Haji Berbekal Tawakal kepada Allah

Hatim Al-Asham adalah seorang fakir, tapi sangat zuhud dan mempunyai keimanan yang sangat kuat kepada Allah SWT. Seperti keluarga lain, ia pun mempunyai keluarga yang menjadi tanggungannya. Bahkan, keluarga ini menjalani kehidupan sehari-hari dalam keadaan sulit.

Pada suatu malam, ia duduk bersama teman-temannya membicarakan tentang haji dan ziarah ke Baitullah. Obrolan itu sedemikian berkesan dalam hatinya sehingga mendambakan untuk bisa berhizrah ke Baitullah.

Ia pulang ke rumah dan menyampaikan kepada keluarganya tentang keinginanya untuk berziarah ke Baitullah. “Jika kalian setuju aku pergi berziarah ke Baitullah, aku akan  mendoakan kalian.”

Istrinya berkata, “Dalam keadaan kita yang fakir dan keluargamu yang banyak ini, hendak kemana engkau pergi? Ziarah ke Baitullah hanya wajib bagi orang yang mampun (kaya).”

Anak-anaknya pun setuju atas apa yang dikatakan oleh ibu mereka, kecuali seorang putrinya yang kecil. Putri kecil ini berkata, “Apa yang akan terjadi jika kita memberi izi pada ayat untuk berangkat? Biarkan ayah pergi kemana pun yang ia inginan. Pemberi rezeki kita adalah Allah, sedangkan ayah hanyalah perantara rezeki itu. Allah Maha Kuasa menyampaikan rezeki kita dengan perantara lainnya.”

Mendengar kata-kata si kecil itu, semua anggota keluarga mnejadi sadar dan membenarkannya. Mereka pun mengizinkan ayah mereka (Hatim) berziarah ke Baitullah. Hatim-pun sangat bahagia. Disiapkannya perbekalan bepergian jauh (safar) dan berangkat bersama kafilah haji.

Para tetangga datang ke rumahnya. Merek apun melontarkan kata-kata celaan, “Mengapa dalam keadaan kalian yang miskin justeru kaliang membiarkan dia berangkat? Perjalanan jauh ini akan memakan waktu beberapa bulan. Dari mana kalian mendapatkan rezeki untuk menanggung kebutuhan hidup kalian?”

Keluarga Hatim jadi terpengaruh oleh celaan tetangga dan seolah-olah mereka menyalahkan puteri kecil, “Andai saja kamu tidak bicara dan bisa menjaga lisanmu pada waktu itu, tentu kami semua juga tidak mengizinkan ayah bepergian jauh.”

Sang putri sedih mendengarkan perkataan mereka. Ia menegadahkan tangak ke langit dan berdoa, “Tuhanku, mereka ini terdidik dengan keutamaan dan kemuliaan serta mensyukuri nikmat-Mu, janganlah Engkau abaikan mereka, dan jangan engkau permalukan aku di hadapan mereka.”

Saat mereka kebingungan memikirkan bagiamana mendapatkan nafkah hidup, tiba-tiba Amir (pemimpin) di kota itu baru kembali dari berburu. Ia kehausan lalu pengawalnya pergi ke pintu rumah Hatim untuk mendapatkan air. Mereka mengutuk pintu rumah. Lalu dari bilik pintu, isteri Hatim bertanya, “Apakah keperluan kalian?” Mereka menjawab, ‘Amir sedang berdiri di depan pintu rumah Anda, minta sedikit air dari Anda (untuk menghilangkan dahaga).”

Wanita itu panik. Ia memandang ke langit seraya berdoa, “Tuhanku, semalam kemi dalam keadaan lapar, sedangkan saat ini Amir memerlukan bantuan kami meminta air kepada kami.” Kemudian wanita itu memenuhi sebuah wadah dengan air. Dibawanya kepada Amir sambil memohon maaf karena wadahnya terbuat dari tanah liat.

Amir bertanya kepada para pengawal, “Rumah siapa ini? Mereka menjawab, ini rumah Hatim Al-Asham, salah seorang  zahid di kota ini. Kami dengar ia sedang safat ke Baitullah, sementara hidupnya dalam kesusahan.” Lalu Amir berkata,”Kita telah menyusahkan mereka. Rasalnya tidak pantas jika seorang seperti kita menyusahkan kaum yang lemah dan menambah beban di pundak mereka.”

Maka segera Amir membuka ikat pinggang dan dilemparkannya ke dalam rumah itu seraya berkata kapada para pengawalnya, “Yang mencintaiku hendaknya melempasrkan ikat pinggangnya ke dalam rumah.” Semua pengawal melepaskan ikat pinggang emas mereka dan melemparkannya ke dalam rumah. Ketika hendak pulang Amir berkata, “Semoga Allah memberkati kalian hai keluarga. Nanti anak buahku akan menghitung berapa harga dari semua ikat pinggang ini dan menguangkannya untuk kalian.” Amir dan rombongannya pun pergi sambil mengucapkan salam.

Beberapa saat kemudian, salah seorang anak buah Amir kembali ke rumah keluarga Hatim dengan membawa uang hasil penjualan semua ikat pinggang. Si puteri kecil pun menangis karena peristiwa itu. Anak buah Amir bertanya, “Mengapa engkau menangis? Seharusnya engkau bahagia, sebab Allah dengan rahmat-Nya telah memberikan keluasaan kepada kalian?” Sang puteri berkata, “Saya menangis karena semalam kami tidur dalam keadaan lapar, dan hari ini seseorang datang memperhatikan kami. Berarti setiap waktu Allah yang Maha Penyayang mencurahkan perhatiannya kepada kami. TIdak ada sesaat pun Allah berpaling dari kami.”

Kemudian dia mendoakan ayahnya, “Ya Allah, sebagaimana Engkau curahkan perhatian-Mu kepada kami dan telah Engkau atasi urusan kami, maka mohon curahkan juga kasih sayang-Mu kepada ayah kami dan tolonglah urusan-Nya.” Ketika itu, Hatim berada di tengah kafilah. Tidak ada orang yang lebih miskin darinya. Ita tidak mempunyai kendaraan yang dpaat ditungganginya dan tidak punya bekal yang memadai. Orang-orang yang mengenalnya terkada memberi bantuan kecil kepadanya.

Pada suatu malam, pemimpin kafilah tertimpa sakit. Dokter tak mampu mengobatinya. Lalu ia bertanya, “Adakah orang di antara kafilah yang ahli ibadah dan bisa mendoakanku?” Mereka berkata, “Ada Hatim Al-Asham, seorang lelaki tua yang zuhud. Ia ada bersama kita.” Kata pemimpin kafilah, “Cepat panggil dia.” Para pelayan laki-laki mengantarnya ke hadapan pemimpin mereka.

Hatim mengucapkan salam dan duduk di samping pembaringan pemimpin kafilah itu. Hatim mendoakannya dan Allah memberi kesembuhan penyakitnya. karena itu, pemimpin kafilah menjadi senang dan mempehatikannya. Ia pun memerintahkan agar menyediakan kendaraan untuk Hatim. Semua kebutuhan perjalanannya ditanggung oleh pemimpin kafilah itu. Hatim bersyukur kepada Allah SWT. Ia tiada henti bermunanjat pada Allah.

Suatu saat, di dalam tidurnya ada yang menyer kepadanya, “Hai Hatim, orang yang mengerjakan amal shaleh dan bersandar kepada Allah, maka Allah pun akan meliputinya dengan karunia. Kini, janganlah engkau merisaukan keluargamua, karena Allah telah memberikan penghidupan kepada mereka.” Ia terbangun dari tidurnya lalu memuji dan bersyukur kepada Allah.

Kisah Hatim Al-Asham ini disadur dari ‘Kisah-kisah Pertolongan Allah’, karya Mahdi Shahih Hunar, yang ditulis ulang dalam buku ‘Misteri Wukuf di Arafah oleh Ustaz Muhammad Rusli Amin dan diterbitkan oleh Pustaka Al-Mawardi.

 

 

sumber: Republika Online

Haji Sebagai Jihad

Seorang laki-laki menemui Nabi SAW, lalu berkata, “Saya ini seorang yang penakut dan lemah.” Maka Nabi bersabda, “Ayulah berjihad yang tidak ada kesulitan di dalamnya, yaitu menunaikan ibadah haji.” (HR Abur Razak dan Thabrani dari Hasan bil Ali ra).

“Jihad untuk orang yang sudah tua, orang yang lemah dan kaum wanita adalah menunaikan ibadah haji.” (HR Nasai dari Abu Hurairah). Aisyah ra berkata kepada Rasulullah SAW,” Wahai Rasulullah, jihad adalah amal yang paling utama. Bukankah kami harus berjihad”” Nabi bersabda, “Untuk kalian (kaum wanita) ada jihad yang lebih utama, yaitu haji mabrur.” (HR Bukhari-Muslim).

Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah, bahwa ia bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami (kaum wanita) ikut berperang dan berjihad besama tuan-tuan semua?” Rasulullah SAW bersabda, “Bagi kalian ada jihad yang lebih baik dan lebih indah, yaitu haji,  haji mabrur.” Aisyah berkata, “Setelah mendengar jawaban dari Rasulullah SAW, maka kau tidak pernah berpikir meninggalkan ibadah haji.”

Dan bagi orang yang berjihad di jalan Allah SWT dengan harta dan diri, berarti ia telah melakukan suatu perniagaan yang hasilnya adalah pembebasan dan keselamatan dari siksa neraka, mendapatkan pengampunan dosa dari Allah, dimasukkan ke dalam surga ‘Adn, juga pertolongan serta kemenangan yang dekat.

Firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kami dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang0orang yang beriman.” (QS Ash Shaff: 10-13).

Dikatakan Ustaz Muhammad Rusli Amin dalam bukunya berjudul ‘Misteri Wukuh di Arafah yang diterbitkan Pustaka Al Mawardi, bahwa orang-orang yang berjihad di jalan Allah, sebagaimana mereka juga beriman dan berhijrah, mereka dinaungi rahmat Allah, karena memang mereka mengharap rahmat Allah itu. Ini, kata dia, seperti terungkap dalam firman-Nya yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Baqarah: 218).

“Siapa yagn beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendirikan shalat dan puasa Ramadhan, maka ada hak atas Allah untuk memasukkannya ke surga, apakah ia berjihad di jalan Allah atau duduk di tempat dimana ia berjihad di jalan Allah atau duduk di tempat di mana dia dilahirkan.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak bolehkah kami memberitahukan berita gembira ini kepada manusia?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga ada seratus derajat yang disiapkan Allah bagi orang-orang yang berjihad di jalan Allah, yang jarak antara satu dengan yang lain seperti jarak antara langit dan bumi. Jika kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus, karena ia merupakan surga yang paling tengah dan paling tinggi. Aku menduga di atasnya ada Arsy Ar-Rahman, dan darinya mengalir sungai-sungai surga.” (HR Bukhari dan At-Turmudzi dari Abu Hurairah ra).

 

sumber: Republika Online

Jauhi Panjang Angan-angan

NABI Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bersabda,

“Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa atas Anda ialah dua hal, yaitu panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu. Sesungguhnya panjang angan-angan itu akan melupakan akhirat dan mengikuti hawa nafsu itu akan menghalangi dari kebenaran.”

Nabi bersabda: “Aku sebagai penjamin terhadap tiga orang yang akan mendapatkan akibat tiga hal, yaitu orang yang menggeluti dunia; yang sangat besar cintanya pada dunia; dan orang yang bakhil. Bagi ketiga orang itu selalu dalam kefakiran, tidak akan pernah merasa kaya sesudahnya, selalu disibukkan dengan urusannya yang tak berkesudahan, dan kegelisahan selalu menyelimutinya tanpa disertai kegembiraan.”

Diriwayatkan dari Abu Darda’ ra., ia adalah orang yang terhormat di kalangan penduduk Hams, ia berkata: “Tidakkah Anda merasa malu membangun sesuatu yang tidak Anda tempati, melamunkan sesuatu yang tidak akan dapat Anda gapai, dan mengumpulkan sesuatu yang tidak Anda makan. Sesungguhnya orang-orang sebelum Anda membangun bangunan yang kokoh, mengumpulkan (harta dunia) yang banyak dan berangan-angan begitu jauh. Tetapi yang menjadi tempat mereka adalah kuburan, angan-angan mereka adalah tipuan belaka, dan apa yang mereka kumpulkan itu hanyalah sebuah kehancuran.”

Ali bin Abi Thalib berkata kepada Umar ra.: “Jika Anda ingin berjumpa dengan dua orang sahabat Anda (Rasulullah dan Abu Bakar ra.), maka hendaklah Anda menambal gamis (baju) Anda, menjahit sandal Anda, memperpendek angan-angan, dan makanlah di bawah standar rasa kenyang.”

Nabi Adam berwasiat kepada anaknya, Syits as. dengan lima hal, dan ia menyerukan agar Syits berwasiat dengan lima hal itu kepada anak-anaknya sepeninggalnya. Kelima hal itu ialah:

1. Janganlah Anda merasa tenang dan aman hidup di dunia. Karena aku yang merasa tenang hidup di surga yang bersifat abadi, ternyata aku dikeluarkan oleh Allah daripadanya.

2. Janganlah Anda bertindak menurut kemauan hawa nafsu istri-istri Anda, karena aku bertindak menurut kesenangan hawa nafsu istriku, sehingga aku memakan pohon terlarang, lalu aku menjadi menyesal.

3. Setiap perbuatan yang akan Anda lakukan, renungkan terlebih dahulu akibat yang akan ditimbulkannya. Seandainya aku merenungkan akibat suatu perkara, tentu aku tidak tertimpa musibah seperti ini.

4. Ketika hati Anda merasakan kegamangan akan sesuatu, maka tinggalkanlah ia. Karena ketika aku hendak makan syajarah hatiku merasa gamang, tetapi aku tidak menghiraukannya, sehingga aku benar-benar menemui penyesalan.

5. Bermusyawarahlah mengenai suatu perkara, karena seandainya aku bermusyawarah dengan para malaikat, tentu aku tidak akan tertimpa musibah ini.

Mujahid berkata, Abdullah bin Umar pernah berkata kepadaku: “Ketika memasuki waktu pagi, janganlah Anda membicarakan diri Anda buat sore hari. Dan ketika Anda memasuki waktu sore, janganlah Anda membicarakan diri Anda di pagi hari. Ambillah (gunakanlah kesempatan) hidup Anda sebelum datang kematian menjemput Anda, dan dari waktu sehat Anda sebelum Anda sakit. Karena Anda tidak akan pernah tahu apakah nama Anda akan tetap masih ada sampai besuk hari.”

Nabi bersabda kepada para sahabatnya: “Apakah Anda semua ingin masuk surga?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Hendaklah Anda memperpendek angan-angan; merasa malu kepada Allah dengan sungguh-sungguh malu.” Mereka berkata: “Kami adalah orang-orang yang merasa malu kepada Allah Ta’ala.” Beliau bersabda: “Bukan begitu yang dimaksudkan malu, tetapi malu kepada Allah Ta’ala itu dengan cara selalu mengingat kubur dan kebinasaan (kematian); menjaga perut dan isinya; serta menjaga kepala beserta apa yang dikandungnya. Orang yang menginginkan kemuliaan akhirat, hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Demikian itulah sikap malu seorang hamba kepada Allah yang sebenar-benarnya malu. Dan dengannya pula seorang hamba mendapatkan derajat kewalian dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”

Nabi bersabda: “Awal kemaslahatan umat ini ialah dengan zuhud dan keyakinan. Sedangkan kehancuran akhirnya ialah dengan bakhil dan (panjang) angan-angan.”

Diriwayatkan dari Ummil Mundzir, sesungguhnya ia berkata, suatu sore Rasulullah terlihat datang di hadapan manusia, lalu beliau bersabda: “Wahai manusia, tidakkah Anda merasa malu kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala?” Mereka bertanya: “Apakah yang dimaksudkan dengan itu, ya Rasulullah?” Beliau bersabda:

“Anda mengumpulkan sesuatu yang tidak Anda makan, berangan-angan sesuatu yang tidak akan dapat Anda gapai, dan membangun sesuatu yang tidak Anda tempati. ”

Diriwayatkan dari Abi Sa’id Al-Khudhri, dia berkata, sesungguhnya Usamah bin Zaid bin Tsabit membeli walidah (anak seorang budak) seharga seratus dinar dengan harga yang ditangguhkan sampai sebulan. Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Tidakkah Anda merasa heran terhadap Usamah yang membeli walidah dengan harga pembelian yang ditangguhkan selama satu bulan. Sesungguhnya ia adalah orang yang panjang angan-angan. Demi Tuhan yang menguasai diriku, tidaklah kedua mataku berkedip (terbuka memandang), melainkan aku mengira bahwa kedua bibir pelupuk mataku tidak akan bertemu lagi, karena bisa jadi saat itu Allah akan mengambil ruhku. Tidaklah pernah aku mengangkat pandangan mataku ke langit, melainkan aku selalu mengira bahwa aku tidak akan dapat menundukkan (memejamkan) pandangan mataku, karena pada detik itu bisa jadi Allah akan mengambil ruhku. Tidaklah pernah aku memasukkan sesuap makanan ke dalam mulutku, melainkan aku menduga aku tidak akan dapat menelannya, karena pada detik itu, bisa jadi kematian datang merenggut.”

Kemudian beliau bersabda: “Wahai anak keturunan Adam, jika Anda orang yang berakal, maka hitunglah diri Anda termasuk dalam kategori deretan orang-orang yang telah mati. Demi Tuhan yang menguasai diriku, sesungguhnya apa yang telah dijanjikan kepada Anda, tentu akan datang terlaksana, sementara Anda adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menangguhkannya.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., sesungguhnya Rasulullah keluar untuk menuangkan air (berwudhu), tetapi tiba-tiba beliau mengusap dengan debu (bertayamum), maka aku bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya air berada di tempat yang tidak jauh dari Anda.” Beliau bersabda: “Apa yang membuat aku tahu? Mungkin aku tidak akan dapat sampai di tempat air itu.”

Dikatakan, ketika Nabi Isa sedang duduk, ada seorang lelaki tua sedang bekerja mencangkul menggarap ladangnya. Lalu Nabi Isa berkata: “Ya Allah, cabutlah angan-angannya.” Orang tua itu seketika menghentikan pekerjaannya, meletakkan cangkulnya, dan beristirahat sambil tidur-tiduran. Tidak lama kemudian Nabi Isa berkata lagi: “Ya Allah, kembalikan angan-angannya.” Lalu orang tua itu bangkit bekerja mencangkul lagi.

Lalu Nabi Isa bertanya kepadanya, mengenai hal itu, dan ia menjawab: “Ketika aku tengah bekerja, tiba-tiba aku berkata pada diriku sendiri: ‘Sampai kapan Anda bekerja, sementara Anda adalah orang yang telah lanjut usia.’ Maka aku melemparkan cangkulku dan berhenti sambil tidur-tiduran. Tidak lama kemudian aku berkata lagi pada diriku sendiri: ‘Demi Allah, adalah menjadi keharusan bagi Anda mencari modal kehidupan selama kamu masih hidup.’ Maka aku segera bangkit mengambil cangkul dan bekerja lagi.”*/Imam Al Ghazali, dari bukunya Menyingkap Rahasia Qolbu.

 

sumber: Hidayatullah.com

Puasa Sunnah Senin, Lihat Keutamaan Hari Senin Disini

Hari Senin, semoga yang sedang berpuasa sunnah hari ini diberi keberkahan oleh Allah SWT, dan puasanya di terima Allah Ta’ala. Pernahkah kita bertanya mengapa hari Senin dan Kamis yang pilih untuk menjalankan ibadah sunnah, sampai dinamakan puasa sunnah Senin-Kamis. 

Senin adalah hari yang istimewa, sebab di hari itu telah lahir manusia agung yang menjadi penuntun seluruh umat manusia di seantero dunia. Dan, hari Senin menjadi hari yang bersejarah bagi umat manusia, sebab di hari itu Allah telah melahirkan manusia pembawa rahmat bagi semesta alam ini. Ya, hari Senin adalah hari Baginda Rasulullah saw dilahirkan.

Dialah baginda Rasulullah Muhammad saw, sosok manusia kekasih Allah SWT, yang telah berhasil menunjukkan kegemilangannya dalam mengubah dunia dari zaman jahiliah menjadi zaman terang benerang dengan cahaya keimanan. Beliau lahir di kota suci Makkah, bertepatan pada hari Senin, tanggal 12 Rabi’il Awal tahun 571 M.

Selain itu, terdapat berbagai peristiwa yang menakjubkan terjadi pada hari Senin, untuk menunjukkan kemuliaan dan keutamaan sang Pembawa Risalah. Lihatlah betapa banyaknya peristiwa yang terjadi pada hari Senin,

– Ibnu Sakan menyebutkan hadits dari Utsman bin Abi al-‘Ash dari ibunya Fatimah binti Abdillah bahwa ia menyaksikan kelahiran Nabi saw. Pada waktu malam, ia berkata, “Aku tidak melihat sesuatu yang ada di rumah kecuali ia menyemburatkan cahaya, dan sungguh aku melihat bintang-bintang mendekat kepadaku hingga aku berkata sungguh ia akan jatuh kepadaku.”

– Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa sayyidah Aminah berkata, “Ketika aku melahirkan Nabi saw, maka bersamanya keluar suatu cahaya yang menerangi ruang di antara Timur dan Barat. Ia lalu terjatuh ke tanah, bersandar pada kedua tangannya, mengambil segenggam tanah, menggenggamnya, kemudian menengadahkan kepalanya ke langit.”

-Bagi bin Mukhallid menuturkan dalam Tafsirnya, “Sesungguhnya Iblis la’natullah ‘alaih menjerit dengan empat jeritan. Jeritan ketika ia dilaknat, jeritan ketika ia diturunkan, jeritan ketika Rasulullah saw dilahirkan, dan jeritan ketika Fatihatul Kitab diturunkan.”

– Di hari itu (Senin) atas kehendak dan kekuasaan Allah, pasukan tentara bergajah dari Yaman di bawah komando Raja Abrahah yang bermaksud menghancurkan Kakbah, dihancur luluhkan oleh Allah dengan mengirimkan burung Ababil yang melempari mereka dengan bebatuan dari neraka.

– Diriwayatkan oleh Ya’qub ibn Sufyan, dengan rawi-rawi yang hasan, ia berkata bahwa istana Kisra berguncang dan empat belas balkonnya runtuh, air danau Tiberia menguap habis, api Persia padam (menurut berbagai riwayat, api ini telah menyala terus selama seribu tahun), dan di langit keamanan diperketat, dengan dipenuhi lebih banyak penjaga dan bintang penembak yang mencegah syaitan bersembunyi di sana untuk mencuri berita-berita langit.

– Pada hari kelahiran beliau, dinding istana Khosrow retak dan beberapa menaranya runtuh. Berhala-hala di Kabah tumbang. Cahaya dari tubuh Nabi naik ke langit dan menerangi tempat-tempat yang dilaluinya. Anusyirwan dan pendeta-pendeta Zarahustra bermimpi yang menakutkan.

Itulah beberapa peristiwa penting yang tak banyak kita ketahui, begitu banyaknya kemuliaan hari Senin. Nah, sebagai penghormatan atas hari kelahiran beliau tersebut, maka Nabi saw kemudian berpuasa pada hari itu sebagai wujud kesyukuran beliau kepada Allah SWT.

 

Oleh : Chairunnisa Dhiee (sumber : buku ‘Manfaat Dahsyat Puasa Senin-Kamis dan Puasa Daud’ karya Ust. Mahmud asy-Syafrowi)

 

sumber: Zona Masjid

Jangan jadi Hamba Fir’aun

KALAP dan frustasi. Dua kata itu mungkin bisa menggambarkan sosok Firaun, sang diktator Mesir, kala itu.

Seketika Firaun murka menyaksikan peristiwa itu terjadi di depan matanya.

Tak ada yang menyangka, tongkat Nabi MusaAlaihi as-salam (As) sanggup berubah ular besar yang menelan puluhan hingga ratusan ular-ular ciptaan tukang sihir Fir’aun.

Belum reda kegalauan Fira’aun, tiba-tiba para tukang sihir yang selama ini menjadi orang kepercayaannya, mendadak sujud di tengah lapangan.

“Sesungguhnya kami menyatakan beriman kepada Rabb semesta alam.  Tuhan yang disembah Musa dan Harun,” aku mereka tegas.

Sontak darah Fir’aun langsung mendidih. “Tak ada yang bisa berbuat apapun kecuali atas seizinku,” Seru Fir’aun dengan suara menggelegak.

“Sungguh kalian harus bersiap menanggung semua akibat perbuatanmu,” Ancam Fir’aun marah.

Mewaspadai Karakter “Firaun” dalam Diri

Suasana yang tadinya ramai dengan sorak sorai penonton kini menjadi senyap tak bersuara.

Fir’aun benar-benar kalap dan murka. Ia bahkan mengancam akan membunuh siapa saja yang tak sepaham dengannya.

Bukan cuma itu, Fir’aun juga berjanji memotong tangan dan kaki mereka.

“Bahkan aku akan salib kalian di pohon-pohon kurma,” teror Fir’aun brutal

Apa Setelah Iman?

Kisah mukjizat di atas direkam secara jelas dalam al-Qur’an.

Tentu saja kisah tersebut bukan sekadar sejarah masa lalu atau cerita indah tanpa memiliki ibrah.

Sebab sejarah bukan cuma bercerita tentang peristiwa, nama, tempat, atau tanggal kejadian.

Tapi di sana ada telaga jernih, tempat setiap insan beriman berkaca akan perjalanan keimanannya.

Menilik kisah para tukang sihir Fir’aun, sejatinya kehidupan mereka sudah dilimpahi materi dunia.

Mereka adalah kaki tangan yang dipercaya sepenuhnya oleh Fir’aun. Kepadanya, penguasa Mesir itu merasa wajib meminta nasihat atau pandangan sebelum ia bertindak. Belum lagi jaminan harta yang terbilang meruah.

Namun itulah hakikat kehidupan manusia. Segala sesuatu yang tak bersangkut paut dengan keimanan menjadi nihil dan tak bermanfaat.

Orang itu boleh merasa senang atau bahagia. Tapi sesungguhnya seluruh yang dianggap megah dan mewah itu justru menjadi semua.

Ibarat fatamorgana, semua hanya ilusi yang menipu.

Selanjutnya, lalu apa yang membedakan antara orang beriman dan yang tidak beriman?

Tak lain, yang utama adalah orientasi hidup yang seketika berubah dan harus berubah.

Bahwa orang beriman punya Allah sebagai sandaran hidupnya. Bukan yang lain sebagaimana biasa dipertuhankan oleh manusia-manusia yang lalai.

Mumifikasi di Mesir Sudah ada Sebelum Zaman Firaun

Dengan Allah sebagai sandaran dan Akhirat sebagai orientasi hidup, maka worldview orang tersebut menjadi tidak sama dengan orang-orang yang bekerja hanya untuk kepentingan materi dunia.

Bagi orang beriman, nikmat hidup dan karunia materi yang diberikan menjadi sarana untuk memperjuangkan nikmat iman dan hidayah.

Sebab diyakini, nikmat iman itulah yang paling mahal dan paling berharga dalam kehidupan manusia.

Sebaliknya, orang-orang yang terbuai hawa nafsu dan serakah akan materi dunia, mereka tak segan mengorbankan nikmat iman sekadar untuk mendapatkan nikmat materi dan nikmat hidup.

Padahal kedua nikmat tersebut lebih rendah daripada nikmat hidayah di sisi Allah, kelak.

Lihat saja para tukang sihir Fir’aun tersebut. Usai jiwa mereka tercelup oleh nikmat hidayah, seketika iman itu menjadi motor yang menggerakkan mereka.

Dengan gagah berani mereka mendeklarasikan keimanannya di hadapan Fir’aun. Bahkan secara heroik mereka menyatakan tidak masalah dengan ancaman teror Fir’aun.

Padahal mereka tahu betul seperti apa Fir’aun, sang tukang jagal itu ketika marah.

قَالُواْ لَا ضَيۡرَ‌ۖ إِنَّآ إِلَىٰ رَبِّنَا مُنقَلِبُونَ (٥٠) إِنَّا نَطۡمَعُ أَن يَغۡفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطَـٰيَـٰنَآ أَن كُنَّآ أَوَّلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ (٥١)

“Tidak masalah. Sesungguhnya kepada Tuhan kamilah, kami akan kembali. Sesungguhnya kami sudah sangat berharap Allah mengampuni dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami, dan kami betul-betul berharap menjadi orang-orang awal beriman.” (QS. Asy-Syuara [26]: 50-51).*

 

 

sumber: Hidayatullah

Syukuri Jangan Ingkari

SIAPA yang tak kenal Bani Israil? Sekumpulan manusia yang paling banyak disebut namanya dalam al-Qur’an.

Bangsa yang kepadanya Allah seringkali mengirim utusan-utusan-Nya, sebagai Nabi dan Rasul.

Serta orang-orang yang berulang menerima kitab-kitab penjelas dari para utusan Allah tersebut.

Secara tersurat Allah menyebut keutamaan tersebut dan menjadikan mereka lebih (dalam urusan nikmat dunia) daripada umat lainnya.

Allah berfirman: “Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 47).

Sayangnya, apa yang menjadi keungggulan tersebut tak berdampak apa-apa dalam kehidupan mereka.

Hal itu terbukti dengan keangkuhan Bani Israil yang kian mengakar turun temurun hingga sekarang.

Keangkuhan itu juga terlihat dari sikap abai atas peringatan Nabi-nabi dan keengganan menerima kebenaran yang disampaikan.

Dalam timbangan iman, jika nikmat yang dipunyai mengantarnya makin giat beribadah dan beramal shaleh, maka orang itu disebut pandai bersyukur.

Sebaliknya, karunia yang melimpah dan nikmat yang tak terkira, tapi membuatnya ujub (bangga diri) dan thaga (sombong), maka demikian itu disebut orang yang kufur nikmat.

Sederhananya, syukur adalah memanfaatkan segala potensi yang dimiliki untuk menebar manfaat sebanyak-banyaknya.

Ia bersyukur sebab menyadari diri sebagai makhluk yang sangat lemah yang bergantung kepada Zat Yang Mahakuat.

Sedang kufur nikmat terjadi jika orang itu mengingkari kewajiban yang semestinya dikerjakan.

Bahwa manusia bukanlah apa-apa hingga diciptakan terlahir ke dunia dan dilengkapi dengan segala kebutuhan yang diperlukan.

Kembali ke kisah Bani Israil di atas. Lalu apa yang Bani Israil perbuat dengan segala keutamaan yang diberikan?

Berikut ini beberapa rekaman al-Qur’an tentang sepak terjang mereka yang kufur nikmat tersebut.

Firman Allah:

وَجَـٰوَزۡنَا بِبَنِىٓ إِسۡرَٲٓءِيلَ ٱلۡبَحۡرَ فَأَتَوۡاْ عَلَىٰ قَوۡمٍ۬ يَعۡكُفُونَ عَلَىٰٓ أَصۡنَامٍ۬ لَّهُمۡ‌ۚ قَالُواْ يَـٰمُوسَى ٱجۡعَل لَّنَآ إِلَـٰهً۬ا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةٌ۬‌ۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمٌ۬ تَجۡهَلُونَ (١٣٨)

“… Bani lsrail berkata: Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala). Musa menjawab: Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).” (QS. Al-A’raf [7]: 138).

Kisah di atas terjadi hanya beberapa saat usai nyawa Bani Israil diselamatkan Allah dari kejaran tentara bengis Fir’aun yang ingin membunuh mereka.

Saat itu, Bani Israil baru saja menyaksikan mukjizat Nabi Musa membelah Laut Merah menjadi jembatan raksasa.

Bersyukur Pangkal Selamat

Mereka diselamatkan Allah tapi justru mereka menginginkan tuhan-tuhan selain Allah untuk disembah.

Firman Allah:

وَإِذۡ قُلۡتُمۡ يَـٰمُوسَىٰ لَن نَّصۡبِرَ عَلَىٰ طَعَامٍ۬ وَٲحِدٍ۬ فَٱدۡعُ لَنَا رَبَّكَ يُخۡرِجۡ لَنَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلۡأَرۡضُ مِنۢ بَقۡلِهَا وَقِثَّآٮِٕهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِہَا وَبَصَلِهَا‌ۖ قَالَ أَتَسۡتَبۡدِلُونَ ٱلَّذِى هُوَ أَدۡنَىٰ بِٱلَّذِى هُوَ خَيۡرٌ‌ۚ ٱهۡبِطُواْ مِصۡرً۬ا فَإِنَّ لَڪُم مَّا سَأَلۡتُمۡ‌ۗ وَضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلذِّلَّةُ وَٱلۡمَسۡڪَنَةُ وَبَآءُو بِغَضَبٍ۬ مِّنَ ٱللَّهِ‌ۗ ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ يَكۡفُرُونَ بِـَٔايَـٰتِ ٱللَّهِ وَيَقۡتُلُونَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ‌ۗ ذَٲلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّڪَانُواْ يَعۡتَدُونَ (٦١)

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”. lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah…” (QS. Al-Baqarah [2]: 61).

Apa yang dipapar di atas dari ayat-ayat al-Qur’an hanyalah secuil dari karunia nikmat yang dicurahkan kepada Bani Israil.

Sekarang tengoklah yang terjadi. Mereka rupanya hanya ingin enaknya saja tanpa sedikitpun mau berkorban untuk satu kebaikan.

Mereka mungkin disebut pandai, tapi kecerdasan itu hanya digunakan untuk mengakali syariat yang ada.

Alhasil, keutamaan dan kelebihan materi bukanlah jaminan keberkahan dan kedekatan kepada Allah, Sang Khaliq.

Syeikh Iyad Abu Rabi’: Umat Islam Harus Banyak Bersyukur

Sayangnya, sebagian manusia justru terbuai dengan nikmat dunia yang meruah.

Hari ini, jelang akhir tahun, sebagian manusia sibuk menyiapkan pesta tahun baru.

Alih-alih bersyukur dan evaluasi diri atas ditambahnya umur dan kesempatan hidup, perayaan itu justru sarat dengan hura-hura, buang uang, dan sajian maksiat lainnya.

Padahal kata Allah, jika kalian pandai bersyukur, akan Aku tambah nikmat tersebut. Jika kalian kufur, maka azab-Ku sangatlah pedih.*

 

 

sumber: Hidayatullah

Anda Meniup Terompet Tahun Baru? Ini Hukumnya!

PERTAMA, terkait dengan masalah terompet, mari kita simak hadis berikut:

Dari Abu Umair bin Anas dari bibinya yang termasuk shahabiyah anshar, “Nabi memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang untuk salat berjemaah. Ada beberapa orang yang memberikan usulan. Yang pertama mengatakan, Kibarkanlah bendera ketika waktu salat tiba. Jika orang-orang melihat ada bendera yang berkibar maka mereka akan saling memberi tahukan tibanya waktu salat. Namun Nabi tidak menyetujuinya. Orang kedua mengusulkan agar memakai terompet. Nabi pun tidak setuju, beliau bersabda, Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi. Orang ketiga mengusulkan agar memakai lonceng. Nabi berkomentar, Itu adalah perilaku Nasrani. Setelah kejadian tersebut, Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi pun pulang.” (HR. Abu Daud, no.498 dan Al-Baihaqi, no.1704)

Setelah menyebutkan hadis di atas, Syaikhul islam mengatakan, “Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau tidak suka dengan terompet gaya yahudi yang ditiup, beliau beralasan, itu adalah kebiasaan Yahudi (Iqtidha Shirat al-Mustaqim, Hal.117 118)

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa terompet termasuk benda yang tidak disukai Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena meniru kebiasaan orang Yahudi. Seorang yang mencintai Nabinya shallallahu alaihi wa sallam dan membenci Yahudi tentunya akan lebih memilih petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam dari pada petunjuk Yahudi yang sesat.

Kedua, Membunyikan Terompet Tahun Baru

Pada tulisan sebelumnya, telah ditegaskan bahwa tahun baru termasuk hari raya orang kafir. Sementara itu, semua orang sadar bahwa membunyikan terompet tahun baru, hakikatnya adalah turut bergembira dan merayakan kedatangan tahun baru. Dan sikap semacam ini tidak dibolehkan. Seorang mukmin yang mencintai agamanya, dan membenci ajaran kekafiran akan berusaha menghindarinya semaksimal mungkin.

Dengan demikian, membunyikan terompet di tahun baru berarti melakukan dua pelanggaran; pertama, membunyikan terompet itu sendiri, yang ini merupakan kebiasaan dan ajaran orang Yahudi dan kedua, perbuatan ini termasuk turut memeriahkan hari raya orang kafir.

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2349303/anda-meniup-terompet-tahun-baru-ini-hukumnya#sthash.OT0W4C1V.dpuf

Prioritaskan yang Prioritas

SESEORANG naik ke ranjangnya pada jam 20.00 WIB. Dia ambil smartphonenya yang membuat status pendek: “Malam ini ku ingin cepat terlelap tidur, besok pagi selaksa agenda penting menunggu.” Dikirimkannya via FB, WA, instagram, line dan BBM miliknya. Kebanyakan orang yang mengaku modern itu memang punya banyak account media sosial. Indikator jaringan luas, katanya.

Status yang dishare orang di atas mendapatkan respon banyak sekali dari teman-temannya, mulai dari yang iseng menggoda sampai pada yang menasaran agenda besok paginya itu. Dibalasnya dengan telaten komentar-komentar yang masuk. Tak sadar semua itu diam-diam makan waktu lumayan lama. Dia baru bisa tertidur jam 03.47 WIB menjelang subuh.

Seorang yang lain tengah bergegas masuk ke kamar mandi, persiapan shalat dhuhur katanya. Hatinya berkata: “Hari ini bisa santai, shalat bisa agak lama dan mengkhusyukkan diri. Sekalian menunggu ashar di masjid. Baru setelah itu pulang.” Berangkatlah dia ke masjid, lalu shalat dua rakaat tahiyyatul masjid. Menjelang adzan, handphonenya berbunyi, ada sms masuk: “Ditunggu pak direktur, lobby proyek.” Bergegaslah dia pulang, meninggalkan lobby Allah demi lobby direktur.

Ternyata mengatur waktu itu sulit. Ada pertarungan antara keharusan (what ought to be) dengan kenyataan (what is), antara keinginan ideal dan godaan temporal, serta antara suara hati dan suara nafsu.

Pertarungan seperti ini rutian mengisi hari-hari kita, sampai kita merasa jalannya waktu ternyata begitu cepat. Tiba-tiba, kini, 2016 sudah terlewati. Kalender berganti muka menjadi 2017. Prioritaskan yang prioritas. Salam, AIM. [*]

 

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2349798/prioritaskan-yang-prioritas#sthash.flKkslOp.dpuf

MUI: 2017, Umat Islam Harus Bersatu

Puluhan ribu umat Islam mengikuti acara Dzikir Nasional 2016 yang diselenggarakan Republika di Masjid At-Tin, Jakarta pada Sabtu (31/12). Mereka mendengarkan tausiah, berdzikir, dan bermuhasabah dalam rangka menyambut pergantian tahun.

Dalam kesempatan tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau umat Islam agar lebih bersatu lagi di tahun 2017. “Umat Islam harus bersatu, umat Islam harus bangkit dalam segala hal,” kata Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amin kepada Republika.co.id di Masjid At-Tin.

Ia menegaskan, umat Islam kedepannya harus semakin bangkit untuk menyiapkan sumber daya manusia. Sebab, umat Islam tidak mungkin tidak berkompetisi.

Dikatakan dia, saat umat Islam kalah. Artinya, umat Islam tidak menyiapkan diri dengan baik. Maka umat Islam tidak boleh menyalahkan siapa pun.

“Oleh karena itu umat Islam harus menyiapkan diri, menyiapkan ekonomi, pendidikan dan menyiapkan diri menghadapi gempuran sosial budaya yang destruktif,” jelasnya.

 

sumber: Republika Online