Kebesaran Jiwa Ulama dalam Mengakui Kesalahan

“Setiap manusia sangat rentan bersalah,  dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang tekun bertaubat.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah).” Demikian Anas bin Malik mengawali hadits yang pernah ia dengar langsung dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam mengenai kesalahan.

Masalah yang terlihat biasa ini bagi kebanyakan orang, akan begitu terasa sukar jika yang mengalaminya adalah orang yang sudah terlanjur di-ulama-kan, dijunjung tinggi ketokohannya, atau barangkali menempati posisi-posisi penting di hati masyarakat. Ketika mereka bersalah, mampukah hawa-nafsu ditaklukkan untuk mengakui kesalahan? Berikut ini, adalah contoh dari ulama-ulama berjiwa besar yang mau mengakui kesalahannya.

Ada seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dari suku Syamkh. Pasca nikah, dia tertarik dengan ibunya. Ia pun mendatangi Ibnu Mas’ud seraya bertanya, “Aku telah menikahi seorang perempuan, kemudian aku tertarik pada ibunya. Aku belum menggaulinya, bolehkah aku ceraikan dia lalu aku menikahi ibunya?” “Boleh,” jawabnya. Akhirnya ia pun menceraikannya dan menikahi ibunya.

Saat Abdullah bin Mas’ud datang ke Madinah, ia bertanya kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkait masalah ini. Mereka menjawab, “Tidak sah.” Kemudian ia pun mendatangi suku bani Syamkh, lalu bertanya, “Di mana orang yang menikahi ibu perempuan yang pernah dinikahinya?” “Di sini,” jawab mereka. Ibnu Mas’ud dengan tegas menandaskan, “Ceraikanlah dia!” “Bagaimana mungkin, dia sudah hamil?” tanya mereka. “Meski demikian, ceraikanlah dia. Sesungguhnya itu diharamkan Allah subhanahu wata’ala.” (Sa’id bin Manshur, Sunan Sa’id bin Manshur, bab: al-farā`idh, 1/234).

Imam Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (V/321) menceritakan bahwa Makhlad bin Khufāf membeli budak kemudian dimanfaatkan. Dalam perjalan waktu, dia menemukan aib pada budak itu. Akhirnya masalah ini diadukan kepada Umar bin Abdul Aziz. Beliau pun memutuskan, Makhlad wajib mengembalikannya dan membayar biaya pemanfaatannya. Makhlad pun bertanya pada  ‘Urwah mengenai masalah ini.  Ia pun menyebutkan riwayat ‘Aisyah mengenai kasus seperti ini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan si penjuallah yang harus membayar jaminan. Saat Umar diingatkan Makhlad, beliau berkomentar, “Aku anulir keputusanku, dan akan kulaksanakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Imam Ibnu Jauzi menyatakan bahwa, ‘Dalam sejarah ulama salaf ada orang yang jika dia mengetahui dirinya salah, maka dia tidak akan tenang sebelum menyampaikan kesalahannya dan memberitahu orang yang diberi fatwa.’ (Ta’dhīmu al-Futya, hal: 91). Masih dalam kitab yang sama, Ibnu Jauzi menceritakan bahwa Hasan bin Ziyad al-Lu`lu`i dimintai fatwa pada suatu masalah, kemudian dia salah. Pada waktu itu dia tidak kenal pada orang yang meminta fatwa. Ia pun menyewa orang untuk mengumumkan bahwa Hasan bin Ziyad telah diminta fatwa pada hari demikian, kemudian salah. Beliau pun mengumumkan, “Siapa saja yang memberi fatwa demikian, maka segera dicabut!”. Setelah beberapa hari akhirnya beliau bertemu dengan orang yang meminta fatwa lalu memberitahunya bahwa fatwanya salah. (hal: 92).

Saat Syekh Izzuddin al-Hikari pernah berfatwa mengenai suatu permasalahan, kemudian dia baru mengetahui bahwa fatwanya salah. Ia pun mengumumkan dengan keras  di depan khalayak di Kairo, Mesir, “Barangsiapa mendengar fatwa demikian, maka jangan diamalkan, karena itu salah.” (Imam Subki, Thabaqāt al-Syāfi’iyyah, VIII/214).

Lebih dari itu, Syekh Abu al-Fadhl al-Jauhari sampai mengumumkannya kesalahannya di atas mimbar setelah diingatkan oleh Muhammad bin Qasim al-‘Utsmani mengenai masalah talaq, dhihar [mengatakan pada istri, kamu seperti punggung ibuku, sebagai tanda talaq di zaman jahiliyah) dan ila [suami bersumpah tidak mencampuri istrinya]. Karena dia telah berpendapat bahwa nabi pernah melakukan ketiganya sekaligus, padahal nabi tidak pernah dzihar(Ibnu ‘Arabi, Ahkāmu al-Qur’an, I/249).

Itu beberapa contoh dari ulama luar negeri. Di dalam negeri pun ada banyak contoh yang bisa diteladani. Misalnya, Pangeran Diponegoro.  Di samping dikenal sebagai ulama yang jantan di medan tempur, ternyata beliau juga tidak malu mengakui kesalahan jika memang melakukannya. (H.M. Nasruddin Anshoriy, ‘Bangsa Inlander’ Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara,128).

Kisah A Hassan

Adalah cerita tentang kebesaran jiwa Ahmad Hassan. Ada kisah menarik dari ulama yang dikenal sebagai “Guru Utama Persis” ini. Alkisah, seorang dari Sumedang Jawa Barat bernama H. Ali Muhammad Siraj pernah mengunjungi A. Hassan ketika berada di Banyuwangi. Dalam kunjungan tersebut ia selalu membawa sepeda untuk mempermudah perjalanan keliling kota atau di kampung-kampung.

Selanjutnya ia mengisahkan perjalanannya dengan A. Hassan. Di pinggir ban sepeda itu tertulis kata-kata “inflate hard“. Tuan Hassan menanyakan apa arti kata-kata itu. Saya menjawab, “Pompalah keras-keras, maksudnya supaya ban lebih awet dipakainya dan tak mudah kempes,” jawab saya. “Bukan itu arti kalimat tersebut. Artinya ialah ban ini dibikin sangat teratur, tak usah khawatir,” jawab beliau. Mendengar arti yang diberikan beliau itu, saya tidak membantah, karena saya tahu bahwa Tuan Hassan lebih faham berbahasa Inggris.

Tapi tengah malam, pintu kamar saya diketok beliau dan berseru nama saya berkali-kali. Saya terbangun lalu membukakan pintu. Beliau masuk dan segera mengucapkan minta maaf atas kesalahannya membuat arti kalimat tersebut. Arti itu tidak benar, yang benar ialah arti dari saudara tadi. Mata saya tak mau dipicingkan sejak tadi, karena saya merasa bersalah dan belum minta maaf, “Saya khawatir kalau tidak malam ini juga saya minta maaf, siapa tahu besok kita tak bertemu lagi, karena meninggal salah seorang kita.” (Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung, Pemikir Islam Radikal, hal: V dan Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, hal: 64). Perhatikan bagaimana jawaban A. Hassan. Jawaban ini menunjukkan betapa besar jiwanya untuk mengakui kesalahannya.

Dari murid A. Hassan pun ada kisah menarik mengenai pengakuan kesalahan. Dikisahkan bahwa di waktu anak kedua M. Natsir akan lahir -mereka lima orang bersaudara- Natsir diperkarakan orang yang punya gedung sekolah, sebab sudah banyak menunggak sewa. Sudah tentu Natsir mengaku salah. Memang hutang belum terbayar. (Muhammad Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, hal: 38). Demikian besarnya jiwa Natsir sehingga beliau tidak gengsi mengakui kesalahannya.

Masih dalam masalah mengakui kesalahan, ada kata bijak dari Buya Hamka. Terkait masalah ini, beliau pernah berujar, “Berterus terang adalah sikap pahlawan, tetapi berani mengakui kesalahan lebih ksatria.” (Personal Quality Management, E. Widijo Hari Murdoko, hal: 165). Tepat sekali pernyataan beliau, orang yang berani mengakui kesalahannya adalah ksatria.

Demikianlah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa ulama memiliki jiwa besar dan lapang, sehingga ketika melakukan kesalahan, mereka tidak sungkan-sungkan untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf. Mereka melakukan demikian karena terinspirasi dari Rasulullah yang tak sungkan mengaku salah dalam hal pengawinan kurma dengan mengucapkan, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim). Wallahu a’lam bis shawab.*/Mahmud Budi Setiawan

 

sumber: Hidayatullah

Sertakan Doa untuk Orang Lain Jadikan Doa Terkabul

IMAM ABDUL WAHHAB ASY SYA’RANI menyimak nasihat dari gurunya, Syeikh Ali Khawwash, agar tidak sibuk dengan doa untuk diri sendiri ketika berdoa, namun juga mendoakan orang lain, karena hal itu memudahkan terkabulnya doa.

Ketika Imam Asy Sya’rani melakukan haji pada tahun 947 H, merasakan apa yang disampaikan sang guru, dimana ia berdoa di hijr untuk mendoakan saudara-saudaranya hingga waktu shubuh, maka ia memperoleh semua apa yang ia doakan untuk saudara-saudaranya itu. Imam Asy Sya’rani pun berkata,”Kalau seandainya aku berdoa mengenai hal-hal tersebut untuk diriku sendiri mungkin saja aku tidak memperolehnya. Alhamdulillahi Rabbil Alamin.” (Lawaqih Al Anwar Al Qudsiyyah, hal. 177)

 

sumber:HidayatullahCom

Jual Suara di Pilkada Demi Uang? Berpikirlah Berulang Kali

Musim pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau pemilihan umum pada umumnya memang rawan penyimpangan, salah satunya adalah politik uang, menjual suara demi rupiah dengan imbalan mengarahkan hak suara coblosan untuk ‘si pembeli’.

Mengutip fatwa Dar al-Ifta’ Mesir, aktivitas jual beli suara tersebut hukumnya haram. Hukum ini berlaku tidak hanya untuk pemilik dana atau pihak yang menjual suara mereka, tetapi juga mencakup pula perantara (broker) yang menjadi penghubung antara kedua pihak tersebut.

Aktivitas jual beli suara tersebut masuk dalam kategori suap-menyuap yang dilarang agama. Pelarangan ini antara lain merujuk hadis riwayat Tsauban RA yang diriwayatkan Imam Ahmad, bahwa Rasulullah SAW menyatakan Allah SWT melaknat penyuap dan penerima suap, serta perantara (raisy) antara keduanya.

Prinsip dasar yang harus ditekankan dalam kegiatan semacam pilkada adalah fairness dan kejujuran. Tidak boleh menggunakan uang untuk merealisasikan ambisinya dengan memberikan iming-iming kepada pemilik suara.

Atas dasar inilah, maka, hukum mengonsumsi uang hasil jual beli suara tersebut adalah haram dan termasuk memakan harta dengan cara batil. Jika memang sudah menerima, hendaknya segera mengembalikan uang itu.

Yang diperbolehkan dalam agama, adalah menggunakan dana untuk kampanye, selama dalam batas dan koridor yang diperbolehkan oleh peraturan negara.

 

sumber: Republika Online

Inilah Balasan Allah kepada Pencela Sahabat Rasul

Izzuddin Yusuf Al-Mushili mengisahkan cerita di bawah ini. “Dulu kami punya teman, namanya Asy-Syams Ibnul Hasyisyi. Dia biasa mencela sahabat Abu Bakar RA dan Umar RA secara berlebihan. “

Maka kukatakan kepadanya, “Ya Syams, sungguh buruk bila kamu mencela mereka, apalagi kamu sudah tua. Apa urusanmu dengan mereka? Mereka sudah tiada sejak 700 tahun lalu, dan Allah berfirman (yang artinya),”Itulah umat yang telah lalu.”

“Tapi ia justru menjawab,” Demi Allah, demi Allah, Abu Bakar, Umar dan Utsman benar-benar di neraka.”

“Dia mengatakan hal itu di depan khalayak ramai, sehingga berdiri bulu kudukku. Maka kuangkat tanganku ke langit dan kukatakan: “Ya Allah, Dzat penakluk seluruh hamba-Nya, wahai Dzat yang tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya, aku memohon kepada-Mu, bila anjing ini berada di atas kebenaran, maka turunkanlah kepadaku tanda kekuasaan-Mu. Sebaliknya, apabila dia zholim dalam tindakannya, maka turunkanlah kepadanya sekarang juga sesuatu yang bisa menjadikan semua tahu bahwa dia dalam kebatilan.”

“Tiba-tiba kedua mata Syam membengkak hingga hampir keluar. Badannya menghitam hingga laksana aspal dan membengkak, serta keluar dari tenggorokannya sesuatu yang dapat mematikan burung.”

“Lalu dia dibawa orang-orang ke rumahnya, tapi tidak sampai tiga hari dia mati. Tidak ada seorang pun yang bisa memandikannya karena perubahan yang terjadi pada badan dan kedua matanya. Lalu dia pun dikuburkan.”

Kisah itu terjadi pada tahun 710 H. [Kitab Dzail Tarikhil Islam, Karya Imam As-Sakhowi Asy-Syafii (w 902 H), hal: 117]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2361283/inilah-balasan-allah-kepada-pencela-sahabat-rasul#sthash.X6Yd1E1O.dpuf

———————————————————
Manfaatkan Smartphone Anda untuk mempelajari AlQuran, sebagai media yang sebaik-baiknya bekal… Download Ayatun minal Quran di sini!

 


 

Manfaat Medis Shalat Tahajud

Shalat tahajud adalah salah satu ibadah sunah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.  Abu Hurairah pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang shalat apa yang paling utama setelah shalat lima waktu. Rasul menjawab shalat di tengah malam atau tahajud.

Selain memiliki keutamaan, shalat tahajud ternyata memiliki manfaat untuk menyembuhkan berbagai penyakit-penyakit medis. Hal tersebut diteliti oleh Prof.Dr. Moh. Sholeh, pengasuh Klinik Terapi Tahajud dan trainer Pelatihan Shalat Tahajud. Ulasan terkait hal ini, ia terbitkan dalam sebuah buku berjudul Terapi Shalat Tahajud.

Pada penuturan awal bukunya, Sholeh menukil sebuah hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Tirmidzi. Dalam hadis tersebut, Rasul menyatakan bahwa shalat tahajud dapat menghapus dosa, mendatangkan ketenangan, dan menghindarkan dari penyakit.

Menurut Sholeh, hadis tersebut memberikan peluang untuk menelaah lebih jauh mengenai hubungan praktik ibadah mahdah dengan alur logika dan pembuktian sains. Dalam hubungannya dengan tema shalat tahajud, ia menilai sabda Rasulullah SAW itu dapat dihubungkan dengan fakta penelitian yang membuktikan bahwa ketenangan dapat meningkatkan ketahanan tubuh imunologik, mengurangi risiko terkena penyakit jantung, serta meningkatkan usia harapan.

Sebaliknya, orang yang dilanda stres sangat rentan terhadap infeksi, percepatan perkembangan sel kanker, dan meningkatkan metastasis. Dengan demikian, secara teoritis, para pengamal shalat tahajud pasti terjamin kesehatannya. Baik secara fisik maupun mental.

Namun, telaah medis menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok para pengamal shalat tahajud yang memiliki dampak kesehatan yang berbeda. Kelompok tersebut adalah individu yang sehat dan individu yang sakit. Menurut Sholeh, fakta tersebut menunjukkan bahwa masih ada selubung yang perlu disingkap terkait hubungan pelaksanaan shalat tahajud dengan peningkatan respons ketahanan tubuh imunologik.

Terdapat tiga bab utama dalam buku Terapi Shalat Tahajud. Pada bab pertama, Sholeh mengurai dan menjelaskan tentang anatomi sistem kekebalan tubuh imunologik. Antara lain tentang efek kortisol terhadap sistem imun,  kelenjar adrenal dan sekresi kortisol, sistem ketahanan tubuh imunologik, dan lain-lain.

Pada bab kedua, Sholeh membahas tentang psikoneuroimonologi shalat tahajud. Terdapat beberapa sub yang dibahas pada bab ini, antara lain tentang hakikat khusyuk dalam shalat, hakikat khusyuk dalam shalat tahajud, makna shalat tahajud, shalat tahajud dan kebutuhan pemeliharaan homeostasis.

Di bab terakhir, Sholeh menjabarkan tentang pengaruh shalat tahajud terhadap peningkatan respons ketahanan tubuh. Dalam bab ini juga ia mencantumkan kerangka konseptual dan desain penelitian terkait.

Secara keseluruhan, buku Terapi Shalat Tahajud merupakan kombinasi antara ilmu pengetahuan dan agama. Dalam buku ini, dibuktikan secara ilmiah bahwa shalat tahajud mampu meningkatkan kekebalan tubuh.

Judul: Terapi Shalat Tahajud
Penulis: Prof.Dr. Moh. Sholeh
Penerbit: Noura Books
Cetakan: 2016
Tebal: 237 halaman

 

sumber:RepublikaOnline

Shalat Tahajud Berjamaah, Bolehkah?

Hendaknya shalat Tahajud berjamaah jangan diwajibkan.

Salah satu syiar yang pernah diberlakukan Umar bin Khatab RA adalah shalat tarawih berjamaah. Pelaksanaannya ialah usai shalat Isya secara langsung, tanpa harus ada jeda hingga larut malam.

Di sebagian kalangan, muncul fenomena shalat Tahajud berjamaah. Biasanya dikerjakan di masjid atau lokasi tertentu. Waktunya adalah sepertiga malam terakhir. Apakah shalat Tahajud seperti ini boleh dilakukan?

Dhaya’ al-Mashabih, karya Abu Abdurrahman bin Isa al-batini, mencoba mengupas persoalan ini secara mendetail. Buku ini memaparkan perihal inti permasalahan berikut dinamika perbedaan pendapat di dalamnya. Argumentasi kelompok masing-masing juga diutarakan.

Dalam kajian fikih klasik, ujar Syekh al-Batini, shalat Tahajud berjamaah dalam konteks fenomena yang berkembang belakangan ini disebut dengan ta’qib. Mengutip pernyataan Ibnu Qudamah di magnum opusnya, al-Mughni, pengertian ta’qib adalah mengerjakan shalat sunah berjamaah apa pun di luar shalat Tarawih.

Muhammad bin Nashr al-Maruzi menyatakan definisi ta’qib, yakni kembalinya para jamaah menuju masjid untuk menunaikan shalat sunah berjamaah. Apa pun itu, pada intinya ta’qib merupakan pelaksanaan shalat di luar Tarawih secara berjamaah.

Syekh al-Batini menyebut, topik ini hangat diperbincangkan di antara pemuka dua mazhab, yakni Hanbali dan Hanafi. Ia bahkan menegaskan, tema itu hanya dikupas di kedua mazhab tersebut.

Menurut Mazhab Hanafi, hukum ta’qib, seperti shalat Tahajud berjamaah adalah makruh. Ini seperti dinukilkan dari Ibnu Muflih. Ia menyatakan, shalat sunah itu hanya dilakukan berjamaah sekali. Bila hendak melakukannya lagi, cukup tunaikan sendirian. Penegasan ini juga disampaikan oleh Ibnu Najim dalam al-Bahr ar-Raiq Syarh Kanz Daqaiq dan al-Kasani di kitab  Bada’i as-Shana’i fi Tartib as-Syara’i’.

Hukum taq’ib berdasarkan pandangan Mazhab Hanbali, ada dua riwayat yang berbeda. Riwayat pertama dari Imam Ahmad menyebutkan hukum shalat seperti tersebut makruh. Ini seperti pendapat yang dianut oleh kubu yang pertama. Sedangkan, riwayat lain dari Imam Ahmad memberi sinyal bahwa hukum shalat Tahajud berjamaah boleh dilakukan.

Imam Ahmad, sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Qudamah, pernah mengatakan bahwa hukum shalat Tahajud berjamaah atau sunah lainnya secara berjamaah ialah boleh. Pendapat Imam Ahmad itu merujuk pada pernyataan Imam Malik yang mengatakan, segala perkara yang kembali kepada kebaikan maka tunaikanlah, tetapi jika mengarah pada keburukan, segera tinggalkan.

Dalam konteks shalat Tahajud berjamaah, pendiri Mazhab Maliki itu memilih boleh hukumnya. Muhammad bin al-Hakam menilai, opsi pendapat makruh dari riwayat Ahmad dinyatakan pendapat lama. Mayoritas ulama sepakat hukumnya boleh.

Bahkan, Qadhi Abu Bakar secara tegas berpandangan, shalat di sepertiga malam berjamaah hingga akhir malam, tak satu pun riwayat dari para imam mazhab yang mengatakan makruh. Perbedaan ada bila yang dimaksud ta’qib adalah para kembali dan menunaikan shalat berjamaah tersebut sebelum tidur. Hal ini dinilai bisa memberatkan mereka.

Pada 2005 Mufti Agung Mesir saat itu, Syekh Ali Jumah, mengeluarkan fatwa resmi atas nama Dar al-Ifta yang ia pimpin. Ia menjelaskkan, shalat sunah apa pun yang belum pernah dicontohkan Rasulullah secara berjamaah hukumnya boleh dilakukan. Tidak ada unsur makruh.

Cukup jadikan merujuk pada Ibnu Abbas. Seperti hadis muttafaq alaih, sahabat yang terkenal dengan gelar turjaman Alquran itu pernah mengikuti shalat Tahajud di belakang Rasulullah saat berada di kediaman Maimunah. Abdullah bin Masud juga pernah melakukan hal serupa di lain kesempatan. Ketentuan ini tak hanya terbatas pada Ramadhan, tetapi boleh juga dilakukan di luar bulan suci itu.

Fenomena Tahajud berjamaah, seperti yang berlaku sekarang ini, sebut Syekh Jumah yang kini digantikan oleh Mufti Agung Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam itu, tak jadi soal selama aktivitas tersebut tidak ada unsur mewajibkan dan keharusan al-ijab. Jika ada unsur mewajibkan, rentan termasuk kategori bid’ah yang dilarang. Yakni, mewajibkan suatu perkara syariat sendiri, tidak pernah mengisyaratkannya. Di sisi lain, tindakan mewajibkan itu membebani umat di luar batas kemampuan fisik mereka.

Riwayat Aisyah mengisahkan bagaimana Rasulullah memberikan pelajaran ke sejumlah sahabat. Konon, mereka mengikuti pola shalat sunah Rasul. Hingga Rasul sengaja tidak menampakkan diri. Kala pagi suatu hari, Rasul pun shalat, lalu memberikan pengertian bahwa aksi “menghilang” tersebut dilakukan agar menghindari kesan wajib terhadap ibadah tertentu. “Aku takut kalian menganggapnya wajib, lalu kalian tak mampu melakukannya,” sabda Rasul.

 

 

Oleh Nashih Nashrullah

sumber:Republia Online

Agar Shalat Tahajud Sarat Pahala

Libatkan keluarga terdekat untuk shalat Tahajud bersama.

Kenikmatan tidur telah melenakanmu dari nikmatnya hidup bergelimang kebaikan menuju bilik surga. Hidup kekal tiada kematian dan merasakan kenikmatan surgawi. Maka, bangunlah dari kelelapanmu. Sesungguhnya ada kebajikan di balik tidur, yaitu Tahajud dan membaca Alquran

Syair itu, konon seperti dinukilkan di sejumlah literatur, adalah gubahan tokoh salaf terkemuka, Malik bin Dinar. Sosok yang hidup di abad ketiga Hijriah itu menggambarkan betapa vitalnya peran dan fungsi shalat Tahajud.

Menghidupkan malam dengan beribadah, seperti shalat Tahajud, membaca Alquran, dan berzikir, sarat dengan pahala. Sayangnya, keutamaan ini banyak terlewatkan oleh sebagian besar Muslim. Entah akibat ketidaktahuan ataukah kelelahan beraktivitas sepanjang hari sehingga membawa seseorang tertidur lelap hingga fajar menyapa.

Ada banyak manfaat shalat Tahajud. Di surah adz-Dzariyat 17-18, mereka yang istiqamah shalat Tahajud tergolong orang-orang yang baik dan berhak atas surga, mendapat pujian Allah SWT sebagai hamba yang baik (QS al-Furqan [25]:64), dan kesaksian atas kesempurnaan iman (QS as-Sajdah [32]: 15-17).

Segudang keutamaan itu dipertegas lagi dalam rentetan hadis. Sebut saja, misalnya, riwayat Sahal bin Sa’ad yang dinukilkan oleh al-Hakim. Dalam hadis itu, Jibril meyakinkan Rasulullah SAW bahwa kemuliaan seorang mukmin terletak pada sejauh mana konsistensinya menjaga shalat malam.

Meskipun tergolong sunah namun Tahajud dan menghidupkan malam dengan ritual-ritual lainnya sangat ditekankan. Diakui, tak mudah untuk memaksimalkan qiyamul lail. Padatnya aktivitas sepanjang hari tak jarang menyulitkan seseorang untuk bangun di malam hari. Fenomena ini pun pernah terjadi di zaman Rasul dan para sahabatnya. Merujuk ke banyak riwayat, ada banyak kiat dan etika bagaimana agar bisa memaksimalkan qiyamul lail.

Jangan lupa niat bangun malam sebelum tidur. Niat ini agar bisa beribadah di malam hari dan mengandung unsur kebajikan. Sekalipun, tidur melelapkannya hingga fajar. Maka, niat tersebut telah dicatat sebagai kebaikan sebesar ganjalan shalat malam yang ia niatkan itu. Ini seperti ditegaskan hadis Aisyah. “Tidurnya pun termasuk sedekah,” sabda Rasul.

Bila bangun tidur maka usaplah wajah lalu membaca kalimat tauhid, tahlil, tasbih, dan tahmid, dan takbir berdoa. Lalu, berdoala meminta ampunan kepada Allah SWT atau doa apa pun. Rasulullah mencontohkannya seperti ternukilkan di hadis Ubadah bin as-Shamit.

Setelah bersuci dari hadas, seperti disebutkan riwayat Aisyah, mulakanlah shalat Tahajud dua rakaat. Bila sedang nihil program Tahajud berjamaah di masjid, utamakan shalat di rumah. Karena, sebaik-baik shalat sunah, sebagaimana penegasan hadis dari Zaid bin Tsabit, ialah yang ditunaikan di rumah. “Kecuali, shalat lima waktu,” titah Rasul.

Ada kalanya kantuk akut menyerang dan mengganggu konsentrasi. Dalam kondisi seperti ini, lebih baik beristirahatlah sejenak. Seperti, tidur untuk menghilangkan kantuk tersebut. Aisyah menuturkan, Rasul menyarankan para sahabat supaya istirahat dan tidur untuk mengusir kantuk bila kantuk datang kala shalat. Sering kali dalam kondisi seperti itu, bukannya beristighfar, justru menghujat dirinya sendiri.

Libatkan keluarga untuk bangun dan bertahajud bersama. Anda yang telah berkeluarga maka berkacalah dari Rasulullah. Muhammad SAW kerap membangunkan istrinya, Aisyah, untuk menunaikan witir. Maka, hendaknya pasangan suami istri saling bekerja sama bangun Tahajud. Para suami, ajaklah istri shalat. Jika menolak karena alasan di luar uzur syari’i, percikkanlah air di tubuhnya. Wahai para istri, lakukanlah hal yang sama kepada suami Anda. (HR Nasai dari Abu Hurairah).

Untuk memotivisi diri semangat shalat Tahajud maka pelajari dan renungkanlah keutamaan Tahajud. Rangkaian keutamaan Tahajud, seperti tersebut di atas, merupakan bentuk penghormatan Allah SWT kepada hamba-hambanya yang terpilih. Kebahagiaan di dunia dan kemuliaan di akhirat kelak.

Dan, ingatlah makar setan yang selalu sengaja menghalangi Muslim dari bangun malam dan beribadah. Hadis riwayat Abdullah bin Mas’ud menuturkan bagaimana cara setan menghalangi hamba-Nya untuk bangun, yakni mengencingi kedua telinganya.

Di riwayat lain, setan sengaja meletakkan tiga rantai yang mengunci ketiga sisi kepalanya. “Tidurlah malam masih panjang,” kata setan. Jika tak segera bangun, berwudhu, kemudian shalat maka ia akan melewati hari-harinya penuh kemalasan.

Terakhir, bangkitkan semangat dengan mengingat kematian. Karena, kata Imam Syafi’i, nikmatilah keutamaan rukuk dan sujud sewaktu hidup sebab tak satu pun mengetahui dan mawas, kapan ajal akan menjemputnya.

 

Oleh Ustaz Nashih Nashrullah

sumber:RepublikaOnline

Daya di Balik Shalat dan Sabar

Allah SWT menegaskan dalam Alquran, “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat….” (QS al-Baqarah [2]: 45).

Firman Allah tersebut menegaskan pentingnya sabar dan shalat dalam mengarungi kehidupan ini. Sabar dan shalat merupakan dua kunci yang saling terkait untuk meraih sukses hidup di dunia dan akhirat.

Buku ini mengupas panjang lebar mengenai kedahsyatan sabar dan shalat berdasarkan ayat-ayat Alquran, sunah Rasulullah, maupun riwayat ulama dan sufi. Penulis dengan jeli memasukkan contoh-contoh keutamaan sabar dan shalat melalui berbagai kisah dari zaman Nabi Adam AS, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Khidir, Luqman Hakim, hingga zaman Rasulullah, para sahabat, dan ulama.

Penulis menyajikan bab demi bab dalam buku ini dengan bahasa yang ringan dan renyah, namun tidak mengurangi bobot isi dan pesan yang ingin disampaikan. Sehingga, buku ini dibacanya terasa ringan, namun bermakna.

Penulis membagi bukunya menjadi tujuh bagian. Bagian pertama bicara segala hal tentang sabar. Sabar adalah pengetahuan tentang hakikat. Sabar adalah kesabaran akan keterbatasan dan mensyukurinya. Sabar adalah memupuk harapan. Sabar adalah hamparan dada yang lapang. Sabar itu indah, sabar itu bersinar, hingga sabar adalah doa utama Nabi.

Bagian kedua adalah kebutuhan untuk sabar. Di sini penulis menjelaskan sejumlah alasan logis mengapa manusia memerlukan sabar dalam hidupnya. Misalnya, kehidupan tidak selalu seperti yang diharapkan, kegagalan pasti hadir dalam kehidupan kita, dan kita butuh sabar untuk membenahi segala kekurangan.

Bagian ketiga mengupas kekuatan sabar. “Kesabaran mampu mengolah keadaan-keadaan terpuruk menjadi energi positif. Hingga keadaan terpuruk bisa dijadikan sebagai titik tolak baru untuk mencapai sebuah kesuksesan.”

Bagian keempat hingga ketujuh membahas tentang kedahsyatan shalat. Dimulai dengan segalanya tentang shalat (bagian keempat), lalu kebutuhan untuk melakukan shalat (bagian kelima).

Bagian keenam menjelaskan kekuatan shalat, kepekaan sosial, dan sujud sebagai pintu utama Ilahi.

Bagian ketujuh, yang merupakan pamungkas buku ini, menguraikan lebih jauh arti QS al-Baqarah ayat 45, yakni meminta bantuan Allah melalui sabar dan shalat. Penulis menegaskan bahwa orang sabar selalu melakukan shalat dan orang yang melakukan shalat selalu bersabar. “Betapa sabar dan shalat menyimpan kekuatan dahsyat yang mampu menghadapi pelbagai macam kenyataan hidup, mulai dari yang paling menyenangkan hingga yang paling menyengsarakan. Semuanya akan senantiasa terkendali melalui kekuatan sabar dan shalat.”

Akhirnya, bagian ketujuh ini ditutup dengan penegasan bahwa dengan sabar dan shalat, seseorang akan sukses di dunia dan akhirat. “Dengan menjadi orang yang sabar dan tekun melakukan shalat, Anda sudah berada di gerbang kesuksesan di dunia. Dengan menjadi orang sabar dan tekun melakukan shalat, Anda bisa mendapatkan kesuksesan di akhirat nanti.”

 

Oleh Irwan Kelana

sumber: Republika Online