Hebohkan Medsos, Ini Cerita Mualaf Cantik Korea Memeluk Islam

Ayana Johye Moon sempat menghebohkan media sosial pada 2015, usai keputusannya memeluk Islam dan mengunduh fotonya yang berjilbab. Uniknya, saat ini Ayana tengah mewujudkan minatnya belajar Alquran, terutama usai menyadari invasi AS di Irak pada 2003 lalu.

Dilansir dari Malaysian Digest, Rabu (25/1), Ayana memposting videonya di YouTube pada Senin (23/1), dan mengaku tengah menelusuri internet demi mengumpulkan informasi tentang Irak, yang Islam merupakan agama resmi. Namun, ia mengungkapkan, ketertarikannya kepada agama sudah mulai sejak usia 8-9 tahun, dan menemukan kata Islam begitu menarik dan merasa itu tidak seperti nama agama.

“Jadi, saya mulai melakukan penelitian tentang Islam dan melihat mereka mengenakan pakaian longgar, menutupi wajah mereka dengan niqab dan mengenakan jilbab seperti saya hari ini,” tutur dara berusia 22 tahun tersebut.

Ia menerangkan, rasa ingin tahunya tentang Islam tumbuh saat berada di sekolah tinggi dan diketahui guru serta orang tuanya, yang seperti Ayana karena sering mengasosiasikan Islam secara negatif. Tapi, usai melakukan banyak penelitian dan memperbanyak bacaan tentang kehidupan Muslim di Timur Tengah, mulailah persepsinya tentang Islam dan Muslim berubah secara perlahan.

Bertekad kuat memuaskan rasa ingin tahunya, Ayana mendaftar ke camp World Assembly of Muslim Youths (WAMY) di Korea selama tiga hari dua malam. Sejak itu, ia mengaku jadi lebih sering mengikuti program-program keagamaan yang banyak diselenggarakan masjid-masjid setiap pekan, sampai mengantarkan Ayana akhirnya benar-benar berkeinginan untuk bisa memeluk Islam.

“Saya bergabung dengan program mingguan di Masjid Salam Nuri dan di sana saya bertemu mentor saya, Paman Amin, dan saya belajar tentang Islam sampai saya menjadi seorang Muslim Korea,” ujar Ayana.

Meski begitu, ia menambahkan, pengalamannya memeluk Islam bukanlah tugas yang mudah, terutama karena kekhawatiran kalau keluarga dan teman-temannya akan dirugikan akibat keputusannya memeluk Islam. Maka itu, Ayana menegaskan postingannya di YouTube tentang pengalamannya merupakan pengalaman pribadi, dan tidak mewakili komunitas Islam dan Muslim secara keseluruhan.

 

sumber: Republika Online

Wahai Para Istri, Buatlah Suamimu Tersenyum

Kemilaunya intan dan permata terlihat indah di kelopak mata, tak akan sanggup mengalahkan perhiasan terindah di dunia, yaitu seorang wanita salehah. Wanita salehah mampu memberikan keteduhan dan kenyamanan bagi suaminya dibandingkan kilatan permata yang menyilaukan mata. Di mata sang suami, wanita salehah mampu menjadi peredam dari gegap gempita kehidupan dunia. Ia bukan sekadar pendamping yang hebat, namun mampu menjadi penasihat yang kuat hingga pemompa semangat saat sang suami mulai penat.

Seorang wanita salehah mengetahui hak-hak suami yang harus ditunaikan. Karena hal itu merupakan kewajibannya. Meskipun, terkadang berat untuk taat atau lelah ketika tak bergairah. Namun, istri salehah tidak akan pernah putus asa untuk meraih kebahagiaan. Karena kebahagiaan itu akan abadi. Rasulullah saw bersabda, “Wanita mana pun yang meninggal dunia sementara suaminya ridha kepadanya, pasti masuk surga.” (Riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Adapun kiat sederhana agar suami tersenyum adalah sebagai berikut:

Taat

Sehebat dan tangguh apa pun seorang wanita, maka kewajiban terhadap suami wajib ditunaikan. Suami adalah pemimpin rumah tangga.

“Seandainya aku perintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.” (Riwayat Abu Dawud dan al-Hakim)

Hal ini merupakan sebentuk keadilan Allah swt kepada seorang suami. Karena segala yang ditetapkan Allah swt pasti adil dan baik bagi manusia. Namun, jangan disalahpahami bahwa ketaatan kepada suami menyebabkan seorang istri menjadi terkekang dan sengsara hidupnya. Karena di sisi lain, seorang suami diperintahkan oleh Allah swt untuk bergaul dengan baiik kepada istrinya dan dilarang menyusahkan wanita yang telah taat kepadanya.

Allah swt berkalam,

فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً

“Kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalan mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (Qs. an-Nisa’ [4]: 34)

Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik perilakunya terhadap istrinya. Dan aku adalah yang terbaik kepada istriku.” (Jami’ at-Tirmidzi, 3895)

Meski seorang istri wajib taat kepada suaminya, namun itu semua berlaku dalam hal yang baik dan benar saja. Di antara salah satu bentuk ketaatan seorang istri kepada suaminya adalah melayani kebutuhan biologis sang suami. Namun, apakah sekadar suami saja yang perlu dicukupi kebutuhan biologisnya? Tentu saja tidak. Kebutuhan biologis istri pun meski dipenuhi oleh suami. Dengan terpenuhinya kebutuhan biologis tersebut, niscaya keduanya lebih mudah untuk menjaga diri dari pebuatan nista.

Jagalah

Salah satu kewajiban lain yang mesti dipenuhi oleh seorang istri adalah menjaga kehormatan, kemuliaan, harta, anak-anak, dan urusan rumah tangga lainnya. Allah swt telah berkalam,

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“Maka wanita-wanita yang salehah adalah wanita-wanita yang taat kepada Allah swt lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Oleh karena itu, Allah telah memelihara mereka.” (Qs. an-Nisa’ [4]: 34)

Demi menjalankan kewajibannya itu, seorang istri mempunyai wewenang untuk mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. Tentu saja, semua itu tetap di bawah kendali kepemimpinan seorang suami.

Di Rumah Suami

Kewajiban seorang istri terhadap seorang suami adalah tinggal di rumah suami. Artinya, tidak keluar kecuali atas ijin dan ridhanya. Allah swt telah berkalam,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى

“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian. Dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.” (Qs. al-Ahzab [33]: 33)

Di samping itu, ia berusaha memelihara pandangan dan merendahkan suaranya dalam rangka mentaati perintah Allah Ta’ala,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Katakanlah pada wanita-wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak darinya.” (Qs. an-Nur [24]: 31)

Tenangkanlah

Di awal kenabian, ketika Nabi Muhammad saw berada dalam kegundahan, maka Khadijah menghibur dan menenangkannya. Seorang sitri salehah akan selalu berusaha menciptakan ketenangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Ia begitu menyenangkan saat dipandang, menarik hati sang suami, dan dapat meredam segala gejolak yang terjadi di dalam rumah tangga.

Rasulullah saw telah bersabda, “Wanita (istri) terbaik adalah jika engkau melihat padanya, ia akan menyenangkanmu. Jika engkau memerintah, ia akan taat kepadamu. Jika engkau pergi, ia menjagamu dengan menjaga dirinya dan hartamu.” (Riwayat Muslim dan Ahmad)

Seorang istri salehah yang sadar tentang kewajibannya tak hanya membahagiakan bagi sang suaminya. Lebih dari itu, sebenarnya ia telah membahagiakan dirinya sendiri. Wallahu a’lam bish shawwab.

 

 

[Hamizan/Bersamadakwah]

Editor: Pirman Bahagia

Jadilah Ibu yang Mementingkan Keluarga Dibanding Karier

Setelah menikah, pilihan bagi seorang wanita adalah menjadi ibu rumah tangga yang baik atau mengejar karier di luar rumah. Memang banyak pendapat di kalangan ulama tentang boleh atau tidaknya seorang wanita bersuami untuk bekerja di luar.

Namun, hal ini bukan menjadi poin yang perlu diperbincangkan panjang lebar. Seorang wanita yang telah menikah harus menjadi istri yang baik bagi suaminya dan ibu yang penyayang bagi anak-anaknya.

Secara umum, keibuan mencakup makna yang luas yaitu membuat inovasi, memberi, mengasihi dan mencintai.

Keibuan adalah watak dasar yang dimiliki setiap makhluk yang berjenis kelamin perempuan, baik dari kalangan hewan, burung, serangga dan manusia.

Watak ini akan semakin kuat dengan adanya proses melahirkan (reproduksi) dan tidak akan hilang setelah melahirkan.

Perempuan yang menjadi ibu adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas orang-orang di bawah kepemimpinannya, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hadits Shahih,

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

“Wanita adalah pemimpin di (dalam urusan) rumah suaminya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Kepemimpinan di sini adalah mendidik anak-anak dan memperhatikan pertumbuhan mereka dalam aspek jasmani, rohani dan intelektualitas.

Seorang ibu harus melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya dengan penuh kesabaran saat memasak, memerhatikan pertumbuhan mereka, menemani mereka ketika sakit atau tidak bisa tidur.

Seorang ibu harus begadang terlebih dahulu sebelum anak-anaknya tidur dengan nyenyak, menunggu kepergian anaknya ke sekolah sampai pulang kembali, bersedih atas sakit anaknya sampai benar-benar sembuh, bersedih atas anaknya yang menerima cobaan sampai benar-benar melewatinya dengan baik.

Wanita shalihah adalah wanita yang berani mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya termasuk kariernya, jika tidak bisa dikompromikan dengan kepentingan anak-anak dan suaminya.

Tidak sebaliknya, mengorbankan anak-anak demi karier profesionalnya.

Seorang ibu yang shalihah juga tidak butuh pembantu, panti asuhan, kerabat, tetangga, para pemilik toko atau orang lain dalam mendidik anak-anaknya agar mereka tidak menjadi korban pergaulan bebas dan menjadi sasaran penculikan dari orang-orang jahat.

Apa yang didapat seorang istri jika anak-anaknya menjadi perampok, pengemis, pecandu narkoba, dan lain sebagainya?

Tentu saja, yang didapatnya hanyalah penyesalan.

Sebaliknya, apa yang diperoleh seorang ibu jika anak-anaknya sukses dalam sekolah dan kuliahnya?

Tentu saja, dia akan mendapatkan ketenangan hati dan ketenteraman dalam hidupnya.

Semoga para ibu bisa menjadi teman bagi anak-anaknya, baik dalam suka maupun duka.

Disarikan dari tulisan Shafa Syamandi dalam buku Kuni Aniqah.

 

 

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Salam Kemuliaan untukmu Ibu-Ibu Peradaban

Tak ada seorang ibu pun yang mau kehilangan buah hatinya. Tak ada seorang ibu pun yang mau dipisahkan dengan bayinya, apalagi tak ada kejelasan bayi itu akan jatuh ke tangan siapa.

Namun yang dihadapi Ayarikha –demikian namanya seperti dikutip Ibnu Katsir dalam Qashashul Anbiya’– saat itu sangat berat. Musa yang baru dilahirkannya terancam dibunuh rezim Fir’aun sebagaimana bayi laki-laki lainnya. Maka ia pun mengikuti ilham yang diterimanya; memasukkan Musa ke dalam peti dan menghanyutkannya ke sungai.

Hari-hari itu sangat berat bagi Ayarikha. Adakah ibu yang tak berduka berpisah dengan bayinya? Adakah ibu yang tak bersedih tak bisa lagi memeluk buah hatinya? Adakah ibu yang tak menangis ketika bayi yang seharusnya ditimang kini terpaksa dibuang?

Namun demi keselamatan Musa, cara itu harus ditempuhnya. Demi masa depan umat manusia, pengorbanan besar itu dilakukannya. Kemudian Allah mentakdirkannya bertemu dengan Musa di istana Fir’aun, meskipun masih harus merasakan kesedihan karena tak mungkin mengungkapkan jati diri sesungguhnya bahwa ia adalah ibu kandung Musa.

Ibu-ibu kita memang tidak pernah menghadapi diktator selevel Fir’aun yang membunuhi anak-anak. Namun, di setiap zaman, para ibu selalu menyuguhkan pengorbanan demi keselamatan dan masa depan anak-anaknya. Meski tak seberat Ayarikha, para ibu juga pernah merasakan sedih-duka-lara yang terkadang mengharu biru saat berjuang mendidik dan membesarkan putra-putrinya.

***

Kita bisa membayangkan, betapa beratnya buncah kesedihan saat seorang ibu memasukkan bayinya ke peti, menjatuhkannya ke sungai dan menyaksikan arus membawa peti itu pergi. Lalu, bagaimana rasanya seorang ibu mengetahui putranya dikepung dan dibantai?

Asma’ binti Abu Bakar mengalaminya. Saat itu usianya telah senja, hampir 100 tahun menurut Mahmud Al Mishri dalam Shahabiyat hawlar Rasul. Ia juga dalam kondisi sakit saat pasukan Al Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi menyerbu Makkah Al Mukarramah memburu putranya, Abdullah bin Zubair.

Abdullah bin Zubair awalnya memerintah Hijaz, Yaman, Irak dan Khurasan. Namun kekuasaannya dipreteli oleh ats Tsaqafi. Hingga hari itu, ia dikepung di Makkah. Bagai meriam, manjaniq melontarkan batu-batu ke Makkah dari segala arah. Menghancurkan bangunan, merusak Masjidil Haram, dan tak terhitung korban yang berjatuhan.

Setelah pasukan kavaleri beraksi, pasukan infanteri mengepung Abdullah bin Zubair. Hampir tak ada peluang untuk bisa bertahan lebih lama, sementara banyak pendukung yang berubah haluan mengkhianatinya. Saat itulah, dengan luka di tubuhnya, Abdullah bin Zubair menghadap kepada Asma’.

“Wahai ibu, orang-orang berkhianat hingga tinggal beberapa yang membersamaiku. Musuh menawariku harta jika aku menyerah, bagaimana pendapat Ibu?”

Asma’ menjawab tegas, “Demi Allah, wahai anakku, kau lebih tahu tentang dirimu. Jika engkau merasa benar, tetaplah di jalan ini. Sahabat-sahabatmu pun syahid di jalan ini. Namun jika engkau menyerah dan mengambil dunia sebagai pilihan, engkau adalah manusia terburuk di muka bumi.”

“Wahai ibu,” Abdullah bin Zubair tersenyum, “sesungguhnya memang itulah pendapatku. Aku menghadapmu agar semakin teguh keputusanku. Kini anggaplah aku telah terbunuh.”

Dalam momen-momen mengharukan itulah terucap kalimat Asma’ yang mengabadi hingga zaman ini: “Isy kariman au mut syahidan.” Hidup mulia atau mati syahid. Semboyan yang kemudian menjadi semangat Abdullah bin Zubair untuk bertempur hingga titik akhir.

Serangan bertubi-tubi menghantam Abdullah bin Zubair. Tak terhitung luka di tubuhnya. Darah pun mengalir membasahi tanah haram. Akhirnya, putra Zubair bin Awwam itu pun syahid dan jasadnya digantung di kayu salib.

Bagaimana perasaan seorang ibu menyaksikan jenazah putranya digantung, berhari-hari tak dimakamkan? Pasti ada kesedihan mendalam di relung jiwa Asma’. Namun syukurnya jauh lebih besar. Sebab putranya telah syahid fi sabilillah.

***

Jika Asma’ telah melahirkan semboyan jihad isy kariman au mut syahidan, Ikhwanul Muslimin memiliki semboyan syahid fi sabilillah al asma amanina. Jika Asma’ bangga dengan syahidnya Abdullah bin Zubair, banyak ibu-ibu Ikhwanul Muslimin mewarisi semangat Asma’.

Ummu Nidhal adalah salah satu contohnya. Nama aslinya Maryam, dialah istri Asy Syahid Fathi Farhat.

Tak hanya mendukung suami menjadi syahid, Ummu Nidhal juga mempersembahkan seluruh anaknya menjadi mujahid. Enam putra dan empat putri, seluruhnya masuk Izzudin Al Qasam. Tiga putranya telah syahid; Nidhal, Muhammad dan Rowad. Dan setiap kali mendengar putranya syahid, Ummu Nidhal keluar rumah untuk membagi-bagikan manisan sebagai tanda syukurnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Akhwat lain pernah menolak ungkapan bela sungkawa saat putranya syahid. “Jika engkau mau menyampaikan bela sungkawa, maka pulanglah. Namun jika engkau mau menyampaikan selamat atas syahidnya putraku, aku akan menyambutmu.”

***

Tak hanya berkorban untuk keselamatan anak, para ibu jauh lebih mencintai anak-anaknya hidup dalam kemuliaan. Karenanya para ibu tak hanya siap menanggung sedih-duka-lara dalam membesarkan anak-anak, namun juga membekali mereka dengan kebenaran. Memotivasi saat anak-anak merasa lemah, menginspirasi saat anak-anak menghadapi masalah.

Namun perjuangan ibu bukan hanya soal mengandung dan melahirkan. Merawat bayi dan membesarkan. Ibu juga disebut madrasatul ula; sekolah yang pertama. Sebab sejak bayi, anak belajar dari ibunya; kebiasaan, kata-kata, dan keteladanan. Bahkan keimanan.

Lalu sejarah pun mencatat, betapa banyak pahlawan besar lahir dari rahim dan didikan wanita-wanita mulia. Mereka bukan hanya menjadi ibu biologis, namun juga ibu ideologis. Mereka bukan hanya mengantarkan anak-anaknya tumbuh sehat namun juga memiliki ideologi kuat. Mereka bukan hanya membesarkan fisik anak-anaknya namun juga membesarkan cita-cita dan obsesi mereka.

Siapa pun kita, apa pun yang kita capai hari ini, semuanya tak lepas dari peran ibu. Maka Rasulullah pun mewasiatkan agar kita memuliakan dan berbakti kepadanya. Bahkan ibulah yang disebut tiga kali ketika seorang sahabat bertanya kepada siapa harus berbakti: “ibumu”, “ibumu”, kemudian “ibumu.” Setelah itu baru, “ayahmu.”

Maka mari kita periksa bakti kita kepada ibu. Menghadaplah kepadanya dengan sepenuh bakti seorang ananda. Sampaikan terima kasih atas segala kebaikannya yang tak pernah terbalas meskipun kita membawanya ke Makkah dan menggendongnya berthawaf mengelilingi ka’bah. Sampaikan terima kasih atas segala kebaikannya yang tak bisa dibalas meskipun seluruh harta kita serahkan sebagai hadiah.

Dan untuk kita para ikhwan, bantulah istri kita menjadi ibu terbaik bagi anak-anak kita. Hingga para para istri menjadi ibu ideologis yang mewariskan tarbiyah Islamiyah kepada anak-anak kita. Hingga para istri menjadi ibu peradaban yang melahirkan pejuang kebenaran. Yang tak pernah gagap menghadapi tantangan zaman. Yang tak akan menyerah menghadapi musuh-musuh Islam. Sebab terpatri semangat dari ibu-ibunya; isy kariman au mut syahidan, syahid fi sabilillah al asma amanina.

 

[Muchlisin BK/Bersamadakwah]

Dukungan Sederhana Berdampak Luar Biasa

SAYA yakin, bahwa anda pernah menyaksikan bersama mengenai seorang anak dari keluarga yang sangat mengenaskan dalam ekonomi tapi mampu mencapai puncak kesuksesan karir dan merubah kehidupan keluarganya.

Jauh sebelum anak tersebut mencapai puncak kesuksesannya, di waktu kecil si anak memiliki cita-cita setinggi langit yang secara logika akan mustahil dicapai saat si anak menyampaikan cita-citanya kepada orang lain. Saya pun yakin 100% bahwa akan selalu ada orang jahil yang senang menjatuhkan mental seseorang, yang kemudian berkata kepada anak tersebut “kamu itu sedang berkhayal, dan tidak mungkin mimpi kamu jadi kenyataan, segeralah bangun dari mimpi”. Tentunya statement ini sangat sakit mengiris dada.

Secara psikologis (walau saya bukan sarjana jurusan psikologi tapi saya pun pernah merasakannya), setiap manusia sangat membutuhkan sebuah dukungan moral dan sikap untuk menjaga stabilitas emosinya dalam perjuangan mencapai cita-cita. Saya rasa, anda pun berpendapat sama. Maka coba saya lanjutkan cerita anak ini.

Setelah si anak merasa dijatuhkan mentalnya, seorang anak biasanya pulang ke rumah dan mengadukan apa yang dialaminya kepada kedua orangtuanya. Betapa sakitnya hati mendengar kalimat yang menjatuhkan semangatnya tersebut. Dan sang orangtua pun sangatlah sadar terhadap kondisi real yang ada saat ini berbanding khayalan sang anak mengenai masa depan.

 

Biasanya akan ada 4 sikap yang hadir ketika seorang anak curhat kepada orangtuanya:

Pertama: orangtua akan membuat anak tetap termotivasi dengan mengatakan “Kami yakin, kamu pasti bisa mencapai apa yang kamu citakan dan kami akan mendukung sekuat tenaga untuk merealisasikan cita-cita kamu.” Maka Demi Allah, sang anak dipastikan akan kembali tumbuh motivasinya. Di kala dunia sudah tidak ada yang mempercayainya atau bahkan menjatuhkannya, namun masih ada orang-orang yang memberikan dukungan agar ia tetap pada citanya. Mereka adalah orangtua.

Kedua: orangtua yang biasa-biasa saja yang tidak mematahkan dan tidak mendukung, biasanya “Ya sudah, berusaha saja sekuat tenaga, barangkali akan ada mukjizat Nya yang membuat kamu sukses sesuai harapan”

Ketiga: orangtua yang malah menjatuhkan semangat anak, dengan menganggap ya sudah gak akan tercapai apa yang diinginkan, lebih baik saat ini fokus kepada apa yang ada sekarang.

Keempat: ini yang tersadis, kamu tuh mimpi aja, jangan ngomong melulu karena bikin pusing. Jangan ceritakan ke orang lain karena bikin malu. Hadeuh.

Saya hanya ingin menyampaikan karena kita adalah seorang anak dan juga seorang orang tua yang memiliki anak. Bagaimana kiranya, ketika dunia sudah tidak lagi mempercayai upayanya hingga menjatuhkannya dan kita datang kepada orangtua untuk mendapat sekedar dukungan penguat mental, namun malah dijatuhkan. Tragis sekali. Maka saya berpendapat “jangan salahkan anak ketika dia lemah mental dalam mencapai keinginan dan cita-citanya, karena boleh jadi, mungkin Andalah penyebab utamanya”.

Saya berikan permisalan seorang anak nelayan miskin yang menjadi juara sekolah tanpa les private, kursus dan pelajaran tambahan karena memang tidak ada uang untuk membayar, tapi anak nelayan tersebut mampu mengalahkan seorang anak pengusaha atau pejabat yang didukung dengan segala fasilitas mulai pelajaran tambahan, bimbingan belajar atau les private, dan kursus dengan biaya fantastis.

Kira-kira apa rahasia anak luar biasa ini? Ya. Jawabannya adalah mental kuat yang dimiliki anak ini, yang membuat anak ini mampu menangkap pelajaran dengan cepat dari sang guru atau dosen, disertai pemahaman yang cepat ketika ia belajar mandiri. Maka, kira-kira mental itu ia dapatkan darimana? Ya. Mental itu ia dapatkan dari dukungan penuh ayah bunda yang melebihi nominal harta yang dimiliki, ketahuilah harta tidak pernah mampu membeli suplemen mental.

Bagaimana cara orangtuanya membentuk mental anak? Ya. Orangtuanya hanya memberikan support penuh terhadap apa yang diperjuangkan oleh sang anak. Orangtua sampai menggadaikan atau bahkan menjual perhiasan satu-satunya yang dimiliki hanya untuk mendukung sang anak yang akan berangkat menuju pertandingan. Kiranya apa yang akan terjadi? Ya. Sang anak akan berjuang hingga titik darah penghabisan dalam pertandingan untuk menang, sehingga support dari orangtuanya tidak sia-sia.

Maka ketika kita menginginkan sang anak memiliki mental juara, hanya beberapa hal yang harus kita lakukan. “Dengarkan, percayai anak, dan support penuh”

Maka kita akan melihat lompatan luar biasa yang mungkin mustahil terjadi, namun bisa terjadi. Dan pada faktanya seorang anak miskin dari kampung telah mampu melanglang buana studi antar negara dan mendapatkan gelar Profesor di dunia akadamik yang belum tentu didapatkan oleh seorang anak kaya dari kota megapolitan.

Anak kita adalah bagaimana cara kita memperlakukannya. Biarkan mereka berproses dan kita pun berproses. Kita tidak pernah tau mengenai apa yang akan terjadi 10-20 tahun ke depan. Boleh jadi, anak yang sangat kita cintai atau kita sebagai anak yang dicintai orangtua kita, akan berubah menjadi pribadi luar biasa yang berkontribusi besar terhadap dunia. Jangan patahkan semangatnya sebagaimana kita tidak suka dipatahkan semangat kita, percayai sang anak dan biarkan waktu yang menjawab sebesar apa upayanya dan seperti apa rencana Allah ta’ala terhadap masa depan kita dan anak kita.

Wallahu a’lam. [Maulana Ishak, S.Pi, Alumni MSP IPB angkatan 43, Relationship Management Rumah Zakat, Ex. Staff Khusus Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, MS]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2354153/dukungan-sederhana-berdampak-luar-biasa#sthash.k1w9BVAN.dpuf

Pentingnya Qaulan Sadiidaa untuk Anak Kita

REMAJA. Pernah saya menelusur, adakah kata itu dalam peristilahan agama kita? Ternyata jawabnya tidak. Kita selama ini menggunakan istilah remaja untuk menandai suatu masa dalam perkembangan manusia. Di sana terjadi guncangan, pencarian jatidiri, dan peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Terhadap masa-masa itu, orang memberi permakluman atas berbagai perilaku sang remaja. Kata kita, “Wajar lah masih remaja!”

Jika tak berkait dengan taklif agama, mungkin permakluman itu tak jadi perkara. Masalahnya, bukankah aqil dan baligh menandai batas sempurna antara seorang anak yang belum ditulis amal dosanya dengan orang dewasa yang punya tanggungjawab terhadap perintah dan larangan, juga wajib, mubah, dan haram? Batas itu tidak memberi waktu peralihan, apalagi berlama-lama dengan manisnya istilah remaja. Begitu penanda baligh muncul, maka dia bertanggungjawab penuh atas segala perbuatannya; amal shalihnya berpahala, amal salahnya berdosa.

Ismail alaihissalaam, adalah sebuah gambaran bagi kita tentang sosok generasi pelanjut yang berbakti, shalih, taat kepada Allah dan memenuhi tanggungjawab penuh sebagai seorang yang dewasa sejak balighnya. Masa remaja dalam artian terguncang, mencoba itu-ini mencari jati diri, dan masa peralihan yang perlu banyak permakluman tak pernah dialaminya. Ia teguh, kokoh, dan terbentuk karakternya sejak mula. Mengapa? Agaknya Allah telah bukakan rahasia itu dalam firmanNya:

Dan hendaklah takut orang-orang yang meninggalkan teturunan di belakang mereka dalam keadaan lemah yang senantiasa mereka khawatiri. Maka dari itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang lurus benar. (QS An Nisaa: 9)

Ya. Salah satu pinta yang sering diulang Ibrahim dalam doa-doanya adalah mohon agar diberi lisan yang shidiq. Dan lisan shidiq itulah yang agaknya ia pergunakan juga untuk membesarkan putera-puteranya sehingga mereka menjadi anak-anak yang tangguh, kokoh jiwanya, mulia wataknya, dan mampu melakukan hal-hal besar bagi ummat dan agama.

Nah, mari sejenak kita renungkan tiap kata yang keluar dari lisan dan didengar oleh anak-anak kita. Sudahkah ia memenuhi syarat sebagai qaulan sadiidaa, kata-kata yang lurus benar, sebagaimana diamanatkan oleh ayat kesembilan Surat An Nisaa? Ataukah selama ini dalam membesarkan mereka kita hanya berprinsip “asal tidak menangis”. Padahal baik agama, ilmu jiwa, juga ilmu perilaku menegaskan bahwa menangis itu penting.

Kali ini, izinkan saya secara acak memungut contoh misal pola asuh yang perlu kita tataulang redaksionalnya. Misalnya ketika anak tak mau ditinggal pergi ayah atau ibunya, padahal si orangtua harus menghadiri acara yang tidak memungkinkan untuk mengajak sang putera. Jika kitalah sang orangtua, apa yang kita lakukan untuk membuat rencana keberangkatan kita berhasil tanpa menyakiti dan mengecewakan buah hati kita?

Saya melihat, kebanyakan kita terjebak prinsip “asal tidak menangis” tadi dalam hal ini. Kita menyangka tidak menangis berarti buah hati kita “tidak apa-apa”, “tidak keberatan”, dan “nanti juga lupa.” Betulkah demikian? Agar anak tak menangis saat ditinggal pergi, biasanya anak diselimur, dilenabuaikan oleh pembantu, nenek, atau bibinya dengan diajak melihat umpamanya- ayam, “Yuk, kita lihat ayam yuk.. Tu ayamnya lagi mau makan tu!” Ya, anak pun tertarik, ikut menonton sang ayam. Lalu diam-diam kita pergi meninggalkannya. Si kecil memang tidak menangis. Dia diam dan seolah suka-suka saja. Tapi di dalam jiwanya, ia telah menyimpan sebuah pelajaran, “Ooh.. Aku ditipu. Dikhianati. Aku ingin ikut Ibu tapi malah disuruh lihat ayam, agar bisa ditinggal pergi diam-diam. Kalau begitu, menipu dan mengkhianati itu tidak apa-apa. Nanti kalau sudah besar aku yang akan melakukannya!” Betapa, meskipun dia menangis, alangkah lebih baiknya kita berpamitan baik-baik padanya. Kita bisa mencium keningnya penuh kasih, mendoakan keberkahan di telinganya, dan berjanji akan segera pulang setelah urusan selesai insyaallah. Meski menangis, anak kita akan belajar bahwa kita pamit baik-baik, mendoakannya, tetap menyayanginya, dan akan segera pulang untuknya. Meski menangis, dia telah mendengar qaulan sadiida, dan kelak semoga ini menjadi pilar kekokohan akhlaqnya.

Di waktu lain, anak yang kita sayangi ini terjatuh. Apa yang kita katakan padanya saat jatuhnya? Ada beberapa alternatif. Kita bisa saja mengatakan, “Tuh kan, sudah dibilangin jangan lari-lari! Jatuh bener kan?!” Apa manfaatnya? Membuat kita sebagai orangtua merasa tercuci tangan dari salah dan alpa. Lalu sang anak akan tumbuh sebagai pribadi yang selalu menyalahkan dirinya sepanjang hidupnya. Atau bisa saja kita katakan, “Aduh, batunya nakal yah! Iih, batunya jahat deh, bikin adek jatuh ya Sayang?” Dan bisa saja anak kita kelak tumbuh sebagai orang yang pandai menyusun alasan kegagalan dengan mempersalahkan pihak lain. Di kelas sepuluh SMA, saat kita tanya, “Mengapa nilai Matematikamu cuma 6 Mas?” Dia tangkas menjawab, “Habis gurunya killer sih Ma. Lagian, kalau ngajar nggak jelas gitu.” Atau bisa saja kita katakan, “Sini Sayang! Nggak apa-apa! Nggak sakit kok! Duh, anak Mama nggak usah nangis! Nggak apa-apa! Tu, cuma kayak gitu, nggak sakit kan?” Sebenarnya maksudnya mungkin bagus: agar anak jadi tangguh, tidak cengeng. Tapi sadarkah bahwa bisa saja anak kita sebenarnya merasakan sakit yang luar biasa? Dan kata-kata kita, telah membuatnya mengambil pelajaran; jika melihat penderitaan, katakan saja “Ah, cuma kayak gitu! Belum seberapa! Nggak apa-apa!” Celakanya, bagaimana jika kalimat ini kelak dia arahkan pada kita, orangtunya, di saat umur kita sudah uzur dan kita sakit-sakitan? “Nggak apa-apa Bu, cuma kayak gitu. Jangan nangis ah, sudah tua, malu kan?” Akankah kita kutuk dia sebagai anak durhaka, padahal dia hanya meneladani kita yang dulu mendurhakainya saat kecil?

Ah.. Qaulan sadiida. Ternyata tak mudah. Seperti saat kita mengatakan untuk menyemangati anak-anak kita, “Anak shalih masuk surga.. Anak nakal masuk neraka..” Betulkah? Ada dalilnya kah? Padahal semua anak jika tertakdir meninggal pasti akan menjadi penghuni surga. Juga kata-kata kita saat tak menyukai keusilan baca; kreativitas-nya semisal bermain dengan gelas dan piring yang mudah pecah. Kita kadang mengucapkan, “Hayo.. Allah nggak suka lho Nak! Allah nggak suka!”

Sejujurnya, siapa yang tak menyukainya? Allah kah? Atau kita, karena diri ini tak ingin repot saja. Alangkah lancang kita mengatasnamakan Allah! Dan alangkah lancang kita mengenalkan pada anak kita satu sifat yang tak sepantasnya untuk Allah yakni, “Yang Maha Tidak Suka!” Karena dengan kalimat kita itu, dia merasa, Allah ini kok sedikit-sedikit tidak suka, ini nggak boleh, itu nggak benar. Alangkah agungnya qaulan sadiida. Dengan qaulan sadiida, sedikit perbedaan bisa membuat segalanya jauh lebih cerah. Inilah kisah tentang dua anak penyuka minum susu. Anak yang satu, sering dibangunkan dari tidur malas-malasannya oleh sang ibu dengan kalimat, “Nak, cepat bangun! Nanti kalau bangun Ibu bikinkan susu deh!” Saat si anak bangun dan mengucek matanya, dia berteriak, “Mana susunya!” Dari kejauhan terdengar adukan sendok pada gelas. “Iya. Sabar sebentaar!” Dan sang ibupun tergopoh-gopoh membawakan segelas susu untuk si anak yang cemberut berat.

Sementara ibu dari anak yang satunya lagi mengambil urutan kerja berbeda. Sang ibu mengatakan begini, “Nak, bangun Nak. Di meja belajar sudah Ibu siapkan susu untukmu!” Si anakpun bangun, tersenyum, dan mengucap terimakasih pada sang ibu. Ibu pertama dan kedua sama capeknya; sama-sama harus membuat susu, sama-sama harus berjuang membangunkan sang putera. Tapi anak yang awal tumbuh sebagai si suka pamrih yang digerakkan dengan janji, dan takkan tergerak oleh hal yang jika dihitung-hitung tak bermanfaat nyata baginya. Anak kedua tumbuh menjadi sosok ikhlas penuh etos. Dia belajar pada ibunya yang tulus; tak suka berjanji, tapi selalu sudah menyediakan segelas susu ketika membangunkannya.

Ya Allah, kami tahu, rumahtangga Islami adalah langkah kedua dan pilar utama dari dawah yang kami citakan untuk mengubah wajah bumi. Ya Allah maka jangan Kau biarkan kami tertipu oleh kekerdilan jiwa kami, hingga menganggap kecil urusan ini. Ya Allah maka bukakanlah kemudahan bagi kami untuk menata dawah ini dari pribadi kami, keluarga kami, masyarakat kami, negeri kami, hingga kami menjadi guru semesta sejati. Ya Allah, karuniakan pada kami lisan yang shidiq, seperti lisan Ibrahim. Karuniakan pada kami anak-anak shalih yang kokoh imannya dan mulia akhlaqnya, seperti Ismail. Meski kami jauh dari mereka, tapi izinkan kami belajar untuk mengucapkan qaulan sadiida, huruf demi huruf, kata demi kata. Aamiin. [Salim A. Fillah]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2350724/pentingnya-qaulan-sadiidaa-untuk-anak-kita#sthash.U39j8mDD.dpuf

5 Keajaiban Sentuhan Ibu pada Bayi yang Baru Lahir

SEJAK lama, bayi yang baru lahir akan langsung dibawa untuk dibersihkan, ditimbang, dan diukur panjang badannya. Setelah itu, baru bayi akan diberikan pada ibunya lagi untuk disusui. Pada bayi yang lahir prematur justru lebih parah, bayi tersebut biasanya tak diperkenankan dekat dengan ibunya dan dirawat secara intensif dalam inkubator.

Padahal, sentuhan antar kulit ibu dan bayi sangat penting terutama setelah bayi lahir. Saat ini, tren kesehatan di rumah sakit pun berubah dan menyarankan agar anak bersentuhan kulit dengan ibunya terlebih dahulu sebelum dibersihkan. Sentuhan kulit ibu dan anak memberikan banyak manfaat bagi kesehatan bayi.

Ini dia beberapa keajaiban yang bisa terjadi pada anak ketika kulitnya menyentuh kulit sang ibu saat baru lahir:

  1. Membuat napas bayi stabil. Saat lahir, bayi dikeluarkan dari ‘kantung pelindung’ mereka yang ada dalam rahim. Hal ini bisa jadi sangat tak disukai oleh bayi dan mereka bisa merasa tak aman. Namun ketika bayi mendapatkan sentuhan dan pelukan ibu, bayi akan merasa aman dan ini membuat napas mereka lebih stabil. Biasanya ini juga membuat detak jantung mereka menjadi teratur.
  2. Mencegah bayi stres. Ketika bayi didekatkan dengan ibunya dan diletakkan di dada, bayi menjadi tak mudah menangis. Dengan begitu, mereka juga tak mudah stres ketika berkenalan dengan lingkungan baru. Dunia adalah lingkungan baru bagi bayi dan dalam pelukan ibu mereka, mereka merasa lebih tenang. Kebiasaan tak mudah stres ini juga mempengaruhi bayi selama hari-hari berikutnya.
  3. Membuat gula darah dan suhu tubuh stabil. Tak hanya ibu yang mengalami perubahan dalam tubuh mereka saat melahirkan, bayi juga mengalami hal serupa. Terutama mereka juga mengalami banyak tekanan untuk bisa ‘keluar’ dan lahir ke dunia yang baru. Bersentuhan dan berada dalam pelukan ibu saat lahir akan membantu bayi membuat gula darah mereka lebih stabil dan membuat suhu tubuh mereka menjadi normal.
  4. Menjalin ikatan ibu dan bayi. Sentuhan kulit antara ibu dan bayi saat lahir akan membentuk ikatan yang kuat karena anak akan langsung mengenali ibunya. Selain itu, hal ini tak hanya bermanfaat untuk bayi tetapi juga ibu. Ibu yang langsung menyentuh anak mereka saat lahir memiliki rasa cemas yang lebih rendah. Memeluk anak mereka juga bisa mengurangi rasa sakit yang dirasakan ibu setelah melahirkan.
  5. Membangun insting anak. Ketika anak langsung disentuh dan dipeluk oleh ibu, mereka akan langsung membangun insting untuk menyusu. Hal ini sangat baik, terutama jika ibu berencana untuk memberikan ASI eksklusif pada anak. Bahkan jika ibu tak ingin memberikan ASI, memeluk anak akan memberikan mereka rasa nyaman dan perasaan dicintai.

Jangan menyangka bahwa bayi tak bisa merasakan apa yang terjadi di sekitarnya. Mental bayi sudah berkembang sejak hari pertama dilahirkan, begitu juga dengan kemampuan emosionalnya. Sentuhan adalah salah satu cara terbaik untuk membangun ikatan antara ibu dan bayi, selain manfaat hebat yang sudah disebutkan di atas. [BeritaIslamiMasaKini]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2352668/5-keajaiban-sentuhan-ibu-pada-bayi-yang-baru-lahir#sthash.mCfzNot8.dpuf

Tangisan Rasulullah SAW Akan Nasib Kaum Wanita

Syaidina Ali ra suatu ketika melihat Rasulullah saw menangis manakala ia datang bersama Fatimah. Lalu dia bertanya mengapa Rasulullah saw menangis. Beliau menjawab; “Pada malam aku di-isra’- kan, aku melihat perempuan-perempuan sedang disiksa dengan berbagai siksaan didalam neraka. Itulah sebabnya mengapa aku menangis. Karena menyaksikan mereka disiksa dengan sangat berat dan mengerikan. Putri Rasulullah saw kemudian menanyakan apa yang dilihat ayahandanya. “Aku lihat ada perempuan digantung rambutnya, otaknya mendidih.
Aku lihat perempuan digantung lidahnya, tangannya diikat ke belakang dan timah cair dituangkan ke dalam tengkoraknya.
Aku lihat perempuan yang badannya seperti himar, beribu-ribu kesengsaraan dihadapinya. Aku lihat perempuan yang rupanya seperti anjing, sedangkan api masuk melalui mulut dan keluar dari duburnya sementara malaikat memukulnya dengan gada dari api neraka,” kata Nabi saw.

Fatimah Az-Zahra kemudian menanyakan mengapa mereka disiksa seperti itu?

 

Rasulullah menjawab, “Wahai putriku, adapun mereka yang tergantung rambutnya hingga otaknya mendidih adalah wanita yang tidak menutup rambutnya sehingga terlihat oleh laki-laki yang bukan muhrimnya.”

Perempuan yang digantung susunya adalah istri yang menyusui anak orang lain tanpa seizin suaminya.

Perempuan yang tergantung kedua kakinya ialah perempuan yang tidak taat kepada suaminya, ia keluar rumah tanpa izin suaminya, dan perempuan yang tidak mau mandi suci dari haid dan nifas.

Perempuan yang memakan badannya sendiri ialah karena ia berhias untuk lelaki yang bukan muhrimnya dan suka mengumpat orang lain.

Perempuan yang memotong badannya sendiri dengan gunting api neraka karena ia memperkenalkan dirinya kepada orang lain yang bukan muhrim dan dia bersolek supaya kecantikannya dilihat laki-laki yang bukan muhrimnya.

Mendengar itu, Sayidina Ali dan Fatimah Az-Zahra pun turut menangis. Betapa wanita itu digambarkan sebagai tiang negara, rusak tiang, maka rusak pula negara, akhlak dan moral.

Meski demikian, laki-laki yang bermaksiat kepada Allah juga tidak sedikit yang masuk neraka. Ayah-ayah yang membiarkan anak perempuanya tidak memakai kerudung dan mengumbar aurat didepan orang lain.

Surga dan Neraka adalah soal pilihan. Tergantung bagaimana manusia menjalani hidupnya dialam jagad raya. kalau mau selamat, maka patuhlah kepada Al-Qur’an dan hadist, balasanya adalah surga dengan segala kenikmatan didalamnya. Kalau mau celaka dengan mendurhakai Al Qur’an dan hadist, maka Allah sudah menyediakan penjara yang sangat mengerikan, yaitu neraka dengan api dan siksaan yang sangat pedih dan tidak terbayangkan oleh manusia sebelumnya.

( Hadist – Hadist )

Dalam sebuah hadist yang diwirayatkan oleh Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda:

“Neraka diperlihatkan kepadaku. Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita..” (HR Ahmad)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar (rumah) Syaithan akan mengikutinya (menghiasainya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaanya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allah Azza wa Jalla) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”. [HR Ibnu Khuzaimah (no. 1685), Ibnu Hibban (no. 5599) dan at-Thabrani dalam “al-Mu’jamul ausath” (no. 2890), dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban]

Tabarruj akan membawa laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala)” [HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya dalam kitab “ilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125).

( Ayat Al – Quran )

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan janganlah kalian (para wanita) bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” (QS. al-Ahzaab:33)

Allah Jalaa Jalaaluh berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. al-Ahzaab: 59)

Allah Jalaa Jalaaluh berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ لا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنزعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh Syaitan sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu (Adam dan Hawa) dari Surga, dia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya” (QS. al a’raf : 27)

 

 

sumber:KabarMuslimah

Cerita Cinta Suami Istri yang Mengharukan

Pada hari pernikahanku, aku menggendong istriku. Mobil pengantin berhenti di depan apartment kami. Teman-teman memaksaku menggendong istriku keluar dari mobil. Lalu aku menggendongnya ke rumah kami. Dia tersipu malu-malu. Saat itu, aku adalah seorang pengantin pria yang kuat dan bahagia.

Ini adalah kejadian 10 tahun yang lalu.

Hari-hari berikutnya berjalan biasa. Kami memiliki seorang anak, aku bekerja sebagai pengusaha dan berusaha menghasilkan uang lebih. Ketika aset-aset perusahaan meningkat, kasih sayang diantara aku dan istriku seperti mulai menurun.

 

Istriku seorang pegawai pemerintah. Setiap pagi kami pergi bersama dan pulang hampir di waktu yang bersamaan. Anak kami bersekolah di sekolah asrama. Kehidupan pernikahan kami terlihat sangat bahagia, namun kehidupan yang tenang sepertinya lebih mudah terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang tak terduga.

Lalu Jane datang ke dalam kehidupanku.

Hari itu hari yang cerah. Aku berdiri di balkon yang luas. Jane memelukku dari belakang. Sekali lagi hatiku seperti terbenam di dalam cintanya. Apartment ini aku belikan untuknya. Lalu Jane berkata, “Kau adalah laki-laki yang pandai memikat wanita.” Kata-katanya tiba-tiba mengingatkan ku pada istriku. Ketika kami baru menikah, istriku berkata “Laki-laki sepertimu, ketika sukses nanti, akan memikat banyak wanita.” Memikirkan hal ini, aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu, aku telah mengkhianati istriku.

Aku menyampingkan tangan Jane dan berkata, “Kamu perlu memilih beberapa furnitur, ok? Ada yang perlu aku lakukan di perusahaan.” Dia terlihat tidak senang, karena aku telah berjanji akan menemaninya melihat-lihat furnitur. Sesaat, pikiran untuk bercerai menjadi semakin jelas walaupun sebelumnya tampak mustahil. Bagaimanapun juga, akan sulit untuk mengatakannya pada istriku. Tidak peduli selembut apapun aku mengatakannya, dia akan sangat terluka. Sejujurnya, dia adalah seorang istri yang baik. Setiap malam, dia selalu sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk di depan televisi. Makan malam akan segera tersedia. Kemudian kami menonton TV bersama. Hal ini sebelumnya merupakan hiburan bagiku.

Suatu hari aku bertanya pada istriku dengan bercanda, “Kalau misalnya kita bercerai, apa yang akan kamu lakukan?” Dia menatapku beberapa saat tanpa berkata apapun. Kelihatannya dia seorang yang percaya bahwa perceraian tidak akan datang padanya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya ketika nanti dia tahu bahwa aku serius tentang ini.

Ketika istriku datang ke kantorku, Jane langsung pegi keluar. Hampir semua pegawai melihat istriku dengan pandangan simpatik dan mencoba menyembunyikan apa yang sedang terjadi ketika berbicara dengannya. Istriku seperti mendapat sedikit petunjuk. Dia tersenyum dengan lembut kepada bawahan-bawahanku. Tapi aku melihat ada perasaan luka di matanya.

Sekali lagi, Jane berkata padaku, “Sayang, ceraikan dia, ok? Lalu kita akan hidup bersama.” Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak bisa ragu-ragu lagi.

Ketika aku pulang malam itu, istriku sedang menyiapkan makan malam. Aku menggemgam tangannya dan berkata, “Ada yang ingin aku bicarakan.” Dia kemudian duduk dan makan dalam diam. Lagi, aku melihat perasaan luka dari matanya.

Tiba-tiba aku tidak bisa membuka mulutku. Tapi aku harus tetap mengatakan ini pada istriku. Aku ingin bercerai. Aku memulai pembicaraan dengan tenang.

Dia seperti tidak terganggu dengan kata-kataku, sebaliknya malah bertanya dengan lembut, “Kenapa?”

Aku menghindari pertanyaannya. Hal ini membuatnya marah. Dia melempar sumpit dan berteriak padaku, “Kamu bukan seorang pria!” Malam itu, kami tidak saling bicara. Dia menangis. Aku tahu, dia ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi di dalam pernikahan kami. Tapi aku sulit memberikannya jawaban yang memuaskan, bahwa hatiku telah memilih Jane. Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya mengasihaninya!

Dengan perasaan bersalah, aku membuat perjanjian perceraian yang menyatakan bahwa istriku bisa memiliki rumah kami, mobil kami dan 30% aset perusahaanku.

Dia melirik surat itu dan kemudian merobek-robeknya. Wanita yang telah menghabiskan 10 tahun hidupnya denganku telah menjadi seorang yang asing bagiku. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu, daya dan tenaganya tapi aku tidak bisa menarik kembali apa yang telah aku katakan karena aku sangat mencintai Jane. Akhirnya istriku menangis dengan keras di depanku, yang telah aku perkirakan sebelumnya. Bagiku, tangisannya adalah semacam pelepasan. Pikiran tentang perceraian yang telah memenuhi diriku selama beberapa minggu belakangan, sekarang menjadi tampak tegas dan jelas.

Hari berikutnya, aku pulang terlambat dan melihat istriku menulis sesuatu di meja makan. Aku tidak makan malam, tapi langsung tidur dan tertidur dengan cepat karena telah seharian bersama Jane.

Ketika aku terbangun, istriku masih disana, menulis. Aku tidak mempedulikannya dan langsung kembali tidur.

Paginya, dia menyerahkan syarat perceraiannya: Dia tidak menginginkan apapun dariku, hanya menginginkan perhatian selama sebulan sebelum perceraian. Dia meminta dalam 1 bulan itu kami berdua harus berusaha hidup sebiasa mungkin. Alasannya sederhana : Anak kami sedang menghadapi ujian dalam sebulan itu, dan dia tidak mau mengacaukan anak kami dengan perceraian kami.

Aku setuju saja dengan permintaannya. Namun dia meminta satu lagi, dia memintaku untuk meingat bagaimana menggendongnya ketika aku membawanya ke kamar pengantin, di hari pernikahan kami.

Dia memintanya selama 1 bulan setiap hari, aku menggendongnya keluar dari kamar kami, ke pintu depan setiap pagi. Aku pikir dia gila. Aku menerima permintaannya yang aneh karena hanya ingin membuat hari-hari terakhir kebersamaan kami lebih mudah diterima olehnya.

Aku memberi tahu Jane tentang syarat perceraian dari istriku. Dia tertawa keras dan berpikir bahwa hal itu berlebihan. “Trik apapun yang dia gunakan, dia harus tetap menghadapi perceraian!”, kata Jane, dengan nada menghina.

Istriku dan aku sudah lama tidak melakukan kontak fisik sejak keinginan untuk bercerai mulai terpikirkan olehku. Jadi, ketika aku menggendongnya di hari pertama, kami berdua tampak canggung. Anak kami tepuk tangan di belakang kami. Katanya, “Papa menggendong mama!” Kata-katanya membuat ku merasa terluka. Dari kamar ke ruang tamu, lalu ke pintu depan, aku berjalan sejauh 10 meter, dengan dirinya dipelukanku. Dia menutup mata dan berbisik padaku, “Jangan bilang anak kita mengenai perceraian ini.” Aku mengangguk, merasa sedih. Aku menurunkannya di depan pintu. Dia pergi untuk menunggu bus untuk bekerja. Aku sendiri naik mobil ke kantor.

Hari kedua, kami berdua lebih mudah bertindak. Dia bersandar di dadaku. Aku bisa mencium wangi dari pakaiannya. Aku tersadar, sudah lama aku tidak sungguh-sungguh memperhatikan wanita ini. Aku sadar dia sudah tidak muda lagi, ada garis halus di wajahnya, rambutnya memutih. Pernikahan kami telah membuatnya susah. Sesaat aku terheran, apa yang telah aku lakukan padanya.

Hari keempat, ketika aku menggendongnya, aku merasa rasa kedekatan seperti kembali lagi. Wanita ini adalah seorang yang telah memberikan 10 tahun kehidupannya padaku.

Hari kelima dan keenam, aku sadar rasa kedekatan kami semakin bertumbuh. Aku tidak mengatakan ini pada Jane. Seiring berjalannya waktu semakin mudah menggendongnya. Mungkin karena aku rajin berolahraga membuatku semakin kuat.

Satu pagi, istriku sedang memilih pakaian yang dia ingin kenakan. Dia mencoba beberpa pakaian tapi tidak menemukan yang pas. Kemudian dia menghela nafas, “Pakaianku semua jadi besar.” Tiba-tiba aku tersadar bahwa dia telah menjadi sangat kurus. Ini lah alasan aku bisa menggendongnya dengan mudah.

Tiba-tiba aku terpukul. Dia telah memendam rasa sakit dan kepahitan yang luar biasa di hatinya. Tanpa sadar aku menyentuh kepalanya.

Anak kami datang saat itu dan berkata, “Pa, sudah waktunya menggendong mama keluar.” Bagi anak kami, melihat ayahnya menggendong ibunya keluar telah menjadi arti penting dalam hidupnya. Istriku melambai pada anakku untuk mendekat dan memeluknya erat. Aku mengalihkan wajahku karena takut aku akan berubah pikiran pada saat terakhir. Kemudian aku menggendong istriku, jalan dari kamar, ke ruang tamu, ke pintu depan. Tangannya melingkar di leherku dengan lembut. Aku menggendongnya dengan erat, seperti ketika hari pernikahan kami.

Tapi berat badannya yang ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir, ketika aku menggendongnya, sulit sekali bagiku untuk bergerak. Anak kami telah pergi ke sekolah. Aku menggendongnya dengan erat dan berkata, “Aku tidak memperhatikan kalau selama ini kita kurang kedekatan.”

Aku pergi ke kantor, keluar cepat dari mobil tanpa mengunci pintunya. Aku takut, penundaan apapun akan mengubah pikiranku. Aku jalan keatas, Jane membuka pintu dan aku berkata padanya, “Maaf, Jane, aku tidak mau perceraian.”

Dia menatapku, dengan heran menyentuh keningku. “Kamu demam?”, tanyanya. Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku. “Maaf, Jane, aku bilang, aku tidak akan bercerai.” Kehidupan pernikahanku selama ini membosankan mungkin karena aku dan istriku tidak menilai segala detail kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai. Sekarang aku sadar, sejak aku menggendongnya ke rumahku di hari pernikahan kami, aku harus terus menggendongnya sampai maut memisahkan kami.

Jane seperti tiba-tiba tersadar. Dia menamparku keras kemudian membanting pintu dan lari sambil menangis. Aku turun dan pergi keluar.

Di toko bunga, ketika aku berkendara pulang, aku memesan satu buket bunga untuk istriku. Penjual menanyakan padaku apa yang ingin aku tulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis, aku akan menggendongmu setiap pagi sampai maut memisahkan kita.

Sore itu, aku sampai rumah, dengan bunga di tanganku, senyum di wajahku, aku berlari ke kamar atas, hanya untuk menemukan istriku terbaring di tempat tidur – meninggal. Istriku telah melawan kanker selama berbulan-bulan dan aku terlalu sibuk dengan Jane sampai tidak memperhatikannya. Dia tahu dia akan segera meninggal, dan dia ingin menyelamatku dari reaksi negatif apapun dari anak kami, seandainya kami jadi bercerai. — Setidaknya, di mata anak kami — aku adalah suami yang penyayang.

Hal-hal kecil di dalam kehidupanmu adalah yang paling penting dalam suatu hubungan. Bukan rumah besar, mobil, properti atau uang di bank. Semua ini menunjang kebahagian tapi tidak bisa memberikan kebahagian itu sendiri. Jadi, carilah waktu untuk menjadi teman bagi pasanganmu, dan lakukan hal-hal yang kecil bersama-sama untuk membangun kedekatan itu. Miliki pernikahan yang sungguh-sungguh dan bahagia.

Kalau kamu tidak share ini, tidak akan terjadi apa-apa padamu. Kalau share, mungkin kamu menyelamatkan satu pernikahan. Banyaknya kegagalan dalam kehidupan karena orang tidak sadar betapa dekat mereka dengan kesuksesan ketika mereka telah menyerah.

 

sumber:kabar Muslimah

Menguak Kedudukan Wanita dalam Islam

GERAKAN emansipasi wanita yang menggaungkan wanita harus sejajar dengan pria di dunia kerja dan perekonomian terus berlanjut hingga sekarang. Sementara, aturan Islam dianggap bertentangan karena tidak memberi kebebasan terhadap wanita untuk berkarier.

Padahal, kedudukan wanita dalam Islam sangat tinggi, wanita disebut perhiasan pria dan pembahasan tentang wanita khusus tertuang dalam Alquran, surat An Nisa.

Bicara tentang kedudukan wanita, dalam keluarga peran wanita sangat besar, wanita juga berkarier dalam rumah tangga dan wanita juga dituntut untuk mandiri. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Yang terbaik dari kalian adalah yang terbaik dari keluarga dan yang terbaik di antara kalian adalah keluargaku,” At Tirmidzi, IbnMaajah.

Imam Shawkaani menyatakan dalam bukunya Nayl Al-Awtar (6/360), maksud dari hadist tersebut adalah ”orang-orang terbaik adalah mereka yang memperlakukan keluarga dengan baik. Tentunya keluarga layak bahagia, diperlaku dengan sopan santun, dan harus dilindungi dari bahaya.”

Jadi, ketika bertemu wanita yang lembut sikap dan tutur katanya, Allah memerintahkan untuk mensejahterakan. Wanita dalam Islam sama peran dan kepentingannya dengan pria.

Dalam urusan internal keluarga, pria bertanggung jawab untuk urusan luar, seperti masalah ekonomi dan kedisiplinan, sedang wanita menjaga rumah dan membesarkan anak-anak. Keduanya sama-sama memiliki tanggung jawab dan posisi. Sering kali orang bingung keunikan ini dan kesetaraan status pria dan wanita dalam sistem keluarga Islam, mereka berpikir seorang pria adalah peringkat yang lebih tinggi. Ya, itu memang benar dalam beberapa kasus seperti perihal mengambil keputusan, namun wanita tetap lebih tinggi karena dia adalah ibu.

Nabi Muhammad SAW bersabda :

“Pria yang bertanggung jawab terhadap wanita karena Allah telah membuat salah satu dari mereka unggul dari yang lain, dan karena mereka menghabiskan kekayaan mereka (untuk mendukung keluarga)”.

“Dan mereka (wanita) memiliki hak yang sama dengan pria atas mereka sesuai dengan apa yang adil, Allah besar lagi Maha Bijaksana.”

(vin)/Okezone