Di antara adab yang perlu diperhatikan oleh seseorang dan para pendidik adalah adab dalam menjalani fase-fase usia. Ketidaksesuaian dalam menjalani fase-fase ini bisa menyebabkan perilaku seseorang menjadi buruk atau bahkan biadab.
Al-Qur’an membagi fase umur manusia kepada tiga bagian, yaitu lemah, kemudian kuat, kemudian lemah dan beruban.
ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن ضَعۡفٍ۬ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعۡدِ ضَعۡفٍ۬ قُوَّةً۬ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعۡدِ قُوَّةٍ۬ ضَعۡفً۬ا وَشَيۡبَةً۬ۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۖ وَهُوَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡقَدِيرُ (٥٤)
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. [QS: ar-Rum ayat 54]
Ibn Katsir di dalam Tafsirnya saat menjelaskan tentang ayat ini menulis,
“Kemudian ia keluar dari rahim ibunya, lemah, kurus, dan tak berdaya. Kemudian ia tumbuh sedikit demi sedikit sampai ia menjadi seorang anak, lalu ia mencapai usia baligh, dan setelahnya menjadi seorang pemuda, yang merupakan kekuatan setelah kelemahan. Kemudian ia mulai menjadi tua, mencapai usia paruh baya, lantas menjadi tua dan uzur, kelemahan setelah kekuatan, maka ia kehilangan ketetapan hati, tenaga untuk bergerak, serta kemampuan berperang, rambutnya menjadi kelabu dan sifat-sifatnya, zahir dan batin, mulai berubah.”
Kita bisa menyebut fase yang pertama sebagai fase kanak-kanak, yang kedua fase dewasa, dan yang terakhir fase tua. Hal ini karena kanak-kanak dan orang tua memang berada dalam fase kelemahan, sementara kekuatan ada pada usia dewasa.
Namun berapakah batasan usia pada masing-masing fase tersebut? Dalam hal ini usia baligh, atauusia lima belas tahun,merupakanbatas usia dari kanak-kanak ke dewasa dan usia enam puluh tahun, kurang lebih, merupakan saat-saat peralihan ke usia tua.
Usia lima belas tahun adalah waktu yang tidak terlalu lama sejak seorang anak mencapai usia baligh, sehingga membuat seorang anak tidak perlu melewati masa peralihan yang terlalu panjang untuk memasuki usia dewasa. Tentang batas usia ini ada penjelasan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
Ibn Umar radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil saya agar hadir ke hadapannya menjelang Perang Uhud dan ketika itu saya berusia empat belas tahun, dan beliau tidak mengijinkan saya untuk ikut berperang. Kemudian beliau memanggil saya untuk hadir ke hadapannya menjelang Perang Khandaq ketika saya berusia lima belas tahun dan beliau mengijinkan saya untuk berperang.” Nafi’ berkata, “Saya datang kepada Umar bin Abdul Aziz yang merupakan Khalifah pada waktu itu dan menyampaikan riwayat tersebut kepadanya. Ia berkata, ‘Usia ini (lima belas tahun) adalah batas antara anak-anak dan orang dewasa.’ Dan ia memerintahkan kepada para gubernurnya untuk memberikan tunjangan kepada siapa saja yang telah mencapai usia lima belas tahun.” (HR Bukhari)
Adapun batas antara fase dewasa dan tua kurang lebih ada di sekitar usia enam puluh tahun. Hal ini dengan memperhatikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umarwafat pada usia enam puluh tiga tahun, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik (HR Muslim), dan ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum ajma’inwafat di usia yang sama.
Rasulullah dan Abu Bakar wafat saat masih berada dalam kekuatan dan keduanya mengalami sakit serta menjadi lemah karenanya hanya beberapa hari menjelang wafat. Sementara Umar wafat karena dibunuh oleh Abu Lu’lu’ah.
Ada riwayat di dalam Siyar A’lam al-Nubala’ karya al-Dzahabi bahwa kurang dari sebulan sebelum wafatnya beliau mengangkat tangan ke langit dan berdoa, “Ya Allah, usiaku telah tua, kekuatanku melemah, dan rakyatku menyebar luas, maka kembalikanlah aku kepada-Mu tanpa melakukan penganiayaan dan kezaliman.”
Selain itu, mereka yang berada di fase dewasa juga perlu memperhatikan batas usia empat puluh tahun, sebagaimana al-Qur’an menyebut secara khusus tentang usia ini: “…sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ….” Karena pada usia inilah, seperti disebutkan Ibn Katsir di dalam Tafsirnya, “kemampuan berpikir seseorang, pemahaman, serta kesabarannya mencapai puncak kematangan. Juga dikatakan bahwa biasanya seseorang tidak akan mengubah jalannya [cara hidup dan karakternya, pen.] saat ia mencapai usia empat puluh tahun.” Ini adalah saat seseorang mencapai usia kematangan dan berada dalam puncak kedewasaan dan kemandirian.
Adab Menjalani Fase Usia
Seorang Muslim perlu memahami fase-fase ini dan mengambil perhatian atas diri sendiri dan orang lain agar ia tidak sampai melanggar adab-adabnya.
Di antara adab terkait fase usia ini adalah mereka yang berada di fase kuat atau dewasa harus bertindak sesuai kapasitasnya dan menggunakannya dengan penuh tanggung jawab. Karena mereka adalah orang-orang yang berada di puncak fase usia dan yang paling memiliki kemampuan, maka dia harus melindungi dan mengayomi orang-orang yang berada di fase usia yang lain, bukan malah meninggalkan, tak peduli, apalagi sampai menindas. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang tidak menyayangi anak-anak kami dan tidak mengakui hak-hak orang tua kamimaka ia tidak termasuk golongan kami.” (HR Bukhari dalam Adab al-Mufrad dari Abu Hurairah).
Begitu pula mereka yang berada pada fase-fase usia lainnya harus mengetahui adab-adab yang perlu dilakoninya. Seorang anak atau mereka yang berusia lebih muda, misalnya, perlu menghormati orang-orang yang lebih tua dan mendahului dalam memberi salam. “Yang muda harus memberi salam kepada yang tua, yang berjalan kepada yang duduk, dan yang sedikit kepada yang banyak,” sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (HR. Bukhari).
Hilangnya adab terhadap usia bisa berdampak sangat serius. Ada hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang menyebut bahwa ada tiga orang yang Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada Hari Kiamat, tidak mensucikan mereka, tidak memandang kepada mereka, dan bagi mereka azab yang pedih, di antaranya adalah orang tua yg berzina (HR. Muslim sebagaimana disebutkan di dalam Riyadhal-Shalihin). Hal ini disebabkan perilaku ini menunjukkan pelan
ggaran adab yag serius terhadap fase usia yang dilaluinya. Seorang yang sudah tua sebenarnya berada dalam kelemahan, termasuk dalam urusan syahwat atau dorongan seksual. Jika dorongan syahwat sudah jauh berkurang tapi masih saja bermaksiat dan berzina, ini merupakan hal yang sangat keterlaluan. Selain itu, fase usia yg dilaluinya adalah fase terdekat dengan kematian, maka bagaimana mungkin ia masih sempat melakukan dosa besar? Padahal seharusnya ia menjadi orang yang paling banyak mengingat kematian.
Di antara persoalan serius di jaman modern ini berkenaan dengan fase usia adalah dimundurkannya batas waktu antara fase kanak-kanak dan dewasa. Anak-anak pada hari ini belum dianggap dewasa sebelum ia mencapai usia dua puluh tahun atau bahkan lebih. Masa-masa di antara baligh dan usia sekitar dua puluh tahun disebut sebagai masa transisi atau biasa dikenal sebagai masa remaja, sebuah periode pertumbuhan yang dahulunya tidak ada.
UNICEF dalam laporannya pada tahun 2011 menyebut umur 10-19 tahun sebagai usia remaja (http://www.unicef.org/adolescence/files/SOWC_2011_Main_Report_EN_02092011.pdf), sementara PBB menyebut mereka yang berusia di antara 15 dan 24 tahun sebagai pemuda (youth), tetapi penjelasan terhadap terma ini kurang lebih sama dengan apa yang dipahami masyarakat modern tentang remaja, yaitu “a period of transition from the dependence of childhood to adulthood’s independence” (http://www.un.org/esa/socdev/documents/youth/fact-sheets/youth-definition.pdf). Yang terakhir ini membuat fase kedewasaan seorang anak menjadi semakin mundur dan lambat.
Anak-anak sebetulnya mengalami perubahan penting secara fisik dan psikologis menjadi seorang dewasa saat mereka baligh dan, setelah melewati periode transisi yang singkat, bisa diterima secara sosial sebagai bagian dari masyarakat dewasa saat mereka berusia 15 tahun, sebagaimana di jelaskan di awal artikel ini. Hal ini sejalan dengan perkembangan natural pada fisik serta kesiapan psikologis dan sosial pada manusia secara umum.
Penundaan yang terlalu lama dari batas usia ini akan menimbulkan kekacauan konsep serta kerusakan adab pada diri seorang anak. Ia yang seharusnya sudah memasuki fase kekuatan dipaksa untuk tetap berada dalam fase lemah, atau fase yang samar-samar, tidak lemah tapi juga tidak kuat.
Diubahnya definisi dan batasan waktu antara anak-anak dan dewasa telah merusak konsep adab terkait fase usia. Seseorang yang seharusnya sudah mulai menjalani adab sebagai seorang dewasa malah terus berperilaku seperti anak-anak atau malah ‘dihalalkan’ untuk tidak beradab karena mereka dianggap sedang menjalani masa transisi yang penuh gejolak. Ia menjadi kurang memiliki rasa tanggung jawab, yang merupakan salah satu ciri kedewasaan, dan seringkali tak sungkan melakukan berbagai jenis pelanggaran. Sebagian bahkan sangat membenci tanggung jawab, seperti yang dikutip James E. Gardner (1992: 41) dalam Memahami Gejolak Masa Remaja tentang ucapan seorang remaja di Amerika:
Inilah kata yang paling kubenci – tanggung jawab. Aku selalu harus bertanggung jawab terhadap diriku sendiri, terhadap orang lain, atau terhadap sesuatu …. Persetan dengan tanggung jawab. Aku tidak menginginkannya. Taik dengan tanggung jawab!
Ini baru ucapan dan sikap yang tak pantas, belum termasuk berbagai bentuk kenakalan dan perilaku tak bertanggung jawab dari anak-anak yang biasa disebut sebagai remaja, seperti bullying, perilaku seks yang bebas, penggunaan obat-obat terlarang, serta jiwa yang labil dan kecenderungan bunuh diri.Sebetulnya bukan para remaja ini yang salah pada asalnya, tetapi masyarakat modern-lah yang telah mengacaukan batasan usia serta meninggalkan adab-adab yang menjadi tuntutan di dalamnya. Akibatnya, banyak sikap dan perilaku anak-anak serta pemuda pada hari ini yang menjadi tak beradab.
Karena itu tidak ada jalan untuk memperbaiki keadaan ini selain dengan menetapkan kembali fase usia pada batas-batasnya yang alami dan sesuai dengan tuntunan agama, serta dengan memahami dan menghidupkan adab-adab yang sesuai padamasing-masing fase usia tersebut.*/Jakarta,25 Dzulhijjah 147/ 27 September 2016
Oleh: Alwi Alatas
Penulis buku Revolusi Jilbab Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri se-Jabodetabek, 1982-1991
sumber: Hidayatullah