Jangan Manjakan Pengemis dan Pengamen

KAMI hanya nasehatkan jangan manjakan pengemis apalagi pengemis yang malas bekerja seperti yang berada di pinggiran jalan. Apalagi dengan mengamen, melantunkan nyanyian musik yang haram untuk didengar.

Kebanyakan mereka malah tidak jelas agamanya, shalat juga tidak. Begitu pula sedikit yang mau perhatian pada puasa Ramadhan yang wajib. Carilah orang yang shalih yang lebih berhak untuk diberi, yaitu orang yang miskin yang sudah berusaha bekerja namun tidak mendapatkan penghasilan yang mencukupi kebutuhan keluarganya.

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua suap makanan. Akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan, lantas ia pun malu atau tidak meminta dengan cara mendesak.” (HR. Bukhari no. 1476)

Wallahu waliyyut taufiq. Hanya Allah yang memberi taufik. [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Hukum Memberi Uang kepada Pengemis

ADA pertanyaan dari seorang peserta pengajian tentang hukum memberi uang kepada pengemis yang kata dia semakin banyak terdapat di kotanya.

Menurut Ustaz Muhammad Shiddiq Al Jawi, yang ditanya soal itu, memberi uang kepada pengemis dapat dianggap bersedekah. Maka hukumnya sunah, karena bersedekah hukum asalnya sunah. Wahbah az-Zuhaili berkata, “Sedekah tathawwu (sedekah sunah/bukan zakat) dianjurkan (mustahab) dalam segala waktu, dan hukumnya sunah berdasarkan Alquran dan As-Sunah.” (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, 3/389).

Dalil Alquran antara lain (artinya), “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (QS Al-Baqarah [2] : 245). Dalil As-Sunah misalnya sabda Nabi SAW, “Barangsiapa memberi makan orang lapar, Allah akan memberinya makanan dari buah-buahan surga. Barangsiapa memberi minuman kepada orang haus, Allah pada Hari Kiamat nanti akan memberinya minuman surga yang amat lezat (ar-rahiq al-makhtum), dan barangsiapa memberi pakaian orang yang telanjang, Allah akan memberinya pakaian surga yang berwarna hijau (khudhr al-jannah).” (HR Abu Dawud no 1432; Tirmidzi no 2373).

Namun hukum asal sunah ini bisa berubah bergantung pada kondisinya. Sedekah dapat menjadi wajib. Misalnya ada pengemis dalam kondisi darurat (mudhthar), yakni sudah kelaparan dan tak punya makanan sedikit pun, sedang pemberi sedekah mempunyai kelebihan makanan setelah tercukupi kebutuhannya. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, 3/390). Dalam kondisi seperti ini, sedekah wajib hukumnya. Sebab jika tak ada cara lain menolongnya kecuali bersedekah, maka sedekah menjadi wajib, sesuai kaidah fiqih : “Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib.” (Jika suatu kewajiban tak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya). (Saifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, 1/111).

Namun sedekah dapat menjadi haram hukumnya, jika diketahui pengemis itu akan menggunakan sedekah itu untuk kemaksiatan. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, 3/390). Misalnya, digunakan untuk berjudi, berzina, atau minum khamr. Hukum sedekah dalam kondisi ini menjadi haram, karena telah menjadi perantaraan (wasilah) pada yang haram. Kaidah fikih menyebutkan, “Al-Wasilah ila al-haram haram.” (Segala perantaraan menuju yang haram, haram hukumnya). (M. Shidqi al-Burnu, Mausuah Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, 12/200).

Sedekah kepada pengemis juga menjadi haram, jika diketahui pengemis itu tidak termasuk orang yang boleh mengemis (meminta-minta), misalnya bukan orang miskin. Dalam masalah ini ada dalil khusus yang mengharamkan meminta-minta, kecuali untuk tiga golongan tertentu. Sabda Nabi SAW, “Meminta-minta tidaklah halal kecuali untuk tiga golongan: orang fakir yang sangat sengsara (dzi faqr mudqi), orang yang terlilit utang (dzi ghurm mufzhi), dan orang yang berkewajiban membayar diyat (dzi damm muuji).” (HR Abu Dawud no 1398; Tirmidzi no 590; Ibnu Majah no 2198). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hal. 194).

Jadi kalau seorang pengemis sebenarnya bukan orang miskin, haram baginya meminta-meminta. Demikian pula pemberi sedekah, haram memberikan sedekah kepadanya, jika dia mengetahuinya. Dalam kondisi ini pemberi sedekah turut melakukan keharaman, karena dianggap membantu pengemis tersebut berbuat haram. Kaidah fikih menyebutkan: “Man aana ala mashiyyatin fahuwa syariik fi al itsmi” (Barangsiapa membantu suatu kemaksiatan, maka dia telah bersekutu dalam dosa akibat kemaksiatan itu.). (Syarah Ibnu Bathal, 17/207). Wallahu alam.

 

INILAH MOZAIK

Tak Punya Tangan Kaki Tapi Selalu Bersyukur, Alasannya Bikin Ibrahim bin Adham Terkagum

Dalam sebuah perjalanan, Ibrahim bin Adham rahimahullah menyaksikan pemandangan aneh. Seorang laki-laki yang tidak memiliki tangan dan kaki berada di pinggir jalan. Sesekali, orang-orang yang lewat di sana menyuapkan makanan kepada laki-laki tersebut.

“Alhamdulillah atas nikmat-nikmat yang agung dan karunia yang besar,” demikian kalimat itu terdengar oleh Ibrahim bin Adham.

Ia tertarik, lantas menghampiri laki-laki tersebut. Ia perhatikan laki-laki yang ternyata tak hanya tidak memiliki tangan dan kaki, namun juga terkena kusta dan buta.

Setelah mengucap salam, Ibrahim bin Adham kemudian bertanya.

“Apa yang tadi engkau katakan?”

“Aku bersyukur dengan mengatakan Alhamdulillah atas nikmat-nikmat yang agung dan karunia yang besar.”

“Apa yang terjadi dengan tangan dan kakimu?”

“Terpotong”

“Apa yang terjadi dengan kulitmu?”

“Kena kusta”

“Di mana penglihatanmu?”

“Aku buta”

“Di mana rumahmu?”

“Di pinggir jalan seperti yang kau lihat ini”

“Bagaimana kamu makan?”

“Lewat tangan-tangan manusia yang Allah kirimkan sebagai nikmatNya”

 

Sampai di sini Ibrahim bin Adham terheran. Laki-laki tersebut mendapatkan ujian yang bertumpuk. Tidak bisa jalan, tidak bisa beraktifitas normal, bahkan tidak bisa melihat. Tapi ia justru banyak bersyukur. Nikmat apa yang ia syukuri?

Ibrahim bin Adham kembali bertanya.

“Lalu di mana nikmat-nikmat yang agung dan karunia yang besar itu wahai Saudaraku?”

“Ya Ibrahim, bukankah Allah masih memberikan aku lisan untuk berdzikir dan hati untuk bersyukur?”

Jawaban itu laksana petir di siang hari. Sungguh mengejutkan. Namun juga sungguh menakjubkan.

“Ya Ibrahim, bukankah Allah masih memberikan aku lisan untuk berdzikir dan hati untuk bersyukur? Lalu nikmat yang mana lagi yang lebih agung daripada ini?”

Allaahu akbar. Rupanya ada orang yang seperti ini. Mampu bersyukur dengan syukur yang sempurna. Bukan sekedar level syukur biasa atas nikmat sehat dan rezeki dunia berupa uang atau harta. Namun ia bersyukur karena dikaruniai lisan yang berzikir dan hati yang bersyukur.

Bersyukur atas nikmat Allah seperti ini juga melahirkan hubbullah dan mahabbatullah.

“Jika engkau memikirkan nikmat-nikmat agung dan banyak yang diberikan Allah kepadamu maka hal itu akan menimbulkan yang namanya cinta kepada Allah,” kata Habib Ali Aljufri saat menceritakan kisah Ibrahim bin Adham itu. Sebab tabiat manusia, ia mencintai siapa yang berbuat baik kepadanya.

Maka yang perlu kita tanamkan adalah kesadaran akan nikmat-nikmatNya yang sebenarnya sangat banyak tak terhingga. Maka Allah pun mengingatkan dalam Surat Ibrahim ayat 34: “Jika engkau menghitung nikmat Allah, tidaklah engkau bisa menghitungnya.”

Baca Juga: Kisah Nyata

Namun sering kali pikiran kita dibatasi oleh perspektif materialisme. Bahwa yang namanya nikmat itu hanya berupa harta, uang, kekuasaan dan sejenisnya. Maka kita pun baru bersyukur saat mendapatkan laba banyak, kenaikan gaji, jabatan yang lebih tinggi, atau harta benda baru.

Sedangkan kesehatan, kadang kita lupa bahwa itu adalah nikmat dan kita pun lupa mensyukurinya. Saat sakit, baru terasa. Nikmat bernafas tanpa membayar dan tanpa usaha keras, baru disadari saat harus dibantu dengan alat pernafasan.

Apalagi nikmat iman dan kesehatan ruhiyah yang sebenarnya merupakan nikmat terbesar. Namun tak banyak orang yang mampu mensyukurinya. Padahal segalanya menjadi sia-sia saat iman hilang dan hati rusak.

Mensyukuri nikmat iman dan kesehatan ruhiyah inilah sebenarnya level syukur yang paling tinggi. Maka Ibrahim bin Adham pun terkagum dengan alasan laki-laki tanpa tangan dan kaki serta buta itu: “Ya Ibrahim, bukankah Allah masih memberikan aku lisan untuk berdzikir dan hati untuk bersyukur? Lalu nikmat yang mana lagi yang lebih agung daripada ini?” [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

 

BERSAMADAKWAH

Tak Tergiur dengan Jabatan

Selalu ada sosok arif di tengah-tengah hiruk pikuk karakter-karakter manusia yang “menjual” harga diri mereka kepada penguasa. Kisah seorang tabiin yang hidup pada 80-an Hijriyah ini patut menjadi teladan kita bersama. Ia adalah Muhammad bin Waas’i. Kemuliaan yang dimiliki tak lantas ia jadikan bahan untuk mendekat ke lingkaran kekuasaan. Bahkan, ia adalah teladan bagi umat sekarang tentang pentingnya kehati-hatian memegang jabatan.

Kisah ini seperti dinukilkan dari Mereka adalah Para Tabiin karya Dr Abdurrahman Ra’at Basya yang diterbitkan oleh at-Tibyan. Dijelaskan, konon, kedekatan Muhammad bin Waasi’ dengan para pemimpin Bani Umayah bukan terbatas dengan Yazid bin Muhallab dan Qutaibah bin Muslim al-Bahili saja, melainkan juga dekat dengan para wali dan amir. Termasuk di antaranya Wali Basrah, Bilal bin Abi Burdah. Namun, kedekatan tersebut tak lantas membutakan mata hati Muhammad bin Wasi’.

Suatu saat, Muhammad bin Waasi’ datang kepada amir ini dengan mengenakan jubah dari kain yang kasar. Bilal bertanya kepada sang tokoh. “Mengapa Anda mengenakan pakaian sekasar ini, wahai Abu Abdillah?” Ibnu Waasi’ pura-pura tidak mendengar dan tak berkomentar sepatah kata pun sehingga Wali Basrah itu kembali bertanya:

“Mengapa Anda tidak menjawab pertanyaan saya wahai Abu Abdillah?” Tanya Bilal.

“Aku tidak suka mengatakan bahwa inilah zuhud. Karena berarti aku membanggakan diri. Dan benci mengatakannya sebagai kefakiran karena itu menunjukkan bahwa aku tidak mensyukuri karunia SWT. Padahal, sesungguhnya aku telah ridha,” kata Muhammad.

Jawaban tersebut meluluhkan hati Bilal dan mendorongnya ingin memberikan hadiah kepada Muhammad. “Apakah Anda membutuhkan sesuatu wahai Abu Abdillah?”

Tetapi, permohonan tersebut ditolak secara halus. “Wahai amir, Allah tidak akan menanyai hamba-Nya tentang qada dan qadar pada hari kiamat nanti. Namun, Dia akan bertanya tentang amal mereka,” kata Muhammad.

Maka terdiamlah wali Bashrah ini karena malu.

Pada kesempatan yang lain, Muhammad bin Waasi’ masih berada di sisi gubernur ketika waktu makan siang tiba. Wali Basrah itu mengajak beliau untuk makan bersama, tetapi beliau menolaknya dengan berbagai dalih.

Sehingga, Bilal menjadi tersinggung dan berkata, “Apakah Anda tidak suka makan makanan kami, wahai Abu Abdillah?” Beliau berkata, “Janganlah berkata begitu wahai amir. Demi Allah bahwa yang baik-baik dari kalian para amir adalah lebih kami cintai daripada anak-anak dan keluarga kami sendiri.”

Berkali-kali Muhammad bin Waasi’ diminta untuk menjadi seorang qadi, namun beliau selalu menolak dengan tegas dan terkadang membuat dirinya menghadapi risiko atas penolakannya tersebut.

Beliau pernah dipanggil oleh kepala polisi Basrah, yaitu Muhammad bin Mundzir. Dia berkata, “Gubernur Irak memerintahkan aku untuk menyerahkan jabatan qadhi kepada Anda.” Beliau menjawab, “Jauhkan aku dari jabatan itu, semoga Allah memberimu kesejahteraan.” Permintaan tersebut diulang dua atau tiga kali, namun beliau tetap menolaknya.

Karena ditolak, kepala polisi itu marah dan berkata sambil mengancam, “Anda terima jabatan itu atau aku akan mencambuk Anda sebanyak 300 kali tanpa ampun!” Beliau berkata, “Jika engkau melakukan itu, berarti Anda bertindak semena-mena. Ketahuilah bahwa disiksa di dunia lebih baik daripada harus disiksa di akhirat.” Kepala polisi itu menjadi malu, lalu mengizinkan Muhammad bin Waasi’ untuk pulang dengan penuh hormat.

Kezuhudannya pun tampak tidak hanya dalam kondisi tenang, tetapi juga tatkala umat Islam memenangi peperangan. Suatu saat, setelah perang usai, tengah terjadi perbedaan pendapat tentang tawanan. Apakah boleh mereka menebus dengan harta demi kebebasan mereka. Sebagian ada yang hendak menebus dengan lima ribu helai kain, sebagian yang lain ingin membayar dengan sutra cina.

Tawaran itu menggiurkan para serdadu. Tetapi, tidak bagi Ibnu Waasi’. Ia pun dengan lantang berkata, “Wahai amir, tujuan kaum Muslimin keluar berjihad ini bukanlah untuk mengumpulkan ghanimah atau menumpuk harta, melainkan keluar demi ridha Allah, menegakkan agama-Nya di atas bumi dan menghancurkan musuh-musuh-Nya.”

Qutaibah menyambut baik saran tersebut seraya mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan membiarkan orang-orang semacam ini menakut-nakuti Muslimah setelah ini. Walaupun dia hendak menebus dirinya dengan harta sebesar dunia ini.” Kemudian beliau memerintahkan agar tawanan itu dibunuh.

 

REPUBLIKA

Riya, Penyakit Hati Penyebab Kufur

IKHLAS sering diartikan sebagai tidak riya dalam beramal. Riya adalah syirik kecil. Dalam tulisan berikut ini, yang dipetik dari kitab al-Thariqah al-Muhammadiyah, Syekh al-Birgawi dengan gamblang menerangkan bagaimana riya bisa melanda baik pendamba dunia maupun pendamba akhirat.

Termasuk penyakit hati yang menyebabkan kekufuran adalah riya. Orang yang riya biasanya berusaha mencari kesuksesan di dunia ini dengan melakukan ibadah, kemudian mengabarkan kesalehannya itu kepada orang lain. Memberitahukan amal kita ke orang lain, tanpa mereka menanyakannya, dan bukan dengan maksud mengajari atau memperbaiki pemahaman keagamaan
mereka, termasuk sikap riya.

Riya adalah salah satu perwujudan sifat nifak (munafik), yaitu berusaha menampilkan suatu sikap yang bertentangan dengan kenyataannya. Lawan riya adalah ikhlas atau ketulusan hati yang merupakan dasar keberagaman.

Ikhlas berarti berbuat dan berperilaku selaras dengan iman. Sikap Ikhlas lahir dari kesungguhan untuk mencari jalan keselamatan dan kedamaian di dunia dan di akhirat serta didorong oleh kehendak yang kuat untuk mendekati diri pada Allah swt.

Orang yang ikhlas akan mendapatkan balasan karunia yang besar dari Allah di dunia ini, berupa kepuasan batin karena selalu merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah swt. Nabi saw bersabda, “Apabila kau tak sanggup melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR.Muslim dari Ibn Umar).

Kadang-kadang kemunafikan merasuk ke dalam hari didorong oleh hasrat meraih sukses duniawi. Inilah pangkal kemunafikan dalam lingkup kehidupan dunia. Tetapi, bila keuntungan ukhrawi juga muncul dalam keinginan seseorang, keadaannya menjadi rumit. Muncul persaingan yang hebat antara mementingkan keuntungan duniawi atau keuntungan ukhrawi.

ORANG YANG IKHLAS AKAN BERUSAHA MENJAGA SETIAP TINDAKAN, IBADAH, DAN KESALEHAN LAINNYA AGAR TETAP TAK TAMPAK DAN LUPUT DARI PERHATIAN
MANUSIA. [Chairunnisa Dhiee]

 

Sumber: buku ” Ikhlas Tanpa Batas”

Enam Langkah Setan dalam Menyesatkan Manusia

LANGKAH pertama: Diajak pada kekafiran, kesyirikan, serta memusuhi Allah dan Rasul-Nya.

Langkah kedua: Diajak pada amalan yang tidak ada tuntunan.

Langkah ketiga: Diajak pada dosa besar (al-kabair).

Langkah keempat: Diajak dalam dosa kecil (ash-shaghair).

Langkah kelima: Disibukkan dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak ada pahala dan tidak ada sanksi di dalamnya).

Langkah keenam: Disibukkan dalam amalan yang kurang afdhal, padahal ada amalan yang lebih afdhal.

Doa Agar Jiwa Diberikan Ketakwaan dan Senantiasa Dibersihkan

ALLOHUMMA AATI NAFSII TAQWAAHA WA ZAKKIHAA, ANTA KHOIRU MAN ZAKKAHAA, ANTA WALIYYUHAA WA MAWLAHAA

“Ya Allah, berilah jiwa ini ketakwaannya, bersihkanlah dia, Engkau adalah sebaik-baik yang membersihkannya. Engkaulah wali dan maula (pelindung)-nya.” (HR. Muslim, no. 2722)

Hanya Allah yang beri taufik dan hidayah untuk baik dan bersihnya jiwa. [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Wasiat Abu Ayyub

Pada satu hari, Rasulullah SAW bertamu kepada Ummu Haraam binti Malhaan. Nabi akhir zaman itu tidur siang di rumah bibinya itu. Dia lantas terbangun dan tertawa. Wanita itu berkata, “Ada apa denganmu wahai Rasulullah? Apa yang membuatmu tertawa?” Dia pun bersabda, “Aku baru saja melihat orang dari umatku mengarungi lautan berperang di jalan Allah, bagai raja di atas ranjang.” Dia berkata, “Berdoalah kepada Allah agar aku salah satu di antaranya.” Dia bersabda, “Kamu di antara mereka.”

Hari demi hari pun bergulir. Setelah Rasulullah SAW wafat dan masa kekhalifahan telah usai, tampuk kepemimpinan kaum Muslimin dipegang oleh Muawiyah. Dia menyerukan kepada bala tentaranya untuk berjihad di jalan Allah SWT. Hingga sampai arah bidikan ke tanah Konstantinopel, sebuah negeri Romawi yang amat sukar ditaklukkan. Mendengar seruan berjihad itu, seorang kakek uzur yang pernah mendengar hadis Nabi SAW di atas pun bergegas mengambil pedang dan tombaknya.

Siapakah kakek itu? Dia adalah Abu Ayyub al-Anshari, penduduk Madinah yang rumahnya ditunjuk unta Nabi SAW sebagai tempat tinggal sementara setelah berhijrah dari Makkah. Sejarah mencatat betapa Abu Ayyub memuliakan tamu agung itu. Abu Ayyub menyediakan ma kanan terlezat untuk Nabi SAW. Saat Nabi memilih untuk tidur di bawah agar dekat dengan masjid, Abu Ayyub tak bisa tidur semalaman karena merasa tak layak untuk tidur di atas Nabi.

Syekh Aidh al-Qarni menjelaskan, Abu Ayyub memuliakan Nabi SAW melebihi apa yang dilakukan seorang murid kepada gurunya, seorang Muslim kepada imam besar atau seorang pelayan kepada tamunya. Ketika Rasulullah SAW hendak keluar, Abu Ayyub memakaikan sandalnya ke kaki Nabi SAW. Dia berdiri untuk menerimanya dan berdiri saat hendak mengantarnya. Abu Ayyub pun menjadi koki di rumah selama Nabi SAW tidur di rumahnya.

Tak hanya menghormati Nabi SAW pada masa hidup, Abu Ayyub pun tetap mengikuti syariat dan ajarannya setelah Nabi SAW wafat. Abu Ayyub, lelaki yang lahir di Aljazair itu begitu merindukan syahid. Dia ingin hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.

“Janganlah engkau mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka …” (QS Ali Imran: 169-171).

Dia berangkat dengan perbekalan menuju medan perang. Anak-anaknya berkata, “Engkau orang tua yang sudah berumur 80 tahun.” Mendengar peringatan anak-anaknya, Abu Ayyub justru menjawab, “Tidak. Aku berjihad di umur 80 tahun ini seperti engkau yang membaca dan menulis di umur 20 tahun.” Anaknya kembali mengingatkan Abu Ayyub, “Allah telah memberimu uzur. Engkau sudah tua dan sakit. Tidak kuat untuk berperang.” Dia berkata, “Demi Allah, tidak.

Sesungguhnya Allah telah berfirman, “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun merasa berat. Dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah”.” (QS at-Taubah: 41). Abu Ayyub pun melanjutkan, “Dan aku merasa berat. Demi Allah aku akan berangkat.”

Abu Ayyub menjadikan umurnya yang kedelapan puluh tahun sebagai ketaatan kepada Allah. Dia berangkat bersama tentara menaiki perahu dan mengarungi lautan. Dia pun mengulang lafaz Laa Ilaaha illallah Muhammad Rasulullah. Dimulailah pertempuran itu. Abu Ayyub mandi, mengenakan wewangian dan pakaian tempur yang kelak menjadi kain kafannya ketika dia syahid.

Dia lantas berwasiat, “Demi Allah. Aku memohon kepada kalian. Jika aku mati hari ini, carilah akhir batas tanah kaum Muslimin dengan Romawi. Lalu lemparlah aku ke dalam wilayah mereka. Dengan harapan semoga Allah mengutusku pada hari kiamat seorang mukimin di tengah-tengah orang kafir.”

Pertempuran pun dimulai. Abu Ayyub dengan gigih maju ke medan laga. Dia menerabas tanpa takut kepada musuh. Setelah berperang dengan semua tenaga, Abu Ayyub tewas dipenggal musuh. Sesuai dengan wasiatnya, pasukan Muslimin menguburkan jenazahnya di bagian terdekat dari konstantinopel. Sebuah syair berkata:

“Wahai yang beribadah di Haramain Jika kau melihat kami kau akan tahu bahwa kau bermain-main dalam beribadah Barang siapa yang memoles pipinya dengan air matanya, maka leher kami dipoles darah kami. Atau yang meletihkan kudanya di kebatilan, maka kuda kami letih di hari pertempuran”

Syekh Aidh al-Qarni pun berpesan, sampaikan salam dari seluruh umat Islam bagi yang berkesempatan untuk berziarah ke makamnya. Berdirilah yang lama di atas kuburnya dan berterima kasihlah atas ke baikan bertamu, kebaikan melayani, ke baik an hidup, kebaikan memberi dan ke baik an pengorbanan.

 

REPUBLIKA

Mengintip Kekayaan Arsitektur Islam dalam Masjid

Masjid tidak hanya memiliki fungsi ritual bagi umat Islam. Ia juga menjadi sumber kekuatan dan representasi agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Sudah sejak lama, masjid menjadi kanvas yang bisa menunjukkan keindahan Islam.

Asisten Profesor Studi Keagamaan di College of William and Mary, Oludamini Ogunnaike menyebutnya sebagai teologi bisu seni Islam. Dari Kuba hingga Jepang, komunitas Islam terus berkembang. Diasporanya semakin beragam.

Masjid menjadi wajah masing-masing komunitas Islam di suatu tempat. Masjid menjadi wadah pencampuran budaya lokal dengan nilai-nilai yang dibawa Islam. Wujudnya dipengaruhi hingga ke bagian paling kecil.

Masjid juga menjadi cetak biru dan jejak suatu peradaban. Bangunannya menjadi pengingat kedigdayaan suatu era di masa lampau. Beberapa waktu lalu, Inggris membuat daftar masjid-masjid bersejarah yang masyhur karena arsitektur dan kemegahannya.

Masjid-masjid tersebut kini menjadi warisan yang dilindungi berdasarkan status sejarah, arsitektur dan kulturalnya. Masjid-masjid itu dinilai punya peran yang sangat signifikan bagi Inggris.

Seorang penulis, arsitek dan akademisi, Shahed Saleem mendokumentasikan masjid-masjid tersebut dalam buku The British Mosque. Buku memuat peta evoluasi bangunan masjid di Inggris.

Pada Aljazirah, ia bercerita tentang indahnya, estetiknya metamorfosa rumah-rumah Allah tersebut. Menurutnya, desain sebuah masjid sesungguhnya sama penting dengan fungsi sebagai tempat beribadah.

Syarat untuk membuat masjid sebenarnya sangat mudah. “Hanya perlu ruangan yang menghadap Makkah, jadi masjid itu bisa dibuat minim, ia bisa ruangan yang sederhana, dengan dinding saja,” kata Saleem.

Namun seiring waktu, arsitektur dan desain menjadi bagian yang terpikirkan lebih. Masjid berevolusi untuk menjadi lebih indah. Kekayaan Islam dituangkan pada kenampakannya. “Ia menjadi penting dalam sisi sosial dan kultural,” kata dia.

Berikut adalah sejumlah masjid dari seluruh dunia yang menjadi contoh sentuhan arsitektur Islam.

1. Masjid Cambridge, Cambridge, Inggris

Masjid ini adalah masjid ramah lingkungan pertama di Eropa. Desainnya yang sederhana tidak menutup perannya sebagai bangunan multifungsi. Bentuknya dibuat seperti sebuah oasis.

Masjid ini dilengkapi dengan kubah emas. Menaranya sederhana namun cukup untuk bisa dikenali dari kejauhan. Inti desainnya adalah menggabungkan bangunan ramah lingkungan sehingga ia dilengkapi panel surya.

Bagian atapnya dibuat dari kayu Tolkienesque. Jika berdiri di bawahnya, jamaah akan merasa seperti dibawah pohon betulan. Ia dibuat seperti atap pohon dengan cahaya yang mengintip masuk ruangan.

2. Masjid Wazir Khan, Lahore, Pakistan

Masjid ini dikelilingi pasar padat dan jalanan sempit. Wazir Khan tersembunyi di bagian dalam kota kuta Lahore. Semacam mutiara yang sulit dijangkau.

Ia dihiasi dengan kaligrafi khas, kebun bunga dan kasha kari atau keramik mozaik. Arsitekturnya mengingatkan pada masa lalu saat pemerintahan Raja Mughal Shah Jahan.

3. Masjid Sakirin, Istanbul, Turki

Masjid ini berada di kota dengan banyak masjid di dunia. Sakirin adalah masjid pertama di Turki yang dibangun oleh arsitek perempuan, Zeynep Fadillioglu. Sementara desain arsitektur bangunannya adalah Husrev Tayla.

Kubahnya dibuat dari alumunium. Ia menyerap seni dari Seljuk dan membawa fitur tradisional Utsmaniyah. Tak lupa ada sentuhan kontemporer di desainnya.

 

REPUBLIKA

Berzikir Mengingat Allah untuk Meredakan Marah

DI SAMPING bersikap sabar, terdapat berapa hal yang bisa dilakukan untuk meredakan marah. Di antaranya adalah berzikir mengingat Allah. Hal itu bisa memberikan rasa takut kepada-Nya.

Rasa takut tadi membuat kita menjadi taat sehingga kembali kepada adab yang diajarkan-Nya. Ketika itulah, amarah tersebut akan hilang. Allah berfirman; وَاذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ “Ingatlah kepada Tuhanmu ketika engkau lupa.” (QS: al-Kahfi: 24).

Menurut Ikrimah, maksudnya adalah ketika engkau marah.

Allah berfirman;

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّهِ

“Dan jika kamu mendapat godaan dari setan, maka berlindunglah kepada Allah.” (QS: al-A’raf: 200).

Makna dari mendapat godaan di atas adalah membuatmu marah. Maka, ketika itu hendaknya meminta perlindungan kepada Allah. Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Artinya, Dia mendengar ucapan bodoh orang yang bertindak bodoh, serta mengetahui apa yang bisa melenyapkan amarahmu.

Diceritakan bahwa Raja Persia menulis sebuah catatan lalu memberikan kepada menterinya seraya berkata, “Jika aku marah berikan catatan tersebut kepadaku!” Isi catatan itu adalah: “mengapa harus marah? Engkau hanya seorang manusia. Sayangi yang dibumi, pasti yang di langit menyayangi-Mu.”

Ahli hikmah berkata, “Siapa yang mengingat kekuasaan Allah tentu tidak akan mempergunakan kekuasaannya dalam berbuat zalim kepada hamba.” Abdullah bin Muslim bin Muharib berkata kepada Harun ar-Rasyid, “Wahai Amirul Mukminin, aku memohon kepadamu agar memaafkanku berkat Zat yang di hadapan-Nya engkau lebih hina daripada diriku di hadapanmu. Serta berkat Zat yang lebih kuasa menghukummu daripada dirimu dalam menghukumku.” Maka Harun ar-Rasyid memaafkannya saat diingatkan kepada kekuasaan Allah.

Cara lain untuk meredakan marah adalah mengingat mati. Diceritakan bahwa seseorang mengadukan kekesatan hatinya kepada Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam. Maka, beliau bersabda: “Lihatlah kubur dan ambil pelajaran dengan pengumpulan makhluk di hari akhir.” (HR Baihaqi)

Ada penguasa kabilah yang apabila marah diberi kunci kubur para raja. Dengan begitu, marahnya hilang. Karena itu, Umar bin Khaththab radiyallahu anhu berkata, “Siapa yang banyak mengingat mati, ia akan ridha dengan dunia yang sedikit.”

Di antara cara lainnya adalah dengan berpindah dari kondisi saat marah kepada kondisi lain hingga amarah tersebut hilang. Ini adalah cara Khalifah Ma’mun saat marah.

Orang Persia berkata, “Jika orang yang sedang berdiri marah, hendaknya ia duduk. Jika orang yang sedang duduk, hendaknya ia berdiri.”*/dikutip Dr. Aidh al-Qarni, dari bukunya Laa Taghdhab-Jangan Marah.*

 

HIDAYATULLAH

Ketika Setan Mengajari Abu Hurairah Ayat Kursi

Abu Hurairah RA bercerita : Suatu hari Rasulullah SAW menugaskanku untuk menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki melihat-lihat makanan dan langsung mengambilnya.

Aku lalu menegurnya, “Jangan dulu mengambil, sebelum kusampaikan tentangmu kepada Rasulullah”.

Laki-laki itu menjawab, “Aku sudah berkeluarga dan saat ini betul-betul membutuhkan makanan untuk mereka”. Mendengar itu aku akhirnya mengizinkan dia mengambil makanan itu.

Ketika pagi tiba, Rasulullah bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang kau lakukan kemarin?”

Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, seorang laki-laki mengadukan kesusahan keluarganya dan dia memohon harta zakat pada saat itu juga, lalu aku persilahkan dia mengambilnya”.

Rasulullah SAW bersabda kembali, “Dia telah mengelabuimu, wahai Abu Hurairah, dan besok akan kembali lagi”.

Karena tahu dia akan kembali lagi, keesokan harinya aku mengawasi secara teliti dan ternyata betul apa yang disampikan Rasulullah, dia telah berada di ruang harta zakat sambil memilih-milih harta zakat yang terkumpul lalu ia mengambilnya.

Melihat itu, aku berkata kembali, “Jangan kau ambil dulu harta itu sampai ada izin dari Rasulullah SAW”.

Laki-laki itu menjawab, “Aku betul-betul sangat membutuhkan makanan itu sekarang, keluargaku kini sedang menunggu menahan lapar. Aku berjanji tidak akan kembali lagi esok hari.” Mendengar itu, aku merasa kasihan dan akhirnya aku persilahkan kembali dia mengambil harta zakat.

Keesokan harinya Rasulullah bertanya kembali, “Apa yang kau lakukan kemarin, wahai Abu Hurairah?”

Aku menjawab, “Orang kemarin datang lagi dan meminta harta zakat. Karena keluarganya sudah lama menunggu kelaparan, akhirnya aku kembali mengizinkan dia mengambil harta zakat tersebut.”

Mendengar itu, Rasul bersabda kembali, “Dia telah membohongimu dan besok akan kembali untuk yang ke tiga kalinya.”

Besoknya ternyata laki-laki itu kembali lagi. Seperti biasanya, dia mengambil harta zakat yang telah terkumpul di dalam gudang. Melihat itu, kembali aku menegur, “Jangan mengambil dahulu, aku akan memohon izin kepada Rasulullah SAW terlebih dahulu. Bukankah kau berjanji tidak akan kembali lagi, tapi kenapa kini kembali juga?”

Laki-laki itu menjawab, “Izinkanlah untuk terakhir kalinya aku mengambil harta zakat ini dan sebagai imbalan aku akan ajarkan kepadamu sebuah kalimat yang apabila kamu membacanya, Allah akan selalu menjagamu dan kau tidak akan disentuh dan didekati oleh setan sehingga pagi hari”.

Aku tertarik dengan ucapannya. Aku pun menanyakan kalmat apa itu. Dia menjawab, “Apabila kau hendak tidur, jangan lupa membaca Ayat Kursi terlebih dahulu karena dengannya Allah akan menjagamu dan kau tidak akan didekati setan hingga pagi tiba.” Kali inipun aku mengizinkannya mengambil harta zakat.

Keesokan harinya Rasulullah kembali menanyakan apa yang telah kulakukan kemarin dan kukatakan, “Ya Rasulullah, aku terpaksa membolehkannya kembali mengambil harta zakat setelah dia mengajarkanku kalimat yang sangat bermanfaat dan berfaedah.”

Rasul bertanya, “kalimat apa yang diajarkannya?”

Aku menjawab bahwa dia mengajarkan ayat Kursi dari awal sampai akhir dan dia katakan bahwa kalau aku membacanya Allah akan menjagaku sampai pagi hari.

Rasulullah SAW lalu bersabda,”Kini apa yang dia sampaikan memang betul namun tetap saja dia sudah berhasil mengelabuimu dengan mengambil harta zakat. Tahukah kau siapa laki yang mendatangimu tiga kali itu?”

Aku menjawab, “Tidak, aku tidak tahu”

Rasulullah SAW kembali bersabda, “Ketahuilah, dia itu setan.” (HR. Bukhari).

 

INILAH MOZAIK