyun minaLlah wal ‘ajalatu Minasy Syaithan”, sikap tabayun merupakan perintah Allah, sementara sikap terburu-buru merupakan arahan syaitan.

Semoga kita mampu menangkap pesan Allah yang cukup agung ini agar terhindar dari penyesalan dan kerugian. Allahu a’lam

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/02/26/413/sikap-tabayyun-terhadap-informasi/#ixzz4PClKsFVR

Mengapa Mesti Tabayyun?

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian.
[al-Hujurât/49:6].

MUQADDIMAH
Kehidupan bermasyarakat tidak lekang dari isu, gosip sampai adu domba antar manusia. Keadaan ini diperkeruh oleh adanya sekelompok masyarakat menjadikan gosip dan `aib serta `aurat (kehormatan) orang lain sebagai komoditas perdagangan untuk meraup keuntungan dunia. Bahkan untuk tujuan popularitas ada yang menjual gosip yang menyangkut diri dan keluarganya.

Perilaku gosip yang telah menjadi penyakit masyarakat ini tidak disadari oleh kebanyakan pecandunya, bahwasanya menyebarluaskan gosip itu ibarat telah saling memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Allah Ta’ala menggambarkan demikian itu ketika melarang kaum beriman saling ghibah (menggunjing), sebagaimana tersebut dalam al-Qur`ân:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian memata-matai dan saling menggunjing. Apakah di antara kalian ada yang suka menyantap daging bangkai saudaranya sendiri? Sudah barang tentu kalian jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allaah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang. [al-Hujurât/49:12].

Dari penyakit ini, syahwat akan meluas dan berkembang penyakit lain yang tidak kalah bahayanya, di antaranya kebiasaan berbohong, memutuskan silaturrahim, melakukan hajr (memboikot, mendiamkan), at-tahazzub (kekelompokan), al-walâ` dan al-barâ` (suka dan benci) yang tidak sesuai tempatnya, bahkan sampai bisa sampai pada tahapan saling membunuh. Na’ûdzu billâhi min dzâlik.

Penyakit menggungjing ini tidak akan terobati selama Al-Qur`ân hanya diperlakukan sebagai sekedar ilmu pengetahuan yang dibaca dan dikhutbahkan di mimbar- mimbar, dan tidak menjadikannya sebagai terapi. Padahal Allah Ta`ala berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Dan kami turunkan Al-Qur`ân sebagai obat dan rahmah bagi kaum beriman. [al-Isrâ`/17:82].

Allah Ta`ala juga berfirman:

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

Sesungguhnya Al-Qur`ân ini membimbing ke jalan yang paling lurus. [al-Isrâ`/17:9]

Terapi dari Al-Qur`ân dengan satu kata inti, yaitu tabayyun. Allah Ta’ala telah menyebutkannya dalam surat al-Hujurât/49 ayat 6 ini, dan insyaa Allaah, akan dilakukan pembahasan yang ditinjau dari tiga sisi. Wallâhul- Muwaffiq.

SABABUN- NUZÛL
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menyatakan, ayat ini dilatarbelakangi oleh suatu kasus sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalur. Yang terbaik, ialah dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari jalur kepala suku Banil-Mushthaliq, yaitu al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i, ayah dari Juwairiyah bintil-Hârits Ummil-Mu`minîn Radhiyallahu anhuma.

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Kami diberithu oleh Muhammad ibnu Sâbiq, beliau berkata : aku diberithu ‘Îsâ ibnu Dînâr, beliau berkata : aku diberithu oleh ayahku, bahwa beliau mendengar langsung penuturan al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i Radhiyallahu anhu :

Al-Hârits mengatakan: “Aku mendatangi Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya. Aku katakan: ‘Wahai, Rasûlullâh. Aku akan pulang untuk mengajak mereka berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu’.”

Setelah ia mengumpulkan zakat tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada tempo yang diinginkan Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang. Sementara itu al-Hârits mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya marah, maka ia pun segera mengumpulkan kaumnya yang kaya dan mengumumkan: “Dulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menentukan waktu untuk memerintahkan utusannya agar mengambil zakat yang ada padaku, sedangkan menyelisihi janji bukanlah kebiasaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin utusannya ditahan, kecuali karena adanya kemarahan Allah dan Rasûl-Nya. Maka dari itu, mari kita mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Sebenarnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah kepada al-Hârits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan, al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembalilah kepada Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari mengatakan: “Wahai, Rasûlallâh! Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku,” maka marahlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengutus pasukan kepada al-Hârits. Sementara itu, al-Hârits telah berangkat bersama kaumnya.

Tatkala pasukan berangkat dan meninggalkan Madinah, bertemulah al-Hârits dengan mereka, kemudian terjadilah dialog:

Pasukan itu berkata: “Ini dia al-Hârits”.
Setelah al-Hârits mengenali mereka, ia pun berkata: “Kepada siapa kalian diutus?”
Mereka menjawab: “Kepadamu”.
Dia bertanya: “Untuk apa?”

Mereka menjawab: “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya”.

Al-Hârits menyahut: “Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sesungguhnya; aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang kepadaku”.

Setelah al-Hârits menghadap, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh utusanku?”

Al-Hârits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu,” maka turunlah ayat dalam surat al-Hujurât: [1]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

TAFSIR PER KALIMAT
1. يا أيّها الّذين آمنوا (wahai orang- orang yang beriman).
Ayat ini diawali dengan seruan kepada ahlul-îmân. Disamping kasus ini terjadi di antara kaum beriman seperti yang kami paparkan di atas, juga karena berkaitan dengan perintah yang tidak sah dilaksanakan kecuali oleh orang yang beriman. Ayat ini, sekaligus menunjukkan bahwa penyelewengan terhadap perintah ini dapat mengurangi kadar keimanan seseorang. Oleh karena itu, mari kita mempersiapkan telinga dan hati, seraya memohon kepada Allah agar melapangkan dada kita dengan nasihat ayat ini.

2. إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا (jika ada orang fâsiq yang datang kepadamu dengan membawa berita penting).
An-Naba`, artinya isu (kabar) penting. Adapun orang faasiq, ialah pelaku fusuuq, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan adalah fusuuq. Karena itu, faasiq diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu fâsiq besar dan fâsiq kecil.

Fâsiq besar, identik dengan kufur besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Dinyatakan oleh Allaah Ta’ala dalam banyak ayat al-Qur`ân:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang munaafik itulah orang-orang yang fâsiq. [at-Taubah/9:67].

Kita juga mengetahui, kemunafikan kaum munafikin pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering disebutkan dalam Al-Qur`ân ialah kemunafikan i’tiqâdi (besar). Begitu pula tentang Fir’aun dan para pengikutnya:

إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ

Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fâsiq. [al-Qashash/28:32].

Kefâsikan kecil, identik dengan dosa besar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Seperti berbohong, mengadu domba, memutuskan perkara tanpa melakukan tabayyun (penelitian terhadap kebenaran beritanya) terlebih dahulu. Hal ini banyak pula disebutkan Allah, di antaranya pada ayat-ayat berikut.

وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ

Dan janganlah pencatat maupun saksi (hutang-piutang) itu mencelakakan. Dan jika kalian lakukan itu, maka itu menjerumuskan kalian dalam kefasikan. [al-Baqarah/2:282].

فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Maka barang siapa yang telah menentukan pada bulan- bulan tersebut untuk berhajji, maka janganlah rafats, jangan pula melakukan fusûq, jangan pula berdebat pada saat berhaji. [al-Baqarah/2:197].

Dalam menafsirkan kata (fusûq) dalam ayat di atas, para ulama mengatakan, yaitu perbuatan maksiat [2]. Dan kefasikan yang dilakukan oleh shahâbi (sahabat) dalam sababun-nuzûl ayat ini, yaitu kebohongannya dalam menyampaikan berita.

Imam Al-Qurthubi[3] berkata: “Al-Walîd dinyatakan fâsiq, artinya berbohong”.[4]

Sehingga, dampak dari indikasi fâsiq menunjukkan bahwa apabila kebohongan saja yang merupakan kefasikan kecil sudah mengharuskan kita mewaspadai serta perlu untuk tabayyun, maka apalagi jika perbuatan itu merupakan fâsiq besar.

3. فتبيّنوا (maka telitilah dulu).
Ada dua qirâ`ah pada kalimat ini. Jumhûr al-Qurrâ membacanya “fatabayyanû”, sedangkan al-Kissâ`i dan para qurrâ` Madinah membacanya “fatatsabbatû”.[5] Keduanya benar dan memiliki makna yang sama.[6]

Tentang kalimat ini, ath-Thabari memaknainya: “Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya ….”[7]

Syaikh al-Jazâ`iri mengatakan, artinya, telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat atau memvonis.[8]

4. أن تصيبوا قوما بجهالة (agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan).
Keterkaitan makna antara ketidaktahuan dengan kesalahan sangat erat, sehingga kata “jahâlah” dimaknai kesalahan.

Imam Al-Qurthubi mengatakan, “bi jahâlah,” maksudnya ialah secara salah.[9] Adapun kesalahan yang terus dibela serta dicari-cari pembenarannya dengan berbagai dalih, maka demikian ini merupakan sifat dan kebiasaan kaum Nashara, sehingga Allah Ta’ala menyebut mereka dengan azh-zhâllîn. Yaitu orang-orang yang tersesat sebagaimana disebutkan dalam suurat al-Fâtihah.

Penjelasan dari satu pihak yang mengadu tanpa tabayyun kepada yang diadukan, dapat menyebabkan keruhnya pandangan kita terhadap seseorang yang asalnya bersih, sehingga kita berburuk sangka kepadanya, enggan bertemu dan bahkan memboikotnya, dan akibat yang ditimbulkannyapun meluas. Jika dalam perdagangan bisa menurunkan omzet, dalam pergaulan menurunkan simpati, dalam dakwah menjadikan ummat tidak mau menerima nasihat dan pelajaran yang disampaikannya, bahkan bisa sampai pada anggapan bahwa semua yang diajarkannya dianggap tidak benar. Jika demikian, maka yang mendapat kerugian ialah ummat.

5. فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (kemudian kalian menyesal atas perlakuan kalian).
Allah Ta’ala menyebutkan penyesalan ini akan menimpa seseorang yang salah dalam menjatuhkan keputusan karena memandang suatu masalah (perkara) tanpa tabayyun, dan bukan dari orang yang diisukan negatif. Karena yang memvonis ini telah berbuat zhalim. Sedangkan yang tertuduh tanpa bukti, ia berarti mazhlûm (terzhalimi). Padahal Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ

Dan hindarilah doa orang yang terzhalimi. Sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doa orang yang terzhalimi dengan Allah.[10]

ANTARA KEUMUMAN LAFAZH DAN KEKHUSUSAN SEBAB DALAM AYAT INI
Merupakan kaidah pokok di kalangan ahli tafsir, bahwa:

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

(yang menjadi patokan adalah keumuman indikasi lafazhnya, bukan kekhususan sebabnya).[11]

Kaidah ini mengajarkan kepada kita, bahwa dalil-dalil yang berlatar belakang kasus tertentu, tidak hanya berlaku untuk kasus tersebut pada waktu itu saja. Tetapi juga berlaku terhadap kasus sejenis pada masa sesudahnya, bahkan kasus-kasus yang tercakup dalam keumuman lafazh tersebut. Dan tentunya, kasus yang sejenis menempati peringkat utama terhadap pemberlakuan ayat tersebut.

Oleh karena itu, dalam ayat ini terdapat dua pedoman.

1. Kasus khusus, yaitu tentang kebohongan al-Walîd dan sunnah tabayyun dari Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika tidak melakukan tabayyun, bisa berakibat vonis murtad, peperangan dan pembunuhan.

2. Indikasi umum yang terkandung dalam dua kata bernada muthlak, yaitu “fâsiq”, dan “naba`”.

Fâsiq, ini berkaitan dengan kualitas pembawa berita. Dalam istilah ahli hadits disebut “rijâl” atau “sanad”. Sedangkan “naba`” yang berarti masalah penting, dan dalam istilah ahli hadits disebut matan (substansi berita).

Pada poin ini, kesalahan sebagian orang ialah menyempitkan makna ayat ini dengan mengatakan, jika yang membawa isu (kabar) tersebut atau bahkan yang memberi vonis tersebut seorang ustadz, maka sudah pasti benar, karena ia (ustadz itu) orang shâlih. Sebaliknya, apabila –ternyata- vonis ustadz tersebut salah, karena berdasarkan persangkaan tanpa tabayyun, apakah kita akan menyematkan pada ustadz tersebut sebagai “fâsiq”?

Tatkala Penulis bertanya tentang hal ini kepada al-‘Allâmah Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi – hafizhahullâh- beliau menjawab dengan tegas: “Engkau perhatikan sabab nuzûl ayat tersebut. Bukankah turun berkenaan tentang shahâbi (sahabat Nabi)?”

Maksud beliau –hafizhahullâh-, bahwasanya shahâbi sudah tentu ‘âdil (legitimate), bahkan ta`dîl (legitimasi) para sahabat dari Allah ialah “radhiyallâhu’anhum waradhû ‘anhu”. Artinya, Allah telah meridhai mereka, dan mereka pun meridhai-Nya.

Kurang legitimate apa shahâbi? Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menyuruh Khâlid ibnul-Walîd agar melakukan tabayyun atau tatsabbut (cross check), karena pengaduan al-Walîd ini akan berakibat fatal. Kasus ini lebih utama dalam penerapan ayat di atas dari pada keumuman lafazh.

Kesimpulan yang bisa diambil dari ayat ini sebagai berikut.

  1. Ayat ini merupakan pelajaran adab bagi orang beriman dalam menghadapi suatu isu atau berita yang belum jelas.
  2. Pelaksanaan perintah tabayyun, merupakan ibaadah yang dapat meningkatkan iman. Dan meninggalkan tabayyun dapat mengurangi iman.
  3. Kewajiban tabayyun dibebankan kepada orang yang menerima kabar berita dan akan menjatuhkan vonis terhadap pihak yang tertuduh.
  4. Dilanggarnya perintah tabayyun, dapat berdampat pada kerusakan hubungan pribadi dan masyarakat.
  5. Penyesalan di dunia maupun akhirat akan ditimpakan kepada orang yang menerima isu negatif, menyebarkannya, serta kepada orang yang menjatuhkan vonis tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu.

Demikian, tafsir ringkas ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memuliakan kita dengan hidâyatut-taufîq, sehingga kita berlapang dada dengan nasihat ini. Wa âkhiru da’wânâ, ‘anil-hamdu lillâhi Rabbil ‘âlamîn.

 

Oleh Ustadz Syaikh Mudrika

sumber: AlManhaj

 

Keistimewaan Para Nabi Dibandingkan Manusia Biasa

BILA di akhir zaman ini banyak orang mengaku nabi, janganlah heran dan bingung. Ada banyak hal yang membuat kita tak perlu bingung, meski sebagaimana pun Kharisma tokoh pengaku nabi tersebut.

Nabi dan rasul adalah manusia-manusia terbaik pilihan Allah SWT untuk mengemban risalahnya. Para nabi dan rasul ini juga memiliki keistimewaan tertentu dan di antaranya tidak dimiliki oleh manusia biasa.

Di antara keistimewaan nabi dan rasul adalah:

Para nabi dan rasul memiliki fisik yang lebih baik dari manusia biasa. Sebagaimana Nabi Musa yang kuat, Nabi Yusuf memiliki ketampanan luar biasa, dan secara umum tidak ada nabi dan rasul yang cacat.

Allah anugerahkan mereka akhlak yang mulia. Para nabi dan rasul terjaga dari akhlak yang rendah, agar orang-orang tidak mencela mereka ketika mereka berdakwah dan menyeru kepada kebaikan saat diperintahkan berdakwah.

Memiliki nasab atau silsilah keturunan yang baik atau dari anak-anak keluarga yang dipandang di masyarakatnya.

Para nabi dan rasul adalah orang-orang yang cerdas. Sebagaiman kisah Nabi Ibrahim yang berdialog dengan ayahnya dengan cara yang santun, berdialog dengan kaumnya dan Raja Namrud dengan argumentasi yang tidak terbantahkan. Demikian juga nabi dan rasul lainnya.

Kesabaran mereka tidak tertandingi. Nabi Nuh berdakwah selama 950 tahun hanya dengan segelintir pengikut, yang tidak lebih dari 10 orang.

Para nabi menerima wahyu

Terjaga dari dosa, apalagi sampai berbuat syirik. Oleh karena itu, tidak benar apa yang dikatakan oleh orang-orang filsafat bahwasanya Nabi Ibrahim sempat mengalami fase pencarian Tuhan.

Saat tidur, hati mereka tetap terjaga. Berbeda dengan kita manusia biasa seperti kita, ketika tidur maka hati kita pun tertidur; tidak berzikir dan mengingat Allah atau aktivitas hati lainnya.

Ketika nyawa mereka hendak dicabut, maka Allah berikan pilihan; agar tetap kekal di dunia atau berjumpa dengan Allah. Sebagaimana Nabi Muhammad yang memilih “ila rofiqul ala”.

Jasad para nabi tidak hancur di kubur-kubur mereka.

Ketika wafat, harta mereka tidak diwariskan akan tetapi menjadi sedekah. Oleh karena itu Abu Bakar tidak mengabulkan Fathimah radhiallahu anha tentang peninggalan Nabi Muhammad SAW.

Dimakamkan di tempat mereka wafat. Sebagaimana Nabi Muhammad yang wafat di kamar ummul mukminin Aisyah radhiallahu anha, maka beliau di kubur di kamar sang istri tercinta.

Para nabi dan rasul khusus dari kalangan laki-laki, tidak dari wanita.

Para nabi dan rasul adalah orang-orang merdeka, tidak seorang pun di antara mereka adalah budak.

Para nabi didoakan, oleh karena itu sering disertai nama-nama nabi dengan shallallahu alaihi wa sallam atau alaihissalam karena salawat adalah di antara kekhususan para nabi.

Doa para nabi, doa yang mustajab.

Para nabi dan rasul memiliki telaga di akhirat kelak untuk umat-umat mereka. Walaupun hadis tentang ini diperselisihkan oleh para ulama, apakah selain Nabi Muhammad juga memiliki telaga. Adapun tentang telaga Nabi Muhammad para ulama sepakat tentang kesahihannya.

Para nabi dan rasul adalah orang yang tinggal di perkotaan, bukan dari kalangan badui atau desa.

Para nabi tidak mengalami mimpi “basah”, karena mimpi yang demikian adalah mimpi yang berasal dari setan.

Mimpi para nabi dan rasul adalah sesuatu yang akan menjadi kenyataan. Ketika para nabi dan rasul melihat sesuatu dalam mimpi mereka, maka hal itu akan terjadi. Sebagaimana mimpi Nabi Yusuf di kala kecil, melihat matahari, bulan, dan bintang bersujud kepadanya. Wallahu alam. []

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2335697/keistimewaan-para-nabi-dibandingkan-manusia-biasa#sthash.0Q3CovHB.dpuf

Betapa Lembutnya Tutur Kata Rasulullah

DARI Anas bin Malik berkata; “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah bertutur kata yang keji, (tidak pernah pula) melaknat dan mencela orang lain. Dan apabila beliau hendak mencela seseorang, maka beliau akan (menyindirnya saja) dengan berkata: “Mengapa dahinya berdebu?” (HR. Bukhari)

Hikmah Hadis:

1. Diantara kemuliaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bahwa beliau senantiasa bertutur kata yang baik, lembut dan berusaha tidak menyinggung perasaan orang lain (para sahabat). Beliau tidak pernah berkata yang kasar dan keji, tidak pernah pula melaknat atau mencela orang lain, serta senantiasa mengedepankan kasih sayang. Maka diantara cara mengikuti sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan berusaha bertutur kata yang baik, lembut dan tidak mencela atau melaknat sesama muslim lainnya.

2. Kalaupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka dengan perbuatan atau perangai seseorang, maka beliau hanya mengungkapkan dengan perkataan sindiran yang menunjukkan ketidaksukaan beliau terhadap orang tersebut, seperti ungkapan beliau, “Mengapa dahinya berdebu?” Dan umumnya para sahabat memahami bahwa ungkapan tersebut adalah bentuk teguran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sungguh, betapa mulianya akhlak beliau. Allahumma shalli wasallim wabarik alaih.

Wallahu A’lam. [Ustadz Rikza Maulan, Lc., M.Ag.]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2334889/betapa-lembutnya-tutur-kata-rasulullah#sthash.1QM6SHCy.dpuf

Resep Romantisme Rasulullah kepada Istri-istrinya

RASULULLAH SAW adalah sosok suami yang paling mesra terhadap istri-istrinya. Berikut beberapa tips untuk menjaga kemesraan yang dikompilasi dari hadis-hadis dan riwayat yang menceritakan Rasulullah SAW.

1. Suami membukakan pintu untuk istrinya, baik di kendaraan, rumah, maupun yang lain

Istilah yang cukup akrab di telinga kita, yang katanya orang-orang modern ini “Ladies First” ternyata sudah dilakukan Rasulullah sejak berabad-abad yang lalu, di saat kebudayaan lain di dunia menganggap wanita lebih rendah, bahkan diragukan statusnya sebagai ‘manusia’.

Dari Anas, dia berkata: “Kemudian kami pergi menuju Madinah (dari Khaibar). Aku lihat Nabi SAW menyediakan tempat duduk yang empuk dari kain di belakang beliau untuk Shafiyyah. Kemudian beliau duduk di samping untanya sambil menegakkan lutut beliau dan Shafiyyah meletakkan kakinya di atas lutut beliau sehingga dia bisa menaiki unta tersebut.” (HR Bukhari)

2. Mencium istri ketika pergi dan datang

Sungguh hal yang romantis dan bisa menimbulkan rasa kasih sayang jika kita bisa membiasakan mencium istri/suami ketika hendak bepergian atau baru pulang.

Dari Aisyah ra, bahwa NabiSAW biasa mencium istrinya setelah wudhu, kemudian beliau shalat dan tidak mengulangi wudhunya.”(HR Abdurrazaq)

3. Makan/minum sepiring/segelas berdua

Dari Aisyah RA, ia berkata : Saya dahulu biasa makan his (sejenis bubur) bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam ” (HR. Bukhori dalam Adabul Mufrod)

Dari Aisyah Ra, ia berkata : Aku biasa minum dari gelas yang sama ketika haidh, lalu Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mengambil gelas tersebut dan meletakkan mulutnya di tempat aku meletakkan mulut, lalu beliau minum (HR Abdurrozaq dan Said bin Manshur, dan riwayat lain yang senada dari Muslim.)

Nabi saw pernah minum di gelas yang digunakan Aisyah. Beliau juga pernah makan daging yang pernah digigit Aisyah.(HR Muslim No. 300)

Bahkan keberkahannya dijamin,diriwayatkan Abu Hurairah : “Makanan berdua cukup untuk tiga orang, makanan tiga orang cukup untuk empat orang” ( HR Bukhori (5392) dan Muslim (2058))

4. Suami menyuapi istri

Dari Saad bin Abi Waqosh ra berkata : Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda : “Dan sesungguhnya jika engkau memberikan nafkah, maka hal itu adalah sedekah, hingga suapan nasi yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu” (HR Bukhori (VI/293) dan Muslim (V/71)

5. Berlemah lembut, melayani/menemani istri yang sedang sakit (memanjakan istri sakit)

Diriwayatkan oleh Aisyah ra, nabi SAW adalah orang yang penyayang lagi lembut. Beliau orang yang paling lembut dan banyak menemani istrinya yang sedang mengadu atau sakit. (HR Bukhari No 4750, HR Muslim No 2770)

6. Bersenda gurau dan membangun kemesraan

Aisyah dan Saudah pernah saling melumuri muka dengan makanan. Nabi SAW tertawa melihat mereka. (HR Nasai dengan isnad hasan)

Dari Zaid bin Tsabit berkata tentang Rasulullah : suka bercanda dengan istrinya (HR Bukhari)

7. Menyayangi istri dan melayaninya dengan baik

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda: Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik diantara kalian ialah yang paling baik terhadap istrinya (HR.Tirmidzi, Ibnu Hibban, hadits hasan shahih).

8. Memberi hadiah

Dari Ummu Kaltsum binti Abu Salamah, ia berkata, “Ketika Nabi SAW menikah dengan Ummu Salamah, beliau bersabda kepadanya, Sesungguhnya aku pernah hendak memberi hadiah kepada Raja Najasyi sebuah pakaian berenda dan beberapa botol minyak kasturi, namun aku mengetahui ternyata Raja Najasyi telah meninggal dunia dan aku mengira hadiah itu akan dikembalikan. Jika hadiah itu memang dikembalikan kepadaku, aku akan memberikannya kepadamu.”

Ia (Ummu Kultsum) berkata, “Ternyata keadaan Raja Najasyi seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, dan hadiah tersebut dikembalikan kepada beliau, lalu beliau memberikan kepada masing-masing istrinya satu botol minyak kasturi, sedang sisa minyak kasturi dan pakaian tersebut beliau berikan kepada Ummu Salamah.” (HR Ahmad)

9. Tetap romantis walau istri sedang haid

Haid, adalah sesuatu yang alamiah bagi wanita. Berbeda dengan pandangan kaum Yahudi, yang menganggap wanita haid adalah najis besar dan tidak boleh didekati.

Ketika Aisyah sedang haid, Nabi SAW pernah membangunkannya, beliau lalu tidur dipangkuannya dan membaca Al Quran (HR Bukhari no 7945)

10. Mengajak istri makan di luar

Mungkin kebanyakan kita, lebih suka pergi bersama teman-teman, meninggalkan istri di rumah. Nah yang ini mungkin familiar, saya suka bilang ama istri “nge-date” yuk! ini bisa membangkitkan romantisme berdua. Menikmati lingkungan disekitar.

Anas mengatakan bahwa tetangga Rasulullah SAW -seorang Persia- pintar sekali membuat masakan gulai. Pada suatu hari dia membuatkan masakan gulai yang enak untuk Rasulullah SAW. Lalu dia datang menemui Rasululiah SAW untuk mengundang makan beliau. Beliau bertanya: “Bagaimana dengan ini? (maksudnya Aisyah).” Orang itu menjawab: “Tidak.” Rasulullah SAW berkata: “(Kalau begitu) aku juga tidak mau.” Orang itu kembali mengundang Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bertanya: “Bagaimana dengan ini?” Orang itu menjawab: “Tidak.” Rasulullah kembali berkata: “Kalau begitu, aku juga tidak mau.” Kemudian, orang itu kembali mengundang Rasulullah saw. dan Rasulullah saw. kembali bertanya: “Bagaimana dengan ini?” Pada yang ketiga kalinya ini orang Persia itu mengatakan: “Ya.” Akhirnya mereka bangun dan segera berangkat ke rumah laki-laki itu.” (HR Muslim)

11. Mengajak istri jika hendak ke luar kota.

Biasanya para suami, kalau ada tugas ke luar kota, hal-hal seperti ini dijadikan kesempatan. Tapi tak ada salahnya kalau rejeki kita cukup, kita ajak istri kita pergi juga, tinggal bilang sama bos (syukur-syukur kalau bos mau bayarin hehehe..), kalo saya biasanya biaya sendiri.

Aisyah berkata: “Biasanya Nabi saw. apabila ingin melakukan suatu perjalanan, beliau melakukan undian di antara para istri. Barangsiapa yang keluar nama/nomor undiannya, maka dialah yang ikut pergi bersama Rasulullah saw. (HR Bukhari dan Muslim)

12. Menghibur diri bersama istri ke luar rumah (entertainment)

Dari Aisyah, dia berkata: “Pada suatu hari raya orang-orang berkulit hitam mempertontonkan permainan perisai dan lembing. Aku tidak ingat apakah aku yang meminta atau Nabi saw. sendiri yang berkata padaku: Apakah aku ingin melihatnya?Aku jawab: Ya. Lalu beliau menyuruhku berdiri di belakangnya. Pipiku menempel ke pipi beliau. Beliau berkata: Teruskan main kalian, wahai Bani Arfidah (julukan orang-orang Habsyah)! Hingga ketika aku sudah merasa bosan beliau bertanya: Apakah kamu sudah puas?Aku jawab: Ya. Beliau berkata: Kalau begitu, pergilah!'” (HR Bukhari dan Muslim)

13. Mencium istri sering-sering

Mencium istri dengan penuh kasih sayang, sangatlah mulia dan romantis. Berbeda dengan ciuman yang dilakukan karena nafsu seperti di film-film yang kebanyakan ada di layar kaca.

Nabi saw sering mencium Aisyah dan itu tidak membatalkan puasa (HR Nasai dalam Sunan Kubra II/204)

14. Suami mengantar istri

Kadang banyak dari kita malas mengantar istri kita bepergian. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika istri saya keluar rumah sendirian, ada masalah di jalan dia kebingungan.

Shafiyyah, istri Nabi SAW, menceritakan bahwa dia datang mengunjungi Rasulullah saw. ketika beliau sedang melakukan itikaf pada hari sepuluh yang terakhir dari bulan Ramadhan. Dia berbicara dekat beliau beberapa saat, kemudian berdiri untuk kembali. Nabi saw. juga ikut berdiri untuk mengantarkannya.” (Dalam satu riwayat492 dikatakan: “Nabi SAW berada di masjid. Di samping beliau ada para istri beliau. Kemudian mereka pergi (pulang). Lantas Nabi saw. berkata kepada Shafiyyah binti Huyay: Jangan terburu-buru, agar aku dapat pulang bersamamu'”) (HR Bukhari dan Muslim)

15. Suami istri berjalan dimalam hari

Duh, so sweet.. Jalan berdua menikmati keindahan alam.

Rasulullah datang pada malam hari, kemudian mengajak aisyah berjalan-jalan dan berbincang-bincang (HR Muslim 2445)

16. Panggilan khusus pada istri

Kadang kita memanggil istri kita, honey, yayank, dan seterusnya, dan seterusnya.. seperti itu pun Rasulullah.Nabi saw memanggil Aisyah dengan Humairah artinya yang kemerah-merahan pipinya. Rasulullah juga suka memanggil aisyah dg sebutan “aisy/aisyi”, dalam culture arab pemenggalan huruf terakhir menunjukan “panggilan manja/tanda sayang”

17. Memberi sesuatu yang menyenangkan istri

Dari Said bin Yazid, bahwa ada seorang wanita datang menemui Nabi, kemudian Nabi bertanya kepada Aisyah: “Wahai Aisyah, apakah engkau kenal dia?” Aisyah menjawab: “Tidak, wahai Nabi Allah.” Lalu, Nabi bersabda: “Dia itu Qaynah dari Bani Fulan, apakah kamu mau ia bernyanyi untukmu?”, maka bernyanyilah qaynah itu untuk Aisyah. (HR. An Nasai, kitab Asyratun Nisa, no. 74)

18. Memperhatikan perasaan istri

“Sesungguhnya ketika seorang suami memperhatikan istrinya dan begitu pula dengan istrinya, maka Allah memperhatikan mereka dengan penuh rahmat, manakala suaminya merengkuh telapak tangan istrinya dengan mesra, berguguranlah dosa-dosa suami istri itu dari sela jemarinya” (Diriwayatkan Maisarah bin Ali dari Ar- Rafi dari Abu Said Alkhudzri r.a)

19. Segera menemui istri jika tergoda.

Dari Jabir, sesungguhnya Nabi saw pernah melihat wanita, lalu beliau masuk ke tempat Zainab, lalu beliau tumpahkan keinginan beliau kepadanya, lalu keluar dan bersabda, “Wanita, kalau menghadap, ia menghadap dalam rupa setan. Bila seseorang di antara kamu melihat seorang wanita yang menarik, hendaklah ia datangi istrinya, karena pada diri istrinya ada hal yang sama dengan yang ada pada wanita itu.” (HR Tirmidzi)

20. Berpelukan saat tidur

Tidak saya deskripsikan, soalnya ada yang belum merid lho? (HR Tirmidzi 132)

21. Membantu pekerjaan rumah tangga

Hal inilah yang kadang-kadang masih males. Tapi jika dikerjakan berdua, biasanya jadi tidak berasa, sambil becanda ataupun ngobrol-ngobrol.Aisyah pernah ditanya: “Apa yang dilakukan Nabi saw. di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau ikut membantu melaksanakan pekerjaan keluarganya.” (HR Bukhari)

22. Mengistimewakan istri

Dari Anas, dia berkata: “Kemudian kami pergi menuju Madinah (dari Khaibar). Aku lihat Nabi SAW menyediakan tempat duduk yang empuk dari kain di belakang beliau untuk Shafiyyah.” (HR Bukhari)

23. Mendinginkan kemarahan istri dengan mesra

Nabi saw biasa memijit hidung Aisyah jika ia marah dan beliau berkata, Wahai Aisy, bacalah doa: Wahai Tuhanku, Tuhan Muhammad, ampunilah dosa-dosaku, hilangkanlah kekerasan hatiku, dan lindungilah diriku dari fitnah yang menyesatkan.” (HR. Ibnu Sunni)

24. Tiduran di pangkuan istri

Dari Aisyah ra, ia berkata, “Nabi SAW biasa meletakkan kepalanya di pangkuanku walaupun aku sedang haidh, kemudian beliau membaca al-Quran.” (HR Abdurrazaq)

25. Mandi romantis bersama pasangan

Aisyah pernah mandi satu bejana bersama Nabi saw (HR Nasai I/202)

26. Disisir istri

Dari Aisyah ra, ia berkata, “Saya biasa menyisir rambut Rasulullah saw,saat itu saya sedang haidh”.(HR Ahmad)

27. Minum bergantian pada tempat yang sama

Dari Aisyah ra, dia berkata, “Saya biasa minum dari muk yang sama ketika haidh, lalu Nabi mengambil muk tersebut dan meletakkan mulutnya di tempat saya meletakkan mulut saya, lalu beliau minum, kemudian saya mengambil muk, lalusaya menghirup isinya, kemudian beliau mengambilnya dari saya, lalu beliau meletakkan mulutnya pada tempat saya meletakkan mulut saya, lalu beliau pun menghirupnya.” (HR Abdurrazaq dan Said bin Manshur)

28. Membelai istri

“Adalah Rasulullah saw tidaklah setiap hari melainkan beliau mesti mengelilingi kami semua (istrinya) seorang demi seorang. Beliau menghampiridan membelai kami dengan tidak mencampuri hingga beliau singgah ke tempat istri yang beliau giliri waktunya, lalu beliau bermalam di tempatnya.” (HR Ahmad)

Dan masih banyak tips lain yang bisa dilakukan sesuai kreatifitas Anda semua.

Nabi saw bersabda, “Yang terbaik di antana kalian adalah yang terbaik terhadap keluarga/istrinya. Dan saya adalah orang yang paling baik terhadap istri/keluargaku” (HR Tirmidzi).

Semoga bermanfaat. Semoga menjadi keluarga yg sakinah, mawadah, wa rohmah selalu. Amin..[ ]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2336526/resep-romantisme-rasulullah-kepada-istri-istrinya#sthash.EZRip2SX.dpuf

Gelar Ummul Masakin, Bukti Kedermawanan Zainab binti Khuzaimah

Zainab binti Khuzaimah adalah istri Rasulullah SAW yang bergelar Ummul Masakin (ibunda orang-orang miskin). Zainab binti Khuzaimah ber beda dengan istri Nabi SAW lainnya yang bernama Zainab binti Jahsy. Zainab memang sangat dikenal karena kebaikan hatinya dan sangat pemurah. Dia banyak menyantuni orang-orang miskin.

Ummul Mukminin yang satu ini sangat dimuliakan sebagai salah satu istri Rasulullah SAW. Kebersamaannya dengan Rasulullah sebagai suami istri juga tak berlangsung lama. Zainab binti Khuzaimah adalah istri Rasulullah yang wafat setelah Khadijah RA. Rasulullah SAW sendiri yang merawat jenazah Zainab saat wafat.

Zainab memiliki nama lengkap Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al Hilaliyah. Ibunya bernama Hindun binti Auf bin Harits bin Hamathah.

Zainab lahir sebelum tahun ke-13 Rasul mendapatkan kenabiannya. Wanita dermawan ini berasal dari keluarga yang dihormati dan disegani.

Kedermawannanya telah dikenal, bahkan sebelum beliau memeluk Islam. Sebelum menikah dengan Rasulullah, Zainab sudah digelari Ummul Masakin. Zainab selalu mengutamakan kedermawanannya pada orang-orang miskin daripada memanjakan dirinya sendiri dengan harta benda yang dimiliki. Sifat penyantun yang dimilikinya pun sudah ada sebelum dia mengetahui bahwa dengan sifatnya dapat mendatangkan pahala dari Allah SWT.

Dalam kehidupan beragamanya, Zainab termasuk kelompok wanita pertama yang memeluk Islam. Sejak memeluk Islam, dia menolak syirik dan menyembah berhala, dia juga selalu menjauhkan diri dari perbuatan Jahiliyah.

Sebelum menikah dengan Rasulullah ketika masa Jahiliyah dia menikah dengan Thufail bin Harits. Namun, Thufail menceraikan Zainab karena tak kunjung memiliki anak saat hijrah ke Madinah. Kemudian, untuk memuliakanya, saudara laki-laki Thufail, Ubaidah bin Harits, menikahinya. Ubaidah dikenal sebagai seorang prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ali bin Abi Thalib.

Keperkasaannya dibuktikan hingga ia gugur syahid dalam perang Badar, Zainab pun kembali menjanda. Untuk melindungi dan meringankan beban kehidupan Zainab, Rasulullah pun menikahinya.

Rasulullah luluh karena kebaikan hati dan lemah lembut Zainab terhadap orang miskin. Rasulullah selalu mendahulukan kepentingan kaum Muslimin, termasuk kepentingan Zainab. Wajah Zainab memang tidak terlalu cantik, tapi kecantikan hatinya yang membuat ia dinikahi Rasulullah. Beberapa sahabat juga enggan menikahinya setelah ia kehilangan Ubaidah sebagai pahlawan Badar.

Rasulullah menikah dengan Zainab setelah beliau menikah dengan Hafshah binti Umar. Tapi, pernikahannya dengan Zainab hanya selama tiga bulan karena setelah itu Zainab meninggal dunia. Ketika menikah, Rasulullah memberikan sebesar 10 uqiyah perak dan merayakan walimah dengan berbagai hidangan. Undangan pun tak hanya diberikan pada kaum berada, kaum dhuafa pun diundang dan duduk bersama menikmati hidangan yang disediakan.

Biasanya, Rasul mengingkari gelar yang didapatkan ketika pada masa Jahiliyah. Tetapi, tidak dengan gelar yang didapatkan Zainab sebagai Ummul Masakin. Zainab juga dikenal selalu meringankan beban saudaranya, seperti perlakuan dia terhadap budaknya. Zainab memiliki seorang budak dari Habasyah. Selu ruh budak yang dimilikinya tidak pernah diperlakukan layaknya budak. Perlakuannya terhadap budak diberikan seperti kerabat dekat.

Zainab wafat pada akhir Rabiul Akhir bulan ke-39 sejak hijrahnya Rasulullah. Rasul pun menguburkan Zainab di Baqi. Zainab meninggal di usia yang cukup muda, 30 tahun.

 

 

sumber: Repblika ONline

Aisyah binti Thalhah, Murid Ummul Mukminin yang Cantik dan Cerdas

Selain dikenal sebagai wanita yang memiliki wajah cantik,  Aisyah binti Thalhah juga mampu membuktikan kecerdasan dan kedalaman ilmu yang dimilikinya. Belajar langsung dari Ummul Mukminin sekaligus istri Nabi Muhammad SAW, Aisyah Radhiyallahu `Anha (RA), Aisyah menjadi salah satu perawi hadis yang dapat dipercaya. Tidak hanya itu, hadis-hadis yang diriwayatkan dari Aisyah binti Thalhah pun dijadikan hujjah atau rujukan dan sandaran argumentasi hukum.

Hal ini seperti diungkapkan pakar ilmu hadis, Imam Jarh, dan Ta’dil, yang memasukkan Aisyah binti Thalhah sebagai perawi hadis yang dapat dipercaya sehingga hadis-hadisnya dapat digunakan sebagai hujjah. ”Perawi yang tsiqah (dapat dipercaya) dari kalangan wanita adalah Aisyah binti Thalhah. Ia seorang rawi yang tsiqah dan hadisnya dapat sebagai hujjah.”

Pun dengan pujian dari Abu Zar’ah ad-Dimasyqi, yang menyebut keutamaan dan kedudukan putri dari sahabat Rasulullah SAW, Thalhah bin Ubaidilah. Menurut ulama ahli hadis itu, Aisyah adalah seorang perempuan mulia yang meriwayatkan hadis dari Ummul Mukminin, Aisyah RA. Banyak orang yang meriwayatkan hadis darinya karena kedudukan dan adab dari Aisyah binti Thalhah.

Pujian juga datang dari Imam Ibnu Katsir, yang mengutip pernyataan dari gurunya, Al Mazziy. Aisyah binti Thalhah dianggap sebagai salah satu murid perempuan Aisyah yang paling pandai. ”Tidak ada golongan perempuan yang lebih pandai dari murid-murid perempuan Aisyah Ummul Mukminin. Mereka adalah Amrah binti Abdurahman, Hafshah binti Sirin, dan Aisyah binti Thalhah.”

Salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah binti Thalhah termaktub dalam kumpulan hadis-hadis sahih Imam Muslim dengan sanadnya Thalhah bin Yahya bin Thalhah dari Aisyah binti Thalhah dari Aisyah Ummul Mukminin. ”Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang tercepat dari kalian yang menyusulku adalah orang dari kalian yang terpanjang tangannya.’

Para sahabat menjulurkan tangannya untuk mengetahui siapa yang paling panjang tangannya. Ternyata tangan yang paling panjang adalah tangan Zainab binti Jahsy, istri Rasulullah SAW. Sebab, ia selalu bekerja dengan tangannya dan banyak memberi sedekah.”

Selain itu, riwayat hadis lain yang dikeluarkan Abu Dawud dengan sanadnya dari al-Minhal bin Amr dari Aisyah binti Thalhah dari Ummul Mukminin Aisyah RA berkata, ”Saya tidak melihat orang yang paling banyak kemiripan tingkah, sikap, dan kebaikan hati seperti Rasulullah SAW, melebihi Fathimah. Ketika Fathimah datang menemui Rasulullah SAW, beliau meraih tangannya lalu menciumnya dan mendudukkannya di tempat duduknya.”

Aisyah binti Thalhah termasuk golongan tabiin. Dia sering mengambil atau mendapatkan hadis-hadis sahih dari Aisyah RA. Hubungan Aisyah binti Thalhah dengan Ummul Mukminin, Aisyah RA, memang bukan sekadar hubungan guru dan murid, melainkan bibi dan keponakan. Aisyah binti Thalhah merupakan cucu dari Abu Bakar RA dan anak dari Ummu Kultsum binti Abu Bakar, saudara perempuan dari Aisyah RA.

Ummu Kultsum lahir dari rahim Habibah bin Kharijah al-Anshariyyah sesaat setelah Abu Bakar Radhiyallahu `Anhu meninggal dunia. Alhasil, bibi dari Aisyah binti Thalhah adalah Aisyah binti Abu Bakar dan Asma binti Abu Bakar. Dari keluarga yang mulia inilah, Aisyah binti Thalhah lahir, dibesarkan, dan dididik, terutama oleh Aisyah RA. Dari Aisyah RA, Aisyah binti Thalhah dapat menyerap ilmu hadis, fikih, dan adab.

Atas saran dari Aisyah RA, Aisyah binti Thalhah menikah dengan saudara sepupunya, Abdullah bin Abdur-Rahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq. Dari pernikahan ini, Aisyah dikaruniai lima orang anak. Mereka adalah Imran, Abdur-Rahman, Abu Bakar, Thalhah dan Nafisah. Putra Aisyah, Thalhah bin Abdullah, dikenal sebagai sosok dermawan dan tokoh terpandang di kalangan kaum Quraisy. Persis seperti sang kakek, Thalhah bin Ubaidilah.

Aisyah binti Thalhah dikenal sebagai perempuan mulia yang dapat dipercaya. Hal ini tidak terlepas dari perilaku sehari-harinya, yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk beribadah dan berzikir. Tidak hanya itu, Aisyah juga disebut paling mirip dengan Aisyah RA dalam hal ilmu dan adabnya. Dia mampu mengutip ilmu, adab, dan ilmu lainnya dari Ummul Mukminin, Aisyah RA. Sehingga, Aisyah binti Thalhah dianggap sebagai salah satu tabiin perempuan terbaik yang menjadi perawi hadis.

Banyak tokoh tabiin dan ulama yang meriwayatkan hadis dan belajar dari Aisyah binti Thalhah. Mereka antara lain, anaknya sendiri, Thalhah bin Abdullah, keponakannya, Thalhah bin Yahya, Muawiyah bin Ishaq. Selain itu, ada tokoh seperti Minhal bin Amr, Fudhail bin Amr al-Faqimi, Hubaib bin Abu Amrah, Atha’ bin Abi Rabah, dan Umar bin Said.

Terkait kecantikan wajah yang dimiliki Aisyah binti Thalhah, Abu Hurairah pernah berkata, ”Saya tidak melihat seorang pun yang lebih cantik (indah) dari Aisyah binti Thalhah, kecuali Muawiyah saat berada di atas mimbar Rasulullah SAW”. Pujian senada juga pernah diungkapkan Anas bin Malik.

Aisyah menjadi salah satu wanita yang langka pada zamannya. Tidak hanya diberkahi wajah cantik dan harta yang melimpah, tetapi juga mampu mengisi hidupnya dengan ketaatan beribadah dan menuntut ilmu agama. Aisyah meninggal dunia pada 101 Hijriyah.

 

 

sumber: Republika ONline

Syiar Islam Melalui Jejaring Sosial Bagus, Tapi…

Dakwah dari masjid ke masjid dan acara menjadi hal yang penting untuk menyebarkan agama Islam kepada seluruh masyarakat Muslim di Indonesia. Kini, dakwah telah berkembang berkat teknologi melalui jejaring sosial.

Pendiri Pesantren Mualaf Syamsul Arifin Nababan menilai hal tersebut sangat bagus namun masih kurang efektif. Pasalnya, tidak semua umat Muslim di Indonesia seperti di daerah yang dapat menggunakan internet.

“Bagus tapi masih kurang efektif untuk masyarakat di daerah,” kata ustaz Syamsul kepada ROL, Kamis (27/11).

Ustaz Syamsul berharap dakwah dapat dilakukan langsung secara tatap muka kepada umat Muslim lainnya. Seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya dulu. Seperti yang dilakukan oleh para Ustaz dan ulama Islam dewasa ini.

Mereka memanfaatkan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter untuk menyebarkan dakwah Islam kepada jamaahnya. Yusuf Mansyur, salah satu Ustaz yang terkenal sering memberikan nasehat dan dakwah tentang Islam melalui jejaring sosial.

Followernya pun sangat banyak, melalui akunnya tersebut Yusuf Mansyur mengajak sahabat dan jamaahnya untuk tetap mencintai Islam. Selain Ustaz Mansur ada Ustaz Erick Yusuf yang juga memilih opsi lain dalam berdakwah menggunakan jejaring sosial.

Melalui akun Twitternya, Pimpinan Dakwah Kreatif iHAQI itu menyampaikan pesan-pesan bijak yang sejalan dengan ajaran agama Islam.

 

sumber: Republika Online


Anda juga bisa mendapatkan tausiah melalui Kumpulan Video Syiar Islam dengan mengundu aplikasi Android ini. Klik di sini!