Tujuh Ujian Hidup Orang Beriman

DALAM menghadapi kehidupan di dunia ini, manusia selalu berhadapan dengan dua keadaan silih berganti. Suatu saat merasakan suka, saat lain merasakan duka.

Pada saat bahagia, terkadang manusia menjadi lupa. Sebaliknya, saat duka mendera, seringkali manusia berkeluh-kesah.

Bagi hamba Allah Swt yang beriman, hidup adalah ujian. Selama hidup, selama itulah kita diuji Allah Swt. “Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.” (QS Al-Mulk [67]: 2).

Minimal ada tujuh ujian hidup yang wajib kita ketahui. Insya Allah, Allah Swt luruskan dari ujian-ujian-Nya, sehingga meraih gelar shobirin dan mujahidin. “Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu, dan akan Kami uji perihal kamu.” (QS Muhammad [47]: 31).

Pertama, ujian berupa perintah Allah, seperti Nabi Ibrahim diperintahkan Allah Swt menyembelih putra tercintanya bernama Ismail.

Kedua, ujian larangan Allah Swt, seperti larangan berzina, korupsi, membunuh, merampok, mencuri, sogok-menyogok, dan segala kemaksiatan serta kezaliman.

Ketiga, ujian berupa musibah. “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.” (QS Al-Baqarah [2]: 155).

Keempat, ujian nikmat, sebagaimana Allah Swt jelaskan dalam surat Al-Kahfi ayat 7. “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami uji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.”

Kelima, ujian dari orang zalim buat kita, baik kafirun (orang yang tidak beragama Islam), musyrikun (menyekutukan Allah Swt), munafiqun, jahilun (bodoh), fasiqun (menentang syariat Allah), maupu hasidun (dengki, iri hati).

Keenam, ujian keluarga, suami, istri, dan anak. Keluarga yang kita cintai bisa menjadi musuh kita karena kedurhakaanya kepada Allah Swt.

Ketujuh, ujian lingkungan, tetangga, pergaulan, tempat dan suasana kerja, termasuk sistem pemerintahan/negara.

Subhanallah, Allah Swt amat sayang kepada kita. Allah Swt tunjukkan cara menjawab ujian itu semua. “Dan minta pertolonganlah kamu dengan kesabaran dan dengan salat, dan sesungguhnya salat sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusuk tunduk jiwanya.” (QS Al-Baqarah [2]: 48). Semoga kita dijadikan Allah Swt, hamba-Nya yang lulus dari ujian. Aamiin. [KH Muhammad Arifin Ilham]

 

 

Ini Dia 10 Teman Sejati Iblis Laknatullah

IBLIS adalah makhluk Allah yang sangat terlaknat. Awalnya iblis sangat taat dan gemar beribadah. Namun karena kesombongannya, iblis kemudian dilaknat oleh Allah.

Selama hidupnya hingga hari kiamat nanti, iblis akan selalu mengganggu manusia dan mengajak kepada keburukan. Iblis adalah musuh yang sangat nyata dan besar bagi umat manusia sejak nabi Adam hingga umat Nabi Muhammad di akhir zaman.

Iblis tentu saja memiliki banyak musuh dari kalangan Rasul dan hamba Allah yang shaleh. Orang yang paling dibenci iblis adalah Nabi Muhammad SAW dan orang-orang yang mengikuti agama Allah.

Namun iblis juga memiliki teman sejati dari kalangan manusia. Berikut daftar 10 teman sejati dari iblis.

1. Sultan/Raja/Imam/Presiden yang Fasiq

Pemimpin yang fasiq adalah salah satu teman sejati dari iblis. Oleh karenanya, penting bagi setiap pemimpin menghindari sifat-sifat fasiq.

2. Orang kaya yang sombong

Teman sejati iblis selanjutnya adalah orang kaya yang sombong. Maka, orang-orang yang telah Allah amanahkan dengan harta benda tidak boleh menyombongkan diri dengan hartanya apalagi menghina orang fakir.

3. Para Penjual yang berdusta dalam berdagang.

Orang yang berdusta dalam berdagang seperti mengurangi timbangan atau tidak mengatakan yang sebenarnya mengenai barang yang dia jual juga merupakan teman sejati dari iblis.

4. Para peminum khamar/minuman keras

Hal ini juga berlaku bagi pengguna narkoba dan barang memabukkan lainnya. Mereka adalah teman sejatinya iblis.

5. Para pengadu domba.

Para pemecah belah umat dengan menyebarkan isu-isu bohong juga teman sejatinya iblis. Jangan pernah menyebar berita yang belum jelas valid atau tidaknya, apalagi jika sudah jelas berita bohong atau fitnah.

6. Para pezina

Dosa zina merupakan salah satu dosa yang sangat besar. Para pelaku zina sendiri merupakan teman sejati iblis.

7. Para pemakan harta anak yatim

Di masyarakat banyak sekali yang memakan harta anak yatim dengan berbagai modus. Hal ini tidak dibenarkan dalam Islam. Pelakunya sendiri merupakan teman sejati dari iblis.

8. Orang yang meringankan-ringankan salat

Orang-orang yang meringan-ringankan shalat juga termasuk dalam teman sejatinya iblis. Maka sebagai muslim sudah sepatutnya untuk menjaga shalat dan serius dalam mendirikan shalat.

9. Orang yang tidak mau membayar zakat.

Membayar zakat merupakan rukun Islam yang ketiga. Orang yang tidak mau membayar zakat merupakan teman sejatinya iblis. Nauzubillah.

10. Orang yang panjang angan-angannya.

Teman sejati iblis dari kalangan manusia yang terakhir adalah orang yang panjang angan-angan. Angan-angannya sangat panjang dan tidak disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.

Lebih lanjut dan detil bisa dibaca dalam Kitab Sirajut Thalibin Juz I hal.280[]

 

 

Manusia yang Pandai Bersyukur

Ketika kita menggemakan takbir terutama saat berhari raya tersirat pemahaman bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Allah Mahabesar, sementara kita yang diciptakannya adalah kecil. Kita hina dan tak punya daya dan kekuatan untuk berkiprah, kecuali karena kemurahan dan kebesaran Allah. Karena itu, ketika kita telah merampungkan sebuah perjuangan (baca; Ramadhan), maka perbanyaklah takbir.

Dan hendaklah bertakbir atas anugerah yang telah Allah berikan. Semoga kalian menjadi hamba-Nya yang bersyukur.” (QS al-Baqarah [2]: 185). Ayat ini merupakan satu rangkaian dengan perintah puasa (QS [2]: 183).

Ramadhan mencetak kita menjadi hamba-Nya yang bertakwa. Dan orang yang bertakwa, akan senantiasa mengingat kebesaran Allah, termasuk semua nikmat yang telah diberikan kepadanya.

Di lidah ia mengucapkan kalimat takbir, dalam amal perbuatan ia menerjemahkannya dengan rasa syukur. Karena itu, menjadi pribadi yang bertakwa belum cukup bila tidak dibarengi dengan pribadi yang bersyukur. Kenapa? Karena maqam syukur lebih tinggi dari maqam takwa. Sebab, syukur menjadi maqam-nya para nabi dan rasul. Karenanya, Allah menegaskan, hanya sedikit dari hamba-Nya yang pandai bersukur (QS Saba [34]: 13).

Syukur merupakan satu stasiun hati yang akan menarik seseorang pada zona damai, tenteram, dan bahagia. Ia juga akan mendapatkan kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat, sekaligus mendapatkan insentif pahala dan kenikmatan yang terus bertambah dari Allah SWT (QS Ibrahim [14:] 7).

Rasul SAW adalah manusia yang pandai bersyukur. Suatu ketika, beliau pernah ditanya Bilal, Apakah yang menyebabkan baginda menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa baginda, baik yang dahulu maupun yang akan datang?” Beliau menjawab, Tidakkah engkau suka aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?”

Dzunnun al-Mishri memberi tiga gambaran tentang manifestasi syukur dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, kepada yang lebih tinggi urutan dan kedudukannya, maka ia senantiasa menaatinya (bit-tha’ah). Hai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada ulil amri  di antara kalian …” (QS an-Nisa [4]: 59).

Kedua, kepada yang setara, kita mengejawantahnya dengan bil-hadiyyah. Saling tukar pemberian. Kita harus sering-sering memberi hadiah kepada istri atau suami, saudara, teman seperjuangan, sejawat dan relasi. Dengan cara itu, maka akan ada saling cinta dan kasih.

Ketiga, kepada yang lebih bawah dan rendah dari kita, rasa syukur dimanifestasikan dengan bil-ihsan. Selalu memberi dan berbuat yang terbaik. Kepada anak, adik-adik, anak didik, para pegawai, buruh, pembantu di rumah dan semua yang stratanya di bawah kita, haruslah kita beri sesuatu yang lebih baik. Jalinlah komunikasi dan berinteraksilah dengan baik, dan kalau hendak men-tasharuf-kan rezeki, berikan dengan sesuatu yang baik (QS as-Syu’ara [26]: 215 dan al-Baqarah [2]:195). Wallahu a’lam.

Oleh: Muhammad Arifin Ilham

Bersyukur Mengikat Nikmat

Hidup akan lebih indah bila kita pandai bersyukur. Dalam surah Ibrahim ayat 7, Allah SWT berfirman, “Sesungguh nya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah nikmat kepadamu dan jika kamu mengingkari, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Ustaz Abu Fida dalam kajian bertema ‘Indah Dalam Syukur’ di Masjid As Syifa RSCM, Jakarta Pusat, belum lama ini, mengatakan, ada beberapa keutamaan ber syukur. Pertama, bersyukur dapat meng ikat nikmat yang sudah ada dan memancing nikmat yang belum ada.

“Kita belum berdoa, tapi di hati sudah ke pikiran. Eh tiba-tiba Allah sudah berikan. Itu kalau kita pandai bersyukur,” ujarnya di depan para peserta kajian yang terdiri dari orang tua pasien anak penderita cerebral palsy, down syndrome, hydrocephalus, dan lain nya, yang sedang menjalani terapi atau rawat jalan di Rumah Sakit Cipto Mangun kusumo (RSCM), Jakarta.

Ia menuturkan, bersyukur kepada Allah sangat penting karena itu tanda orang beriman. Mereka yang senantiasa bersyukur pun terhindar dari sifat som bong sebab selalu berserah diri kepada Allah. Keutamaan kedua, kata dia, rasa syukur merupakan jalan untuk menggapai ridha Allah. Berikutnya, bersyukur adalah temannya ibadah.

“Orang yang rajin bersyukur tidak mungkin jauh da lam ibadah, karena apa? Kalau kita berdoa setelah sholat, hal pertama yang harus kita lakukan, yakni bersyukur ke pada Allah,” kata Ustaz Abu Fida.

Dia menganjurkan agar kita membiasakan bersyukur dulu terhadap sega la nikmat yang Allah berikan kepada kita dan keluarga kita dalam setiap doa. Se lanjutnya, doakanlah orang lain terlebih dulu baru berdoa untuk diri sendiri. “Ka lau ini terbalik, keseringan doa buat kita terus. Padahal, dengan kita mendoakan orang lain, malaikat akan mendoakan kita,” ujar dia.

Lebih lanjut, dia menyebutkan, keutamaan keempat, yaitu bersyukur merupakan sifat ahli surga. Contohnya, yakni firman Allah dalam surah AIi Imran ayat 134, “Orang-orang yang menafkahkan (har tanya), baik di waktu lapang maupun ketat dan orang-orang yang memegang amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah suka orang-orang yang ber buat kebaikan.”

“Jadi, sesempit apa pun, kita diajar kan untuk bersedekah, berapa pun nilai nya. Bersedekah merupakan tanda ber syukur kepada Allah, walau sedang ke sulitan nanti Allah tambahkan nikmat. Dengan bersedekah Rp 5.000 bisa saja dapat Rp 5 juta atau Rp 50 juta di kemudian hari,” ujar Ustaz Abu Fida.

Dia menegaskan, jangan merasa men jadi orang paling susah dan men derita. Faktanya, masih banyak orang lain yang lebih susah dibandingkan kita. Penderitaan yang dialami para sahabat Nabi SAW pun jauh lebih banyak. Namun, mereka tetap bersyukur kepada Allah. Kita harus tanamkan pada diri kita agar rajin mensyukuri nikmat-Nya.

“Kita pun harus bersyukur bahwa kita duduk di ma jelis ini masih bisa berkumpul, men dengarkan kalam Allah, hadis Rasul, di tengah kesibukan dan kesulitan kita. Mudah-mudahan pertanda, kita semua ahli surga,” kata dia.

Ustaz Abu Fida berharap semua ja maah yang datang ke kajiannya bisa berniat dalam diri masing-masing untuk selalu bersyukur kepada Allah apa pun yang terjadi. Dia menambahkan, ujian di dunia tidak ada apa-apanya bila dibandingkan nikmat yang nanti Allah berikan sehingga terimalah setiap ujian dengan bersabar.

Pada kesempatan tersebut, Ustaz Abu Fida juga menyebutkan, tanda-tanda orang bersyukur. Di antaranya yakni mendirikan shalat sebab shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar. “Shalat itu wajib dalam keadaan apa pun. Orang terkena musibah pun wajib shalat karena orang yang boleh menunda shalat hanya lah orang tidur, tapi tidurnya nggak boleh disengaja. Pas bangun tidur langsung shalat,” ujar dia.

Tanda selanjutnya, yakni lisan yang selalu berzikir kepada Allah. Berikutnya, tanda orang bersyukur adalah bersikap tawadhu. Pasalnya, orang yang bersyu kur tidak pernah bersikap sombong juga tidak pernah berburuk sangka kepada orang lain. Baginya, orang sombong di pasti kan tidak pernah bersukur kepada Allah. Padahal, dalam surah Lukman ayat 18, Allah telah berfirman, “Dan ja ngan lah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan jangan lah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak me nyukai orang-orang yang som bong lagi membanggakan diri.”

Zikir Sebagai Penerang Qalbu

BERZIKIR mempunyai adab-adab tertentu, baik sebagai pengantar, sesudah, atau ketika pelaksanaannya. Ada adab yang bersifat lahiriah dan ada pula yang bersifat batiniah.

Adab pengantar

Sebelum melaksanakan zikir, sebaiknya terlebih dulu bertobat, membersihkan jiwa dengan riyadhoh (olah) rohani, melembutkan sirr (batin) dengan menjauhkan dan dengan kaitan hati dengan makhluk, memutuskan segala penghalang, memahami ilmu-ilmu agama, dan mempelajari syarat rukun dalam fardlu ‘ain, mempertegas tujuan-tujuuan luhur sebagai spirit tahapan utamanya, yang bersifat syar’i. Ia juga harus memilih zikir yang sesuai dengan kondisi batinnya.

Setelah itu, barulah ia berzikir dengan tekun dan terus menerus.

Di antara adab yang perlu diperhatikan yaitu hendaknya ia memakai pakaian yang halal, suci, dan wangi. Kesucian batin bisa terwujud dengan memakan makanan yang halal. Zikir walau pun bisa melenyapkan bagian-bagian yang berasal dari makanan haram, tetapi manakala batinnya sudah kosong dari yang haram atau syubhat, maka zikir tersebut akan lebih mencerahkan qalbu.

Namun, jika dalam batinnya masih terdapat sesuatu yang haram, ia terlebih dahulu akan dicuci dan dibersihkan oleh zikir. Pada kondisi tersebut, fungsi zikir sebagai penerang qalbu menjadi sifatnya lebih lemah. Ibarat air yang dipergunakan untuk mencuci sesuatu yang terkena najis, najisnya akan hilang. Tetapi, pada saat yang sama ia tak bisa membuat benda yang terkena najis tadi menjadi lebih bersih.

Oleh karena itu, sebaiknya ia dicuci ulang sehingga ketika benda yang dicuci itu telah bersih dari najis, ia akan bertambah cemerlang dan bersinar ketimbang saat dicuci pertama kali. Demikian puia saat zikir turun ke dalam qalbu. Kaiau qalbu tersebut gelap, zikir akan membuatnya terang. Tetapi, kalau qalbu tersebut sudah terang, zikir akan membuatnya jauh lebih terang.

Adab penyerta

Ketika zikir dilaksanakan hendaknya disertai niat ikhlas. Majelis tempat zikirnya diberi aroma wewangian untuk para malaikat dan jin. Ketika duduk hendaknya bersila menghadap kibiat, bila berzikir sendirian. Tetapi, kalau bersama-sama, hendaknya ia berzikir dalam lingkungan majelis. Selanjutnya telapak tangannya diletakkan di atas paha dan matanya dipejamkan seraya terus menghadap ke depan.

Sebagian ulama berpandangan, jika ia berada di bawah bimbingan seorang syekh (Mursyid), ia membayangkan sang syekh sedang berada di hadapannya. Sebab, ia adalah pendamping dan pembimbing dalam meniti jalan rohani. Selain itu, hendaknya qalbu dan zikirnya itu dikaitkan dengan orientasi sang syekh disertai keyakinan bahwa semua itu bersambung dan bersumber dari Nabi saw. Sebab, syekhnya itu merupakan wakil Nabi saw.

(Namun sejumlah ulama Thariqah Sufi melarang membayangkan wajah syeikh, karena apa pun seorang syeikh atau Mursyid kategorinya tetap makhluk. Di dalam Alquran disebutkan, “Kemana pun engkau menghadap, maka disanalah Wajah Allah.” Bukan wajah makhluk. Dikawatirkan pula, jika di akhir hayat seseorang, yang tercetak dalam bayangannya adalah wajah makhluk, para ulama Sufi mempertanyakan, apakah ia secara hakiki husnul khotimah atau su’ul khotimah? Pent.)

Ketika membaca La Ilaaha Illalloh dengan penuh kekuatan disertai pengagungan. Ia naikkan kalimat tersebut dari atas pusar perut. Ialu, dengan membaca Laa Ilaaha hendaknya ia berniat melenyapkan segaia sesuatu seiain Allah swt, dari qalbu. Dan ketika membaca Illalloh, hendaknya ia menghujamkan ke arah jantung, agar Illalloh tertanam dalam qalbu, kemudian mengalirkan ke seluruh tubuh serta menghadirkan zikir dalam qalbunya setiap saat.

Menurut sebagian Ulama mengatakan, “Pengulangan zikir tidak benar, kecuali dengan refleksi makna, selain makna yang pertama.”

Dan tingkatan zikir yang minimal adalah setiap kali seseorang membaca Laa Ilaaha Illalloh, qalbunya harus bersih dari segala sesuatu selain Allah swt. Jika masih ada, ia harus segera melenyapkannya. Jika ketika berzikir qalbunya masih menoleh pada sesuatu selain Allah swt, berarti ia telah menempatkan berhala bagi dirinya.

Allah swt, berfirman, “Tahukah kamu orang yang mempertuhankan hawa nafsunya.” (Q.S. al-Furqan: 43) `Janganiah kamu membuat Tuhan selain Allah .” (Q.S. al-Isra’: 22). “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai Bani Adam agar kamu tidak menyembah setan.” (Q.S. Yasin : 60).

Dalam hadis, Rasul saw juga bersabda, “Sungguh rugi hamba dinar dan sungguh rugi hamba dirham.” Dinar dan dirham tidak disembah dengan cara rukuk dan sujud kepadanya, tetapi dengan adanya perhatian qalbu kepada keduanya.

La Ilaaha Illalloh, tidak benar diucapkan kecuali dengan penafian segala hal selain Allah dari diri dan qalbunya. Manakala dalam dirinya masih ada gambaran inderawi, walau seribu kali diucapkan, maka maknanya tidak membekas di qalbu.

Namun, bila qalbu tersebut telah kosong dari hal-hal seiain Allah swt, meskipun hanya membaca kata Allah, satu kali saja, ia akan menemukan kelezatan yang tak bisa diungkapkan.

Syeikh Abdurrahman al-Qana’y mengatakan, ” Suatu kali aku mengucapkan La Ilaaha Illalloh , dan tak pernah kembali lagi padaku.”

Di kalangan Bani Israel ada seorang budak hitam yang setiap kali ia membaca La Ilaaha Illalloh, tubuhnya dari kepala hingga kaki-berubah warna putih. Demikianlah, ketika seorang hamba mewujudkan kalimat La Ilaaha Illalloh, sebagai kondisi qalbunya, lisan tak bisa mengaksentuasikan.

Meskipun La Ilaaha Illalloh adalah segala muara oreintasi, ia adalah kunci pembuka hakikat qalbu, seiain akan mengangkat derajat para salik ke alam rahasia.

Ada yang memilih untuk membaca dzikir di atas dengan cara disambung sehingga seolah-olah menjadi satu kata tanpa tersusupi oleh sesuatu dari luar ataupun lintasan pikiran dengan maksud agar setan tak sempat masuk. Cara membaca dzikir seperti ini dipilih dengan melihat kondisi salik yang masih lemah dalam mendaki jaian spiritual akibat belum terbiasa. Seiain terutama karena ia masih tergolong pemula. Menurut para uiama, ini adaiah cara tercepat untuk membuka qalbu dan mendekatkan diri pada Allah swt,.

Menurut sebagian ulama, memanjangkan bacaan La Ilaaha Illalloh lebih baik dan lebih disukai. Karena, pada saat dipanjangkan, dalam benaknya muncul semua yang kontra Allah, kemudian, semua itu ditiadakan seraya diikuti dengan membaca Illalloh. Dengan demikian, cara ini lebih dekat kepada sikap ikhlas sebab ia tidak mengokohkian sifat Ilahiyah, yaitu walaupun dinafikan dengan Laa Ilaaha secara nyata, sesungguhnya ia telah menetapkan dengan “Illa” keadaannya, namun “Illa” itu sendiri merupakan cahaya yang ditanamkan dalam qalbu yang kemudian mencerahkannya.

Sebagian lagi berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, tidak membaca panjang lebih utama. Sebab, bisa jadi kematian datang di saat sedang membaca la ilaha (tidak ada tuhan), sebelum sampai pada kata Illalloh, (kecuali Allah swt,).

Sementara menurut yang iain, biia kalimat tersebut dibaca dengan tujuan untuk berpindah dari wiiayah kekufuran menuju iman, maka tidak membaca panjang lebih utama agar ia lebih cepat berpindah kepada iman. Namun, kalau ia berada dalam kondisi iman, membaca secara panjang lebih utama .

Adab berikut

Manakala sang salik terdiam dengan upaya menghadirkan qalbunya, karena bersinggungan dengan anugerah ruhani dibalik dzikir berupa kondisi ghaybah (kesirnaan diri) paska dzikir, yang juga disebut dengan “kelelapan”, maka jika Allah swt, mengirim angin untuk menebar rahmat-Nya berupa hujan, Allah swt, juga mengirim angin dzikir untuk menebar rahmat-Nya yang mulia berupa sesuatu yang bisa menyuburkan qalbu dalam sesaat saja. Padahal, itu tak bisa dicapai meskipun lewat perjuangan rohani dan riyadhoh tiga puluh tahun lamanya. Adab-adab ini harus dimiliki oleh seorang pezikir yang dalam kondisi sadar dan bisa memilih.

Sedangkan bagi pezikir yang kehilangan pilihan karena tidak sadar bersamaan dengan masuknya limpahan zikir dan rahasia ke dalam dirinya, lisannya bisa jadi mengucapkan kata Allah, Allah, Allah atau Huw, Huw, Huw, Huw, atau La, La, La, atau Aa..Aa..Aa.. atau Ah, Ah, Ah, atau suara yang berbunyi. Adabnya adalah pasrah total pada anugerah Ilahi yang membuatnya tenang dan diam.

Semua adab di atas diperlukan oleh mereka yang akan melakukan zikir lisan. Adapun zikir qalbu tidak membutuhkan adab-adab tersebut. []

Teladan Peradaban Islam dalam Menerima Musafir (5-Habis)

Para sufi juga memanfaatkan ‘funduq’ untuk menginap dan tempat saling diskusi

Masih terkait fungsi funduq–istilah penginapan pada era keemasan Islam. Ada pula kisah ulama Damaskus dari abad ke-13, Imam adz-Dzahabi.

Dia menuturkan, seorang ulama besar dari Andalusia (Spanyol), Baqi bin Mukhlad, mengunjungi Baghdad dalam rangka thalab al-‘ilm. Tujuannya hendak belajar hadits kepada Imam Ahmad bin Hambal, yang kebetulan sedang berstatus tahanan rumah.

Ulama besar itu ditahan hanya karena berbeda pendapat dengan penguasa. Ibnu Muhklad pun menyewa kamar di sebuah funduq terdekat. Setiap hari, dia mengunjungi rumah Imam Ahmad dengan berpakaian layaknya musafir miskin untuk mempelajari banyak hadits.

 

Tempat Singgah Para Salik

Funduq yang dipakai kaum sufi disebut juga ribat. Istilah itu awalnya merujuk pada bangunan benteng-benteng kecil di kota taklukan. Belakangan, ribat terus dioperasikan, kendati sudah memasuki masa damai.

Maka jadilah itu tempat persinggahan para pengelana yang berbekal pas-pasan, termasuk orang-orang yang menempuh jalan salik.

Tren pendirian funduq di atas bekas-bekas bangunan ribat terus mengemuka menjelang abad ke-12. Pada 1180, seorang pengelana asal Andalusia, Ibnu Jubayr, bermalam di sebuah funduq bekas ribat di Mosul (Irak).

Dalam catatan perjalanannya, disebutkan bahwa huniannya itu tidak jauh berbeda dengan funduq untuk kebanyakan musafir/ibn sabil. Ada banyak ruangan, kamar, dapur, dan tempat cuci muka di dalamnya. Semuanya berfungsi dengan baik, sebagai tanda rutinnya pemeliharaan negara.

Funduq non-profit juga relatif mudah ditemui di tiga Tanah Suci, yakni Makkah, Madinah, dan Yerusalem untuk memfasilitasi para peziarah yang tidak punya bekal memadai.

Pada 1135, misalnya, yayasan wakaf Kota Makkah membangun sebuah funduq untuk musafir. Sementara itu, pada 1267 dan 1282, bangunan yang sama mulai didirikan di Yerusalem atas instruksi Sultan al-Malik al-Mansur.

Keberadaan funduq-funduq gratis itu tentunya bermanfaat bagi para pengelana sederhana, entah itu kaum sufi atau perantau thalab al-‘ilm, dalam mendiskusikan ilmu dan hikmah di luar masjid.

Ada pula funduq yang dioperasikan orang-orang tertentu, tetapi keuntungannya dialokasikan untuk kepentingan pendidikan. Constable mencontohkan Madrasah al-Sihrij dan Madrasah al-Attarin di Fez (Maroko).

Keduanya ditaja sebagian pendapatan funduq milik pengusaha setempat pada 1323 dan 1325. Ada lagi Madrasah Misbahiyyah yang operasionalnya ditunjang dari profit funduq lokal pada 1346.

Teladan Peradaban Islam dalam Menerima Musafir (4)

Para penguasa Muslim amat memerhatikan para pencari ilmu

Funduq–istilah hotel pada era keemasan peradaban Islam–menampilkan sisi kosmopolitan peradaban agama ini. Tempat itu menjadi salah satu ruang publik di mana interaksi sosial berlangsung secara wajar. Tidak ada diskriminasi agama dan bangsa.

Semuanya diperbolehkan menginap, selama mematuhi norma yang berlaku dan tentu saja membayar sewa kamar (bagi funduq komersil). Mereka dianggap setara sebagai musafir yang (biasanya) tidak memiliki keluarga sebagai tempat menginap di kota-kota transit; karena itu perlu difasilitasi kebutuhannya.

Kaidah “bisnis tidak mengenal batas agama dan bangsa” secara nyata dipraktikkan.

Menurut Constable, amat mudah menemukan gambaran tentang betapa kota Islam yang dikunjungi “punya banyak funduq, pasar, dan pemandian umum” dalam catatan para pengelana. Mereka baik Muslim maupun non-Muslim pada abad pertengahan.

Setiap funduq biasanya terdapat di sekitar area masjid, pasar, atau gerbang kota. Alasannya, untuk memudahkan akses para tamu yang baru saja tiba di kota transit, khususnya yang ingin segera beristirahat atau menuntaskan agenda bisnisnya.

Kota-kota sekitar Laut Tengah semisal Kairo, Iskandariah, Tunis, Maghrib, Mahdia, dan Damaskus merupakan beberapa contoh lokasi yang kaya akan funduq-funduq demikian. “Funduq berperan penting dalam mendukung perkembangan perdagangan lintas-budaya di kota-kota pelabuhan pesisir Laut Tengah pada abad pertengahan,” demikian Constable menyimpulkan.

Memudahkan Para Pencari Ilmu

Salah satu ciri peradaban Islam adalah maraknya perjalanan (rihlah) dalam rangka menuntut ilmu-ilmu agama. Misalnya, rihlah yang dilakukan para sarjana ilmu hadits dari satu kota ke kota lainnya.

Mereka dengan penuh semangat melintasi batas banyak negeri, semata-mata untuk mengunjungi dan belajar pada sejumlah perawi. Untuk memfasilitasi para pelaku rihlah demikian, banyak penguasa Muslim menyediakan funduq sebagai tempat diskusi dan tentu saja penginapan yang memadai di kota-kota wilayahnya.

Raghib dalam Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (2011) mengutip beberapa fungsi funduq sebagai situs interaksi antara para ilmuwan. Misalnya, kesaksian Ibnu Asakir dalam kitabnya, Tarikh Madinah Dimasyq.

Sejarawan dari abad ke-12 itu menuturkan adanya satu funduq di Damaskus (Suriah) yang menjadi tempat pertemuan orang-orang yang hendak belajar hadits dari Abu Ali al-Hafizh lantaran perawi tersebut kebetulan menginap di sana.

Pelajaran ke Enam: Akhirat Tempat Tinggal Kita

PADA suatu hari, Syaqiq al-Balkhi beliau termasuk salah seorang dokter hati- berkata kepada muridnya, Hatim al-Asham, “Apa yang telah engkau pelajari dariku sejak menyertaiku (selama 30 tahun)?” Hatim al-Asham menjawab, “Ada enam hal:

Kelima, saya melihat orang-orang saling mencintai dan saling membenci. Saya melihat orang yang mencintai tidak memiliki sedikit pun terhadap orang yang dicintainya, lalu saya merenungkan sebab cinta dan benci. Saya tahu bahwa sebabnya ialah keinginan dan dengki. Saya menyingkirkannya dari diri saya dengan menyingkirkan hal-hal yang menghubungkan antara diri saya dengannya, yaitu syahwat. Oleh karena itu, saya mencintai seluruh kaum muslimin. Saya hanya rida kepada mereka sebagaimana saya rida terhadap diri sendiri.

Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”

Keenam, saya memandang bahwa setiap orang yang bertempat tinggal pasti meninggalkan tempat tinggalnya dan sesunguhnya tempat kembali setiap orang yang bertempat tinggal ialah alam kubur. Oleh karena itu, saya mempersiapkan semua amal perbuatan yang mampu saya lakukan yang dapat membuatku gembira di tempat tinggal yang baru yang di belakangnya tidak lain adalah surga atau neraka.

Kemudian Syaqiq al-Balkhi berkata, “Itu sudah cukup. Lakukanlah semua itu sampai mati.”

[Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah]