Tata Cara Mandi Junub Sesuai Tuntunan Rasulullah

Ketika seorang muslim junub, baik karena berhubungan atau mimpi, maka ia wajib mandi agar kembali suci. Berikut ini tata cara mandi junub sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits-hadits shahih:

1. Niat mandi wajib

Mulailah dengan niat mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar. Niat ini membedakan mandi wajib dengan mandi biasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Semua amal tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

2. Membersihkan kedua telapak tangan

Siram/basuhlah tangan kiri dan bersihkan dengan tangan kanan. Pun sebaliknya, siram/basuhlah tangan kanan dan bersihkan dengan tangan kiri. Ulangi tiga kali

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ فَبَدَأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا

“Dari Aisyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mandi karena junub, maka beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya tiga kali…” (HR. Muslim)

3. Mencuci kemaluan

Cuci dan bersihkan dari mani dan kotoran yang ada padanya serta sekitarnya

4. Berwudhu

Ambillah wudhu sebagaimana ketika hendak shalat

5. Membasuh rambut dan menyela pangkal kepala

Masukkan telapak tangan ke air, atau ambillah air dengan kedua telapak tangan (jika memakai shower), lalu gosokkan ke kulit kepala, lantas siramlah kepala tiga kali.

6. Menyiram dan membersihkan seluruh anggota tubuh

Pastikan seluruh anggota tubuh tersiram air dan dibersihkan, termasuk lipatan atau bagian-bagian yang tersembunyi seperti ketiak dan sela jari kaki.

Langkah ke-3 hingga ke-6, dalilnya adalah hadits-hadits berikut:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ

“Dari ‘Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mandi karena junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya, kemudian berwudlu sebagaimana wudlu untuk shalat, lalu memasukkan jari-jarinya ke dalam air dan menggosokkannya ke kulit kepala. Setelah itu beliau menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. Al Bukhari)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ حَتَّى إِذَا رَأَى أَنْ قَدْ اسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ

Dari Aisyah dia berkata, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi karena junub, maka beliau memulainya dengan membasuh kedua tangan. Beliau menuangkan air dengan tangan kanan ke atas tangan kiri, kemudian membasuh kemaluan dan berwudhu dengan wudhu untuk shalat. Kemudian beliau menyiram rambut sambil memasukkan jari ke pangkal rambut hingga rata. Setelah selesai, beliau membasuh kepala sebanyak tiga kali, lalu beliau membasuh seluruh tubuh dan akhirnya membasuh kedua kaki.” (HR. Muslim)

Demikian tata cara mandi junub sesuai tuntunan Rasulullah. Meskipun rukunnya hanya dua, yakni niat dan membasuh semua permukaan kulit serta rambut, hal-hal lainnya adalah sunnah. Yang jika kita mengamalkannya, insya-allah bukan hanya kita suci dari hadats besar, tetapi juga mendapatkan pahala karena mengikuti sunnah yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahu a’lam bish shawab.

 

[Muchlisin BK/bersamadakwah]

7 Hal yang Harus Diperhatikan Ketika ke “Belakang”

Islam mengatur dan memberikan solusi dalam segala hal. Holistik. Dari mulai ibadah, pemerintah dan masih banyak hal lainnya. Tak terkecuali dalam hal urusan ‘belakang’. Lalu apa saja yang harus diperhatikan ketika melakukan aktivitas internal seperti buang air kecil ataupun buang air besar?

1. Mencari tempat sepi ketika buang air besar atau kecil

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ الْخَطْمِيُّ عُمَيْرُ بْنُ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنِي الْحَارِثُ بْنُ فُضَيْلٍ وَعُمَارَةُ بْنُ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي قُرَادٍ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْخَلَاءِ وَكَانَ إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ أَبْعَدَ

Telah mengabarkan kepada kami Amru bin Ali dia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Al Khathmi Umair bin Yazid berkata; telah menceritakan kepada kami Al Harits bin Fudhail dan ‘Umarah bin Huzaimah bin Tsabit dari Abdurrahman bin Abu Qurrad dia berkata; “Aku pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke tempat yang sepi, apabila beliau ingin buang hajat, beliau menjauh.” (Sunan Nasa’i: 16)

أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا ذَهَبَ الْمَذْهَبَ أَبْعَدَ قَالَ فَذَهَبَ لِحَاجَتِهِ وَهُوَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَقَالَ ائْتِنِي بِوَضُوءٍ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ قَالَ الشَّيْخُ إِسْمَعِيلُ هُوَ ابْنُ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي كَثِيرٍ الْقَارِئُ

Telah mengabarkan kepada kami Ali bin Hujr Telah memberitakan kepada kami Ismail dari Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Al Mughirah bin Syu’bah, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke tempat (WC), beliau menjauh. Dia berkata, “Pernah Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pergi untuk buang hajat saat safar. Lalu beliau berkata, ‘Ambilkan air wudlu’. Aku segera mengambilkan air wudlu, beliau segera berwudlu dan membasuh kedua sepatunya (khuf).” Ini sebagaimana dikatakan Syaikh Ismail yaitu Ibnu Ja’far bin Abu Katsir Al Qori. (Sunan Nasa’i: 17)

2. Rukhsah tidak menyepi

أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَنْبَأَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ قَالَ أَنْبَأَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ شَقِيقٍ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ كُنْتُ أَمْشِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا فَتَنَحَّيْتُ عَنْهُ فَدَعَانِي وَكُنْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ حَتَّى فَرَغَ ثُمَّ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ

Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dia berkata; Telah memberitakan kepada kami Isa bin Yunus berkata; Telah memberitakan kepada kami Al A’masy dari Syaqiq dari Hudzaifah dia berkata: “Aku pernah berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika sampai di tempat pembuangan sampah suatu kaum, beliau kencing sambil berdiri, maka aku segera menjauh darinya. Beliau kemudian memanggilku, dan aku di belakangnya hingga beliau selesai. Beliau lalu berwudlu dan mengusap kedua sepatunya (khuf).” (Sunan Nasa’i: 18)

3. Bacaan ketika masuk wc

أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَنْبَأَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dia berkata; Telah memberitakan kepada kami Ismail dari Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas bin Malik dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila masuk WC, beliau membaca -doa-, ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan setan laki-laki dan setan perempuan.” (Sunan Nasa’i: 19)

4. Larangan menghadap kiblat ketika buang air besar atau kecil

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ وَاللَّفْظُ لَهُ عَنْ ابْنِ الْقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ رَافِعِ بْنِ إِسْحَقَ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ وَهُوَ بِمِصْرَ يَقُولُ وَاللَّهِ مَا أَدْرِي كَيْفَ أَصْنَعُ بِهَذِهِ الْكَرَايِيسِ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ أَوْ الْبَوْلِ فَلَا يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Salamah dan Al Harits bin Miskin dari Ibnu Qasim dia berkata; Telah menceritakan kepadaku Malik dari Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah dari Rafi’ bin Ishaq bahwasanya dia mendengar Abu Ayyub Al Anshari (beliau sedang berada di Mesir) dia berkata; “Demi Allah, aku tidak tahu cara memperlakukan WC-WC ini? padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian ingin buang air besar atau buang air kecil, jangan menghadap kiblat atau membelakanginya.” (Sunan Nasa’i: 20)

5. Larangan membelakangi kiblat ketika buang air besar atau kecil

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Manshur dia berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri dari ‘Atha bin Yazid dari Abu Ayyub Al Ansharibahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan kalian menghadap kiblat dan jangan membelakanginya ketika buang air besar atau buang air kecil, tetapi menghadaplah ke timur atau barat.” (Sunan Nasa’i: 21)

6. Perintah menghadap timur atau barat ketika buang hajat

أَخْبَرَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَنْبَأَنَا غُنْدَرٌ قَالَ أَنْبَأَنَا مَعْمَرٌ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَكِنْ لِيُشَرِّقْ أَوْ لِيُغَرِّبْ

Telah mengabarkan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim dia berkata; Telah memberitakan kepada kami Ghundar berkata; Telah memberitakan kepada kami Ma’mar berkata; Telah memberitakan kepada kami Ibnu Syihab dari Atha bin Yazid dari Abu Ayub Al Anshari dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bila salah seorang dari kalian ingin buang air besar, jangan menghadap kiblat, tetapi menghadaplah ke timur atau barat.” (Sunan Nasa’i: 22)

7. Rukhsah dalam hal ini ketika di rumah

أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنْ عَمِّهِ وَاسِعِ بْنِ حَبَّانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ لَقَدْ ارْتَقَيْتُ عَلَى ظَهْرِ بَيْتِنَا فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى لَبِنَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ لِحَاجَتِهِ

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa’id dari Malik dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Yahya bin Habban dari pamannya wasi’ bin Habban dari Abdullah bin Umar dia berkata; “Aku pernah naik ke atap rumah kami, lalu aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang buang hajat di atas dua batu bata dalam keadaan menghadap arah Baitul Maqdis.” (Sunan Nasa’i: 23)

 

Bersama Dakwah

Siapa Sebenarnya Nama Abu Bakar Ash-Shiddiq? (Bagian 2)

Dari Abu Bakar, banyak shahabat senior dan pemuka Tabi’in yang meriwayatkan hadits, yang riwayatnya berujung kepada Anas bin Malik, Thariq bin Syihab, dan Qais bin Abi Hazim, dan Murrah Ath-Thayyib.

Ibnu Abi Mulaikah dan lainnya mengatakan, nama asli Abu Bakar adalah Abdullah, adapun Atiq adalah gelar baginya.

Diriwayatkan dari Aisyah, putri Abu Bakar, dia mengatakan, “Nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya adalah Abdullah, namun lebih sering dipanggil Atiq.”

Ibnu Ma’in menuturkan, “Abu Bakar diberi gelar Atiq, karena wajahnya yang tampan.” Pendapat serupa juga disampaikan oleh Al-Laits bin Sa’ad.

Ada pula yang berpendapat, Abu Bakar adalah orang yang paling mengerti tentang nasab kaum Quraisy.

Ibnul Arabi menuturkan, “Ketika orang-orang menyifati seseorang yang sempurna dalam kebaikan dengan kata Atiq (antik).”

Abu Bakar dijuluki Atiq karena wajahnya yang tampan dan nasabnya yang baik. Abu Bakar memang berasal dari garis keturunan yang bersih dari cela.

Pada suatu kesempatan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sedang duduk bersama beberapa sahabat, tiba-tiba datang Abu Bakar. Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

Siapa yang suka melihat ‘Atiq (orang yang terbebas) dari api neraka, silakan melihat Abu Bakar.

Maka julukan itu pun menempel pada diri Abu Bakar dan dia terkenal dengan sebutan itu.

Selain gelar Atiq, Abu Bakar juga digelari dengan Ash-Shiddiq (orang yang selalu membenarkan).

Digelari demikian karena setiap kali Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengabarkan sesuatu, Abu Bakar selalu menjadi orang yang paling pertama membenarkan dan mengimaninya.

Abu Bakar sangat yakin bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya. Ia semakin terkenal dengan julukan itu setelah peristiwa Isra` Mi’raj.

Pada waktu itu sekelompok orang musyrik mendatanginya dan mempertanyakan,

“Apa pendapatmu tentang cerita temanmu itu? Ia mengaku telah diperjalankan tadi malam ke Baitul Maqdis.”

Abu Bakar balik bertanya, “Ia mengatakan itu?”

Mereka serempak mengiyakan. Abu Bakar berkata,

“Kalau begitu dia benar. Seandainya dia mengatakan hal yang lebih dari itu tentang kabar dari langit, saya pasti akan membenarkannya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang.” Karena itulah Abu Bakar dijuluki Ash-Shiddiq.

Abu Bakar adalah orang yang paling dermawan di kalangan shahabat nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dia rela mengeluarkan seluruh hartanya untuk Islam.

Abu Bakar sempat menikah dengan empat orang istri, yaitu Qutailah binti Abdul Uzza, Ummu Ruman binti Amir, Asma` binti Umais, dan Habibah binti Kharijah. Semoga Allah meridhainya dan meridhai shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang lain.

Demkian disarikan dari berbagai kitab sejarah. Semoga bermanfaat.

 

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Apa Hukum Menunda Ibadah Haji Bagi Seseorang yang Mampu?

Pernahkah Anda mendengar bahwa seorang muslim yang mampu, tapi tidak segera menunaikan ibadah haji dikategorikan perbuatan dosa? Benarkah hukum haji itu? Jika penasaran dan ingin tahu jawabannya, yuk simak sejenak ulasan berikut ini:

Haji adalah bagian dari rukun Islam. Bila seseorang sudah mampu, maka sangat diutamakan untuk segera menunaikan kewajibannya. Namun, dalam pelaksanaannya ada perbedaan pendapat dari para ulama.

Pendapat pertama menilai seseorang akan berdosa bila menunda haji, sedangkan dia mampu. Pendapat kedua justru memperbolehkan menunda hingga beberapa tahun, meski dia mampu. Dengan kata lain, para ulama berbeda pendapat menafsirkan sifat dari “kewajiban” melaksanakan ibadah haji.

Hukum Haji Tidak Boleh Menunda

Mazhab dari Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, dan Al-Hanabilah menegaskan bahwa haji wajib dikerjakan langsung, begitu seseorang telah memenuhi syarat wajib. Hal ini tidak boleh ditunda-tunda lagi.

Bila menundanya, maka termasuk dalam perbuatan dosa. Jika dikerjakan setelah menunda, hukum haji menjadi haji qadha dan dosanya terangkat. Pendapat ini didasari sejumlah dalil seperti:

  • Ancaman mati sebagai Yahudi atau Nasrani

مَنْمَلَكَزَادًاوَرَاحِلَةًتُبَلِّغُهُإِلَىبَيْتِاللَّهِوَلَمْيَحُجَّفَلاَعَلَيْهِأَنْيَمُوتَيَهُودِيًّاأَوْنَصْرَانِيًّا

“Orang yang memiliki bekal dan kendaraan yang bisa membawanya menunaikan ibadah haji ke Baitullah, tapi tidak melaksanakannya, maka jangan menyesal kalau mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani.”(HR. Tirmizy)

  • Segeralah berhaji sebelum tidak bisa melaksanakannya

حَجُّواقَبْلَأَنْلاَتَحُجُّوا

“Laksanakan ibadah haji sebelum kamu tidak bisa haji.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)

  • Tidak bisa mengetahui masa depan

تَعَجَّلُواإِلىَالحّجِّيَعْنيِالفَرِيْضَةِفَإِنَّأَحَدَكُمْلاَيَدْرِيمَايَعْرِضُلَهُ

“Bersegeralah kamu mengerjakan haji yang fardhu, karena kamu tidak tahu apa yang bakal terjadi.” (HR. Ahmad)

Mahzab Al Malikiyah menegaskan bahwa haji wajib dikerjakan langsung, begitu seseorang telah memenuhi syarat wajib.

 

Hukum Haji Boleh Menunda

Di sisi yang berbeda, beberapa ulama menjelaskan bahwa kewajiban melaksanakan haji boleh ditunda atau diakhirkan hingga waktu tertentu. Meski yang bersangkutan sudah mampu dan terpenuhi syarat wajib haji.

Bila haji segera dikerjakan hukumnya sunnah dan lebih utama. Sedangkan mengakhirkannya di waktu tertentu, hukumnya tidak berdosa. Asalkan alasan menunda dengan niat dan yakin akan melaksanakannya nanti. Namun bila tidak yakin, hukum menunda haji menjadi haram. Pendapat ini diperkuat oleh mazhab As-Syafi’iyah dan Imam Muhammad bi Al-Hasan. Beberapa dalil yang digunakan seperti:

  • Praktik Rasulullah SAW dan Para Sahabat

Rasulullah SAW dan 124 ribu sahabat dinilai juga menunda melaksanakan ibadah haji. Dari sejarahnya, sejak tahun keenam Hijriyah ayat yang berkaitan dengan melaksanakan ibadah haji sudah diturunkan. Namun, Nabi SAW dan 124 ribu sahabat baru mengerjakannya di tahun kesepuluh Hijriyah.

Dengan kata lain, ada penundaan sekitar empat tahun dan itu bukanlah waktu yang tergolong pendek. Rasulullah SAW sendiri termasuk sudah sangat mampu untuk berhaji sejak peristiwa Fathu Makkah di tahun kedelapan Hijriyah.

وَلِلَّهِعَلَىالنَّاسِحِجُّالْبَيْتِمَنِاسْتَطَاعَإِلَيْهِسَبِيلاًوَمَنْكَفَرَفَإِنَّاللَّهَغَنِيٌّعَنِالْعَالَمِينَ

“Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Siapa mengingkari, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam.” (QS. Ali Imran : 97)

  • Hadis tentang Larangan Menunda Lemah

Hadits-hadits yang melarang menunda ibadah haji memang tampak mengancam dan menyeramkan. Namun, menurut ulama yang membolehkan menunda, hadits tersebut lemah dan tidak shahih. Untuk itu, hadits-hadits tersebut tidak bisa dijadikan sandaran dalam berdalil.

Masing-masing pendapat memiliki dasar hukum haji. Sekarang, terserah pada Anda ingin mempercayai yang mana. Apapun pilihan Anda, sebaiknya tetap menghargai perbedaan dan menjaga perdamaian. Wallahua’lambishshawab dan semoga bermanfaat.

 

Umrah.Travel

Ancaman Bagi Orang yang Tidak Mau Haji

Apa hukum bagi orang yang tidak daftar haji padahal dia mampu.

Matur Nuwun

 

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Orang yang mampu berangkat haji dan dia sengaja tidak berangkat haji, atau memiliki keinginan untuk tidak berhaji maka dia melakukan dosa besar. Allah berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali Imran: 97)

Ketika menjelaskan tafsir ayat ini, Ibnu Katsir membawakan keterangan dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: مَنْ أَطَاقَ الْحَجَّ فَلَمْ يَحُجَّ، فَسَوَاءٌ عَلَيْهِ يَهُودِيًّا مَاتَ أَوْ نَصْرَانِيًّا، وَهَذَا إِسْنَادٌ صَحِيحٌ إِلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Bahwa Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, ‘Siapa yang mampu haji dan dia tidak berangkat haji, sama saja, dia mau mati yahudi atau mati nasrani.’

Komentar Ibnu Katsir, ‘Riwayat ini sanadnya shahih sampai ke Umar radhiyallahu ‘anhu.’

Kemudian diriwayatkan oleh Said bin Manshur dalam sunannya, dari Hasan al-Bashri, bahwa Umar bin Khatab mengatakan,

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنَّ أَبْعَثَ رِجَالًا إِلَى هَذِهِ الْأَمْصَارِ فَيَنْظُرُوا كُلَّ مَنْ كَانَ لَهُ جَدَّةٌ فَلَمْ يَحُجَّ، فَيَضْرِبُوا عَلَيْهِمُ الْجِزْيَةَ مَا هُمْ بمسلمين، ما هم بمسلمين

Saya bertekad untuk mengutus beberapa orang ke berbagai penjuru negeri ini, untuk memeriksa siapa diantara mereka yang memiliki harta, namun dia tidak berhaji, kemudian mereka diwajibkan membayar fidyah. Mereka bukan bagian dari kaum muslimin.. mereka bukan bagian dari kaum muslimin. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/85)

Belum Berhaji Hingga Mati

Orang yang mampu secara finansial sementara tidak berhaji hingga mati, maka dia dihajikan orang lain, dengan biaya yang diambilkan dari warisannya. Meskipun selama hidup, dia tidak pernah berwasiat.

Al-Buhuti mengatakan,

وإن مات من لزماه أي الحج والعمرة أخرج من تركته من رأس المال ـ أوصى به أو لا ـ ويحج النائب من حيث وجبا على الميت، لأن القضاء يكون بصفة الأداء

Apabila ada orang yang wajib haji atau umrah meninggal dunia, maka diambil harta warisannya (untuk badal haji), baik dia berwasiat maupun tidak berwasiat. Sang badal melakukan haji dan umrah sesuai keadaan orang yang meninggal. Karena pelaksanaan qadha itu sama dengan pelaksanaan ibadah pada waktunya (al-Ada’). (ar-Raudh al-Murbi’, 1/249)

Keterangan:

Yang dimaksud ’Sang badal melakukan haji dan umrah sesuai keadaan orang yang meninggal

bahwa sang badal melaksanakan haji atau umrah sesuai miqat si mayit. Jika mayit miqatnya dari Yalamlam, maka badal juga harus mengambil miqat Yalamlam.

Miqat Boleh Beda

Al-Buhuti mempersyaratkan, miqat orang yang menjadi badal haji harus sama dengan miqat mayit. Namun beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa miqat tidak harus sama. Dalam Hasyiyah ar-Raudh dinyatakan,

وقيل: يجزئ من ميقاته، وهو مذهب مالك، والشافعي، ويقع الحج عن المحجوج عنه

Ada yang mengatakan, badal haji boleh dari miqatnya sendiri. Ini pendapat Malik dan as-Syafii. Dan hajinya sah sebagai pengganti bagi orang yang dihajikan. (Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’, 3/519).

Dalam al-Mughni Ibnu Qudamah menyebutkan pendapat kedua ini,

ويستناب من يحج عنه حيث وجب عليه، إما من بلده أو من الموضع الذي أيسر فيه، وبهذا قال الحسن وإسحاق

Dia dibadalkan oleh orang berhaji atas namanya sesuai kondisinya. Baik berangkat dari negerinya (mayit) atau dari tempat manapun yang mudah baginya. Ini adalah pendapat Hasan al-bashri dan Ishaq. (al-Mughni, 3/234).

Dan insyaaAllah pendapat kedua inilah yang lebih mendekati kebenaran. Karena inti yang diinginkan adalah hajinya, bukan usaha keberangkatan hajinya. Demikian keterangan Imam Ibnu Utsaimin.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/23443-ancaman-orang-yang-tidak-mau-haji.html

Siapa Sebenarnya Nama Abu Bakar Ash-Shiddiq?

Siapa yang tidak kenal dengan sosok Abu Bakar, khalifah pertama dalam Islam yang menjalankan pemerintahan dengan minhaj nubuwwah (metode kenabian).

Ia adalah khalifah pertama yang memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. Namun, tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya nama Abu Bakar itu.

Dalam kebiasaan orang-orang Arab, mereka memulai namanya dengan kun-yah (julukan) yang disandarkan kepada anak pertama atau anak laki-laki yang pertama.

Misalkan, jika anak pertama adalah Aisyah, biasaya seseorang dijuluki Abu Aisyah (bapaknya Aisyah) atau Ummu Aisyah (ibunya Aisyah). Jika anak kedua adalah laki-laki, sebutlah namanya Hamid, maka kedua suami istri dijuluki Abu Hamid dan Ummu Hamid.

Kita kembali kepada tokoh Islam yang kita bahas sekarang yakni Abu Bakar. Abu Bakar, secara bahasa artinya ayahnya Bakar. Apakah di antara anaknya ada yang bernama Bakar?

Setelah diteliti dalam sejarah, Abu Bakar dikaruniai enam orang anak, tiga putra dan tiga putri.

Para putranya bernama Abdullah, Abdurrahman, dan Muhammad, sementara yang putri adalah Aisyah ummul mukminin, Asma` si pemilik dua ikat pinggang, dan Ummu Kultsum yang lahir beberapa saat setelah Abu Bakar wafat.

Tidak ada yang bernama Bakar. Lalu Bakar anak siapa? Kita kembali kepada kebiasaan orang Arab juga. Seseorang boleh dijuluki dengan selain nama anaknya.

Hal ini disebutkan dalam kitab Tuhfah Al-Maulud, yang dikarang oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, yang mana dia mengatakan,

“Seseorang yang sudah punya anak boleh menjuluki namanya dengan selain nama anaknya.

Abu Bakar tidak mempunyai anak bernama Bakar, Abu Hafsh Umar juga tidak mempunyai anak bernama Hafsh, Abu Dzar Ibnul Mundzir tidak punya anak bernama Dzar, Abu Sulaiman Khalid pun juga tidak punya anak bernama Sulaiman, begitu pula halnya dengan Abu Salamah.

Masih banyak contoh lainnya dalam sejarah. Jadi, seseorang tidak mesti diberi kun-yah dengan nama anaknya.”

Nama lengkap Abu Bakar adalah Abdullah bin Abu Quhafah Utsman bin Amir bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu`ay bin Ghalib Al-Qurasyi At-Taimi, yang lebih dikenal dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq bin Abu Quhafah.

 

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Masyarakat Diminta tak Mudah Tertipu Tawaran Pengajuan Percepatan Keberangkatan

Calon jamaah haji (calhaj) Indonesia diminta untuk berhati-hati tidak mudah tertipu ajakan-ajakan menjelang pelunasan BPIH. Terlebih, atas oknum-oknum yang mengajukan percepatan keberangkatan.

“Jangan sampai jamaah tertipu, biasanya terkait pelunasan ada ajakan oknum-oknum yang menawarkan bisa mengajukan percepatan keberangkatan tahun ini,” kata Kasubdit Pendaftaran Haji Kemenag, Noer Aliya Fitra yang akrab disapa Nafit tersebut kepada Republika.co.id, Senin (17/4).

Ia menerangkan, masyarakat bisa megecek di website kemenag.go.id, yang sudah terpampang daftar jamaah yang telah berhak lunasi dari masing-masing provinsi. Selain itu, masyarakat dapat menghubungi Kemenag Kabupaten atau Kota setempat.

Nafit menuturkan, lewat cara-cara itu masyarakat sudah bisa memastikan sendiri, nama-nama jamaah yang sudah boleh lunasi BPIH reguler. Karenanya, dia mengimbau, masyarakat yang sudah terdaftar dapat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.

“Jika ada yang menawarkan pengajuan percepatan keberangkatan, segera hubungi Kemenag Kabupaten atau Kota,” ujar Nafit.

Terkait itu, ia menekankan untuk bisa mengajukan percepatan keberangkatan, harus dikoordinasikan dengan Kabupaten/Kota. Itupun, dengan alokasi yang sudah ada seperti untuk suami istri yang tepisah, atau lansia dengan minimal usia.

 

REPUBLIKA

Berburu Zamzam Pakai Botol di dalam Masjidil Haram

Siapa yang tak kenal Air Zamzam? Air berkhasiat bagi umat manusia tersebut telah hadir sejak zaman Nabi Ibrahim AS, yang hingga kini masih mengalir tiada berkurang sedikit pun, bahkan bertambah meski telah diminum manusia yang tak terhitung jumlahnya.

Air Zamzam menjadi pilihan utama bagi semua jamaah yang berkunjung di Masjidil Haram, Makkah maupun di Masjid Nabawi, Madinah. Pihak masjid menyediakan air Zamzam dengan kran mulai dari pintu masuk gerbang masjid hingga di dalam masjid.

Jamaah haji dan umrah dari berbagai dunia, takkan melewatkan air zamzam tatkala pulang ke rumahnya setelah beribadah umrah dan haji. Jamaah umrah yang hadir setiap hari di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram yang jumlahnya selalu padat merayat dapat dinyakini meminum air zamzam saat masuk dan keluar masjid.

Untuk lebih afdal ketika pulang ke rumah, banyak jamaah sengaja menyediakan botol-botol air meniral dengan berbagai ukuran, untuk diisi air zamzam asli dari kran yang telah disediakan. Setiap melaksanakan shalat lima waktu, jamaah berburu air Zamzam untuk disimpan dalam botol air mineral.

Jumlah jamaah umrah memasuki bulan Rajab hingga Senin (17/4) semakin membeludak, terutama dari Indonesia. Sangat kentara sekali kalau jamaah berasal dari Indonesia. Setiap ke masjid selalu membawa kantong plastik berisi botol-botol air mineral kosong. Setelah shalat botol-botol sudah penuh air Zamzam.

Usman, salah seorang jamaah umrah Indonesia dari biro perjalanan haji dan umrah PT Nur Rani Al-Waali (NRA) berencana membawa pulang botol-botol kemasan berisi air mineral sebanyak delapan botol ukuran 600 mililiter.

“Saya sengaja menyediakan setiap pergi shalat ke masjid bawa satu-dua botol untuk diisi air Zamzam,” kata Usman.

Kalau Usman berburu air Zamzam baik di Madinah maupun di Makkah di sembarang tempat kran air baik di dalam maupun luar masjid. Sedangkan Husni, berbeda lagi. Ia ingin berburu air Zamzam khusus yang berada dalam gentong di dalam masjid dengan berbagai alasan yang dibuatnya.

“Kalau di dalam masjid di dalam gentongnya boleh jadi asli dari sumurnya, tapi kalau yang di luar belum tentu karena bebas mengambilnya,” kata Husni jamaah umrah lainnya.

Di Masjidil Haram, Makkah, jamaah mengambil air dalam dimasukkan ke dalam botol selalu kucing-kucingan dengan askar yang berjaga dan berpatroli di dalam masjid. Berdasarkan pantauan Republika.co.id, para jamaah yang akan mengambil air zamzam telah membawa kantong berisi botol didahuli dengan minum pakai gelas. Setelah aman dari petugas, mereka memasukkan air dalam gelas dimasukkan ke botol satu persatu hingga penuh.

“Kalau ketahuan pakai botol diusir askar. Jadi harus sembunyi-sembunyi,” ujar Rima, salah seorang jamaah umrah Indonesia.

Ustaz Jaswadi, pembimbing jamaah umrah (mutowwif) dari NRA mengatakan, saat ini, alat yang berada di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah sudah canggih. Jadi, menurut dia, tidak perlu lagi jamaah harus melilitkan lakban berwarna coklat di botol air mineral, tujuannya agar tidak terdeteksi alatnya.

“Sekarang sudah canggih, bukan seperti dulu lagi botol-botol berisi air Zamzam diselimuti lakban, pasti ketahuan,” ujarnya Jaswadi kepada Republika.co.id.

Ia menyarankan jamaahnya agar membawa botol-botol ukuran sedang paling banyak delapan botol saja, dimasukkan di tas tangan yang dibawa ke kabin pesawat, bukan ke dalam tas koper besar di bagasi.

“Kalau pun tidak boleh, langsung ditinggal saja botol dalam tas ‘jinjingan’. Tapi kalau dalam tas koper, bisa disuntik untuk mengeluarkan airnya, isi tas jadi basah,” katanya.

 

sumber: IHRAM

Doa Terkabul tapi Si Pendoa Tak Siap Menerimanya

DALAM Al Hikam, Ibn ‘Athaillah As Sakandari mengisahkan sebuah munajat yang diijabah Allah, tetapi sang pendoa yang justru tak siap akannya. Seorang ahli ‘ibadah berdoa memohon pada Allah agar setiap hari dikaruniai 2 potong roti, segelas air, dan segelas susu tanpa harus bekerja, sehingga dengannya, dia dapat dengan tekun beribadah kepada Allah. Dalam bayangannya, jika tak berpayah kerja mengejar dunia, ‘amal ketaatannya akan lebih terjaga.

Maka Allah pun mengabulkan doanya dengan cara yang tak terduga. Tiba-tiba dia ditimpa fitnah dahsyat yang membuatnya harus dipenjara. Allah takdirkan bahwa di dalam penjara dia diransum 2 potong roti, segelas air dan segelas susu setiap hari tepat seperti pintanya. Dan tanpa bekerja. Maka diapun luang dan lapang beribadah. Tapi apa yang dilakukan Sang Ahli Ibadah? Dia sibuk meratapi nasibnya yang terasa nestapa. Masuk penjara begitu menyakitkan dan penuh duka. Dia tak sadar, bahwa masuk penjara adalah bagian dari terkabulnya doa yang dipanjatkan sepenuh hati. Rasa nestapa menutup keinsyafannya.

Apa pelajaran yang kita ambil dari kisah doa sang ‘Abid ini? Wallaahu a’lam bish shawaab. Pertama: hati-hatilah dalam berdoa dan meminta. Sungguh boleh meminta apapun, memohon serinci bagaimanapun, dengan ucapan dan bahasa terserah kita. Tapi doa yang baik tetap ada adabnya. Di antara doa terbaik telah Allah ajarkan dengan firmanNya, atau tersebut dalam kisah tentang hambaNya yang shalih dalam Al Quran. Doa terbaik juga telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui sabdanya, atau melalui apa yang terkisah dalam perjalanan hidupnya nan mulia. Maka berdoa dengan apa yang telah mereka tuntunkan adalah lebih utama, mengungguli segala bentuk doa apapun selainnya.

Pelajaran kedua; Allah lebih tahu dibanding kita tentang apa yang terbaik bagi kita. Maka mintalah yang terbaik dari Allah. Setiap pengabulan doa selalu diikuti konsekuensinya. Maka jika kita meminta yang terbaik, semoga Allah bimbing juga untuk menghadapinya. Dan karena pengabulan doa diikuti konsekuensi; meminta ‘hasil’ biasanya melahirkan kebuntuan; tapi meminta ‘sarana’ membuka jalan baru. Berdoa minta karunia yang menghiasi jiwa; keimanan, kesabaran berlipat, kemampuan berdzikir, bersyukur, serta beribadah; lebih indah daripada meminta benda-benda.

Pelajaran ketiga; sebab Allah Maha Tahu; doa bukanlah cara memberitahuNya akan apa yang kita hajatkan. Doa itu bincang mesra padaNya. Maka teruslah berbincang mesra; hingga bukan hanya isi doanya, melainkan berdoa itu sendirilah yang menjadi kebutuhan dan deru jiwa kita. “Belumlah menjadi hamba sejati”, tulis Ibn ‘Athaillah, “Hingga kita lebih menikmati kemesraan dengan Sang Maha Pemberi, daripada sekedar pemberianNya.” Pelajaran keempat; sungguh seringkali banyak pinta kita telah dikabulNya, tapi kita terhijab darinya. Hijab itu tersebab masih adanya prasangka buruk pada Allah, kurangnya syukur, dan ketidaktepatan doa yang melahirkan ketaksiapan hadapi paket pengabulannya.

Selamat berdoa ya Shalih(in+at), doa dengan sebaik-baik adab, seindah-indah pinta, semesra-mesra suasana, setunduk-tunduk jiwa. Dan selamat bekerja, karena kerja adalah doanya anggota badan kita. [IG Ustaz @salimafillah]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2372274/doa-terkabul-tapi-si-pendoa-tak-siap-menerimanya#sthash.jkWlay8Y.dpuf

Lima Syarat Ini Membolehkan Anda Berbuat Dosa

SUNGGUH, apa pun yang telah, sedang dan bakal terjadi adalah bagian dari kehendak Allah. Tak ada daya maupun upaya makhluk untuk melawan atau mengelak dari kehendak dan kodrat-Nya. Tak ada atom atau partikel sekecil apapun yang bisa lolos dari kedaulatan mutlak pemerintahan Allah.

Siapa saja yang merasa mampu menipu atau lolos dari kehendak Ilahi sesungguhnya telah kehilangan akal sehat dan terjerat oleh ego. Iblis yang paling pendusta dan penipu sekali pun sudah mengakui berlakunya kehendak Allah dalam segala sesuatu di hadapan Baginda Nabi Muhammad. Makhluk terkutuk itu berkata, “Wahai Utusan Allah, aku hanya ingin kau tahu bahwa Allah menciptakanmu untuk memberi petunjuk, tapi kau sendiri tidak bisa memberikannya kepada seseorang; lalu Allah menciptakanku untuk menyesatkan, tapi aku sendiri tidak bisa menyesatkan.”

Allah menjalankan pemerintahan alam wujud ini tanpa saingan dan sandingan. Dia melakukan segalanya tanpa pertanggungjawaban. Allah berfirman, “Dia (yaitu Allah) tidak akan ditanya mengenai apa yang dilakukan-Nya, namun merekalah yang akan ditanya (QS 21: 23).

Suatu kali cucu Nabi, Hussein bin Ali melihat seseorang datang menemui ayahnya, Ali bin Abi Thalib dan berteriak, “Aku adalah pendosa, tapi aku sulit menepis rangsangan untuk melakukannya lagi. Berilah aku nasihat.”

Ali menasihatinya dengan perkataan berikut, “Bila kau bisa beroleh lima prasyarat ini, lakukan dosa sesuka hatimu:

  • pertama, berhentilah mengambil rezeki yang disediakan oleh Allah;
  • kedua, keluarlah dari kerajaan Allah;
  • ketiga, carilah tempat yang Allah tidak lihat;
  • keempat, satukan daya untuk mencegah malaikat kematiaan mencabut nyawamu; dan
  • kelima, kumpulkan kekuatan untuk melawan Malik, malaikat yang menjaga pintu neraka, agar dia tidak melemparmu ke dalamnya. Jika kau sempurnakan kelima prasyarat ini, berdosalah sesukamu.” [islamindonesia]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2373124/lima-syarat-ini-membolehkan-anda-berbuat-dosa#sthash.VjUzLxHs.dpuf