Dekat dengan Rasulullah di Hari Kiamat

HARI ini bila dihitung selisih atau jarak waktu dengan zaman Nabi Muhammad shalallaahu alaihi wasallam hidup adalah lebih dari 1.500 tahun. Waktu yang tidak sedikit tentunya. Namun dapat beriman kepada beliau dan ajaran beliau adalah anugerah Allah yang amat harus kita syukuri.

Apalagi bila kita hidup pada masa Nabi hidup dan kita dalam keadaan beriman kepadanya, alangkah bahagianya kita. Lalu bisakah kita dekat dengan Nabi padahal telah terpisah waktu sekian ratusan tahun? Tentu tidak bisa.

Namun di kesempatan mendatang, InsyaAllah kita bisa bertemu dengan Nabi yang selama ini kita ikuti teladannya. Nabi, seorang manusia, yang selama ini kita ikuti tata cara dalam ibadah dan akhlaknya. Seorang manusia yang ketika wafatnya, mengkhawatirkan kita sebagai umatnya. Beliau yang rela berkorban dalam berdakwah agar hidayah Islam merata ke seluruh manusia. Kapan saat atau kesempatan tersebut tiba? Tidak lain adalah saat hari kiamat. Sebab saat itu seluruh manusia dikumpulkan oleh Allah. Bahkan seluruh makhlukNya.

Bagaimana agar kita bisa dekat dengan Nabi Muhammad shalallaahu alaihi wasallam pada hari kiamat, karena tidak semua orang bisa dekat dengan beliau saat itu? Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jumat. Karena shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jumat. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” (HR. Baihaqi).

Beberapa amalan lain yang kelak dapat mendekatkan kita kepada Nabi Muhammad shallallahu alahi wasallam di antaranya adalah merawat dan mengasihi anak yatim, menjadi pemimpin yang adil, serta berakhlak mulia. Mengasihi dan merawat anak yatim mungkin memerlukan materi. Sedangkan amalan menjadi pemimpin yang adil, tentu bukan setiap kita yang bisa mengamalkannya. Namun membaca shalawat Nabi, InsyaAllah setiap kita dapat melaukannya.

Mari amalkan amalan-amalan yang kelak mendekatkan kita kepada Nabi sesuai kemampuan kita. Mungkin kita awali dengan memperbanyak dan menyeringkan membaca shalawat Nabi. Terlebih pada hari Jumat, merupakan waktu yang utama untuk memperbanyak shalawat Nabi. [*]

Hukum Seputar Alquran Seluler

ALQURAN seluler adalah program Alquran dalam memori telepon seluler yang dapat diaktifkan sehingga dapat dibaca dan/atau dapat pula mengeluarkan rekaman suara seorang Qari` yang membacakan ayat-ayatnya.

Hukum seputar Alquran seluler ini termasuk masalah baru, sehingga pembahasan fiqihnya tak dapat ditemukan secara langsung dalam kitab-kitab ulumul Qur’an klasik, seperti Al Mashahif karya Imam Sijistani (w. 316 H), At Tibyan fi Adab Hamalatil Qur`an karya Imam Nawawi (w. 676 H), Al Burhan fi Ulumil Qur’an karya Imam Zarkasyi (w. 794 H), dan Al Itqan fi Ulumil Qur`an karya Imam Suyuthi (w. 911 H). Bahkan pembahasannya juga belum disinggung dalam kitab-kitab ulumul Qur`an kontemporer, seperti Faidhur Rahman fi Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Khaashah bil Qur`an karya Ahmad Saalim Malham (2001), Ar Ruuh wa Ar Raihan fi Fadha`il wa Ahkam Al Mashahif wa Al Qur`an karya Amr Abdul Munim Salim (2003), dan Al Mut-haf fi Ahkam Al Mushaf karya Shalih Muhammad Rasyid (2003).

Namun belakangan beberapa ulama kontemporer mencoba membahasnya, seperti Abdul Aziz Hajilan dalam kitabnya Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Khaashah bil Qur`an (2004) dan Fahad Abdurrahman Yahya dalam kitabnyaTakhzin Al Qur`an Al Karim fi Al Jawwaal wa Maa Yataalaqu bihi min Masa`il Fiqhiyyah (2010). Metode pembahasannya sebenarnya bukan ijtihad atau qiyas, melainkan apa yang disebut dengan “takhrij al furuu ala al ushuul” (mengeluarkan hukum cabang dari hukum pokok), atau “tathbiq al hukm ala al masa`il allaty tandariju tahtahu.” (menerapkan hukum yang sudah ada, pada masalah-masalah baru yang merupakan derivat/turunan dari hukum yang sudah ada). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 1/203-205).

Di antara hukum syara terkait Alquran seluler dalam kitab-kitab tersebut sbb:

Pertama, kapan program Alquran seluler dihukumi sebagai mushaf Alquran? Fahad Abdurrahman Yahya mengatakan program Alquran seluler yang nonaktif, dianggap sama dengan mushaf Alquran yang masih tertutup (tak dibuka). Maka program nonaktif tersebut tak dihukumi sebagai mushaf Alquran, sehingga tak disyaratkan bersuci (thaharah) dari hadats besar atau hadats kecil bagi Muslim yang menyentuh ponsel dengan program tersebut. Dalam hal ini para ulama kontemporer tak ada perbedaan pendapat. (Fahad Abdurrahman Yahya, Takhzin Al Qur`an Al Karim fi Al Jawwaal, hlm. 47).

Adapun jika program Alquran selulernya dalam keadaan aktif, yaitu ketika tampak gambar ayat Alquran dalam layar ponsel, maka ia dianggap sama dengan mushaf Alquran yang lembarannya sudah dibuka. Maka dari itu, program aktif tersebut dihukumi sama dengan mushaf Alquran. Di sinilah kemudian diberlakukan hukum-hukum syara seputar mushaf Alquran, misalnya hukum menyentuh mushaf, hukum membawa mushaf ke dalam toilet (al khala`), dsb. (Fahad Abdurrahman Yahya, Takhzin Al Qur`an Al Karim fi Al Jawwaal, hlm. 47).

Kedua, jika program Alquran selulernya dalam keadaan aktif, apakah disyaratkan thaharah bagi Muslim yang menyentuh ponsel dengan program itu? Di sini ada tafshil (rincian) hukumnya; jika yang disentuh bukan layar monitornya, tapi bagian perangkat ponsel lainnya, seperti tepian layar monitor atau tombol-tombol huruf pada keypad, tidak disyaratkan thaharah. Sebab dapat diterapkan di sini hukum tak wajibnya thaharah jika seorang Muslim menyentuh mushaf dengan penghalang (ha`il) seperti tali gantungan atau kulit/cover mushaf, atau jika menyentuh kitab tafsir Alquran yang mengandung ayat dan tafsirnya.

Adapun jika yang disentuh adalah layar monitornya secara langsung (misal pada layar touchscreen), disyaratkan wajib thaharah. Sebab di sini diterapkan hukum wajibnya thaharah bagi yang menyentuh mushaf secara langsung (tanpa penghalang). (Fahad Abdurrahman Yahya, Takhzin Al Qur`an Al Karim fi Al Jawwaal, hlm. 92). Wallahu alam. []

Islamnya Jagoan Kota Makkah

Ia memiliki julukan sebagai Pedang Allah. Khalid bin al-Walid dikenal lantaran kecerdasan dan ketangguhannya sebagai pemimpin pasukan kuda Quraisy. Tanpa kehadiran Islam di relung hatinya, sosok jenius ini semata-mata jagoan kota Makkah yang berperang demi memperebutkan harta atau sekadar fanatisme kesukuan.

Khalid  awalnya termasuk musuh Islam yang paling keras. Dalam Perang Uhud, ia memimpin pasukan kuda Quraisy yang berhasil memukul balik pertahanan kaum Muslimin. Saat itu, pada mulanya kaum kafir Quraisy terdesak sehingga berlarian menyingkir dari tebasan pedang pasukan Muslim.

Mereka meninggalkan harta benda di belakang. Melihat musuhnya tunggang-langgang, pasukan Muslim yang bertugas mengawasi dengan senjata panah dari bukit justru turun merebut harta rampasan perang. Di sinilah Khalid  melihat peluang.

Khalid  bergegas menyerang pasukan Muslim dari arah belakang. Dalam situasi terkejut, cukup banyak pasukan Muslim yang terkena serangan anak buah Khalid .

Akan tetapi, Khalid tidak mampu menembus benteng kokoh yang terdiri atas tubuh-tubuh kelelahan para sahabat yang setia menjadi tameng hidup untuk melindungi Rasulullah SAW. Saat itu, dalam diri mereka terdapat keimanan yang kuat, sedangkan dalam pasukan Quraisy hanya ada nafsu dendam.

Masuk Islamnya Khalid  tidak terjadi begitu saja, tapi setelah pergulatan batin yang panjang. Hal itu dimulai ketika kekuatan umat Islam semakin terkonsolidasi di Madinah. Di sisi lain, kondisi di Makkah kian melemah. Enam tahun setelah peristiwa hijrah, perjanjian Hudaibiyah terjadi antara Rasulullah SAW dan pemimpin Quraisy.

Dalam pada itu, kedua belah pihak menyepakati masa damai 10 tahun lamanya. Lantaran perjanjian ini, Nabi Muhammad SAW dan seluruh pengikutnya berhak melakukan perjalanan ibadah haji ke Makkah dalam situasi kondusif.

Khalid  mengamati langsung bagaimana umat Islam berbondong-bondong bergerak bersama-sama dari Madinah ke Makkah hanya untuk satu tujuan, yakni menuntaskan kerinduan pada kampung halaman Nabi SAW serta menjalani ibadah haji.

Di sinilah Khalid merasa bahwa apa yang diperjuangkan Nabi Muhammad bukanlah fanatisme kesukuan atau harta benda, melainkan sesuatu yang lebih luhur, yakni keimanan pada Allah SWT. Dengan kata lain, Nabi  tidak menyimpan dendam pada orang-orang Quraisy yang telah menyingkirkannya dari Makkah.

Seperti ditulis dalam kitab Shuwar min Siyar ash-Shahabiyyat, pada suatu hari Khalid merenungkan agama Islam yang ia saksikan sendiri semakin besar pengikut dan maruahnya.

Khalid  pun berkata, Demi Allah, sungguh jalan kebenaran telah tampak. Orang itu (Nabi Muhammad SAW) benar-benar utusan Allah. Lalu, sampai kapan aku memeranginya? Demi Allah, aku akan pergi menghadapnya dan masuk Islam.

Keinginan Khalid  ini mendapat kecaman dari tokoh Quraisy, Abu Sufyan. Namun, Khalid tidak menyerah. Ia pun menemui Utsman bin Thalhah dan selanjutnya berpapasan dengan Amr bin al-Ash. Ketiganya pergi ke Madinah menghadap kepada Rasulullah SAW di hari pertama Bulan Shafar tahun delapan Hijriyah.

Ketika berjumpa dengan Nabi, Khalid mengucapkan salam pujian. Wajah Rasulullah berseri-seri dengan menjawab salam Khalid dan dua temannya itu.

Sesudah mengucapkan dua kalimat syahadat, Khalid memohon ampunan kepada Allah dan meminta pengertian dari Nabi akan perangainya dahulu sebagai pemimpin pasukan kafir Quraisy. Rasul pun bersabda, Sesungguhnya Islam menghancurkan dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya (orang masuk Islam).

Yang Menangis Ketika Salat Manusia Pilihan

ALLAH Ta’ala berfirman, “Dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58).

Dalam hadis disebutkan, dari Abdullah bin Asy-Syikkhir, ia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam salat, ketika itu beliau menangis. Dari dada beliau keluar rintihan layaknya air yang mendidih.” (HR. Abu Daud no. 904 dan Tirmidzi dalam Asy-Syamail Al-Muhammadiyah no. 322. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih).

Ibnu Umar radhiyallahu anhuma berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sakit keras, ada seseorang yang menanyakan imam salat kemudian beliau bersabda, “Perintahkan pada Abu Bakr agar ia mengimami salat.”

Aisyah lantas berkata, “Sesungguhnya Abu Bakar itu orang yang sangat lembut hatinya. Apabila ia membaca Alquran, ia tidak dapat menahan tangisnya.” Namun beliau bersabda, “Tetap perintahkan Abu Bakr untuk menjadi imam.” (Muttafaqun alaih. HR. Bukhari no. 713 dan Muslim no. 418).

[Ustazah Novria]

 

 

Awas! Pelihara Anjing Pahala Berkurang Setiap Hari

DI antara contoh hewan yang digunakan untuk berburu memang anjing, hal ini tertera dalam banyak hadis. Tentunya hasil buruannya halal dimakan jika memenuhi syarat. Berikut ini contohnya:

Dari Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang memelihara anjing, kecuali anjing penjaga tanaman, atau penjaga ternak, atau anjing pemburu, maka berkuranglah pahalanya setiap harinya satu qirath.” (HR. Muslim No. 1574, 56)

Dalam riwayat Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma, disebutkan berkurang pahalanya dua qirath. “Barang siapa yang memelihara seekor anjing bukan untuk menjaga ternak atau bukan untuk dilatih berburu, maka berkuarang dari pahalanya setiap hari sebanyak dua qirath.” (HR. Bukhari No. 5480)

Tentang ukuran satu qirath, hanya Allah Taala yang tahu sebagaimana yang dikatakan Imam An Nawawi dan Imam Sulaiman bin Khalaf Al Baji Rahimahumallah. Dari Abdullah bin Mughaffal bahwa Rasulullah Shallallahu “Alaihi wa Sallam, “Kemudian beliau memberi keringanan terhadap anjing pemburu dan anjing penjaga kambing”. (HR. Muslim No. 1573, 48)

Secara umum anjing dimakruhkan ada di pekarangan seorang muslim, kecuali pemburu/pelacak, penjaga kebun dan ternak. Ada tiga jenis anjing yang dibolehkan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah menjelaskan:

“Anjing dalam konteks hadis ini adalah hewan yang telah dikenal, secara zahirnya hadis ini mencakup anjing yang dibolehkan untuk disimpan (dipelihara) dan lainnya.”

Anjing yang diperbolehkan untuk dipelihara ada tiga jenis:

Pertama -> Kalbul Hartsi (Anjing Ladang), yaitu manusia menempatkannya di kebun, dan menjadikannya sebagai penjaga dari anjing hutan, serigala, dan lainnya.

Kedua -> Kalbul Maasyiyah (Anjing penjaga peternakan), yaitu manusia memiliki hewan ternak yang hidupnya di darat, mereka membutuhkan perlindungan dan penjagaan, maka dijadikanlah anjing untuk menjaga hewan ternaknya dari ganggunan anjing hutan, serigala, pencuri, dan semisalnya. Sebab sebagian anjing telah diajarkan jika datang seorang asing, maka dia akan menggonggong sehingga pemiliknya terjaga.

Ketiga -> Kalbul Shayd (Anjing Pemburu), manusia memanfaatkannya untuk diajarkan berburu dan berburu dengannya.

(Referensi: Asy Syarh Al Mukhtashar ala Bulughil Maram,2/8. Mawqi Al Islam)

Pelajaran dari Doa Rasulullah

Pada suatu hari Nabi Muhammad SAW berdoa, “Ya Allah, berikan diriku ini takwanya. Sucikanlah diri ini karena Engkaulah sebaik-baik Zat yang menyucikan diri ini. Engkau adalah pelindung dan penolongnya. Ya Allah, berilah aku inspirasi jalan kebenaran, dan jagalah (jauhkanlah) aku dari keburukan diriku” (HR Ahmad dan at-Turmudzi).

Mengapa beliau berdoa seperti itu? Bukankah beliau itu maksum (dijaga oleh Allah kesucian dirinya dari berbuat dosa) dan digaransi oleh-Nya bahwa dengan rahmat-Nya beliau pasti masuk surga? Nabi SAW memang pandai “merasa” berdosa dan memandang perlu berdoa seperti itu, meskipun sebagian umatnya terkadang belum memiliki kedalaman dan kekuatan iman yang sama dengan beliau.

Setidaknya ada empat pelajaran penting dari doa beliau tersebut. Pertama, sebagai uswah hasanah, beliau merasa perlu memberi contoh doa terbaik bagi umatnya dalam memohon kepada Allah untuk penyucian dan penakwaan dirinya. Jika Nabi Muhammad SAW yang maksum saja berdoa seperti itu, sudah semestinya kita harus lebih rajin berdoa dan memohon pertolongan kepada Allah SWT agar tidak larut dalam kemaksiatan.

Kedua, penyucian diri (tazkiyat an-nafsi) menurut Imam al-Ghazali, hukumnya adalah fardhu ain (wajib individual). Karena tidak ada manusia yang luput dari perbuatan salah dan dosa. Setiap manusia pasti pernah mengidap penyakit hati sekecil apa pun, seperti nifaq, riya, dengki, sum’ah, dan sebagainya. Dengan penyucian diri, manusia bisa berubah menjadi lebih sehat ruhani dan lebih bersih secara spiritual.

“Sesungguhnya Allah sangat menyukai orang-orang yang selalu bertobat dan menyukai orang yang menyucikan dirinya (QS al-Baqarah [2]: 222). Oleh sebab itu, merasa diri paling suci itu bertentangan dengan sifat Allah yang Mahasuci.

Ketiga, sifat-sifat positif dan sifat-sifat negatif dalam diri manusia itu cenderung “tarik-menarik” dalam sebuah “konflik batin” dan terus berebut pengaruh dalam diri setiap manusia. Jika hawa nafsu dan bisikan setan dominan, ia cenderung berperilaku seperti binatang. Sebaliknya, jika kekuatan hati nurani dan pendekatan diri kepada Allah itu lebih dominan, spirit tazkiyat an-nafs itu dapat melapangkan jalan kebenaran dan pendakian menuju pendekatan diri kepada Allah.

Keempat, dengan penyucian diri dari dosa dan sifatsifat tercela, iman tahqiqi (keyakinan aktual) dan kesadaran spiritual Muslim akan menyuburkan sifat-sifat terpuji dan mulia. Penyucian diri merupakan jalan iman yang membawa keberuntungan dan kebahagiaan. “Demi jiwa dan yang menyempurnakannya, Allah lalu memudah kan jalan kemaksiatan dan ketakwaan baginya. Sungguh beruntung orang menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS asy-Syams [91]: 7-10).

Dengan demikian, merasa diri tidak suci lalu melakukan penyucian diri merupakan sifat dan tindakan terpuji. Karena Allah SWT sangat menyukai orang-orang yang menyucikan diri dengan selalu bertobat, berbuat baik, memperbaiki masa lalu dengan amal kebaikan, dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya.

Oleh sebab itu, Allah SWT melarang orang-orang beriman untuk merasa paling suci atau merasa tidak memiliki dosa karena semua manusia pasti pernah berbuat salah dan melakukan dosa. Namun, sebaik-baik orang yang pernah berbuat salah dan dosa itu adalah orang yang mau bertobat, kembali kepada jalan yang benar, jalan Allah yang mengantarkan kepada surga-Nya.

Allah SWT berfirman, “Janganlah kamu merasa sudah bersih, Dia (Allah) lebih mengetahui siapa yang bertakwa” (QS an-Najm: 32). Merasa paling bersih dan suci hanyalah asumsi dan prasangka subyektif terhadap diri sendiri yang pasti keliru, karena Allahlah yang Maha Mengetahui semua yang pernah diperbuat manusia. Merasa paling suci merupakan sebuah kesombongan dan sikap berlebihan, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah SWT.

Oleh: Muhbib Abdul Wahab