Suatu hari, Harun al-Rasyid pergi berburu. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang yang bernama Buhlul. Lalu, Harun berkata, “Berilah aku nasihat, wahai Buhlul!” Laki-laki itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, di manakah bapak dan kakekmu, sejak Rasulullah hingga bapakmu?” Harun menjawab, “Semuanya telah mati.” Di mana istana mereka?” tanya Buhlul. “Itu istana mereka,” jawab Harun. “Di situ istana mereka, dan di sini kuburan mereka. Bukankah sekarang istana itu sedikit pun tidak memberi manfaat bagi mereka?” tanya Buhlul.
“Kamu benar. Tambahlah nasihatmu, wahai Buhlul!” kata Harun. “Wahai Amirul Mukminin, engkau diberi kekuasaan atas perbendaharaan Kisra dan diberi umur panjang. Lalu, apa yang bisa kau perbuat? Bukankah kuburan adalah terminal akhir bagi setiap yang hidup, kemudian engkau akan disidang tentang berbagai masalah?” “Tentu,” jawab Harun.
Setelah itu al-Rasyid pulang dan jatuh sakit. Setelah beberapa hari sakit, sampailah ajal menjemputnya. Pada detik-detik terakhir kehidupannya, ia berteriak, “Kumpulkanlah semua tentaraku.” Maka, datanglah mereka ke hadapan Harun al-Rasyid, lengkap dengan pedang dan perisai. Saking banyaknya sehingga tak ada yang tahu jumlahnya kecuali Allah. Semuanya berada di bawah komandonya. Mereka melihat Harun menangis sambil berkata, “Wahai Zat yang tidak pernah kehilangan kekuasaan, kasihanilah hamba-Mu yang telah kehilangan kekuasaan ini.”
Tangisan itu tak berhenti hingga ajal mencabut nyawanya. Itulah sepenggal kisah yang memberikan pelajaran (ibrah) berharga kepada kita tentang nasihat kematian. Bahwa kematian tidak pilihpilih, anak kecil atau dewasa, muda atau tua, laki atau perempuan, kaya atau miskin, dan pejabat atau rakyat.
Kematian akan menyambangi siapa saja yang bernyawa (QS Ali Imran [3]:185). Tidak ada tawar-menawar, setiap orang memiliki ja tahnya masing-masing (QS al-A’raf [7]: 34). Karena itu, Nabi SAW memerintahkan kepada kita agar selalu mengingat dan menyiap kan bekal untuk menghadapi kematian (HR Nasa`i, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Ibnu Majah).
Ad-Daqqaq RA berkata, “Barang siapa yang banyak mengingat mati, ia diberi kemuliaan dengan tiga perkara: segera bertobat, hati bersifat qanaah, dan rajin dalam beribadah. Barang siapa yang lupa terhadap mati, ia disiksa dengan tiga perkara: menunda-nunda tobat, tidak ridha dengan menahan diri dari meminta, dan malas dalam beribadah.”
Alquran telah menjelaskan akan datangnya kematian dengan berbagai kondisi. Antara lain, kematian bersifat memaksa dan siap menghampiri manusia meskipun ia berusaha menghindari risiko kematian (QS Ali Imran [3]: 154).
Kematian akan mengejar siapa pun meskipun ia berlindung di balik benteng yang tinggi dan kokoh (QS an-Nisa [4]: 78), kematian mengejar siapa pun meskipun ia lari menghindar (QS al-Jumu’ah [62]: 8), kematian datang secara tiba-tiba (QS Luqman [31]: 34), dan kematian telah ditentukan waktunya, tidak dapat ditunda atau dipercepat (QS al-Munafiqun [63]: 11).
Terkait dahsyatnya kematian (sakaratul maut), Nabi SAW bersabda, “Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang.” (HR Tirmidzi). Dalam hadis lain, “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutra. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutra yang tersobek?” (HR Bukhari).
Dalam atsar (pendapat) para sahabat Nabi SAW. Seperti Ka’ab al-Ahbar berpendapat: “Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan ke dalam perut seseorang. Lalu, seorang laki-laki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itu pun membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa.”
Kemudian, Imam Ghozali berpendapat: “Rasa sakit yang dirasa kan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke selu ruh anggota tubuh sehingga bagi orang yang sedang sekarat merasa kan dirinya ditarik-tarik dan dicerabuti dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit kepala hingga kaki.” Semoga kita dapat meraih husnul khatimah. Amin.