Umair bin Wahb adalah seorang pahlawan Quraisy yang gagah berani dan ditakuti karena kecerdikannya. Dia berasal dari Kabilah Jamh dan sangat loyal pada kelompoknya bahkan sempat berencana untuk membunuh Rasulullah. Namun ketika hendak melaksanakan rencananya tersebut, Allah memberi hidayah kepadanya dan dia segera masuk Islam.
Sejarah tidak banyak menyebutkan tentang masa kecil Umair hanya menyentuh kehidupannya sebagai seorang remaja yang mempunyai kekuatan dan kedewasaan dalam berpikir. Pendapat-pendapatnya selalu dibenarkan orang-orang yang berpengaruh dalam kabilahnya. Tidak hanya itu sejarah menyebutkan tentang langkah dan kejutan yang dibuatnya serta kemahirannya dalam renang.
Dalam buku yang berjudul “Kasatria Pilihan di Sekitar Rasulullah” karya Abdurrahman Umairah dikisahkan bahwa kecepatan Umair bin Wahb dapat mengimbangi kecepatan burung yang terbang. Kecepatannya dapat mengalahkan kecepatan dua kuda yang menarik gerobak, dan kemampuannya dalam berenang dapat mengikuti kecepatan ikan berenang. Maka, diwaktu sore kepulangannya ke rumah, dia kerap membawa hewan buruannya seperti burung dan ikan laut.
Ketika masih dalam keadaan kafir, dirinya mendengar seorang pemuda keturunan Abdul Muthalib (Muhammad bin Abdullah) menghina patung dan berhala serta menyeru kepada umat manusia untuk beribadah kepada Allah SWT. Maka, orang-orang Quraisy termasuk dirinya bertekad memerangi Muhammad dan para pengikutnya.
Menjelang perang Badar orang-orang kafir Quraisy tak terkecuali Umair keluar dengan peralatan perang yang lengkap untuk menghancurkan umat Islam. Mereka berjalan sampai ke air Badar. Namun, umat Islam telah mendahului mereka di tempat tersebut dan menguasainya. Kemudian mereka melakukan pengintaian tenntang jumlah pasukan dan kekuatan lawan. Di antara anggota dan pasukan pengintaian tersebut adalah Umair.
Sekembalinya Umair, dirinya menjelaskan hasil pengintaiannya, “Aku telah menaiki lembah tersebut dan tidak menemukan kekuatan sama sekali pada pasukan Muslim.”
Mereka yang mendengarkannya bertanya, “Berapa jumlah personil perang mereka? Umair menjawab, “ Mereka tidak lebih dari 300 personil. Kalaupun lebih hanya sedikit sekali, 70 pasukan unta dan dua orang pasukan berkuda.”
Mereka berteriak, “Kamu pasti dapat merampas senjata dan tanah akan dibanjiri dengan darah.” Mendengar yel-yel tersebut Umair berkata, “Wahai kaumku, aku melihat cita-cita yang mendatangkan kematian.”
Dia terdiam sejenak kemudian berkata, “Kami akan menyusuri Yastrib dengan penuh kematian. Satu umat yang tidak mempunyai perisai kecuali pedang (umat Islam). Bukankah, kamu dapat menyaksikan seorang tuna wicara? Tapi mereka dapat menyusuri kematian itu. Aku tidak melihat satu pasukan mereka kecuali satu personil pasukan kita yang terbunuh.”
Namun, Hakim bin Hizam mengatakan, kepada bangsanya untuk sebaiknya kembali ke Makkah saja. Kemudian pernyataan tersebut dibenarkan oleh Syaibah dan Utbah. Kedua orang itu adalah termasuk orang saleh. Keduanya mengingatkan pasukan Quraisy untuk kembali ke Makkah. Utbah berkata, “Janganlah kalian menolak nasihatku ini dan jangan meremehkannya.”
Namun di lain sisi, ketika Abu Jahal mendengar perkataan Utbah tersebut, dia terus menghasut orang-orang kafir Qurasiy untuk menyerukan peperangan. Orang-orang kafir Quraisy merasa mereka berada di atas angin. Namun, kenyataannya Allah memberikan kemenangan mutlak di pihak muslim pada perang tersebut.
Allah menurunkan firman-Nya dalam surat Ali Imran (3): 123-126, “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu (ketika itu) adalah orang-oranng yang lemah (keadaan kaum muslimin lemah karena jumlah mereka sedikit dan perlengkapan mereka kurang mencukupi). Karena itu, bertawakalah kepada Allah supaya kamu menysukurinya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang-orang mukmin, ‘Apakah tidak cukup bagimu Allah membantumu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?” Tentu (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa, dan mereka datang menyerangmu dengan serta merta, niscaya Allah membantumu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenanganmu) dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Kekalahan itu membuat Umair dan lainnya, kembali dengan membawa kesedihan yang mendalam. Terlebih Umair karena buah hatinya yang bernama Ahb bin Umair ditawan oleh umat Islam. Dirinya gelisah hingga tidak dapat menguasai diri untuk bersabar dan berlaku bijak. Begitu pula halnya dengan Sofwan bin Umayyah, sebab ayahnya terbunuh dalam perang Badar. Sufyan berkata, “Tidak ada kebaikan sedikit pun setelah perang Badar.”
Umair menanggapi perkataanya, “Jika aku tidak mempunyai agama dan keluarga, niscaya aku keluar untuk membunuh Muhammad.”
Sofwan bertanya, “Bagaimana mungkin kau bisa membunuhnya?” Umair menjawab, “Sesungguhnya aku masih memiliki hubungan keluarga (di antara umat islam) dengan mereka dan putraku di tawan.”
Mendengar ucapan kawannya tersebut Sofyan melihat jalan untuk dapat membalas dendam. Kemudian dia berkata pada Umair, “Agamamu adalah agamaku dan keluargamu adalah keluargaku. Aku akan membantu mereka selama mereka berada di sana.” Umair menjawab, “Rahasiakan rencana kita ini.”
Maka ketika bekal perjalanannya sudah siap, dia segera pergi ke Yastrib, mengendalikan kudanya bagaikan angin bertiup kencang. Dalam hatinya dia berharap pedangnya dapat memberi kenangan tersendiri, yakni membunuh Muhammad bin Abdullah. Tidak berapa lama kemudian kaki kudanya telah menginjak kota Madinah dan menerbangkan debu-debunya.
Kedatangannya diketahui oleh Umar bin Khaththab ra yang sedang duduk-duduk di depan pintu masjid dengan para sahabat. Menyaksikan kedatangannya tersebut, Umar tak henti-henti mengamatinya.
“Dia adalah musuh Allah. Kedatangannya pasti untuk berbuat jahat, karena dialah yang mengadu domba dan memaksa kami untuk berperang di Badar,” kata Umar.
Kemudian Umar menghadap Rasulullah dan berkata, “Wahai Nabi Allah, ini adalah musuh Allah datang dengan menyandang pedangnya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Hadapkan dia kepadaku.”
Umar bin Khaththab memohon izin kepada Rasulullah SAW dengan mengalungkan pedang di lehernya dan memerintahkan orang-orang yang datang bersamanya untuk menghadapkan Umair bin Wahb kepada Rasulullah SAW.
Orang-orang Anshar segera membawa Umair menghadap Rasulullah SAW, sedang Umar memegangi tali pedang yang berada di leher Umair. Rasulullah SAW bersabda, “Lepaskanlah dia wahai Umar.”
Beliau berkata kepada Umair, “Mendekatlah.” Kemudian Umair pun mendekta dan berkata, “Berbuat baiklah kamu di waktu pagi.” Itulah kata penghormatan orang-orang jahiliah. Rasulullah SAW bersabda, “Allah telah memuliakan kami dengan penghormatan yang lebih baik dari penghormatanmu, ya Umair. Yakni penghormatan ahli surga.”
Umair berkata, “Ya Muhammad, jika engkau seperti itu berarti engkau mempunyai ajaran baru.”
Nabi bertanya, “Mengapa engkau datang ke sini?”
Umair menjawab, “Aku datang ke sini untuk memohon pembebasan seorang tawanan yang kau tawan.”
Nabi bertanya, “Mengapa engkau membawa pedang?”
Umair menjawab, “Ya hanya untuk menjaga diri.”
Nabi kembali bertanya, “Apa benar tujuanmu ke sini hanya untuk itu?”
Umair menjawab, “Memang benar, tujuanku ke sini untuk pembebasan seorang tawanan.”
Rasulullah lantas bersabda, “Bukankah engkau dan Sofyan duduk bersama di Hijr? Kalian berdua membicarakn tentang korban perang. Kemudian kau berkomentar, ‘Jika aku tidak mempunyai agama dan keluarga niscaya aku keluar untuk membunuh Muhammad.’ Sofwan bin Umayyah menanggung agama dan keluargamu agar kamu dapat membunuhku. Hanya Allah yang dapat menghalangimu dari masalah itu.”
Umair menjawab, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah. Ya Rasulullah, kami telah mendustakanmu dengan berita yang kau bawa dari langit dan wahyu yang turun kepadamu. Masalah tersebut hanya aku dan Sofwan yang tahu. Demi Allah, engkau mengetahui masalah tersebut hanya dari Allah. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepadaku dan membawa ke hadapanmu.”
Lalu, dia bersaksi dengan dua kalimat syahadat. Rasulullah SAW bersabda, “Ajarkan agama dan Alquran kepadanya dan bebaskan tawanannya.” Para sahabat segera melaksanakan perintah beliau.
Umair berkata, “Ya Rasululllah SAW aku telah berjuang sekuat tenaga untuk menghancurkan cahaya Allah dan sangat memusuhi orang-orang yang menganut agama Allah. Sekarang aku senang bila engkau mengizinkan kembali ke Makkah dan menyeru penduduk Makkah untuk masuk agama Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada mereka untuk memeluk agama yang benar. Jika mereka tidak berkenan masuk Islam, maka aku akan menyakiti mereka seperti aku menyakiti para sahabatmu.” Rasulullah SAW mengizinkannya.
Umair segera kembali ke Mekah dengan perasaan bangga dan suka cita, karena pada dirinya terdapat keimanan yang baru, keimanan yang tidak terduga sebelumnya.
REPUBLIKA