MENCINTAI Allah Ta’ala adalah menjadikan Allah dan segala perintahnya sebagai prioritas utama dalam segala wujud kehidupan sehari-hari. Cinta kepada Allah adalah cinta pada level tertinggi, mengalahkan segala bentuk cinta kepada manusia, termasuk kepada orang tua, istri, anak-anak, harta benda dan semuanya. Jangankan menjadikan yang selain Allah Ta’ala itu lebih tinggi derajatnya dengan cinta kepada Allah, bahkan bila hanya sama dan sederajat saja, sudah dikatakan zalim oleh Allah.
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa, bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Apalagi bila menjadikan semua itu lebih kita cintai dari Allah, tentu lebih parah lagi. Allah menyebut mereka yang mencintai selain dirinya dengan tingkat kecintaan yang lebih tinggi dari mencintai Allah, mereka adalah orang fasiq.
Katakanlah, “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS At-Taubah: 24)
Cara mencintai Allah tentu harus sesuai dengan cara yang ditentukan Allah Ta’ala. Bukan dengan cara mengarang-ngarang sendiri, apalagi menciptakan sendiri ritual-ritual aneh yang tidak ada dasarnya dari Allah. Dan bentuk mencintai Allah yang paling tepat adalah dengan cara mengikuti petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab beliau adalah petugas resmi yang diutus Allah kepada umat manusia untuk mengajarkan bagaimana cara mewujudkan bentuk real sebuah cinta kepada-Nya.
Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.Ali Imran: 31)
Apapun realisasi rasa cinta seseorang kepada Allah, tetapi kalau sampai bertentangan dengan apa yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan, maka pengungkapan bentuk cinta itu justru tertolak, bahkan malah melahirkan laknat dan siksa dari Allah.
Sebab kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagai utusan resmi satu-satunya dari Allah kepada seluruh manusia, bahkan kepada seluruh makhluk hidup yang ada. Maka apa pun yang beliau sampaikan, wajib kita ikuti dengan sepenuh hati. Sebaliknya, apapun yang dilaranganya, tentu saja wajib kita jauhi dari diri kita. Penegasan pernyataan ini disampaikan Allah langsung di dalam Alquran Al-Kariem.
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah pernah menggambarkan sebuah pengibaratan tentang bentuk cinta kepada Allah. Beliau berkata bahwa cinta kepada Allah itu ibarat pohon dalam hati, akarnya adalah merendahkan diri di hadapan Dzat yang dicintainya, batangnya adalah mengenal nama dan sifat Allah, rantingnya adalah rasa takut kepada (siksa)Nya, daunnya adalah rasa malu terhadap-Nya, buah yang dihasilkan adalah taat kepadaNya Dan penyiramnya adalah zikir kepadaNya. Kapanpun jika amalan-amalan tersebut berkurang maka berkurang pulalah mahabbahnya kepada Allah. (Raudlatul Muhibin, 409, Darush Shofa).
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341191/waspadai-cara-mencintai-allah-yang-justru-tertolak#sthash.QDPjbRkr.dpuf