Mengapa Ulama Sering Berbeda Menafsirkan Alquran?

SESUNGGUHNYA Alquran Al-Karim itu adalah kitab yang mengandung mukjizat. Salah satu wujud mukjizat itu adalah kandungannya yang tidak pernah berhenti mengalir. Setiap saat selalu ada ilmu baru yang lahir dari Alquran.

Sehingga tiap ayat memang bisa melahirkan ilmu yang berbeda-beda, tergantung siapa yang mencoba menggalinya. Para ahli tafsir sendiri sesungguhnya punya latar belakang pendekatan yang bervariasi ketika menggali ayat-ayatnya. Ada yang mendekati penafsiran Alquran dari segi bahasa, ada juga yang menekankan dari segi ilmu fiqihnya, ada lagi yang menekankan dari segi sejarahnya, ada lagi yang menekankan dari segi semangat perjuangan dan jihad, ada pula yang menekankan dari segi tauhid dan keimanan. Dan masih banyak lagi corak dan ragam tafsir.

Namun dari kesemuanya itu, antara satu kitab tafsir dengan kitab yang lainnya tidak mengalami perbedaan esensi yang saling bertabrakan. Sebaliknya, masing-masing tafsir itu justru saling memperkaya tafsir lainnya. Suatu pelajaran menarik dan penting yang luput diungkap oleh sebuah kitab tafsir, akan kita temukan di dalam kitab lainya. Khusus dalam ruang lingkup tafsir hukum fiqih, bila terjadi perbedaan dalam menafsirkan suatu ayat, memang merupakan hal yang harus diakui keberadaannya. Namun perbedaan itu tidak timbul kecuali memang disebabkan oleh ayat itu sendiri yang memberi peluang timbulnya perbedaan penafsiran. Sehingga kita tidak bisa menyalahkan para ahli tafsirnya karena mereka saling berbeda kesimpulan.

Bahkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai representasi dari Alquran yang berjalan, seringkali dipahami oleh para shahabat dengan versi yang berbeda-beda. Yang salah tentu bukan para sahabat, melainkan kalimat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu memang bisa dipahami dengan beberapa kesimpulan yang saling berbeda.

Misalnya ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepada pasukan untuk tidak salat Asar kecuali di perkampungan Yahudi Bani Quraidhzah. Sebagian pasukan mentaati perintah itu secara zahirnya, yaitu mereka tidak salat Asar meski matahari hampir terbenam. Sebab perjalanan mereka masih jauh dari tujuan. Barulah para malam hari mereka tiba dan sebagian dari mereka mengerjakan salat Asar di tempat yang ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meski waktunya sudah lewat.

Sebagian lagi tetap salat Ashar di jalan tepat pada waktunya, lantaran mereka memahami bahwa tujuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mereka salat Asar di perkampungan Yahudi Bani Quradhzah adalah agar perjalanan mereka lebih cepat. Namun apabila kenyataannya target itu tidak tercapai, tetap harus menjalankan salat Asar para waktunya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam mendengar perbedaan pendapat ini, beliau tidak menyalahkan salah satunya. Keduanya dibenarkan meski saling berbeda secara nyata.

Maka demikian juga yang terjadi pada ayat-ayat Alquran, banyak di dalamnya kalimat yang bisa dipahami secara berbeda, tanpa harus keluar dari kaidah baku penafsiran. Di antaranya perbedaan para fuqaha dalam menafsirkan makna quru’ yang terdapat di dalam ayat berikut, “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri tiga kali quru’.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Ketika para ahli tafsir merujuk kepada ahli bahasa arab, ternyata makna quru’ itu memang ada 2 macam yang saling berbeda. Makna pertama adalah masa haid sedangkan makna kedua adalah masa suci dari haid. Keduanya sama-sama disebut dengan quru’ dalam bahasa arab. Dengan demikian, satu ayat ini mungkin bisa ditafsrikan menjadi tiga kali masa haid, namun pada waktu yang sama bisa ditafsirkan menjadi tiga kali masa suci dari haid. Kesalahan bukan di tangan para mufassir, melainkan Allah Ta’ala sendiri yang menurunkan ayat ini.

Tentunya Allah Ta’ala kalau mau, bisa saja menyebutkan dengan kalimat yang jelas, tegas dan tidak mengandung makna ganda yang saling berbeda. Namun kenyataannya memang itulah yang ada. Sehingga kalau para ulama berbeda pendapat dalam menafsirknnya, bukan sebuah dosa. Dan syariat Islam menyadari kemungkinan terjadinya perbedaan dalam menafsirkan suatu ayat. Tidak ada yang hina dalam masalah perbedaan tafsir hukum ini. Bahkan sebaliknya, kita bisa merasa bangga dengan kekayaan khazanah ilmu hukum Islam dengan ada banyaknya variasi pendapat lewat perbedaan cara memahami suatu dalil.

Karena itu sejak dini para ulama salaf sudah mengembangkan sistem akhlak dan etika berbeda pendapat. Di mana intinya adalah mereka saling menghormati, menjunjung tinggi dan saling menghargai pendapat saudaranya yang sekiranya tidak sama dengan apa yang mereka pahami. Tidak pernah kita dengar para salafus shalih itu saling mencaci, saling memaki atau saling menghujat bahkan mengumbar aib saudaranya di depan khalayak. Akhlak mereka sungguh sangat mulia seiring bersama keluasan ilmu yang mereka miliki.

Keadaan ini seringkali berbanding terbalik dengan fenomena di masa kita sekarang ini. Begitu mudahnya orang-orang yang mengaku pengikut ulama salaf, namun perbuatan, perkataan dan akhlaknya justru menginjak-injak etika para salaf. Lidah mereka lebih sering mencaci maki orang lain ketimbang berzikir kepada Allah. Tulisan mereka lebih sering merupakan hujatan dan umpatan ketimbang ajakan. Bahkan seringkali merasa hanya kelompok mereka saja yang berhak mengeluarkan fatwa, sedangkan siapapun yang punya fatwa yang berbeda dengan mereka, meski datang dari tulisan para salafushshalih sendiri, langsung dihujat habis-habisan dan dituduh sebagai ahli bid’ah yang pasti masuk neraka. Nauzu billahi min zalik.

Padahal para salafus-shalih di masa lalu terbiasa dengan perbedaan pendapat. Justru ciri khas mereka adalah berbeda pendapat, namun tetap saling menyayangi bahkan sangat mesra. Caci maki, umpatan, hujatan dan tuduhan sebagai ahli neraka tidak pernah mereka contohkan. Sebab perbedaan pendapat dalam masalah hukum adalah sebuah keniscayaan, mutlak dan pasti terjadi.

Jangankan para ulama salaf, bahkan para sahabat ridhwanullahi alaihim pun seringkali berbeda pendapat. Padahal mereka hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sebuah era yang disebut dengan khairul qurun (masa terbaik). Tapi tidak satu dari sahabat itu yang memaki dengan sumpah serapah sambil menuding temannya sebagai calon penghuni neraka. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh segelintir orang yang kerjanya menyumpahi orang lain yang tidak sependapat dengannya bukanlah termasuk ahli salaf, karena nama dan realitanya tidak nyambung.

Semoga Allah Ta’ala menghindarkan kita dari kejahilan dalam memahami agama, serta mencairkan ketegangan di antara sesama umat Islam, serta menghimpun hati jutaan umat Islam dewasa ini dalam sebuah kecintaan kepada Allah Ta’ala. Sehingga mampu menerima perbedaan pendapat persis sebagaimana para salafus-shalih dahulu telah mempraktekkannya.

Wallah a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2338253/mengapa-ulama-sering-berbeda-menafsirkan-alquran#sthash.huEl9cvR.dpuf

Terlambat Ikut Salat Jumat, Bagaimana Seharusnya?

PARA ulama telah bersepakat bahwa siapa yang tertinggal ikut jemaah salat jumat, maka harus salat empat rakaat yaitu salat zuhur. Sedangkan batas apakah seseorang itu bisa dikatakan masih ikut salat jumat atau tidak adalah bila minimal masih mendapat satu rakaat bersama imam dalam salat jumat.

Misal, pada salat jumat ada seorang yang terlambat. Lalu dia ikut salat bersama imam, sedangkan saat itu imam sudah berada pada rakaat kedua tapi belum lagi bangun dari ruku’. Maka bila makmum itu masih sempat ruku’ bersama imam, berarti dia telah mendapat satu rakaat bersama imam. Dalam hal ini, dia mendapatkan salat jumat karena minimal ikut satu rakaat. Jadi bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk menyelesaikan satu rakaat lagi.

Tapi bila dia tidak sempat bersama imam pada saat ruku’ di rakaat kedua, maka dia tidak mendapat minimal satu rakaat bersama imam. Yang harus dilakukannya adalah tetap ikut dalam jamaah itu, tapi berniat untuk salat zuhur.

Bila seseorang masuk masjid untuk salat jumat, tetapi imam sudah i’tidal (bangun dari ruku’) pada rakaat kedua, maka saat itu dia harus takbiratul ihram dan langsung ikut salat berjemaah bersama imam tapi niatnya adalah salat zuhur. Bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk salat zuhur sebanyak 4 rakaat. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Abi Hurairah, “Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia terhitung (mendapat) salat itu”. (Hadits Muttafaq Alaihi: Bukhari no. 580, Muslim 607).

Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang mendapatkan satu rakaat pada salat Jumat atau salat lainnya, maka dia terhitung (mendapat) salat itu”.

Selain kedua dalil ini adalah beberapa hadis lain yang senada yang diriwayatkan oleh An-Nasai, Ad-Daruquhtuni dan lainnya. Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2339569/terlambat-ikut-salat-jumat-bagaimana-seharusnya#sthash.IVL0at6X.dpuf

Fenomena Supermoon, Inikah Tanda Akhir Zaman?

TELAH kita lihat seperti apa fenomena yang tak biasa itu terjadi. Ya, fenomena supermoon memang begitu menarik simpati banyak orang. Mereka sengaja meluang waktu untuk bisa menyaksikan langsung seperti apa keindahan bulan. Mengingat, pada masa itu bulan terlihat lebih jelas daripada biasanya.

Bulan yang terlihat nampak jelas itu terjadi karena posisi bulan berada begitu dekat dengan bumi. Sehingga, pancaran indahnya bulan dapat terlihat dengan kasat mata. Banyak orang yang begitu senang dengan fenomena ini. Mereka cukup terkesan dan merasakan kepuasan yang tak biasa karena bisa melihat secara langsung dan mengabadikannya.

Tapi, lain halnya dengan orang-orang yang beriman. Mereka justru merasakan kesedihan. Mengapa? Sebab, diketahui bahwa ternyata telah diriwayatkan 1400 tahun yang lalu fenomena seperti ini akan terjadi. Dan sesuatu yang tak biasa ini termasuk salah satu tanda akhir zaman.

Dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya bagian dari tanda dekatnya hari kiamat adalah bahwa bulan terlihat dalam satu malam seperti untuk dua malam (maksudnya: lebih besar dari biasanya, pen), dan banyak terjadi mati mendadak, dan masjid dijadikan tempat lewat,” (HR. Imam Adhdhiyaa Al Maqdisy dalam Al Alhadis Al Mukhtaaroh no: 2325, dan menurut Syaikh Abdul Maalik bin Dhuhaisy, sanadnya Hasan. Demikian juga dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany dalam Shahih Jaamiush Shoghiir no: 10841 dan Silsilah Hadis Shahih no: 2292).

Juga ada pula riwayat dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah hilal (bulan tsabit) terlihat lebih awal hingga hilal malam pertama dikatakan sebagai hilal malam kedua, masjid-masjid dijadikan sebagai tempat melintas dan banyaknya terjadi kasus kematian mendadak,” (HR. Imam Ath Thabrani no: 1132 dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Al Jaamiish Shoghiir no: 10841).

Dalam hadis tersebut jelas dikatakan bahwa fenomena supermoon ini bisa jadi salah satu tanda akhir zaman. Maka, ini adalah peringatan bagi kita untuk segera memperbaiki diri. Jangan sampai menunda tobat apalagi bersikap acuh terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah. Sebab, boleh jadi, fenomena lainnya, seperti matahari terbit dari arah terbenamnya akan membuat diri kita menyesal. Mengingat saat itu, tobat kita sudah terlambat. Wallahu alam. [Rika Rahmawati]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2339544/fenomena-supermoon-inikah-tanda-akhir-zaman#sthash.hBS6auug.dpuf

Perbedaan Akidah dan Cara Menyikapinya: Hati-Hati! Mustajabnya Doa Seorang Non-Muslim

ISLAM agama yang samahah (toleran), Rasulullah shallallahualaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya agama Allah (Islam) itu hanifiyyah dan samahah.” (HR. Bukhari secara muallaq, Ahmad, Ath Thabrani). Hanifiyyah maksudnya lurus dan benar, samahah maksudnya penuh kasih sayang dan toleransi. Bahkan terhadap orang kafir yang tidak memerangi Islam telah diatur adab-adab yang luar biasa, di antaranya:

1. Dianjurkan berbuat baik dalam muamalah

Setiap muslim hendaknya bermuamalah dengan baik dalam perkara muamalah dengan non-muslim, serta menunjukkan akhlak yang mulia. Baik dalam jual-beli, urusan pekerjaan, urusan bisnis, dan perkara muamalah lainnya. Sebagaimana termaktub dalam Alquran (artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik (dalam urusan dunia) dan berlaku adil terhadap orang-orang (kafir) yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah :8).

Ayat ini juga merupakan dalil bolehnya berjual-beli dan berbisnis dengan orang kafir selama bukan jual beli atau bisnis yang haram. Rasulullah shallallahualaihi wasallam dan para sahabat juga dahulu berbisnis dengan orang kafir.

2. Tidak boleh menyakiti mereka tanpa hak

Haram menyakiti dan mengganggu orang kafir tanpa hak, apalagi meneror atau sampai membunuh mereka. Bahkan doa orang kafir yang terzalimi itu mustajab. Nabi shallallahualaihi wasallam bersabda: “Berhati-hatilah terhadap doanya orang yang terzalimi, walaupun ia non-muslim. Karena tidak ada penghalang antara Allah dengannya.” (HR. Ahmad, sahih).

Nabi shallallahualaihi wasallam juga bersabda: “Barangsiapa yang membunuh seorang kafir muahad tanpa hak, ia tidak mencium bau surga.” (HR. Ibnu Hibban, sahih).

3. Dianjurkan berbuat baik kepada tetangga kafir

Nabi shallallahualaihi wasallam bersabda: “Jibril senantiasa mewasiatkan aku untuk berbuat baik kepada tetangga sampai-sampai aku mengira ia akan mendapatkan warisan dariku.” (Muttafaqun alaihi). Kata tetangga di sini bermakna umum, baik tetangga yang muslim maupun kafir.

Batasan toleransi terhadap orang kafir

Toleransi tentu ada batasannya. Dalam hal ibadah dan ideologi tentu tidak ada ruang untuk toleransi. Bahkan jika kita mau jujur, seluruh agama tentu tidak memberi ruang kepada pemeluknya untuk meyakini akidah agama lain, atau beribadah dengan ibadah agama lain. Demikian pula Islam, bahkan bagi kaum muslimin telah jelas termaktub dalam Alquran (artinya): “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al Kafirun: 6).

Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berinteraksi dengan non-muslim (termasuk keluarga tentunya).

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2338714/hati-hati-mustajabnya-doa-seorang-non-muslim#sthash.p1DpMsWA.dpuf

Kumpulan Doa Alquran untuk Ibu Hamil

BANYAK metode yang digunakan dalam menjaga kesehatan janin selama kehamilan. Senam kehamilan, yoga bagi ibu hamil ataupun beberapa terapi yang disarankan oleh ahli medis berfungsi dalam kelangsungan janin dan mempersiapkan persalinan. Semua metode tersebut bisa anda sempurnakan dengan doa-doa baik selama kehamilan atau mempersiapkan persalinan.

Berikut adalah doa yang memiliki manfaat untuk ibu hamil:

1. ” Bismillahhirrahmaanir rahiim, Robbi inni nadzartu laka maa fii bathnii muharroron fataqobbalminnii, Innaka antas sami’ul alim”. (QS. Ali Imran 35-36)
Artinya : Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku manjadi hamba yang saleh dan berkhidmat karena itu terimalah (nazar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui dan aku mohon perlindungan untuknya dan keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau dari setan yang terkutuk.

2. “Rabbii habli miladunka dzurriyyatan thoyyibah. Innaka sammiudduaa”. (QS. Ali Imran 38)
Artinya: Ya Allah berikanlah kepadaku dari sisi-Mu keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau adalah pendengar permohonan (doa).

3. “Rabbii hablii minash shoolihin”
Artinya : Ya Allah berikanlah kepadaku anak yang saleh.

4. “Robbijalnii muqiimash sholaati wa min dzurriyatii robbanaa wa taqobbal duaa”. ( QS. Ibrahim 40 )
Ya Tuhanku jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat. Ya Tuhan kami perkenankanlah doaku.

 

5. Beberapa surat di dalam alquran memiliki keutamaan untuk ibu hamil adalah sebagai berikut:

– Al-Muminuun ( Surat ke-23, ayat 12-14 )
– Lukman (Surat ke-31, ayat 14)
– Yusuf (Surat ke 12, ayat 1-16)
– Maryam (Surat ke-19, ayat 1-15)
– Ar Rahmaan (Surat ke-55, ayat 1-78)

[Bidanku.com]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2338780/kumpulan-doa-alquran-untuk-ibu-hamil#sthash.4g8eB9yy.dpuf

Ada Apa di Hari Jum’at?

Besok hari adalah hari Jum’at yang dimulai dari tenggelamnya matahari di kamis sore ini. Hari yang penuh kemuliaan dan diagungkan di dalam Islam. Tahukah kita apa saja yang terdapat di dalamnya? Berikut ini beberapa keutamaan yang terdapat di dalam hari Jum’at.

Hari jum’at adalah sayyidul ayyaam (pemimpin hari) dan hari yang paling agung dan paling utama di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pada hari itu terdapat lima kejadian yang besar, yaitu diciptakannya Adam, diturunkannya ke bumi, dan diwafatkannya, pada hari itu terdapat satu waktu mustajabah untuk berdoa yang pasti dikabulkan, dan pada hari Jum’at pula kiamat akan terjadi. Oleh karenanya, pada hari tersebut para malaikat, langit, bumi, angin, gunung, dan lautan merasa khawatir di hari Jum’at (akan terjadi kiamat).

Hari jum’at adalah sayyidul ayyaam (pemimpin hari) dan hari yang paling agung dan paling utama di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ringkasnya, hari Jum’at memiliki keutamaan yang tidak dimiliki hari lain. Kedudukannya di bandingkan dengan hari lain, seperti bulan Ramadlan terhadap bulan yang lain dan waktu ijabah doa pada hari itu sebagaimana lailatul qadar pada bulan Ramadlan.

Hari Jum’at menjadi cermin bagi kualitas amal sepekan seorang hamba, sebagaimana Ramadlan yang menjadi cerminan amal setahunnya. Jika amalnya pada hari Jum’at tersebut baik, seolah-olah menggambarkan amalnya pada pekan tersebut juga baik. Sebagimana Ramadlan, jika ibadah di dalamnya baik, baik pula amalnya pada tahun tersebut, begitu juga sebaliknya.

Jika amalnya pada hari Jum’at tersebut baik, seolah-olah menggambarkan amalnya pada pekan tersebut juga baik.

Sesungguhnya pada hari Jum’at terdapat ibadah yang wajib dan sunnah yang tak diperoleh di selainnya. Di antaranya shalat Jum’at, bersuci dan memakai wewangian dan pakaian terbagus yang dimiliki ketika menghadiri jum’atan, membaca surat Al Kahfi, bershalawat untuk Rasulullah, dan amal-amal shalih lainnya.

Karenanya, seorang hamba hendaknya menjadikan hari Jum’at sebagai hari ibadah dan meliburkan diri dari kegiatan duniawi, bukan hari Ahad yang menjadi hari ibadah orang Nashrani.

Karenanya, seorang hamba hendaknya menjadikan hari Jum’at sebagai hari ibadah dan meliburkan diri dari kegiatan duniawi,

bukan hari Ahad yang menjadi hari ibadah orang Nashrani.

Di hari Jum’at ada penghapusan dosa

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya, dari Salman dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku, “apakah kamu tahu hari Jum’at itu?” aku menjawab, “hari Jum’at adalah hari Allah mengumpulkan Nabi Adam.” Beliau menjawab,

لَكِنِّي أَدْرِي مَا يَوْمُ الْجُمُعَةِ لَا يَتَطَهَّرُ الرَّجُلُ فَيُحْسِنُ طُهُورَهُ ثُمَّ يَأْتِي الْجُمُعَةَ فَيُنْصِتُ حَتَّى يَقْضِيَ الْإِمَامُ صَلَاتَهُ إِلَّا كَانَ كَفَّارَةً لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْمُقْبِلَةِ مَا اجْتُنِبَتْ الْمَقْتَلَةُ

Tapi aku mengetahui apa hari jum’at itu. Tidaklah seseorang menyempurnakan bersucinya, lalu mendatangi shalat Jum’at, kemudian diam hingga imam selesai melaksanakan shalatnya, melainkan akan menjadi penghapus dosa antara Jum’at itu dengan Jum’at setelahnya, jika dia menjauhi dosa besar.

. . . kemudian diam hingga imam selesai melaksanakan shalatnya, melainkan akan menjadi penghapus dosa antara Jum’at itu dengan Jum’at setelahnya, jika dia menjauhi dosa besar.

Masih dalam Al Musnad, dari Atha’ al Khurasani, dari Nubaisyah al Hudzaliy bahwa dia meriwayatkan dari Rauslullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Bahwasanya jika seorang muslim mandi pada hari Jum’at, lalu datang ke masjid dan tidak menyakiti seseorang; dan jika dia mendapati imam belum datang di masjid, dia shalat hingga imam datang; dan jika ia mendapati imam telah datang, dia duduk mendengarkan khutbah, tidak berbicara hingga imam selesai melaksanakan khutbah dan shalatnya. Maka (balasannya) adalah akan diampuni semua dosa-dosanya pada Jum’at tersebut atau akan menjadi penebus dosa Jum’at sesudahnya.

Dari Abu Darda’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَبِسَ ثِيَابَهُ وَمَسَّ طِيبًا إِنْ كَانَ عِنْدَهُ ثُمَّ مَشَى إِلَى الْجُمُعَةِ وَعَلَيْهِ السَّكِينَةُ وَلَمْ يَتَخَطَّ أَحَدًا وَلَمْ يُؤْذِهِ وَرَكَعَ مَا قُضِيَ لَهُ ثُمَّ انْتَظَرَ حَتَّى يَنْصَرِفَ الْإِمَامُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

Siapa mandi pada hari Jum’at, lalu memakai pakaiannya (yang bagus) dan memakai wewangian, jika punya. Kemudian berjalan menuju shalat Jum’at dengan tenang, tidak menggeser seseorang dan tidak menyakitinya, lalu melaksanakan shalat semampunya, kemudian menunggu hingga imam beranjak keluar, maka akan diampuni dosanya di antara dua Jum’at.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya)

Dalam Shahih Al Bukhari, dari Salman radliyallah ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ فَلَا يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الْإِمَامُ إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى

Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyaknya atau mengoleskan minyak wangi yang di rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan dengan seksama ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara jum’at tersebut dan jum’at berikutnya.” (HR. Bukhari)

bahwa pengampunan dosa dari satu Jum’at ke Jum’at berikutnya memiliki syarat. Yaitu dengan melaksanakan amalan-amalan yang disebutkan dalam hadits, antara lain mandi, . . .

*Keterangan: bahwa pengampunan dosa dari satu Jum’at ke Jum’at berikutnya memiliki syarat. Yaitu dengan melaksanakan amalan-amalan yang disebutkan dalam hadits, antara lain mandi, membersihkan diri, memakai minyak atau wewangian, memakai pakaian terbagus, berjalan ke masjid dengan tenang, tidak melangkahi dan memisahkan antara dua orang yang duduk bersebelahan, tidak menyakitinya, shalat nafilah, tidak bicara dan tidak melakukan sesuatu yang sia-sia selama khutbah hingga selesai shalat. Dan masih ada satu syarat lagi, yaitu selama dia tidak melakukan dosa besar di hari itu. (PurWD/voa-islam.com)

 

 

– See more at: http://www.voa-islam.com/read/ibadah/2010/01/21/2623/ada-apa-di-hari-jum’at/;#sthash.5p5sqk9Y.dpuf

Sosok “Mak Gober”, Pemburu Pria yang Malas Jumatan

“Salatlah kamu sebelum disalatkan.” Kata-kata itu menjadi pemacu Mak Gober (64) untuk mendorong warga di kampungnya selalu menjalankan ibadah tepat waktu. Terutama, bagi kaum pria, agar senantiasa mendirikan salat, sesuai perintah Tuhan.

Wanita bernama asli Dede Siti Hindun ini merupakan sosoknya tidak asing bagi warga Plered dan Purwakarta. Sebab, lebih dari sepuluh tahun terakhir, dia memiliki kebiasaan untuk melakukan sweeping terhadap lelaki-lelaki yang berkeliaran menjelang Salat Jumat.

Dengan membawa tongkat kecil, Mak Gober menyisir ke pusat-pusat keramaian, seperti pasar hingga permukiman warga. Pangkalan ojek, sopir angkot hingga pengguna jalan tak luput jadi sasarannya. Jarak yang disisirnya cukup jauh, dan itu hanya ditempuhnya dengan berjalan kaki. Targetnya jelas, kaum adam yang masih berleha-leha, atau mereka yang masih bekerja, padahal waktu salat Jumat hampir tiba. “Hayo ka masjid, salat tong cicing wae, salat burukeun jumaahan (hayo cepat cepat ke masjid, jangan pada diam, cepetan Salat Jumat),” teriak Mak Gober saat menemukan pria yang belum bersiap ke masjid.

Menurut warga, aksi mulia yang dilakukan wanita 64 tahun itu telah berlangsung lebih dari 10 tahun, bahkan dia rela menanggung resiko. Tak sedikit cacian dan makian yang diterima warga sampai ke telinganya, tapi itu semua tidak membuatnya gentar.

“Iya awalnya dulu dia sering dapat cacian dan makian, parahnya lagi sampai dicerai sama suaminya,” kata salah seorang warga juga berprofesi sebagai sopir angkot, Dedi. Perceraian itu terjadi karena suaminya menganggap Mak Gober keluar batas, dan dianggap terlalu usil terhadap kelakuan warga. Kini, tak hanya warga, tokoh agama di tempat tinggalnya ikut memberikan dukungan. “Kalau sekarang mah pada ngedukung, termasuk pak ustad,” terang Dedi.

Mak Gober mengaku saat ini berjualan gas, ia nekat melakukan sweeping dan mengobrak abrik kaum pria yang lalai menjalankan salat, terutama pada saat Jumatan. Lantaran, dia merasa resah melihat para pria berleha-leha dan berdiam diri, padahal waktu Salat Jumat sudah tiba. “Iyah awalnya emak resah waktu liat laki-laki yang hanya diam di warung, ngumpul dan berteduh di bawah pohon, dan masih di jalan sampai masih bekerja. Padahal diwajibkan bagi pria untuk Salat Jumat,” aku Mak Gober.

Dia semakin kuat dalam pendiriannya untuk terus melakukan aksinya, ia yakin sedang menjalankan syiar Islam sesuai kemampuannya. Apalagi, dia mendapat sokongan kuat dari ulama setempat. “Wilayah Plered ini kan daerah santri, jadi malu kalau kelakuan warganya tidak nyantri,” ujar Mak Gober.

Mak Gober berjanji selama masih mampu berjalan dan melakukan kegiatan serupa. Maka sweeping di hari Jumat akan terus dilakukan. Dia juga berharap di usia senjanya tetap diberi kesehatan oleh Yang Maha Kuasa, serta ada generasi yang melanjutkan perjuangannya agar setiap orang selalu mendirikan salat.

“Dulu saya tidak sendiri, tapi saat ini hanya saya dan Mak Ani, teman saya, yang masih melakukan ini. Karena yang lain tidak kuat mentalnya untuk dicibir,” terang Mak Gober.

Mak Gober juga berpesan, agar semua kaum muslim agar tahu dan sadar jika ibadah adalah kewajiban dan hak bagi setiap umat islam untuk menjalankannya, terlebih tidak ada paksaan dari pihak manapun. “Pesan saya titip semua umat Islam dapat menjalankan semua tentang kewajiban dan aturan yang berlaku dalam agama. Tentu dengan niat tulus tanpa ada maksud lain,” katanya. [viralmoeslim]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2339539/sosok-mak-gober-pemburu-pria-yang-malas-jumatan#sthash.g2T1ojAE.dpuf

Kenapa Dinamakan Hari Jum’at?

Hari Jum’at merupakan nikmat rabbaniyah yang selalu dijadikan lahan kedengkian musuh-musuh Islam. Hari Jum’at merupakan karunia dari Allah untuk umat ini yang telah dijadikan sebagai umat terbaik yang dikeluarkan di tengah-tengah manusia. Allah mengutamakan hari ini di atas hari-hari dalam satu pekan, lalu Dia mewajibkan kepada orang Yahudi dan Nashrani untuk mengagungkannya. Tapi, mereka melanggarnya dan memilih hari selainnya sehingga mereka tersesat dan tidak mendapat petunjuk. Kemudian Allah menunjuki umat ini kepada hari yang mulia ini dengan mengagungkannya.

Dari Abu Hurairah radliyallah ‘anhu, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

نَحْنُ الآخِرُونَ السَّابِقُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، بَيْدَ أَنَّهُمْ أُوْتُوْا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِنَا، ثُمَّ هذَا يَومُهُمُ الَّذِي فُرِضَ عَلَيْهِمْ فَاخْتَلَفُوا فِيهِ فَهَدَانَا اللهُ، فَالنَّاسُ لَنَا فِيْهِ تَبَعٌ : اليَهُوْدُ غَداً ، وَالنَّصَارَى بَعْدَ غَدٍ

Kita adalah orang terakhir, namun yang pertama pada hari kiamat meskipun mereka telah diberikan kitab sebelum kita. Hari ini (Jum’at) adalah hari yang telah Allah wajibkan atas mereka, namun mereka menyelisihinya. Maka Allah menunjuki kita akan hari itu sehingga orang-orang mengikuti kita dalam hari ini, sementara orang-orang Yahudi besok dan orang-orang Nashrani besoknya lagi (lusa).” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, al Nasai dan lainnya)

Maksud “kita sebagai orang terakhir” adalah sebagai umat terakhir keberadaannya di dunia. Namun di akhirat akan mendahului mereka. Yaitu menjadi umat pertama yang dihimpun di Mahsyar, umat pertama yang dihisab, umat pertama yang diadili, dan umat pertama yang akan masuk surga.

  • Maksud “kita sebagai orang terakhir” adalah sebagai umat terakhir keberadaannya di dunia.
  • Namun di akhirat akan mendahului mereka. Yaitu menjadi umat pertama yang dihimpun di Mahsyar, umat pertama yang dihisab, umat pertama yang diadili, dan umat pertama yang akan masuk surga.

Dalam riwayat Muslim dari hadits Hudzaifah, “Kami umat terakhir dari penduduk bumi, namun menjadi umat pertama pada hari kiamat yang diadili sebelum umat-umat lain.”

Dan dalam riwayat Muslim lainnya, “Kita adalah orang terakhir, namun yang paling awal pada hari kiamat. Dan kita adalah orang yang pertama kali masuk surga.”

Sedangkan maksud diwajibkan adalah wajib memuliakan hari tersebut. Menurut Ibnu Baththal, mereka tidak diperintahkan dengan jelas untuk memuliakan hari Jum’at yang kemudian mereka tinggalkan. Alasannya, seseorang tidak boleh meninggalkan kewajiban yang Allah tetapkan atasnya sementara masih berstatus mukmin. Lalu beliau rahimahullah berkata, “diwajibkan atas mereka (memuliakan) satu hari dalam sejum’at. Lalu mereka diberi pilihan untuk menegakkan syari’at mereka pada hari itu. Kemudian mereka berselisih tentang hari itu dan tidak mendapat petunjuk untuk memilih hari Jum’at.” demikian juga yang dinyatakan oleh al Qadli ‘Iyadh. (Lihat Fathul Baari: 2/355)

Imam al Nawawi rahimahullah berkata, “Mungkin juga mereka telah diperintah dengan jelas, lalu mereka berselisih pendapat apakah wajib menentukan hari itu saja atau dibolehkan untuk menggantinya dengan hari lain. Kemudian mereka berijtihad dalam hal itu, lalu salah.” (Lihat Fathul Baari: 2/355)

Dan dalam Fathul Baari, Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan sebuah hadits penutup terhadap masalah ini yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dari jalur Thariq Asbath bin Nashr, dari al Sudiy dengan lafadz yang sangat jelas bahwa mereka diwajibkan untuk memuliakan hari Jum’at saja lalu mereka menolak. Lafadz haditsnya sebagai berikut:

إِنَّ اللَّه فَرَضَ عَلَى الْيَهُود الْجُمُعَة فَأَبَوْا وَقَالُوا : يَا مُوسَى إِنَّ اللَّه لَمْ يَخْلُق يَوْم السَّبْت شَيْئًا فَاجْعَلْهُ لَنَا

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan (untuk mengagungkan) hari Jum’at atas Yahudi, lalu mereka menolaknya dan berkata, “Hai Musa, sesungguhnya Allah tidak menciptakan apa-apa pada hari Sabtu, maka jadikan hari itu untuk kami.” (Fathul Baari: 3/277 dari Maktabah Syamilah) dan sikap ngeyel dan penyimpangan mereka bukanlah hal yang aneh.

Makna Jum’at dan sebab dinamakan Jum’at

Jum’at secara bahasa bermakna satu pokok yang menunjukkan berkumpulnya sesuatu. Dan disebut hari jum’at karena orang-orang yang jumlahnya banyak berkumpul pada hari itu. (al Nihayah: 1/297)

Sedangkan secara istilah, Jum’at adalah nama dari salah satu hari dalam sepekan, yang pada hari itu dikerjakan shalat khusus, yaitu shalat Jum’at. Dan dikatakan shalat khusus karena pelaksanaannya berbeda dengan shalat liwa waktu, khususnya shalat dzuhur. Pada shalat Jum’at bacaannya jahr, jumlah rakaatnya hanya dua, diawali dengan khutbah, dan memiliki beberapa keistimwaan pahala.

Hari Jum’at pada masa jahiliyah dikenal dengan nama الْعَرُوبَة (al ‘arubah), karena mereka mengagungkannya. Orang pertama yang menyebut al-‘Arubah adalah Ka’ab bin Lua-i. Pada hari itu, orang-orang Quraisy biasa berkumpul padanya lalu dia menyampaikan ceramah seraya memberikan nasihat dan memerintahkan mereka untuk mengagungkan tanah haram. Dia juga mengabarkan kepada mereka dari sana akan ada Nabi yang diutus. Dan ketika sudah diutus kelak, dia memerintahkan kepada kaumnya untuk taat dan beriman kepadanya.

Dari sini semakin jelaslah bahwa hari Jum’at belum masyhur pada masa jahiliyah. Maka tepatlah yang diungkapkan oleh Ibnu Hazm rahimahullah, “bahwa jum’at adalah nama Islami yang tidak dikenal pada masa jahiliyah. Pada masa itu, hari Jum’at dinamakan dengan al-‘arubah.” (Fathul Baari: 3/275 dari Maktabah Syamilah)

Tentang sebab dinamakan hari tersebut dengan Jum’at, banyak pendapat yang memberikan alasan, di antaranya:

  • Karena berkumpulnya banyak orang pada hari itu.
  • Karena Adam dan Hawa berkumpul pada hari itu.
  • Karena di dalamnya berkumpul berbagai kebaikan.
  • Karena pada hari itu kesempurnaan makhluk dikumpulkan.
  • Karena manusia berkumpul pada hari itu untuk shalat.
  • Karena penciptaan Adam dikumpulkan pada hari itu.

Menurut Ibnu Hajar, pendapat yang paling benar tentang sebab dinamakannya hari jum’at adalah pendapat terakhir, karena penciptaan Adam dikumpulkan pada hari itu. Dengan ini maka hikmah dipilihkannya hari Jum’at untuk umat Muhammad karena pada hari itu terjadinya penciptaan Adam. Dan manusia diciptakan hanya untuk ibadah, maka layaklah kalau pada hari itu dia hanya sibuk dengan ibadah. Dan juga karena Allah Ta’ala menyempurnakan penciptaan makhluk-makhluk pada hari itu dan menciptakan manusia pada hari itu juga sehingga bisa memanfaatkannya. Maka tepatlah, kalau pada hari itu mereka menggunakannya untuk bersyukur kepada Allah dengan beribadah kepada-Nya. Wallahu Ta’ala A’lam

Maka tepatlah, kalau pada hari itu mereka menggunakannya untuk bersyukur kepada Allah dengan beribadah kepada-Nya.

 

 

Oleh : Purnomo

– See more at: http://www.voa-islam.com/read/ibadah/2010/04/09/4876/kenapa-dinamakan-hari-jumat/#sthash.0ceuqSze.dpuf

Mimpi dan Pertanyaan Rasulullah

Samurah bin Jundud RA meriwayatkan, pada satu pagi seusai shalat Shubuh Rasulullah SAW menghadap pada jamaah seraya bertanya, “Adakah di antara kalian yang tadi malam bermimpi?” Kemudian seperti biasa beliau memberikan pelajaran kepada para sahabatnya.

Pada pagi berikutnya, Rasulullah SAW juga bertanya, “Adakah di antara kalian yang tadi malam bermimpi?” Kami semua menjawab: “Tidak ada.” Lalu, Rasulullah berkisah.

“Sungguh tadi malam aku bermimpi melihat dua orang. Keduanya mengajakku menuju tanah yang disucikan. Lalu kami pergi bersama-sama hingga sampailah di sebuah pantai. Di sana aku memandangi lautan darah. Di tengah-tengah lautan itu ada seorang laki-laki yang sedang bersusah payah mencoba menyelamatkan diri, dan di tepi laut itu juga ada seorang laki-laki yang memanggul batu sambil memperhatikan laki-laki yang tengah timbul tenggelam di dalam lautan darah itu. Anehnya, setiap kali laki-laki itu bersusah menepi hendak mengentaskan diri, laki-laki yang ditepi laut itu melemparkan batu yang dipanggulnya tepat pada mulut laki-laki yang di tengah laut itu, sehingga ia terjungkal kesakitan dan tenggelam lagi ke tengah-tengah laut. Bagitulah setiap kali ia berusaha menepi, pasti dilempar batu tepat pada mulutnya, sehingga selamanya ia berada di tengah lautan darah itu.

Menyaksikan peristiwa yang mengerikan itu, aku bertanya pada Malaikat Jibril, “Siapakah laki-laki yang di tengah laut itu?” Jawabnya, “Dialah pemakan riba!” (HR Bukhari).

Sungguh Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2] : 275) Riba banyak terjadi pada jual beli, jika ada tambahan baik dari segi kuantitas dari barang yang diperjualbelikan ataupun karena penyerahan pembayaran yang ditunda. Riba juga terjadi dalam akad pinjam meminjam, apabila terdapat manfaat tambahan atas utang piutang pihak yang bersangkutan.

Sistem riba amat menyengsarakan dan mencekik leher kaun dhuafa (lemah). Kehidupan mereka yang serbakurang, justru semakin tercekik oleh pemberian utangan dari kaum yang kuat dan bermodal. Memang dengan prosedur yang tidak berbelit-belit, mereka dengan mudahnya dapat menerima pinjaman dari kaum pemilik modal. Tapi, pertama kali menerima uangnya saja sudah dipotong, sehingga mereka tidak dapat menerima sejumlah uang yang tertera pada perjanjian utang piutang.

Labih dari itu, baru sehari mereka berutang langsung didatangi oleh para penagih yang ditugaskan oleh pemilik modal. Utang bunga pun menjadi berlipat ganda besarnya dan si pengutang tidak diberi kesempatan untuk memutarkan uang pinjaman itu. Jika kita pikirkan dengan akal sehat, tentu kita akan berkata, “Betapa kejamnya para pengambil riba itu!”

Begitu kejinya praktik riba sehingga Rasulullah SAW melaknatinya. Tidak hanya si pemakan riba yang dilaknat, tetapi setiap orang yang terlibat perjanjian riba itu. Sebagaimana Abdullah bin Mas’ud ra telah berkata, “Rasulullah SAW melaknati pemakan riba, orang yang mewakili (perjanjian)-nya, kedua saksi (perjanjian)-nya dan pencatat.” (HR Muslim dan Tirmidzi).

Akhirnya, marilah kita bermuamalah, dengan senantiasa mengunakan cara-cara yang sesuai dengan syariat Islam, dalam praktik kehidupan sehari-hari kita. Raihlah kekayaan dengan cara yang dibenarkan dalam agama, dan dengan prinsip manusiawi. Sehingga kita terhindar dari laknat Rasulullah dan tidak tenggelam dalam lautan darah. Wallahu’alam

 

Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

sumber:Republik Onlne

Mau Adopsi Anak, Ini Pandangan Ulama

Islam telah lama mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi atau pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritshah sebagai anaknya.

Tabanni secara harfiah diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Secara hukum anak itu bukanlah anaknya.

Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang luas rezekinya, namun belum dikaruniai anak. Maka itu, sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mampu, agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.

Di Indonesia, peraturan terkait pengangkatan anak terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Demikian pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang turut memerhatikan aspek ini.

Pasal 171 huruf h KHI menyebutkan anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.

Kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak lama sudah memfatwakan tentang adopsi. Fatwa itu menjadi salah satu hasil Rapat Kerja Nasional MUI yang berlangsung Maret 1984. Pada salah satu butir pertimbangannya, para ulama memandang, bahwa Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).

Hanya saja, MUI mengingatkan ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat Islam.

Banyak dalil yang mendasarinya. Seperti surat al-Ahzab ayat 4, ”Dan, dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.”

Begitu pula surat al-Ahzab ayat 5, ”Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil dihadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan mula-mula (hamba sahaya yang di merdekakan).”

Surat al-Ahzab ayat 40 kembali menegaskan, ”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutub nabi-nabi. Dan Allah Maha Mengetahui Segala sesuatu.”

Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Dan Abu Zar RA sesungguhnya ia mendengar Rasulullah bersabda, ”Tidak seorangpun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam fatwanya MUI memandang, mengangkat anak hendaknya tidak lantas mengubah status (nasab) dan agamanya. Misalnya dengan menyematkan nama orangtua angkat di belakang nama si anak.  Rasulullah telah mencontohkan. Beliau tetap mempertahankan nama ayah kandung Zaid, yakni Haritsah di belakang namanya, tidak lantas mengubahnya dengan nama bin Muhammad.

MUI mengharapkan supaya adopsi dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri. Ini adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal saleh.

”Tidak diragukan lagi bahwa usaha semacam itu merupakan perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh agama serta diberi pahala,” demikian fatwa MUI. Nantinya, bagi ayah angkat, boleh mewasiatkan sebagian dari peninggalannya untuk anak angkatnya, sebagai persiapan masa depannya, agar ia merasakan ketenangan hidup.

Para ulama di Tanah Air telah menfatwakan bahwa pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing, selain bertenatangan dengan UUD 1945 pasal 34, juga merendahkan martabat bangsa.

Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada  21 Desember 1983 juga telah menetapkan fatwa tentang Adopsi. Dalam fatwanya ulama NU menyatakan bahwa ‘’Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah.’’

Sebagai dasar hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi SAW. ‘’Barang siapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya.’’ Qatadah berkata, siapapun tidak boleh mengatakan ‘’Zaid itu putra Muhammad’’. (Khazin, Juz Vi hlm 191)

‘’Pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam nashab, mahram maupun hak waris,’’ papar ulama NU dalam fatwanya.

 

sumber: Republika Online