Arisakti Prihatwono, atau biasa dipanggil Nico, kadang masih tak percaya gerakan kecil yang ia buat bersama dua kawannya, Hadi Salim dan Iman Rivani, kini berdampak besar. Semua berawal dari kekhawatiran ketiganya melihat kondisi masjid atau musala yang kerap sepi pada waktu Subuh. Paling banyak, menurut Nico, masjid diisi bapak-bapak bahkan orang sepuh. “Mas Didot ini yang mengawali. Dia ajak kami buat memanggil orang untuk rutin melaksanakan salat subuh di masjid,” tutur Nico kala dijumpai di kawasan Cawang, Rabu, 7 Juni 2017 lalu.
Kegiatan yang digagas mereka bertiga adalah menantang para netizen untuk melakukan salat subuh berjemaah di masjid selama 40 hari berturut-turut lewat akun Twitter @PejuangSubuh. Didot–panggilan akrab Hadi Salim, menurut Nico, seorang mualaf. Meski sudah cukup lama memeluk Islam, Didot masih suka menikmati dunia gemerlap. Klub malam sering ia kunjungi. “Mas Didot dan Iman ini dulunya anak dugem,” Nico mengungkapkan. Belakangan keduanya lebih banyak beribadah.
Tiga orang ini ingin menularkan pengetahuan mengenai banyaknya manfaat yang bisa dipetik dari salat subuh berjemaah. Sayangnya, kata dia, masih banyak orang yang sulit melaksanakannya dengan berbagai alasan.
Orang-orang yang terpanggil ajakan @pejuangsubuh ini, Nico menjelaskan, bukan orang-orang yang paham ilmu agama. Kebanyakan mereka adalah orang yang ingin memperbaiki diri, bukan berasal dari kalangan santri yang ditempa ilmu agama. Ada mantan pengguna narkoba, ada yang pernah salah pergaulan dan nyaris berpindah agama, serta banyak kisah lainnya.
Program 40 hari salat subuh tanpa putus sekilas mudah, tapi sulit untuk diterapkan. Ada saja kendala yang bisa dihadapi setiap orang. “Perjuangan untuk konsisten penuh 40 hari itu susah, loh,” kata Nico. Dibentuk pada Agustus 2012, kini jumlah pengikut akun Twitter Pejuang Subuh sudah mencapai 208 ribu akun. Di daerah-daerah, gerakan ini lantas berbuah jadi gerakan nyata untuk saling mengingatkan di jalan kebaikan.
Gerakan tersebut punya misi bertahap. Pertama, mereka ingin bisa membangunkan orang yang belum salat subuh sebanyak mungkin. Lalu tahap berikutnya adalah menjaga mereka agar selama 40 hari tak terputus melaksanakan salat subuh. “Setelah salat tak terputus, kami menjaga dalam satu wadah agar perlahan bisa masuk ke dunia dakwah sesungguhnya.”
Jalan berhijrah tak hanya terbuka lewat merutinkan ibadah berjemaah. Cerita lain dialami Febrianti Almeera. Melalui blog pribadinya, alumnus Universitas Pendidikan Indonesia ini sempat menjalani berbagai profesi di dunia hiburan sejak usia belasan tahun. Ia pernah menjadi penyanyi kafe, penari, penyiar radio, dan tenaga pemasaran perusahaan pakaian indie. Dunianya dekat dengan kehidupan hura-hura. Memasuki tahun 2010, ia mulai berubah. Orang mengenalnya sebagai pencetus “muslimah hijrah”.
Menurut dia, “muslimah hijrah” adalah sebutan bagi para perempuan yang tidak terlahir langsung taat menjalani kegiatan agama, tapi menempuh jalan kehidupan yang berliku dan penuh pencarian, sampai menemukan satu titik balik untuk berubah memperbaiki diri. Setelah berhijrah, perempuan yang akrab dipanggil Pepew ini pun mendirikan komunitas Great Muslimah. Komunitas tersebut dibangun sebagai wadah pengembangan diri bagi para muslimah hijrah dengan mengusung tagline Syar’i Berprestasi Menginspirasi. Great Muslimah pun memanfaatkan berbagai media sosial, seperti Fans Page Facebook, Twitter, grup WhatsApp, dan Instagram untuk meluaskan informasi.
Menurut Anita Triani, President Committee Great Muslimah, komunitas tersebut bertujuan untuk menjadi sosok yang berusaha berpikir dan bertindak sesuai syariat. Menjadi perempuan berprestasi yang bisa mengoptimalkan potensi sesuai perintah agama serta menginspirasi dan bisa bermanfaat di banyak lini. “Ini wadah muslimah hijrah yang ingin mendapatkan lingkungan yang lebih positif untuk saling mengingatkan dan menguatkan dalam ketaatan,” ujar Anita.
Berada di dunia keartisan kerap membuat Meyda Sefira mendapat pertanyaan mengenai cara terjun ke dunia hiburan. Ia pun menuliskan memoar kehidupannya dalam sebuah buku berjudul Hujan Safir untuk menjawab pertanyaan tersebut. Berlanjut dari buku itu, Meyda menggagas sebuah komunitas untuk mengakomodasi kebutuhan para perempuan yang ingin mengaktualisasikan diri mereka.
Dibentuk pada 2014, komunitas ini melakukan banyak kegiatan. Beberapa di antaranya mengadakan kajian ilmu membahas berbagai hal, dari pembahasan agama sampai sejarah, serta menggelar diskusi, seminar, dan kegiatan lainnya. Anggota komunitas ini terdiri atas berbagai latar belakang dan profesi.
Tujuan komunitas ini adalah menjadi wadah para perempuan agar bisa berkembang, menjadi perempuan independen, memiliki kehidupan yang bahagia, serta bermanfaat bagi umat. “Saya pun ingin kami bisa mencerminkan akhlak muslim yang baik. Sebab, Rasul diutus untuk memperbaiki akhlak,” tutur Meyda. ***
AISHA SHAIDRA/TEMPO