Ummu Syuraik Ditolong Ember dari Langit

Seperti bangsa Arab lainnya, Kabilah Daus adalah penyembah berhala. Mereka mendirikan patung bernama Dzul Khulashash. Patung ini disebutkan d alam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari. “Kiamat tidak akan terjadi sebelum bo kong wanita Kabilah Daus menggoyangkan Dzul Khulashah,” ujar Rasulullah.

Islam masuk ke Kabilah Daus melalui Thufail ibn Amr ad-Dausi. Awalnya, Thufail tidak tertarik sama sekali dengan Islam. Dia bahkan menutup telingannya atas segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam. Tetapi, hal tersebut tidak lagi mampu dilakukannya ketika suatu hari Thufail menemukan Rasulullah sedang shalat di dekat Ka’bah.

“Aku berdiri di dekatnya. Allah membuat telingaku mendengar sebagian perkataannya. Sungguh katakata yang indah,” katanya.

Setelah berdiskusi dengan Nabi, Thufail pun menyatakan syahadatnya. Dia kemudian menemui kaumnya untuk mengajak mereka menganut Islam. “Hai Nabi Allah, aku adalah orang yang dipatuhi oleh kaumku. Aku akan pu lang menemui mereka dan mengajak mereka pa da agama Islam. Berdoalah kepada Allah agar Dia memberiku bukti ke benaran yang akan men dukungku dalam menyerukan Islam kepada mereka,” ujar Thufail yang kemudian disambut Rasulullah dengan doanya, “Ya Allah berikanlah dia bukti kebenaran.”

Thufail menyeru Kabilah Daus agar memeluk Islam, tetapi mereka tidak menanggapinya. Teta pi, terdapat seorang perempuan yang menyambut seruan tersebut. Dia adalah Ummu Syuraik. Dia dinamai Ghaziyah binti Jabir Ad Dausiah, seorang wanita dari Al-Azdi, salah satu suku Kabilah Daus.

Segera setelah dia memeluk Islam, dia bergerak un tuk berdakwah dan meng ajak para perempuan Kabilah Daus secara sembunyi -sembunyi. Dia pun memberikan dorongan-do rongan agar mereka masuk Islam tanpa kenal lelah. Ummu Syuraik menyadari risiko yang akan menimpanya, yaitu siksaan terhadap jiwa dan harta.

Ujian memang tidak dapat dihindari. Suatu hari penduduk Makkah menang kapnya. “Kalaulah bu kan karena kaum kamu, kami akan tangani sen diri. Akan tetapi, kami akan menyerahkan kamu ke pada mereka,” ujar orang-orang itu. Maka, datanglah keluarga Abu al-Akr, yakni kelurga suami nya, kepada Ummu Syuraik. Mereka kemudian ber kata, “Jangan-jangan eng kau telah masuk kepada agamanya (Muhammad)?”

Ummu Syuraik dengan tegas menjawab, “Demi Allah, aku telah masuk agama Muhammad.” Maka, mereka kemudian membawa Ummu Syuraik ke sebuah tempat dengan mengendarai kendaraan mereka yang paling jelek dan kasar, yaitu seekor unta yang lemah. Me reka memberi makan dan madu, tetapi tidak mem berikan setetes air pun kepadanya. Hingga ma na kala tengah hari dan matahari telah terasa panas, mereka menurunkan Ummu Syuraik dan mulai memukulinya. Kemudian, mereka meninggalkannya di tengah teriknya matahari hingga Ummu Syuraik hampir pingsan.

Siksaan itu dijalani Ummu Syuraik selama tiga hari. Tatkala hari ketiga, mereka berkata kepadanya. “Tinggalkan lah agama yang telah kau pegang!” Ummu Syuraik menjawab tanpa takut, “Aku sudah tidak lagi dapat mendengar perkataan kalian, kecuali satu kata demi satu kata dan aku hanya mem berikan isyarat dengan telunjukku ke langit sebagai isyarat tauhid,” katanya tegas.

Tatkala sudah sangat kepayahan, dalam keadaan berbaring tiba-tiba Ummu Syuraik merasakan dinginnya ember yang berisi air di atas dadanya. Antara sa dar dan tak sadar, dia se gera mengambil dan meminumnya sekali teguk. Kemudian, ember ter se but terangkat dan Ummu Syuraik melihat ternyata ember tersebut menggantung antara langit dan Bumi dan dia tidak mampu mengambilnya.

Kemudian, ember tersebut menjulur kepadanya untuk yang kedua kalinya, maka dia minum darinya, kemudian ember terangkat lagi. “Aku melihat ember tersebut berada antara langit dan Bumi. Kemudian, ember tersebut menjulur kepadaku untuk yang ketiga kalinya. Maka, aku minum darinya hingga aku kenyang dan aku guyurkan ke kepala, wajah, dan bajuku,” kata Ummu Syuraik.

Kemudian, para penyiksanya datang lagi sambil keheranan mendapati Ummu Syuraik dalam keadana basah kuyup di tengah padang gersang tanpa air itu. “Dari mana engkau dapatkan air itu wahai musuh Allah,” teriak mereka.

Ummu Syuraik pun menjawab, “Sesungguhnya musuh Allah adalah selain diriku yang menyimpang dari agama-Nya. Adapun pertanyaan kalian dari mana air itu maka itu adalah dari sisi Allah yang dianugerahkan kepadaku.”

Mereka segera menengok ember yang ada di dekat Ummu Syuraik dan mendapati ember tersebut masih tertutup rapat belum terbuka. Artinya, air yang meng guyur Ummu Syuraik bukan dari ember itu. Akhi rnya mereka berkata.

“Kami bersaksi bahwa Rabb mu adalah Rabb kami dan kami bersaksi bahwa yang telah memberikan rez eki kepadamu di tem pat ini setelah kami menyiksamu adalah Dia Yang Men syariatkan Islam.” Masuk lah mereka semuanya ke dalam agama Islam dan semuanya berhijrah bersama Rasulullah.

Kisah mengenai Ummu Syuraik direkam dalam Alquran surah al-Ahzab ayat 50. “Hai Nabi, sesungguhnya kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan ham ba sahaya yang kamu mi liki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah umtukmu dan anakanak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anakanak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anakanak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anakanak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang ikut berhijrah bersamamu dan anak-anak perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi….”

Kisah ini bermula ketika Rasulullah bermaksud menceraikan beberapa orang dari istri nya. Ketika para istri Nabi merasakan gelagat itu, mereka lantas menyampaikan kerelaan terhadap keputusan Nabi mengenai siapa saja yang bakal dicerai atau dipertahankan.

Dalam surah al-Ahzab ayat 51, Allah berfirman kepada Nabi, “Engkau boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang engkau kehendaki di antara mereka (para istrimu) dan (boleh pula) menggauli siapa (di antara mereka) yang engkau kehendaki. Dan, siapa yang engkau ingini untuk menggaulinya kembali dari istri-istrimu yang telah engkau sisihkan maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian ini lebih dekat untuk ketenangan hati mereka dan mereka tidak merasa sedih dan mereka rela dengan apa yang engkau berikan kepada mereka semuanya.”

Ibn Sa’ad meriwayatkan dari Ikrimah dan juga dari Munir bin Abdullah ad- Duali bahwa Ummu Syuraik, Ghaziyah Binti Jabir bin Hakim ad-Dausiay, merupakan seorang perempuan cantik yang telah menawarkan diri nya kepada Nabi untuk di ni kahi. Lantas, Nabi pun menerimanya.

Siti Aisyah, istri Nabi yang paling muda sekaligus paling pintar, merasa kurang sreg dengan adanya perempuan yang menawarkan diri kepada seorang laki-laki untuk dinikahi, apalagi laki-laki itu seorang nabi. “Tidak ada kebaikan pada seorang wanita yang menghibahkan diri nya begitu saja kepada se orang laki-laki.” Dalam ha dis yang diriwayatkan Bukhari, kalimatnya seperti ini, “Tidakkah seorang wanita me rasa malu menghibahkan dirinya (untuk dinikahi)?”

Mendengar kalimat Aisyah, Ummu Syuraik menjawab, “Ya, sayalah orangnya.” Allah lantas menyatakannya sebagai wanita mukminah melalui firman-Nya, “….Dan wanita mukmin yang menyerahkan diri nya kepada Nabi…” Ketika ayat ini turun, Aisyah berkata, “Sesungguhnya Allah telah menanggapi keinginanmu dengan segera.”

Menjaga Lisan dan Tangan

Diriwayatkan dari Abu Musa bahwa para sahabat bertanya, wahai Rasul, Muslim manakah yang paling utama? Rasulullah SAW pun menjawab, yaitu Muslim yang selamat lisan dan tangannya (HR Bukhari). Hadis yang ber-uslub badi’ jinas isytiqaq di atas linier dengan kekhawatiran publik akan makin berkecambahnya hoaks dan narasi kebencian pada tahun politik.

Ruang publik memburam akibat membiaknya rimba kata yang nyaris tanpa makna. Data dan fakta dipelintir hingga lamur dalam indra objektivitas dan rasionalitas. Akibatnya, tak sederhana, sering kali sel pikir malah meringkuk dalam pengapnya penjara irasionalitas. Sebagai homo digitalis, kita sering kali terdampar dalam emosi sesaat yang dangkal. Agitasi dan propaganda justru diremah men tahmentah.

Sementara hujan olok-olok yang ditengarai melabrak te duhnya payung logika etika dan esteti ka terus-menerus mendera deras. Kita seakan lalai bahwa tajamnya lidah bisa mendatangkan siksa Allah. Muadz bin Jabal pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasul, apakah kita akan disiksa akibat sesuatu yang diucapkan?”

Beliau menjawab, “Tidaklah manusia terjungkir di atas wajahnya (atau hidungnya) ke neraka melainkan akibat lisannya.” Al-Ghazali dalam Ihya’-nya mengingatkan bahwa anggota tubuh yang paling durhaka pada manusia ialah lidahnya, disebabkan ia tidak merasa berat menggerakgerakkannya, lincah untuk membicarakan apa pun. Tak hanya itu, ia juga perangkat setan terbesar untuk menipu manusia.

Dalam cuaca penuh kebisingan, membuat kita rindu pelangi keheningan yang penuh warna-warni hikmah. Memang, diam adalah hikmah dan (terhitung) sedikit pelakunya. Kita seolah lupa sabda Rasulullah SAW, barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.

Dalam Ihya’ dikisahkan Nabi Isa ditanya, “Tunjukilah kami amalan yang membawa kami masuk surga.” Isa menjawab, “Janganlah kamu bertutur kata selamanya.” Mereka menyahut, “Kami tak sanggup demikian.” Kemudian Nabi Isa berkata, “Janganlah bertutur kata selain hal kebajikan.”

Perlu disadari bersama bahwa manusia merupakan animal simbolicum, pencipta simbol melalui uraian lisan dan tulis. Kita menggunakan kata untuk mengab straksikan segala hal sebagai perangkat komunikasi verbal. Tak sekadar itu, bahasa juga menyimpan potensi membentuk pola pikir dan keyakinan sang mukhatab. Atau dengan kata lain, bahasa berfungsi sebagai pencipta realitas sekaligus realitas itu sendiri.

Untuk itu, sudah saatnya kita menggunakan segenap keinsafan diri agar tak larut dalam jeratan angkara emosi yang berujung ujaran kebencian. Peliharalah lisan dan jari kita dari tuturan yang nirmakna. Disebabkan pada dasarnya, memelihara lisan dan jemari berarti menjaga orisinalitas modus keberislaman yang autentik.

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW pernah berpesan bahwa di antara kebaikan kadar keislaman seseorang ialah bila ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya. Bahkan, indikator keimanan pun ditera melalui ucapan dan tutur yang memadukan antara nalar yang waras dan nurani yang sehat. Wallahu a’lam

Oleh: Mohammad Farid Fad

Jangan Risaukan Rezeki untuk Esok Hari

MEMPERBAIKI keadaan jiwa dan mengarahkan kalbu hanya kepada Allah semata, tak hanya perlu dilakukan pada saat kita menjalankan ketaatan, tetapi juga pada saat menghadapi situasi keseharian. Kita pun perlu ikhlas dengan rezeki yang Allah jatahkan untuk kita.

Risau dengan nasib esok hari ataupun kegairahan dalam mengejar rezeki bisa membelok kita dari jalur ikhlas. Untuk mendalami hal ini, marilah simak pengajian Syekh Abd al-Qadir al-Jaylani dalam al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani.

Janganlah kita mencemaskan rezeki kita, karena rezeki itu mencari kita melebihi pencarian kita terhadapnya. Jika hari ini kita mendapatkan rezeki, janganlah kita merisaukan rezeki untuk esok hari.

Sesungguhnya kita tak tahu apakah kita masih menjumpai esok hari, sebagaimana hari kemarin telah kita kita lewati. Maka, berkonsentrasilah untuk mengisi hari kita dengan amalan-amalan yang baik.

Jika, kita telah mengenal Allah Azza wa Jalla, tentulah kita akan menyibukkan diri dengan-Nya, alih-alih menyibukkan diri dengan pencarian rezeki. Ketahuilah, kebesaran-Nya akan mencegahmu dari meminta dari-Nya. Sebab, siapa telah mengenal Allah Azza Wa Jalla, kelulah lidahnya.

Orang arif selalu terdiam membisu di hadapan-Nya hingga Allah mengembalikannya ke urusan perbaikan umat. Jika Allah menempatkannya kembali di tengah hamba-Nya, Allah akan melepas kekeluan dan kegagapan lidahnya.

Tatkala Musa as, menggembala domba, lisannya gagap, gugup, kaku, dan terbata-bata, dan ketika Allah hendak menempatkannya kembali, Allah memberinya ilham sehingga ia berkata,

” Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.” (Q.S Thaha [20]: 27-28)

Seolah ia mengatakan, “Saat aku di padang pasir menggembala kambing, aku tak membutuhkan hal ini, dan sekarang aku perlu mengurus dan berbicara pada umat, maka bantulah aku agar lepas kekeluan lidahku.” Maka Allah pun melepaskan kekakuan dari lidahnya, sehingga ia bisa bicara dengan sembilan puluh kata yang fasih dan dimengerti, kata-kata yang mudah orang lain ucapkan. Saat kecil, Musa pernah ingin bicara diluar haknya di hadapan Firaun dan Aisyah, maka Allah membuatnya menelan batu. [Chairunnisa Dhiee]

Sumber: Buku “Ikhlas tanpa Batas”

INILAH MOZAIK

Petuah Para Tetua tentang Mengubah Nasib

SERING kita mendengar kata mengadu nasib dari mulut para transmigran atau imigran. Berangkat dari desa ke kota atau ke negara lain untuk mencari keberuntungan yang belum tentu menguntungkan. Ada istilah yang relatif mentereng namun satu makna dengan yang di atas, yaitu mengejar impian. Substansinya sama, yakni bagaimana mengubah nasib menjadi enak atau lebih enak.

Berikut adalah beberapa nasehat yang sempat saya rekam dari perbincangan saya dengan orang-orang tua yang sangat tua sekali tentang bagaimana mengubah nasib. Orang-orang tua itu rata-rata adalah kiai atau tokoh masyarakat. Pertama adalah “perseringlah berbisik ke bumi melalui sujudmu agar disampaikan ke langit apa yang menjadi maumu.”

Mereka yang jarang atau bahkan enggan shalat dan sujud tak akan mampu menemukan hakikat kesuksesan dan kebahagiaan. Semua yang didapat hanyalah bersifat semu dan semi. Hidup mereka hanya bagai mengejar fatamorgana; indah yang diharap, hampa yang didapat. Perlu dicatat bahwa mendapatkan sepotong singkong rebus sungguh lebih nikmat ketimbang bermimpi mendapat sebongkah emas.

Nasehat yang kedua untuk mengubah nasib adalah “ubahlah adatmu sampai ia bernilai ibadat dengan kesungguhan niat.” Para ulama jiwa berkata: “hanya orang gila yang berharap hasil yang berbeda dari usaha yang sama.” Rutinas yang tak efektif cepatlah pangkas dan gantikan dengan kebiasaan baru yang lebih bernilai bernas.

Tanyakan kepada diri kita, selama ini untuk apakah kebanyakan waktu kita itu kita gunakan? Kalau kebanyakan waktu kita digunakan untuk chatting di media sosial dengan isi perbincangan yang tidak bermutu, maka mintalah sukses bahagia kepada “media sosial” itu.

Demikian dua dari tujuh nasehat para tetua yang sempat saya share hari ini. Semoga share ini masuk dalam katagori bermutu dan bernilai untuk sukses bahagia kita. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

Fikih Pengurusan Jenazah (2): Shalat Jenazah

Hukum Shalat Jenazah

Shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah berdasarkan keumuman perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah seorang muslim. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كان يُؤتى بالرجلِ الميتِ ، عليه الدين . فيسأل ( هل ترك لدَينه من قضاءٍ ؟ ) فإن حدث أنه ترك وفاءً صلَّى عليه . وإلا قال ( صلُّوا على صاحبِكم)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah didatangkan kepada beliau jenazah seorang lelaki. Lelaki tersebut masih memiliki hutang. Maka beliau bertanya: “Apakah ia memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya?”. Jika ada yang menyampaikan bahwa orang tersebut memilikiharta peninggalan untuk melunasi hutangnya, maka Nabi pun menyalatkannya. Jika tidak ada, maka beliau bersabda: “Shalatkanlah saudara kalian” (HR Muslim no. 1619).

Bahkan dianjurkan sebanyak mungkin kaum Muslimin menshalatkan orang yang meninggal, agar ia mendapatkan syafa’at. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ

Tidaklah seorang Muslim meninggal,lalu dishalatkan oleh kaum muslimin yang jumlahnya mencapai seratus orang, semuanya mendo’akan untuknya, niscaya mereka bisa memberikan syafa’at untuk si mayit” (HR. Muslim no. 947).

 

Hal-Hal Yang Disyari’atkan Terhadap Orang Yang Baru Meninggal Dunia

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أرْبَعُونَ رَجُلا، لا يُشْرِكُونَ بِالله شَيْئاً إِلا شَفَّعَهُمُ اللهُ فِيهِ

Tidaklah seorang Muslim meninggal, lalu dishalatkan oleh empat puluh orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun, kecuali Allah akan memberikan syafaat kepada jenazah tersebut dengan sebab mereka” (HR. Muslim no. 948).

Tata Cara Shalat Jenazah

1. Posisi berdiri

Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit lelaki dan bila mayitnya wanita, imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang imam. Sebagaimana dalam hadits Abu Ghalib:

قال العلاءُ بن زياد: يا أبا حمزةَ، هكذا كانَ يفعَلُ رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم؛ يُصلِّي على الجِنازة كصلاتِك، يُكبِّر عليها أربعًا، ويقومُ عند رأس الرَّجُلِ وعجيزةِ المرأة؟ قال: نعم

“Al ‘Ala bin Ziyad mengatakan: wahai Abu Hamzah (Anas bin Malik), apakahpraktek Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam shalat jenazah seperti yang engkau lakukan? Bertakbir 3 kali, berdiri di bagian kepala lelaki dan di bagian tengah wanita? Anas bin Malik menjawab: iya” (HR. Abu Daud no. 3194, At Tirmidzi no. 1034, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud).

 

2. Jumlah shaf

Sebagian ulama menganjurkan untuk membuat tiga shaf (barisan) walaupun shaf pertama masih longgar. Berdasarkan hadits:

مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ فَقَدْ أَوْجَبَ

Barangsiapa yang menshalatkan jenazah dengan membuat tiga shaf, maka wajib baginya (mendapatkan ampunan)” (HR. Tirmidzi no. 1028).

Ulama khilaf mengenai derajat hadits ini. Pokok permasalahannya adalah pada perawi bernama Muhammad bin Ishaq Al Qurasyi yang merupakan seorang mudallis, dan dalam hadits ini ia melakukan ‘an’anah. Ada pembahasan di antara para ulama mengenai ‘an’anah Ibnu Ishaq.

Wallahu a’lam, hadits ini lemah karena ‘an’anah Ibnu Ishaq. Sebagaimana Syaikh Al Albani dalam Dha’if Al Jami‘ (no. 5668) menyatakan hadits ini lemah.

Maka yang menjadi ibrah (hal yang diperhatikan) adalah banyaknya jumlah orang yang menyalati sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim, bukan sekedar jumlah tiga shaf.

3. Jumlah takbir dan mengangkat tangan

Takbir shalat jenazah sebanyak empat kali. Ulama ijma akan hal ini. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu:

أنَّ رسولَ الله صلَّى الله عليه وسلَّم صلَّى على أَصْحمَةَ النجاشيِّ، فكبَّر عليه أربعًا

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menshalati Ash-hamah An Najasyi, beliau bertakbir empat kali” (HR. Bukhari no. 1334, Muslim no. 952).

Ulama ijma mengenai disyariatkannya mengangkat tangan untuk takbir yang pertama. Ibnu Mundzir mengatakan:

أجمَعوا على أنَّ المصلِّي على الجِنازَة يرفع يديه في أوَّل تكبيرة يُكبِّرها

“Ulama ijma bahwa orang yang shalat jenazah disyartiatkan mengangkat tangan di takbir yang pertama” (Al Ijma, 44).

Namun mereka khilaf mengenai mengangkat tangan untuk takbir selainnya. Yang rajih, disunnahkan untuk mengangkat tangan dalam setiap takbir dalam shalat jenazah. Berdasarkan riwayat dari Nafi’ tentang Ibnu Umar radhiallahu’anhu, Nafi’ berkata:

كان يرفعُ يَديهِ في كلِّ تكبيرةٍ على الجِنازة

Ibnu Umar radhiallahu’anhu mengangkat tangannya di setiap kali takbir dalam shalat jenazah” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf [11498], dihasankan Syaikh Ibnu Baz dalam Ta’liq beliau terhadap Fathul Baari [3/227]).

Juga riwayat dari Ibnu Abbas:

أنَّه كان يرفعُ يَديهِ في تكبيراتِ الجِنازة

“Bahwasanya beliau biasa mengangkat kedua tangannya setiap kali takbir di shalat jenazah” (dishahihkan Ibnu Hajar dalam Talkhis Al Habir, 2/291).

 

4. Tempat shalat jenazah

Shalat jenazah lebih utama dilakukan di luar masjid. Sebagaimana yang umum dilakukan di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ ، خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ ، وَكَبَّرَ أَرْبَعًا

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengumumkan kematian An Najasyi di hari ia wafat. Kemudian beliau keluar ke lapangan lalu menyusun shaf untuk shalat, kemudian bertakbir empat kali” (HR. Bukhari no.1245).

Namun boleh juga dikerjakan di dalam masjid. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

وَاللهِ مَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى سُهَيْلِ بْنِ بَيْضَاءَ وَأَخِيْهِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ

Demi, Allah! Tidaklah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyalatkan jenazah Suhail bin Baidha’ dan saudaranya (Sahl), kecuali di masjid” (HR Muslim no. 973).

Dibolehkan bagi orang yang belum sempat menshalatkan jenazah sebelum dikuburkan, lalu ia melakukan shalat jenazah di pemakaman. Sebagaimana dalam riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma:

مَاتَ إِنْسَانٌ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَمَاتَ بِاللَّيْلِ فَدَفَنُوهُ لَيْلًا، فَلَمَّا أَصْبَحَ أَخْبَرُوهُ فَقَالَ: «مَا مَنَعَكُمْ أَنْ تُعْلِمُونِي؟» قَالُوا: «كَانَ اللَّيْلُ فَكَرِهْنَا ـ وَكَانَتْ ظُلْمَةٌ ـ أَنْ نَشُقَّ عَلَيْكَ»، فَأَتَى قَبْرَهُ فَصَلَّى عَلَيْهِ

Seseorang yang biasa dikunjungi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah meninggal. Ia meninggal di malam hari, maka ia pun dikuburkan di malam hari. Ketika pagi hari tiba, para sahabat mengabarkan hal ini kepada Rasulullah. Beliau pun bersabda: apa yang menghalangi kalian untuk segera memberitahukan aku? Para sahabat menjawab: ketika itu malam hari, kami tidak ingin mengganggumu wahai Rasulullah. Maka beliau pun mendatangi kuburannya dan shalat jenazah di sana” (HR. Bukhari no. 1247).

 

Demikian juga dalam riwayat Muslim:

انْتَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى قَبْرٍ رَطْبٍ؛ فَصَلَّى عَلَيْهِ وَصَفُّوا خَلْفَهُ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah berhenti di sebuah kuburan yang masih basah. Ia shalat (jenazah) di sana dan menyusun shaf untuk shalat. Beliau bertakbir empat kali” (HR. Muslim no. 954).

5. Tata cara shalat

Pertama, niat shalat jenazah. Dan niat adalah amalan hati tidak perlu dilafalkan.

Kedua, takbir yang pertama, membaca ta’awwudz kemudian Al Fatihah. Berdasarkan keumuman hadits:

لا صلاةَ لِمَن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

Tidak ada shalat yang tidak membaca Al Fatihah” (HR. Bukhari no. 756, Muslim no. 394).

Kemudian riwayat dari Thalhah bin Abdillah bin Auf, ia berkata:

صليتُ خلفَ ابنِ عبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عنهما على جِنازة، فقرَأَ بفاتحةِ الكتابِ، قال: لِيَعْلموا أنَّها سُنَّةٌ

Aku shalat bermakmum kepada Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam shalat jenazah. Beliau membaca Al Fatihah. Beliau lalu berkata: agar mereka tahu bahwa ini adalah sunnah (Nabi)” (HR. Bukhari no. 1335).

Dan tidak perlu membaca do’a istiftah / iftitah sebelum Al Fatihah.

Ketiga, takbir yang kedua, kemudian membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berdasarkan hadits dari Abu Umamah Al Bahili radhiallahu’anhu:

أنَّ السُّنَّةَ في الصَّلاةِ على الجِنازة أن يُكبِّرَ الإمامُ، ثم يقرأَ بفاتحةِ الكتابِ- بعدَ التكبيرة الأولى- سِرًّا في نفْسِه، ثم يُصلِّيَ على النبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم، ويُخلِصَ الدُّعاءَ للميِّت في التكبيراتِ، لا يقرأُ فى شىءٍ منهنَّ، ثم يُسلِّم

Bahwa sunnah dalam shalat jenazah adalah imam bertakbir kemudian membaca Al Fatihah (setelah takbir pertama) secara sirr (lirih), kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, kemudian berdoa untuk mayit setelah beberapa takbir. Kemudian setelah itu tidak membaca apa-apa lagi setelah itu. Kemudian salam” (HR. Asy Syafi’i dalam Musnad-nya [no. 588], Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra [7209], dishahihkan Al Albani dalam Ahkamul Janaiz [155]).

Keempat, takbir yang ketiga, kemudian membaca doa untuk mayit. Berdasarkan hadits Abu Umamah di atas. Diantara doa yang bisa dibaca adalah:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ

Ya Allah, berilah ampunan baginya dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah ia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya, mandikanlah ia dengan air, es dan salju. Bersihkanlah dia dari kesalahannya sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya semula, istri yang lebih baik dari istrinya semula. Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah ia dari adzab kubur dan adzab neraka” (HR Muslim no. 963).

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا

Ya Allah, ampunilah orang yang hidup di antara kami dan orang yang telah mati, yang hadir dan yang tidak hadir, (juga) anak kecil dan orang dewasa, lelaki dan wanita di antara kami” (HR At Tirmidzi no. 1024, ia berkata: “hasan shahih”).

Keempat, takbir keempat. Kemudian diam sejenak atau boleh juga membaca doa untuk mayit menurut sebagian ulama. Yang lebih utama adalah diam sejenak dan tidak membaca apa-apa sebagaimana zhahir dalam hadits Abu Umamah radhiallahu’anhu.

Kelima, salam. Dan sifat salamnya sebagaimana salam dalam shalat yang lain. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu:

ثلاثُ خِلالٍ كان رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم يفعلهنَّ، ترَكَهنَّ النَّاسُ؛ إحداهنَّ: التسليمُ على الجِنازة مِثل التَّسليمِ في الصَّلاةِ

“Ada 3 perkara yang dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar melakukannya dan kemudian banyak ditinggalkan orang: salah satunya salam di shalat jenazah semisal dengan salam dalam shalat yang lain..” (HR. Ath Thabrani no. 10022, dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Janaiz [162]).

Yaitu salam dilakukan dua kali ke kanan dan ke kiri dan yang merupakan rukun hanya salam ke kanan saja.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44196-fikih-pengurusan-jenazah-2-shalat-jenazah.html

Fikih Pengurusan Jenazah (1) : Memandikan dan Mengkafani

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, berikut ini kami sajikan uraian mengenai fikih tajhiz al janazah (pengurusan jenazah) secara ringkas beserta dalil-dalil dan keterangan dari para ulama.

Ketika baru meninggal

1. Dianjurkan memejamkan mata orang yang baru meninggal dunia

Dalil hadits dari Ummu Salamah Hindun bintu Abi Umayyah radhiallahu’anha, ia mengatakan:

دخل رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ على أبي سلمةَ وقد شقَّ بصرُه . فأغمضَه . ثم قال إنَّ الروحَ إذا قُبِض تبِعه البصرُ

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika mendatangi Abu Salamah yang telah meninggal, ketika itu kedua matanya terbuka. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam pun memejamkan kedua mata Abu Salamah dan bersabda: “Sesungguhnya bila ruh telah dicabut, maka pandangan matanya mengikutinya” (HR. Muslim no. 920).

Ulama ijma bahwa memejamkan mata mayit hukumnya sunnah.

Ketika memejamkan mata jenazah tidak ada dzikir atau doa tertentu yang berdasarkan dalil yang shahih.

2. Mendo’akan kebaikan kepada mayit

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah memejamkan mata Abu Salamah, beliau berdo’a:

اللهم اغفر لأبي سلمة وارفع درجته في المهديين واخلفه في عقبه في الغابرين واغفر لنا وله يا رب العالمين وافسح له في قبره ونور له فيه

Ya Allah ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya dan jadikan ia termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk, dan berilah ganti yang lebih baik bagi anak keturunannya, dan ampunilah kami dan dia wahai Rabb semesta alam, luaskanlah kuburnya dan terangilah” (HR. Muslim no. 920).

Atau boleh juga doa-doa lainnya yang berisi kebaikan untuk mayit.

3. Mengikat dagunya agar tidak terbuka

Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah mengatakan:

و شد لحييه] و ذلك مخافة أن يبقى فمه مفتوحا حالة غسله و حالة تجهيزه فيشد حتى ينطبق فمه مع أسنانه]

“Ketika mayit meninggal [ditutup mulutnya] yaitu karena dikhawatirkan mulutnya terbuka ketika dimandikan dan ketika dipersiapkan. Sehingga hendaknya ditutup sampai bersatu antara gigi dan mulutnya” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/424).

Adapun tata caranya longgar, biasanya dengan menggunakan kain yang lebar dan panjang diikat melingkar dari dagu hinggake atas kepalanya, sehingga agar mulutnya tertahan dan tidak bisa terbuka.

4. Menutupnya dengan kain

Berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, beliau mengatakan:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ ببُرْدٍ حِبَرَةٍ

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau wafat, beliau ditutup dengan kain hibrah (sejenis kain Yaman yang bercorak)” (HR. Bukhari no. 5814, Muslim no. 942).

5. Dianjurkan bersegera mempersiapkan mayit untuk dikubur

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أَسْرِعُواْ بالجنازةِ ، فإن تَكُ صالحةً فخيرٌ تُقَدِّمُونَهَا ، وإن يَكُ سِوَى ذلكَ ، فشَرٌّ تضعونَهُ عن رقابكم

Percepatlah pengurusan jenazah. Jika ia orang yang shalih di antara kalian, maka akan jadi kebaikan baginya jika kalian percepat. Jika ia orang yang bukan demikian, maka keburukan lebih cepat hilang dari pundak-pundak kalian” (HR. Bukhari no. 1315, Muslim no. 944).

Memandikan mayit

1. Hukum memandikan mayit

Memandikan mayit hukumnya fardhu kifayah. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:

بينَا رجلٌ واقفٌ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بعَرَفَةَ ، إذْ وَقَعَ عن راحلتِهِ فَوَقَصَتْهُ ، أو قال فأَقْعَصَتْهُ ، فقالَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : اغْسِلوهُ بماءٍ وسِدْرٍ ، وكَفِّنُوهُ في ثَوْبَيْنِ ، أو قالَ : ثَوْبَيْهِ ، ولا تُحَنِّطُوهُ ، ولا تُخَمِّروا رأسَهُ ، فإنَّ اللهَ يبْعَثُهُ يومَ القيامةِ يُلَبِّي

Ada seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu meninggal. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain, jangan beri minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206).

Juga hadits dari Ummu ‘Athiyyah radhialahu’anha, ia berkata:

تُوفيتْ إحدى بناتِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، فخرج فقال : اغْسِلْنَها ثلاثًا ، أو خمسًا ، أو أكثرَ من ذلك إن رأيتُنَّ ذلك ، بماءٍ وسدرٍ ، واجعلنَ في الآخرةِ كافورًا ، أو شيئًا من كافورٍ، فإذا فرغتُنَّ فآذِنَّنِي فلما فرغنا آذناه فألقى إلينا حقوه فضفرنا شعرها ثلاثة قرون وألقيناها خلفها

Salah seorang putri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam meninggal (yaitu Zainab). Maka beliau keluar dan bersabda: “mandikanlah ia tiga kali, atau lima kali atau lebih dari itu jika kalian menganggap itu perlu. Dengan air dan daun bidara. Dan jadikanlah siraman akhirnya adalah air yang dicampur kapur barus, atau sedikit kapur barus. Jika kalian sudah selesai, maka biarkanlah aku masuk”. Ketika kami telah menyelesaikannya, maka kami beritahukan kepada beliau. Kemudian diberikan kepada kami kain penutup badannya, dan kami menguncir rambutnya menjadi tiga kunciran, lalu kami arahkan ke belakangnya” (HR. Bukhari no. 1258, Muslim no. 939).

2. Siapa yang memandikan mayit?

Yang memandikan mayit hendaknya orang yang paham fikih pemandian mayit. Lebih diutamakan jika dari kalangan kerabat mayit. Sebagaimana yang memandikan jenazah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Ali radhiallahu’anhu dan kerabat Nabi. Ali mengatakan:

غسلتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم , فذهَبتُ أنظُرُ ما يكونُ منَ الميتِ فلم أرَ شيئًا , وكان طيبًا حيًّا وميتًا , وولي دفنَه وإجنانَه دونَ الناسِ أربعةٌ : عليُّ بنُ أبي طالبٍ , والعباسُ , والفضلُ بنُ العباسِ , وصالحٌ مولى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وألحدَ لرسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم لحدًا ونُصِبَ عليه اللبنُ نَصبًا

Aku memandikan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan aku memperhatikan jasad beliau seorang tidak ada celanya. Jasad beliau bagus ketika hidup maupun ketika sudah wafat. Dan yang menguburkan beliau dan menutupi beliau dari pandangan orang-orang ada empat orang: Ali bin Abi Thalib, Al Abbas, Al Fadhl bin Al Abbas, dan Shalih pembantu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku juga membuat liang lahat untuk Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan di atasnya diletakkan batu bata” (HR. Ibnu Majah no. 1467 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Dan wajib bagi jenazah laki-laki dimandikan oleh laki-laki. Demikian juga jenazah wanita dimandikan oleh wanita. Karena Kecuali suami terhadap istrinya atau sebaliknya. Hal ini dikarenakan wajibnya menjaga aurat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya:

يا رسولَ اللَّهِ عوراتُنا ما نأتي منها وما نذَرُ قالَ احفَظْ عورتَكَ إلَّا من زوجتِكَ أو ما ملكت يمينُكَ

Wahai Rasulullah, mengenai aurat kami, kepada siapa boleh kami tampakkan dan kepada siapa tidak boleh ditampakkan? Rasulullah menjawab: “tutuplah auratmu kecuali kepada istrimu atau budak wanitamu” (HR. Tirmidzi no. 2794, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Kecuali bagi anak yang berusia kurang dari 7 tahun maka boleh dimandikan oleh lelaki atau wanita.

 

3. Perangkat memandikan mayit

Perangkat yang dibutuhkan untuk memandikan mayit diantaranya:

  • Sarung tangan atau kain untuk dipakai orang yang memandikan agar terjaga dari najis, kotoran dan penyakit
  • Masker penutup hidung juga untuk menjaga orang yang memandikan agar terjaga dari penyakit
  • Spon penggosok atau kain untuk membersihkan badan mayit
  • Kapur barus yang sudah digerus untuk dilarutkan dengan air
  • Daun sidr (bidara) jika ada, yang busanya digunakan untuk mencuci rambut dan kepala mayit. Jika tidak ada, maka bisa diganti dengan sampo
  • Satu ember sebagai wadah air
  • Satu embar sebagai wadah air kapur barus
  • Gayung
  • Kain untuk menutupi aurat mayit
  • Handuk
  • Plester bila dibutuhkan untuk menutupi luka yang ada pada mayat
  • Gunting kuku untuk menggunting kuku mayit jika panjang

4. Cara memandikan mayit

  • Melemaskan persendian mayit

Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:

وأما تليين مفاصله فالحكمة في ذلك أن تلين عند الغسل، وذلك بأن يمد يده ثم يثنيها، ويمد منكبه ثم يثنيه، وهكذا يفعل بيده الأخرى، وكذلك يفعل برجليه، فيقبض رجله ليثنيها ثم يمدها مرتين أو ثلاثاً حتى تلين عند الغسل

“Adapun melemaskan persendian, hikmahnya untuk memudahkan ketika dimandikan. Caranya dengan merentangkan tangannya lalu ditekuk. Dan direntangkan pundaknya lalu ditekuk. Kemudian pada tangan yang satunya lagi. Demikian juga dilakukan pada kaki. Kakinya pegang lalu ditekuk, kemudian direntangkan, sebanyak dua kali atau tiga kali. Sampai ia mudah untuk dimandikan” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/424).

Dan hendaknya berlaku lembut pada mayit. Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا

Memecah tulang orang yang telah meninggal dunia adalah seperti memecahnya dalam keadaan hidup” (HR. Abu Daud no. 3207, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

  • Melepas pakaian yang melekat di badannya

Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:

(وخلع ثيابه) يعني: الثياب التي مات فيها يسن أن تخلع ساعة موته، ويستر برداء أو نحوه

“[Dilepaskan pakaiannya] yaitu pakaian yang dipakai mayit ketika meninggal. Disunnahkan untuk dilepaskan ketika ia baru wafat. Kemudian ditutup dengan rida (kain) atau semisalnya” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/424).

Namun orang yang meninggal dunia ketika ihram tidaklah boleh ditutup wajah dan kepalanya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma di atas.

 

Cara melepaskan pakaiannya jika memang sulit untuk dilepaskan dengan cara biasa, maka digunting hingga terlepas.

  • Menutup tempat mandi dari pandangan orang banyak

Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:

أن يستر في داخل غرفة مغلقة الأبواب والنوافذ، ولا يراه أحد إلا الذين يتولون تغسيله، ولا يجوز أن يغسل أمام الناس

“Mayat ditutup dalam suatu ruangan yang tertutup pintu dan jendelanya. Sehingga tidak terlihat oleh siapapun kecuali orang yang mengurus pemandian jenazah. Dan tidak boleh dimandikan di hadapan orang-orang banyak” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/428).

Kemudian mayit ditutup dengan kain pada bagian auratnya terhadap sesama jenis, yaitu dari pusar hingga lutut bagi laki-laki dan dari dada hingga lutut bagi wanita.

Teknis pemandian

Disebutkan dalam Matan Akhsharil Mukhtasharat:

نوى وسمى وهما كفي غسل حَيّ ثمَّ يرفع راس غير حَامِل الى قرب جُلُوس ويعصر بَطْنه بِرِفْق وَيكثر المَاء حِينَئِذٍ ثمَّ يلف على يَده خرقَة فينجيه بهَا وَحرم مس عَورَة من لَهُ سبع

ثمَّ يدْخل اصبعيه وَعَلَيْهَا خرقَة مبلولة فِي فَمه فيمسح اسنانه وَفِي مَنْخرَيْهِ فينظفهما بِلَا ادخال مَاء ثمَّ يوضئه وَيغسل راسه ولحيته برغوة السدر وبدنه بثفله ثمَّ يفِيض عَلَيْهِ المَاء وَسن تثليث وتيامن وامرار يَده كل مرّة على بَطْنه فان لم ينق زَاد حَتَّى ينقى وَكره اقْتِصَار على مرّة وَمَاء حَار وخلال واشنان بِلَا حَاجَة وتسريح شعره

وَسن كافور وَسدر فِي الاخيرة وخضاب شعر وقص شَارِب وتقليم اظفار ان طالا

“Berniat dan membaca basmalah, keduanya wajib ketika mandi untuk orang hidup. Kemudian angkat kepalanya jika ia bukan wanita hamil, sampai mendekati posisi duduk. Kemudian tekan-tekan perutnya dengan lembut. Perbanyak aliran air ketika itu, kemudian lapisi tangan dengan kain dan lakukan istinja (cebok) dengannya. Namun diharamkan menyentuh aurat orang yang berusia 7 tahun (atau lebih). Kemudian masukkan kain yang basah dengan jari-jari ke mulutnya lalu gosoklah giginya dan kedua lubang hidungnya. Bersihkan keduanya tanpa memasukkan air. Kemudian lakukanlah wudhu pada mayit. Kemudian cucilah kepalanya dan jenggotnya dengan busa dari daun bidara. Dan juga pada badannya beserta bagian belakangnya. Kemudian siram air padanya. Disunnahkan diulang hingga tiga kali dan disunnahkan juga memulai dari sebelah kanan. Juga disunnahkan melewatkan air pada perutnya dengan tangan. Jika belum bersih diulang terus hingga bersih. Dimakruhkan hanya mencukupkan sekali saja, dan dimakruhkan menggunakan air panas dan juga daun usynan tanpa kebutuhan. Kemudian sisirlah rambutnya dan disunnahkan air kapur barus dan bidara pada siraman terakhir. Disunnahkan menyemir rambutnya dan memotong kumisnya serta memotong kukunya jika panjang”.

 

Poin-poin tambahan seputar teknis pemandian mayit

  • Yang wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Disunnahkan tiga kali, boleh lebih dari itu jika dibutuhkan
  • Bagi jenazah wanita, dilepaskan ikatan rambutnya dan dibersihkan. Kemudian dikepang menjadi tiga kepangan dan diletakkan di bagian belakangnya. Sebagaimana dalam hadits Ummu Athiyyah di atas

Jika tidak memungkinkan mandi, maka diganti tayammum

Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.

Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:

(وإذا تعذر غسل ميت يمم) وذلك لأجل المشقة، فيضرب أحدهم يديه بالتراب، ويمسح وجهه، ويمسح كفيه، ويقوم مقام الغسل، ويمثلون لذلك بالمحترق الذي إذا غسل تمزق لحمه، فلا يستطيعون أن يغسلوه، وكذلك من كان في بدنه جروح كثيرة، وجلدته بشعة، بحيث إنه إذا صب عليه الماء تمزق جلده، وتمزق لحمه؛ فلا يغسل والحالة هذه

“[Jika ada udzur untuk dimandikan, maka mayit di-tayammumi], yaitu karena adanya masyaqqah. Maka salah seorang memukulkan kedua tangannya ke debu kemudian diusap ke wajah dan kedua telapak tangannya. Ini sudah menggantikan posisi mandi. Misalnya bagi orang yang mati terbakar dan jika dimandikan akan rusak dagingnya, maka tidak bisa dimandikan. Demikian juga orang yang penuh dengan luka dan kulitnya berantakan. Jika terkena dimandikan dengan air maka akan robek-robek kulitnya dan dagingnya. Maka yang seperti ini tidak dimandikan” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/435-436).

Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu“. (HR Abu Dawud no. 3161 dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Janaiz no. 71).

 

Janin yang keguguran

Janin yang mati karena keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan. Jika 4 bulan atau kurang maka tidak perlu. Berdasarkan hadits dari Al Mughirah bin Syu’bah secara marfu’:

والسِّقطُ يُصلِّى عليه ويُدعَى لوالدَيه بالمغفرةِ والرحمةِ

Janin yang mati keguguran, dia dishalatkan dan dido’akanampunan dan rahmat untuk kedua orang tuanya” (HR. Abu Dawud no. 3180, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:

السقط الذي عمره دون أربعة أشهر: الصحيح أنه لا يكفن، وإنما يلف ويدفن في مكان طاهر، وليس له حكم الإنسان، فإذا تمت له أربعة أشهر فإنه يعامل كالحي، فيغسل، ويكفن، ويصلى عليه

“Janin yang mati keguguran jika di bawah empat bulan maka yang shahih ia tidak dikafani. Namun ia dilipat dan dikuburkan di tempat yang bersih. Dan ia tidak diperlakukan sebagaimana manusia. Jika sudah berusia 4 bulan (atau lebh) maka diperlakukan sebagaimana manusia yang hidup, yaitu dimandikan, dikafani dan dishalatkan” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/435).

Mengkafani mayit

Hukum mengkafani mayit

Mengkafani mayit hukumnya sebagaimana memandikannya, yaitu fardhu kifayah. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu tentang orang yang meninggal karena jatuh dari untanya, di dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

اغْسِلوهُ بماءٍ وسِدْرٍ ، وكَفِّنُوهُ في ثَوْبَيْنِ

“Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206).

Kadar wajib dari mengkafani jenazah adalah sekedar menutup seluruh tubuhnya dengan bagus. Adapun yang selainnya hukumnya sunnah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ

Apabila salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus kafannya” (HR. Muslim no. 943).

Kecuali orang yang meninggal dalam keadaan ihram, maka tidak ditutup kepalanya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ولا تُحَنِّطُوهُ ، ولا تُخَمِّروا رأسَهُ ، فإنَّ اللهَ يبْعَثُهُ يومَ القيامةِ يُلَبِّي

“Jangan beri minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206).

Kriteria kain kafan

  1. Kain kafan untuk mengkafani mayit lebih utama diambilkan dari harta mayit.

Dan semua biaya pengurusan jenazah lebih didahulukan untuk diambil dari harta mayit daripada untuk membayar hutangnya, ini adalah pendapat jumhur ulama. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

….وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْهِ

“Kafanilah dia dengan dua bajunya”

Artinya, dari kain yang diambil dari hartanya.

  1. Memakai kain kafan berwarna putih hukumnya sunnah, tidak wajib.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

البَسوا مِن ثيابِكم البياضَ وكفِّنوا فيها موتاكم فإنَّها مِن خيرِ ثيابِكم

Pakailah pakaian yang berwarna putih dan kafanilah mayit dengan kain warna putih. Karena itu adalah sebaik-baik pakaian kalian” (HR. Abu Daud no. 3878, Tirmidzi no. 994, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami no.1236).

  1. Disunnahkan menggunakan tiga helai kain putih.

Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha ia berkata:

كُفِّنَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في ثلاثِ أثوابٍ بيضٍ سحوليةٍ ، من كُرْسُفَ . ليس فيها قميصٌ ولا عمامةٌ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dikafankan dengan 3 helai kain putih sahuliyah dari Kursuf, tanpa gamis dan tanpa imamah” (HR. Muslim no. 941).

  1. Kafan mayit wanita

Jumhur ulama berpendapat disunnahkan wanita menggunakan 5 helai kain kafan. Namun hadits tentang hal ini lemah. Maka dalam hal ini perkaranya longgar, boleh hanya dengan 3 helai, namun 5 helai juga lebih utama.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:

وقد جاء في جعل كفن المرأة خمسة أثواب حديث مرفوع ، إلا أن في إسناده نظراً ؛ لأن فيه راوياً مجهولاً ، ولهذا قال بعض العلماء : إن المرأة تكفن فيما يكفن به الرجل ، أي : في ثلاثة أثواب يلف بعضها على بعض

“Dalam hal ini telah ada hadits marfu’ (kafan seorang wanita adalah lima helai kain, Pen). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain.” (Asy Syarhul Mumti’, 5/393).

Disunnahkan menambahkan sarung, jilbab dan gamis bagi mayit wanita. Al Lajnah Ad Daimah mengatakan:

والمرأة يبدأ تكفينها بالإزار على العورة وما حولها , ثم قميص على الجسد , ثم القناع على الرأس وما حوله , ثم تلف بلفافتين

“Mayit wanita dimulai pengkafananannya dengan membuatkan sarung yang menutupi auratnya dan sekitar aurat, kemudian gamis yang menutupi badan, kemudian kerudung yang menutupi kepala kemudian ditutup dengan dua lapis” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah. 3/363).

  1. Kafan untuk anak kecil

Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:

والصغيرة يكفي فيها قميص ولفافاتان

“Mayit anak kecil cukup dengan gamis dan dua lapis kafan” (Ad Durar Al Mubtakirat, 1/438).

  1. Tidak diharuskan kain kafan dari bahan tertentu

Tidak ada ketentuan jenis bahan tertentu untuk kain kafan. Yang jelas kain tersebut harus bisa menutupi mayit dengan bagus dan tidak tipis sehingga menampakkan kulitnya.

Wewangian untuk kain kafan

Disunnahkan memberi wewangian pada kain kafan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ فَجَمِّرُوْهُ ثَلاَثًا

Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali” (HR Ahmad no. 14580, dishahihkan Al Albani dalam Ahkamul Janaiz no. 84).

 

Teknis Mengkafani Mayit

Dalam matan Akhsharil Mukhtasharat disebutkan teknis mengkafani mayit:

وَسن تكفين رجل فِي ثَلَاث لفائف بيض بعد تبخيرها وَيجْعَل الحنوط فِيمَا بَينهَا وَمِنْه بِقطن بَين الييه وَالْبَاقِي على منافذ وَجهه ومواضع سُجُوده ثمَّ يرد طرف الْعليا من الْجَانِب الايسر على شقَّه الايمن ثمَّ الايمن على الايسر ثمَّ الثَّانِيَة وَالثَّالِثَة كَذَلِك وَيجْعَل اكثر الْفَاضِل عِنْد راسه

“Disunnahkan mengkafani mayit laki-laki dengan tiga lapis kain putih dengan memberikan bukhur (wewangian dari asap) pada kain tersebut. Dan diberikan pewangi di antara lapisan. Kemudian diberikan pewangi pada mayit, di bagian bawah punggung, di antara dua pinggul, dan yang lainnya pada bagian sisi-sisi wajah dan anggota sujudnya. Kemudian kain ditutup dari sisi sebelah kiri ke sisi kanan. Kemudian kain dari sisi kanan ditutup ke sisi kiri. Demikian selanjutnya pada lapisan kedua dan ketiga. Kelebihan kain dijadikan di bagian atas kepalanya”.

Maka jika kita simpulkan kembali teknis mengkafani mayit adalah sebagai berikut:

  1. Bentangkan tali-tali pengikat kafan secukupnya. Tidak ada jumlah tali yang ditentukan syariat, perkaranya longgar.
  2. Bentangkan kain kafan lapis pertama di atas tali-tali tersebut.
  3. Beri bukhur pada kain lapis pertama, atau jika tidak ada bukhur maka dengan minyak wangi atau semisalnya.
  4. Bentangkan kain kafan lapis kedua di atas lapis pertama
  5. Beri bukhur atau minyak wangi pada kain lapis kedua
  6. Bentangkan kain kafan lapis ketiga di atas lapis kedua
  7. Beri bukhur atau minyak wangi pada kain lapis ketiga
  8. Letakkan mayit di tengah kain
  9. Tutup dengan kain lapis ketiga dari sisi kiri ke kanan, kemudian kain dari sisi kanan ke kiri
  10. Tutup dengan kain lapis kedua dari sisi kiri ke kanan, kemudian kain dari sisi kanan ke kiri
  11. Tutup dengan kain lapis pertama dari sisi kiri ke kanan, kemudian kain dari sisi kanan ke kiri
  12. Ikat dengan tali yang ada

 

Wallahu a’lam

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/43876-fikih-pengurusan-jenazah-1-memandikan-dan-mengkafani.html

Manusia yang Pandai Bersyukur

Ketika kita menggemakan takbir terutama saat berhari raya tersirat pemahaman bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Allah Mahabesar, sementara kita yang diciptakannya adalah kecil. Kita hina dan tak punya daya dan kekuatan untuk berkiprah, kecuali karena kemurahan dan kebesaran Allah. Karena itu, ketika kita telah merampungkan sebuah perjuangan (baca; Ramadhan), maka perbanyaklah takbir.

Dan hendaklah bertakbir atas anugerah yang telah Allah berikan. Semoga kalian menjadi hamba-Nya yang bersyukur.” (QS al-Baqarah [2]: 185). Ayat ini merupakan satu rangkaian dengan perintah puasa (QS [2]: 183).

Ramadhan mencetak kita menjadi hamba-Nya yang bertakwa. Dan orang yang bertakwa, akan senantiasa mengingat kebesaran Allah, termasuk semua nikmat yang telah diberikan kepadanya.

Di lidah ia mengucapkan kalimat takbir, dalam amal perbuatan ia menerjemahkannya dengan rasa syukur. Karena itu, menjadi pribadi yang bertakwa belum cukup bila tidak dibarengi dengan pribadi yang bersyukur. Kenapa? Karena maqam syukur lebih tinggi dari maqam takwa. Sebab, syukur menjadi maqam-nya para nabi dan rasul. Karenanya, Allah menegaskan, hanya sedikit dari hamba-Nya yang pandai bersukur (QS Saba [34]: 13).

Syukur merupakan satu stasiun hati yang akan menarik seseorang pada zona damai, tenteram, dan bahagia. Ia juga akan mendapatkan kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat, sekaligus mendapatkan insentif pahala dan kenikmatan yang terus bertambah dari Allah SWT (QS Ibrahim [14:] 7).

Rasul SAW adalah manusia yang pandai bersyukur. Suatu ketika, beliau pernah ditanya Bilal, Apakah yang menyebabkan baginda menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa baginda, baik yang dahulu maupun yang akan datang?” Beliau menjawab, Tidakkah engkau suka aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?”

Dzunnun al-Mishri memberi tiga gambaran tentang manifestasi syukur dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, kepada yang lebih tinggi urutan dan kedudukannya, maka ia senantiasa menaatinya (bit-tha’ah). Hai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada ulil amri  di antara kalian …” (QS an-Nisa [4]: 59).

Kedua, kepada yang setara, kita mengejawantahnya dengan bil-hadiyyah. Saling tukar pemberian. Kita harus sering-sering memberi hadiah kepada istri atau suami, saudara, teman seperjuangan, sejawat dan relasi. Dengan cara itu, maka akan ada saling cinta dan kasih.

Ketiga, kepada yang lebih bawah dan rendah dari kita, rasa syukur dimanifestasikan dengan bil-ihsan. Selalu memberi dan berbuat yang terbaik. Kepada anak, adik-adik, anak didik, para pegawai, buruh, pembantu di rumah dan semua yang stratanya di bawah kita, haruslah kita beri sesuatu yang lebih baik. Jalinlah komunikasi dan berinteraksilah dengan baik, dan kalau hendak men-tasharuf-kan rezeki, berikan dengan sesuatu yang baik (QS as-Syu’ara [26]: 215 dan al-Baqarah [2]:195). Wallahu a’lam.

 

Oleh: Muhammad Arifin Ilham

KHAZANAH REPUBLIKA

Nabi Isa Masih Hidup dan tak Pernah Disalib

ALLAH telah menjelaskan dalam Alquran bahwa orang Yahudi tidak membunuh Nabi Isa ‘alaihi salam. Beliau tidak disalilb. Namun orang lain, yang Allah serupakan dengan Nabi Isa, itulah yang disalib.

Meskipun demikian, Yahudi tetap mengklaim bahwa Nabi Isa telah disalib, dan anehnya, orang nasrani membenarkannya tanpa ada rasa permusuhan terhadap mereka.

Allah jelaskan dalam Alquran:

“Di antara penyebab Yahudi kafir adalah klaim mereka bahwa kami telah membunuh Nabi Isa bin Maryam, sang utusan Allah. Padahal mereka tidaklah membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.” (QS. An-Nisa: 157)

Aqidah kaum muslimin, bahwa Nabi Isa alaihis salam masih hidup dan belum mati. Beliau diangkat oleh Allah jasad dan ruhnya. Sebagaimana yang Allah tegaskan dalam firman-Nya:

“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa: 158)

Dua ayat di atas dengan tegas menjelaskan bahwa Nabi Isa tidak dibunuh, tidak disalib, tapi Allah selamatkan jasad dan ruhnya, dengan Allah angkat ke langit. Kemudian di akhir zaman, nabi Isa akan Allah turunkan untuk membunuh Dajjal.

Kehadiran beliau bukan membawa syariat baru, tapi mengikuti syariat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Barulah setelah itu, beliau wafat dan dimakamkan di bumi. Sebagaimana ditegaskan dalam hadis: dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Saya orang yang paling berhak untuk memuliakan Isa bin Maryam, karena tidak ada nabi antara zamanku dengan zaman beliau(kemudian beliau menjelaskan turunnya Nabi Isa, dan melanjutkan sabdanya), Nabi Isa tinggal di bumi dalam kurun waktu sesuai yang dikehendaki Allah, kemudian beliau wafat dan disalati oleh kaum muslimin, lalu mereka memakamkan beliau.” (HR. Ahmad 9349 dan dishahihkan Al-Albani)

Ibnu Athiyah (w. 542 H) beliau mengatakan dalam tafsirnya Al-Muharrar Al-Wajiz:

Umat Islam sepakat untuk mengimani kandungan hadis yang mutawatir bahwa Nabi Isa hidup di langit. Beliau akan turun di akhir zaman, membunuh babi, mematahkan salib, membunuh Dajjal, menegakkan keadilan, agama Nabi Muhammad menjadi menang bersama beliau, Nabi Isa juga berhaji” (Al-Muharrar Al-Wajiz, 3:143)

Allahu alam.

 

[Ustaz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK