Detik-detik pergantian tahun 1994-1995. Tak ada jeritan terompet. Tak ada dentang lonceng jam. Tak ada sirine meraung. Tak ada jabat tangan ‘selamat tahun baru’. Tak ada pelukan. Tak ada ciuman. Tak ada nyanyian. Tak ada pesta hura-hura. Dan, air mata mengucur di multazam, dalam irama doa dan istighfar.
Suasana malam tahun baru di Masjidil Haram, juga di kota suci Makkah — yang jatuh pada malam Ahad, tak lebih istimewa dari tengah-tengah malam biasa. Bahkan, lantai sekeliling Ka’bah tak lebih padat dari malam Jumat (dua malam sebelumnya), yang memang merupakan ‘malam libur’ di Saudi Arabia. “Tak ada tradisi perayaan malam tahun baru di sini,” kata Ibramim Hasima, pemandu umrah Al-Hussam, di Aziz Khogeer Palace sebuah hotel yang hanya berjarak 50 meter dari pintu Masjidil Haram, seperti dilansir dari pusat data Republika.co.id.
Di kalangan masyarakat negara yang memakai perhitungan tahun Hijriyah, malam tahun baru Masehi seperti tak ada artinya. Tak lebih dari malam-malam biasa. Lebih-lebih di kota suci Makkah, yang kental suasana keagamaan. Kompleks pertokoan, pasar, areal parkir, halaman Masjidil Haram, tak sepadat malam Jumat.
Di dalam Masjidil Haram, pada malam itu, tampak ratusan jamaah bertawaf mengelilingi Ka’bah seperti pada malam-malam sebelumnya. Puluhan orang pun berdesakan mencium hajar Aswad, puluhan lainnya khusuk bersembahyang sunnah di luar lingkaran tawaf, sementara dingin angin gurun menusuk-nusuk tulang, dan bintang-bintang menggelantung di langit malam. Terdengar gemeremang zikir, tahmid, istighfar, doa dan rintihan di pintu Ka’bah dan multazam (daerah antara hajar aswad dan pintu Ka’bah). Air mata haru, bahagia, rasa dosa, tobat dan penyesalan pun mengucur di sini.
Tetapi, beberapa rombongan jamaah umrah dari Indonesia dan dari berbagai belahan benua lainnya, sengaja menghabiskan malam pergantian tahun di Masjidil Haram. “Kita akan menikmati malam tahun baru di sisi Ka’bah untuk mengintrospeksi diri, melihat kembali apa yang telah kita lakukan dalam setahun dan merencanakan perbaikan di tahun depan,” kata Salim Bahannan, General Manager Intan Tour, menjelang keberangkatan jamaah umrahnya.
Makna khusus Tahun baru bagi umat Islam adalah 1 Muharram. Orang Jawa menyebutnya 1 Suro. Namun, bagi masyarakat Muslim di negara yang memakai perhitungan tahun Masehi, malam tahun baru tetap memiliki makna penting. Dan, malam pergantian tahun itu akan memiliki makna khusus ketika dinikmati di Masjidil Haram. “Saya merasa bahagia dapat melewatkan malam tahun baru di sini, kata Wulansari dengan mata berkaca-kaca.
Gadis yang menjadi public relation sebuah perusahaan di Jakarta itu sempat mengaku, malam-malam tahun baru sebelumnya ia habiskan dengan ‘berhura-hura’ bersama teman-teman sebayanya. Karena itu, melewatkan malam tahun baru di Masjidil Haram, baginya memiliki makna khusus.
Setidaknya, tahun kali ini tidak ia lewatkan dengan hura-hura, tapi dengan langkah-langkah ritual, dengan sentuhan religiusitas yang kental. Apalagi, malam itu ia lewatkan setelah menjalankan umrah pada hari sebelumnya. “Ada sesuatu dalam diri saya yang tercerahkan. Iman saya rasanya makin tebal,” katanya.
Perasaan yang sama juga dikemukakan Rumonda Kesuma, wanita karir yang bergerak di bidang advokasi. Bahkan oleh remaja kelas satu SMA Don Bosco Jakarta, Robin Yudhistira Ralie, dan Melania, siswi kelas satu SMA Santa Ursula Jakarta. “Bahagia sekali saya dapat berakhir tahun di Masjidil Haram,” kata Monda.
“Senang sekali. Rasanya gimana, gitu. Apalagi ketika mencium hajar Aswad,” kata Melania, yang umrah bersama adiknya, Melinda (siswi kelas dua SMP Marsudirini Jakarta) dan Armand Chandra (siswa kelas tiga SD Marsudirini). Tentu saja, mereka dikawal oleh sang Ayah, H. Kusnadi Abdul Hafidz, seorang pengurus DPD Golkar DKI.
Allah terasa dekat. Selalu ada perasaan khusus yang sangat personal ketika seorang hamba Allah berada di dekat Ka’bah, Baitullah yang menjadi titik kiblat (arah) sembahyang. “Ada perasaan makin dekat dengan Tuhan,” kata Fatmawati, seorang gadis Bali.
“Ini saya rasa suatu peningkatan iman,” tambah mahasiswi FSUI itu.
Dalam kedekatan seperti itu, ketertiban dan kekhusyukan sembahyang pun meningkat. Apalagi, di sekeliling Masjidil Haram dan di seluruh kota suci Makkah (juga di Madinah) suasana keagamaan terasa amat kental.
Tiap terdengar suara azan tiap orang tampak menghentikan kegiatan keduniawiannya. Toko-toko ditutup, mobil-mobil dihentikan, dagangan kaki lima dikemasi, kantor-kantor diistirahatkan, dan semuanya berbondong-bondong menuju masjid untuk salat berjamaah.
Kekhusyukan dan suasana agamis itu terasa lebih tajam bagi orang-orang yang biasanya hidup di kota metropolis super sibuk dan padat kerja. “Saya belum pernah merasakan kekhusyukan bersembahyang seperti di sini. Di Jakarta, sembahyang saya hampir selalu terganggu macam-macam kesibukan kerja,” kata Wulansari.
“Genap lima waktu saja sudah untung, di Jakarta waktu sembahyang kita sering lewat karena padatnya kerja,” timpal jamaah yang lain.
Yang dirasakan Fatmawati dan Wulansari itu adalah sentuhan religiusitas yang universal, yang juga dirasakan hampir tiap jamaah saat berada di Masjidil Haram. Dari manapun mereka berasal dan dari golongan sosial manapun. Ketika hamba Allah bersembahyang, kedekatan dengan Tuhan itu sudah amat terasa. Ketika hamba Allah bertawaf, berzikir, mengadu dan berdoa di sisi Ka’bah, perasaan dekat itupun makin mengental. Tuhan serasa hadir menguasai dan membelai seluruh perasaan.
Tak berlebihan, jika kemudian isak tangis sering tak terbendung, tumpah bersama doa dan pengakuan dosa, dalam gelegak perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata — karena sangat personalnya. Air mata pun mengucur di multazam, di depan pintu Ka’bah, sepanjang lingkaran tawaf dan di lantai Masjidil Haram ketika hamba Allah bersujud ke bumi.
“Biarlah, hanya Allah yang tahu, apa sebenarnya yang ada dalam perasaan hamba-hambanya. Ini urusan pribadi hamba dengan Tuhannya,” kata KH Cholid Abri, pembimbing rokhani jamaah umroh Intan Tour.
Tak berlebihan, jika kemudian perasaan jamaah umrah amat lekat dengan Masjidil Haram dan ingin terus berada di sana. Seperti diakui Rumonda, banyak yang merasa bersedih ketika ‘jatah tinggal’ di Makkah habis dan harus pulang negeri masing-masing.
Apalagi, yang tidak punya beban kerja dan keluarga yang menunggu di Tanah Air. “Sedih rasanya harus meninggalkan Masjidil Haram,” ujar Monda.
Penyegaran iman. Begitulah. Sangat tepat jika perjalanan umrah disebut sebagai ‘perjalanan pencerahan rokhani’. Banyak kegelapan rokhani ataupun kegelapan iman yang lantas ‘tercerahkan’ setelah seseorang melakukan umrah, ibadah yang sering disebut ‘haji kecil’ ini.
Dalam bahasa AM Syaefuddin (tokoh Nahdlatul Ummah yang juga berumrah lewat Intan Tour), perjalanan umrah adalah perjalanan ‘penyegaran iman’. “Dengan Umroh kita mengembalikan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia,” katanya.
Umrah, kata AM Syaefuddin, sangat efektif sebagai penyegaran iman. “Kebutuhan spiritual ditumpahkan sekaligus setahun sekali selama sepuluh hari. Kita biasanya merasakan kepuasan batin yang luar biasa,” katanya.
Karena itu, ia menganggap, orang-orang sibuk yang hidup di kota besar sangat penting untuk menyempatkan diri berumroh. Makin sibuk seseorang, menurutnya, makin perlu berumroh setahun sekali, agar imannya tetap terjaga dan hubungannya dengan Tuhan tetap terpelihara.
Perjalanan wisata umrah
Ini mungkin paket wisata plus atau ibadah plus. Atau, menurut istilah Direktur Intan Tour, Abdul Mannan, ibadah berdimensi wisata. “Ini perjalanan ibadah berdimensi wisata atau wisata berdimensi ibadah, katanya.
Paket umrah Al-Hussam Makkah yang dilaksanakan melalui Intan Tour Jakarta itu memang penuh suasana wisata, walaupun tujuan utamanya tetap ibadah. Tinggal landas dari Bandara Sukarno-Hatta 23 Desember 1994 pukul 23.00 WIB dengan Boeing 767 Gulf Air, pesawat singgah sebentar di Singapura dan Moscat.
Dari Moscat, jamaah umrah (bersama para penumpang lain yang kebanyakan para TKI asal Madura) dibawa ke Bahrain untuk tukar pesawat. Mengisi waktu menunggu sekitar dua jam, para jamaah pun mulai shopping di kompleks pertokoan air port. Setidaknya, nonton berbagai komoditi yang dipamerkan di balik etalase, yang harganya rata-rata jauh lebih murah daripada di Jakarta. Sebuah kamera tele-zoom Canon yang di Jakarta seharga Rp 875 ribu, misalnya, di Bahrain hanya sekitar Rp 500 ribu atau sekitar 250 dolar AS.
Gulf Air pembawa jamaah umrah Intan Tour baru mendarat di bandara King Abdul Aziz Jeddah Sabtu 24 Desember pukul 16.00 WIB atau pukul 12.00 waktu setempat. Berarti, dengan rute dan transit tersebut, Jakarta–Jeddah ditempuh dalam waktu 17 jam, lebih lama enam jam dibanding penerbangan lain yang mengambil rute Singapura langsung Jeddah.
Menginap semalam di hotel Trident (bintang empat) sambil menyaksikan acara-acara TV yang syur, seperti TV Mesir yang menyajikan film tari perut atau Star TV yang menyajikan musik-musik pop India yang seronok (ada juga yang memanfaatkan waktu untuk shopping), pagi harinya rombongan dibawa dengan bus full AC ke Madinah. Dan, suasana wisata pun makin terasa.
Pemandangan-pemandangan menakjubkan terpampang hampir sepanjang jalan: bukit-bukit batu yang berjulangan menghitam di kana-kiri jalan, ceruk-ceruk bukit dengan oase dan gerombolan kambing, sungai-sungai kering dengan hanya beberapa genangan air, kebun-kebun korma di tengah hamparan padang batu, onta-onta di kaki bukit, burung-burung gagak yang bergerombol di pinggir jalan, dan apa saja yang bisa bersahabat dengan batu-batu.
Sampai di Madinah (setelah enam jam perjalanan) suasana keagaan tiba-tiba terasa amat kental. Sajian-sajian sekuler tak bisa lagi disaksikan di layar TV. Hanya siaran TV pemerintah Arab Saudi yang dapat disaksikan di kamar hotel. Apalagi, rombongan tinggal di hotel Al-Hussam yang berjarak hanya 100 meter dari Masjid Nabawi — sebuah masjid yang amat megah dengan tiang-tiang, kusen-kusen, lampu-lampu dan ornamen-ornamen indah yang bersepuh emas. Di pojok masjid inilah terdapat makam Nabi Muhammad saw yang selalu padat peziarah.
Semangat beribadah pun amat terasa. Tiap terdengar suara adzan, ribuan orang berbondong ke masjid untuk sholat berjamaah, meninggalkan kegiatan sehari-hari mereka. Semangat beribadah jamaah umroh pun tersulut seketika. Hampir tiap waktu sholat berjamaah tak terlewatkan. Dan, Intan Tour tetap memberi sentuhan wisata dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti Jabal Uhud (medan perang Uhud), pasar korma, masjid Qiblatain (tempat turunnya wahyu pemindahan kiblat sholat dari Masjidil Aqsa ke Ka’bah), Masjid Quba, Masjid Tujuh (lokasi perang Handak) dan percetakan Alquran. Acara wisata (bebas) lainnya adalah shopping dan jalan-jalan di pertokoan.
Tinggal di Madinah dua hari dalam suasana keagamaan yang kental, jamaah rasanya menjadi amat siap untuk melaksanakan ibadah umroh. Dan, berangkatlah jamaah ke Makkah 27 Desember langsung dengan pakaian ihram. Ibadah umroh dimulai dari Miqat Bir Ali. Suara talbiyah pun lantas menggema di dalam bus hampir sepanjang perjalanan (lima jam) ke Masjidil Haram.
Dua kali jamaah dipandu berumrah secara berombongan. Selebihnya, jamaah bebas berumrah sendiri. Ada yang umrah sampai delapan kali, ada yang lima kali, ada pula yang merasa cukup dua kali. Suasana beribadah terasa sangat kental. Apalagi, jamaah tinggal di Aziz Khogeer Palace yang hanya berjarak 50 meter dari pintu Masjidil Haram.
Tiap kesempatan shalat berjamaah hampir tak pernah terlewatkan. Namun, dimensi wisata tetap tak terlewatkan, dengan mengunjungi Jabal Noor (tempat Gua Hirak), Jabal Rahmah (Arafah), Mina, Jabal Soor (tempat persembunyian Nabi ketika akan hijrah ke Madina), pabrik Kiswah (kain penutup Ka’bah), dan tentu saja shopping di pasar seng.
Puas beribadah di Masjidil Haram, rombongan pertama pulang ke Jakarta 1 Januari 1995 dan rombongan kedua (para wartawan, anggota DPR dan tokoh masyarakat) baru meninggalkan Makkah 4 Januari 1995. Rombongan kedua masih sempat shopping lagi di Balad (Jeddah) dan tinggal semalam di Hotel Al-Kayyam Jeddah, dan baru terbang ke Jakarta malam hari 5 Januari 1995.
sumber IHRAM
Apa saja Paket Umrah yang ditawarkan oleh Umrah Umat? Klik di sini!